“Biar kuberitahu satu hal padamu. Aku membencimu dan akan selalu membencimu. Aku melakukan ini demi ayahku. Jadi, jangan berharap aku akan bersikap lemah-lembut padamu. Aku tidak akan pernah melakukan penghormatan seperti yang dilakukan orang lain.”
Anna menatap Kaiden tepat di mata, tak menyesal sedikit pun mengatakannya. Ia merasa perlu memberi tamparan tak kasat mata setelah Kaiden menyudutkannya. “Dimengerti,” ucap Kaiden dengan seringai keji, sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Anna. “Kupikir, tidak ada orang yang tidak membenciku," gumamnya, seolah bicara dengan dirinya sendiri. Anna menyipitkan matanya. Tiba-tiba, pria itu berdiri dan membungkuk ke arahnya. Anna membelalak saat Kaiden menyentuh dagunya dan mendongakkan kepalanya sampai mata keduanya bertemu. Mata biru Anna terlihat seperti air jernih di laut yang disinari matahari, kontras dengan mata hitam Kaiden yang gelap seperti lautan mati tanpa cahaya. Kaiden menyeringai. “Kau juga harus tahu satu hal, wanita angkuh. Aku juga tidak ingin menikahimu, tapi ini adalah perintah dari Pemimpin Shelton. Kau pikir aku akan senang menempatkan wanita liar sepertimu di mansionku? Kalau bukan karena otakmu yang cerdas, seharusnya kau sudah lama dibuang keluar gerbang karena ketidaksopananmu itu.” Kata-katanya ditekankan dan penuh dengan arogansi. Anna berdecak pelan dan menjauhkan wajahnya. Ia tidak peduli apa pendapat Kaiden tentangnya. Kaiden duduk kembali di kursinya, tampak puas melihat wajah masam Anna. Ia mengambil tehnya yang sudah dingin, lalu menyesapnya. Kaiden sengaja mencicipi teh itu sedikit demi sedikit, seolah masih sangat hangat. Anna menyadari kalau terlepas dari kekejamannya, pembawaan Kaiden selalu tampak berwibawa—menunjukkan statusnya yang tinggi. Hal itu membuat Anna semakin kesal. Kaiden adalah tangan kanan Shelton Damme, orang nomor dua yang dihormati di Mosirette, sementara Anna hanyalah rakyat jelata yang tidak tahu sopan santun. Perbedaan itu seakan terukir jelas dalam tatapan Kaiden yang terarah pada Anna. Anna memilih untuk menatap kakinya sendiri, daripada wajah Kaiden yang menyebalkan. Hening. Keduanya sama-sama diam. Anna berharap pria itu segera pergi dari rumahnya. Tetapi Kaiden yang merasakan ketidaknyamanan Anna dengan sengaja menikmati waktunya sendiri. Membuat Anna lagi-lagi merasa berada di rumah orang lain. Terlintas di pikiran Anna mengenai reaksi istri pertama Kaiden. Ia bertanya-tanya apakah Kaiden peduli dengan hal itu atau tidak. Mereka selalu terlihat mesra di majalah maupun koran, tetapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia dengar sikap Selena tidak semanis yang orang-orang kira. Bisakah dia memprovokasi Kaiden agar marah dan segera pergi dari rumahnya? Walaupun ia tahu pria itu bisa mengontrol emosinya dengan mudah, setidaknya Anna perlu mencoba. Ia sudah tidak tahan berada satu ruangan dengan Kaiden. “Aku sebenarnya bertanya-tanya bagaimana reaksi istri pertamamu,” ucap Anna dan Kaiden melirik. Anna tersenyum simpul. “Jika aku dibawa ke mansionmu, apa itu berarti aku akan tinggal bersama istri pertamamu?” Kaiden meletakkan cangkir tehnya dan menatap Anna. “Apa kau menginginkan mansion untuk dirimu sendiri, jadi hanya ada kita berdua?” katanya dengan seringai menggoda. Anna terbelalak dan menggeleng. “Tidak, bukan—lupakan saja.” Kaiden tersenyum miring. “Yah, bagaimanapun juga, kau dan istri pertamaku harus akur. Perintah adalah perintah dan apa yang Pemimpin Shelton tetapkan harus kau patuhi. Tidak ada perbedaan antara kalian berdua. Yang paling penting, kalian harus menghormatiku.” “Ah, aku pernah membacanya,” ucap Anna, menghela napas. “Sistem patriarki di abad pertengahan. Dan sekarang pun masih sama. Laki-laki adalah pemimpin dan perempuan harus tunduk, bukan begitu?” “Kau