"Apakah ada masalah?" tanya Jareth ketika masuk ke dalam kamar dan mendapati istrinya melamun di depan jendela besar dengan kaca itu.Ariana terkejut untuk sesaat tapi kemudian menyunggingkan senyum, tidak ada masalah apapun kecuali dialog yang terdengar tanpa sengaja tadi. Baru saja menginjakkan kakinya di sini dirinya sudah dibandingkan dan menerima kenyataan kalau pelayan saja tidak menyukai kehadirannya. Entah kapan suaminya itu datang ke kamarnya, bahkan suara Langkah kaki dan pintu yang terbuka itu luput dari telinganya. Ariana terlalu sibuk bergulat dengan hati, Bukan meratapi nasib tapi hanya bertanya-tanya saja kenapa selalu saja ada yang mengganggu, padahal Ariana hanya ingin hidup dengan sederhana dan tenang. dengan cepat Ariana menggeleng. "Tidak, aku hanya ... mengagumi kebun yang indah itu dari sini. Tukang kebunmu sudah bekerja dengan keras." Wanita itu membalikkan tubuhnya menyambut suaminya.Jareth segera tersenyum dan meralat kalimat istrinya. "Sejak kamu menjadi i
"Waktunya makan malam, Tuan ... Nyonya," ucap seorang pria tua yang biasa dipanggil dengan Sebastian itu.Ariana dan Jareth telah menghabiskan beberapa hari di rumah besar itu, mendengar suara Sebastian, mereka yang sedang bercengkerama bersama memandangi kebun itu segera menoleh dan melirik ke arah pergelangan tangan. Berbeda dengan suaminya yang segera tersenyum mengiyakan, wanita itu hanya menunduk sesaat sebelum bangkit.Di sini, tidak ada bedanya dengan berada di rumahnya, kalau diingat lagi sepertinya keadaan lebih parah yang di sini. Ketika di rumah kapan harus begini dan begitu seperti sudah diatur dan waktu makan pun demikian. Kapan sarapan, makan siang dan makan malam itu selalu saja tepat waktu setiap harinya dan mereka akan menuju ruang makan hanya setelah Sebastian itu datang memberi tahu.Siapa bilang hidup seperti tuan puteri seperti yang dijalaninya ini begitu indah, sebagian memang indah ketika berada di bagian bisa kemana pun tanpa harus memikirkan finansial. Tapi ke
"Hati-hati di jalan Sayang, aku menunggumu." Ariana meletakkan smartphone itu dan kembali menikmati minumnya. Dirinya dan suaminya telah bertolak ke Italia sejak beberapa hari, bukan karena ini adalah salah satu negara yang romantis tapi karena Jareth ada urusan di Milan. Kalau ditanya, jelas sekali itu adalah urusan bisnis yang Ariana tidak banyak tahu. Bukannya dia sama sekali tidak paham bisnis, tapi menjadi istri dari Jareth Lee saja baru berapa lama, segala aset dan usaha milik suaminya dia belum tahu semua. Kopi itu dinikmatinya perlahan, jangan banyak makan dulu atau nanti ketika suaminya kembali perutnya sudah penuh terisi makanan. Dia mengedarkan pandangannya, suasana tenang layaknya sebuah restoran megah ini dinikmatinya dengan penuh ketenangan dalam kesendirian. Tidak mengapa, nanti dia akan memuaskan dirinya setelah suaminya kembali.Matanya terantuk pada sosok yang berada di sana, seorang wanita yang perutnya membuncit entah hamil beberapa bulan. Ariana mengumpulkan seg
"Aku pikir kamu tidak akan datang," kata Lilah begitu melihat Ariana melenggang menghampirinya.Ariana berdiri tegak di depan ibu hamil itu dan berkata, "Bukankah aku sudah berjanji untuk datang? Lagipula aku tidak ada masalah dengan ini, katamu kita akan bersenang-senang menghabiskan uang suami. Jadi, tunggu apalagi?"Lilah melengos mendengar kalimat itu. "Kamu sudah beradaptasi dengan baik rupanya, bagus sekali."Wanita muda itu segera memutar tubuhnya dan mengerutkan kening. "Beradaptasi apa maksudnya?""Ah tidak." Lilah mengibaskan tangannya. "Maksudku, kamu sudah begitu cepat menyesuaikan diri menjadi istri Jareth, meski tetap belum begitu sempurna." Dengan enteng wanita hamil itu berlalu tapi memberi isyarat agar Ariana mengikutinya.Meski kesal Ariana mengikuti juga langkah dari sepupu suaminya itu. Lilah ini kalau bicara memang kerap menjengkelkan. Entah ada masalah apa dalam hidupnya, kalimat-kalimat yang terlontar beberapa kali membuat dirinya bingung kenapa. Seperti yang te