keberatan?” “Aku keberatan pun tidak akan ada gunanya. Kau akan tetap mengontrolku selayaknya hewan peliharaanmu.” Anna mendengus pelan. “Tapi jika kau sampai melewati batas, maka aku tidak akan segan-segan melawanmu.” Kaiden menaikkan satu alisnya dan terlihat akan tertawa. “Untuk ukuran rakyat jelata, kau adalah perempuan yang sangat arogan.” “Rakyat jelata juga manusia. Tapi di dunia ini, kekuasaan yang membuat seseorang dihormati, bukan?” Anna tertawa hambar. “Bukankah rakyat jelata terlihat seperti sampah di depan warga yang tinggal di ibu kota?” Kaiden membuang napas kasar. Ekspresinya menunjukkan bahwa perkataan Anna benar adanya. “Jadi, kau ingin aku memperlakukanmu seperti batu jadeite?” “Tidak. Aku tidak menginginkan apa pun darimu selain pembatalan pernikahan.” “Kau bisa bertanya pada Pemimpin Shelton. Sudah kubilang aku melamarmu karena perintahnya,” kata Kaiden seraya melipat kedua tangannya di depan dada, tahu benar kalau Anna tidak bisa berkutik dengan pernyataan itu. Anna menggerutu dalam hati, benar-benar frustrasi dan tidak tahu harus bagaimana lagi agar pernikahannya dengan sang Jenderal batal. Apakah ia sungguh tidak memiliki pilihan lain? Kabur, mungkin. Tetapi itu terdengar mustahil. Ia akan mati dilahap oleh singa gurun di luar sana dan tidak ada seorang pun yang akan menyelamatkannya. Lagi pula, ia masih memikirkan ayahnya yang sakit dan tidak mungkin meninggalkannya begitu saja. Di sisi lain, Kaiden dengan santai menghabiskan tehnya. Kemudian, ia mengecek pistol di pinggangnya. “Aku akan menemuimu lagi minggu depan untuk membahas gaun dan cincin, jadi kuharap kau tidak bertanya soal pembatalan pernikahan lagi,” ucap Kaiden, berdiri dari tempatnya. Anna mendongak menatapnya dan Kaiden menyeringai tipis. “Semuanya sudah jelas dan aku akan menemui ayahmu setelah ini.” Anna hanya bisa terdiam. Dadanya bergemuruh. Ketika Kaiden akhirnya melangkah pergi, Anna bergegas mengikuti di belakang. Jika Kaiden sudah berada di beranda rumahnya, ia akan langsung menutup pintu. Tetapi harapan Anna sepertinya tidak pernah terkabul saat Kaiden malah berhenti di ambang pintu. Ia lalu berbalik menghadap Anna yang refleks berhenti melangkah. Kaiden menatap dengan ekspresi yang seolah mengharapkan sesuatu, sementara Anna balas menatap dengan kening berkerut. Apalagi yang pria ini inginkan? “Apa aku harus pergi dengan cara tidak sopan ini?” sahut Kaiden dan Anna tercengang. “Kau berniat meninggalkan calon suamimu tanpa mengatakan sepatah kata pun?” Apakah dia menginginkan sebuah penghormatan? Anna tidak akan pernah melakukannya. Anna mundur selangkah. “Silakan kembali, kurasa tidak ada lagi yang perlu kukatakan atau... kulakukan.” Anna hendak berbalik, tetapi Kaiden tanpa diduga meraih pinggangnya. Ia memeluk Anna terlalu erat sampai wanita itu bahkan tidak bisa memberontak. “Apa yang kau lakukan?!” geram Anna. Kaiden tertawa kecil dan tangannya yang besar perlahan melingkari tengkuk Anna. Anna membeku di tempat, jantungnya berdebar tidak karuan. Tangan Kaiden yang berada di lehernya terasa hangat, dan genggamannya cukup kuat, meskipun tidak sampai menyakiti Anna. Apakah Kaiden berniat untuk mematahkan lehernya? Karena ketidaksopanannya? Untuk waktu yang lama, pria itu hanya terus menatapnya. Anna terdiam kaku, lidahnya terasa kelu untuk bicara. Detik demi detik yang berlalu terasa lambat. Setelah jeda panjang yang tidak menyenangkan, Kaiden menunduk dan berbisik di telinga Anna, “Biar kuberitahu satu tips untuk bertahan hidup di dunia yang keras ini. Patuhi jenderalmu, maka hidupmu akan bahagia.”Mobil Kaiden melaju dengan kecepatan sedang. Anna duduk di jok belakang bersama Kaiden. Keheningan menguasai keduanya. Pandangan Anna terus tertuju pada pemandangan di luar jendela, memperhatikan distrik-distrik yang