Ariana berdiri tegak, gaun megah itu masih dikenakannya dengan anggun. Iris mata biru itu nanar melihat jauh ke sana. Pesta anniversary kawin mutiara orang tuanya itu baru selesai digelar, kerasukan setan apa kedua orang tuanya tiba-tiba berkata seperti itu. Ini benar-benar pilihan sulit, dirinya bahkan baru 22 tahun, kenapa sudah harus menikah begini."Dengarlah, Jareth Lee itu orang baik, dia juga berkecukupan. Tidak ada alasan kamu menolaknya," ucap Elina, sang ibu."Aku bisa saja menerima, tapi tidak dengan pria seumuran ayah," kilah Ariana berusaha memberi pengertian kedua orang tuanya."Dia lebih muda 10 tahun dari ayahmu, Aria." Ibunya menyahut segera."Apa salahnya? Dia adalah kawanku, kamu juga sudah sangat mengenalnya. Dia juga sangat baik, ayah yakin Jareth akan menyayangimu," kata Irvin, sang ayah."Ayah tolonglah, apa tidak ada pria yang lain? Aku menganggap uncle Jareth adalah pamanku, aku mengenalnya sejak kecil," kata Ariana dengan memelas."Kamu mengenalnya sejak keci
"Lepaslah masa dudamu itu," kata Irvin mendesak agar temannya itu dengan mudah menerima putri bungsunya."Irv, kita ini berteman, aku percaya kamu tidak akan menjerumuskan aku. Tapi, lihatlah jarak usia antara aku dan Ariana. Apakah itu bukan kejahatan menikahi gadis dengan jarak 23 tahun?" tanya Jareth seakan ragu, apa kata orang nanti dan apakah Ariana akan setuju pula."Kejahatan apanya? Kita sudah sering mendengar ada kakek-kakek bau tanah yang menikahi perawan, tidak mengapa kalau dia mampu," kata Irvin mengemukakan pendapatnya secara subyektif.Jareth harus mengiyakan bagian itu, beberapa waktu lalu relasi bisnisnya mengundangnya pada pernikahannya yang entah ke berapa. Dia bahkan sudah berusia 64 dan menikahi seorang model yang berusia lebih tua beberapa tahun dari Ariana. Banyak cibiran terdengar dan itu hal yang wajar.Ariana itu cantik dan cerdas, tapi dia keras kepala meskipun agak pasif. Jareth pertama kali melihatnya ketika dia masih kecil dan bermain boneka dengan pengas
Tidak ada suara pisau dan garpu yang berdenting, hanya ada sunyi ketika tiga manusia itu bersama mengelilingi sebuah meja besar dengan berbagai hidangan. Sesekali lain yang panjang tergantung di sisi jendela itu bergerak tertiup angin. Gadis muda itu terus saja memotong makanannya dalam diam tanpa kata."Jareth mengundang kita makan malam di rumahnya, sekaligus membicarakan tentang pernikahan," kata Irvin yang tiba-tiba memecah kesunyian."Pernikahan siapa?" Ariana dengan acuh menjawab."Di sini yang belum menikah hanyalah kamu Ariana, berhenti menanyakan hal yang tidak perlu," kata Elina yang segera meletakkan pisau kecilnya."Aku masih ingin sekolah lagi, mungkin melakukan kolaborasi dengan beberapa pelukis di kota, masih banyak hal yang masih ingin aku lakukan, aku masih punya cita-cita," sergah Ariana berusaha menolak lagi."Cita-citamu tidak akan lari hanya karena kamu menikah Ariana. Kamu tetap bisa kolaborasi dengan siapapun bahkan setelah menikah. Jareth bukan orang yang kolot
Ayahnya pergi entah kemana, dia tampak marah sekali dan beberapa kali menghancurkan barang. Tidak ada yang melukai Ariana secara fisik, tapi hati gadis itu jelas babak belur. Sudah diduganya semua akan kesal, meski Jareth berkata tidak apa-apa karena Ariana berhak juga memiliki pendapat."Kau, anak yang tidak tahu diuntung," kata Elina menuang lagi minumannya. Asap rokok itu terlihat lagi setelah terhembus dari bibir itu."Ini hidupku Ibu," kata Ariana dengan kesal."Tahu apa kamu tentang hidup? Sebaiknya kamu menurut saja. Lihat kakak kamu semua, mereka bahagia dengan pilihan kami," kata Elina dengan percaya diri."Tapi mereka tidak dijodohkan dengan kakek-kakek," kata Ariana memekik."Jangan berteriak di depanku, Nona muda. Aku melahirkan kamu." Elina kembali menghisap tembakau itu dan meracuni tubuhnya. "Aku menikah dengan pilihanku sendiri, waktu itu aku cukup buta untuk tahu bagaimana kelakuan orang yang menjadi suamiku, astaga aku menyesal.""Ibu, jangan bicara yang buruk tentan