ia lalui, sampai kemudian matanya melebar melihat perbatasan yang mengarah ke ibu kota. Perbatasan dibatasi oleh dinding beton dan pagar besi yang menjulang. Tempat itu dijaga ketat oleh pengawal yang akan selalu melakukan pemeriksaan. Mereka membawa senapan panjang dan tak segan menembak jika ada sesuatu yang mencurigakan. Hanya warga tertentu yang bisa bebas keluar masuk dari perbatasan, seperti orang-orang yang bekerja di pemerintahan. Kaiden sendiri memiliki mobil hitam khusus dengan inisial namanya di bagian depan, sehingga para pengawal tidak perlu mengecek identitasnya lagi. Kaiden selalu menggunakannya saat keluar dari ibu kota. Anna mencoba untuk terlihat biasa saja ketika mobil melewati perbatasan, tetapi tetap saja ia tidak bisa menahan rasa takjubnya. Mes
“Astaga Anna! Sayangku! Kau tidak pernah muncul di depan lubang hidungku setelah sekian lama!” Anna mendengus melihat tingkah sahabatnya yang kelewat dramatis. “Ya, karena kau akan menyedotku dengan lubang hidungmu yang lebar itu.” Vasily tertawa dan melempar bokongnya ke tumpukan jerami. Di sampingnya, Anna menghela napas panjang, wajahnya kusut butuh disetrika. Vasily yang memperhatikan mengerutkan kening bingung. “Apa yang terjadi?” tanya Vasily tanpa basa-basi. “Kepalaku sakit,” jawab Anna lemas. Sudah tiga hari ia tidak bisa tidur dengan baik karena memikirkan pernikahannya dengan Kaiden. Tubuhnya sakit di semua bagian, tetapi ia merasa perlu menemui sahabatnya untuk menceritakan semuanya. “Apa kau memikirkan pernikahanmu dengan Jenderal Kaiden?” Anna mengangguk dengan bibir cemberut. “Yah itu...” Vasily menggaruk tengkuknya dan menyandarkan kepalanya ke kandang kuda di belakangnya. “Aku dengar istri pertama Jenderal Kaiden sebenarnya sangat licik. Dia berasal dari kelas
“Biar kuberitahu satu hal padamu. Aku membencimu dan akan selalu membencimu. Aku melakukan ini demi ayahku. Jadi, jangan berharap aku akan bersikap lemah-lembut padamu. Aku tidak akan pernah melakukan penghormatan seperti yang dilakukan orang lain.” Anna menatap Kaiden tepat di mata, tak menyesal sedikit pun mengatakannya. Ia merasa perlu memberi tamparan tak kasat mata setelah Kaiden menyudutkannya. “Dimengerti,” ucap Kaiden dengan seringai keji, sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Anna. “Kupikir, tidak ada orang yang tidak membenciku," gumamnya, seolah bicara dengan dirinya sendiri. Anna menyipitkan matanya. Tiba-tiba, pria itu berdiri dan membungkuk ke arahnya. Anna membelalak saat Kaiden menyentuh dagunya dan mendongakkan kepalanya sampai mata keduanya bertemu. Mata biru Anna terlihat seperti air jernih di laut yang disinari matahari, kontras dengan mata hitam Kaiden yang gelap seperti lautan mati tanpa cahaya. Kaiden menyeringai. “Kau juga harus tahu satu hal, wanita
Ketegangan yang menguar di udara terasa mencekik. Kaiden hanya diam di tempatnya, tetapi tatapan matanya yang intens seolah berusaha melucuti Anna. Seringai tipis tersemat di bibirnya. Pria ini sengaja, pikir Anna. Dia sengaja melakukan intimidasi seperti ini untuk membuat lawannya mengkerut. Sebuah teknik halus untuk membuat kepercayaan diri seseorang menurun. Kaiden tahu benar bagaimana menggunakan kekuasaannya, tetapi Anna mencoba untuk tidak merasa gentar sedikit pun. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa jauh di dalam hatinya, ada percikan ketakutan yang muncul. Anna menekan tangannya ke paha dan membalas tatapan Kaiden. Mata hitam pria itu tampak mengerling, ada sesuatu yang tengah ia rencanakan dalam kepalanya. Apakah pria ini benar-benar hanya akan menatapnya? Dia duduk dengan santai di seberang meja, punggungnya bersandar di sofa. Asap teh di atas meja tak lagi mengepul. Hampir 10 menit berlalu dalam keheningan. Anna membersihkan tenggorokannya dan memilih untuk menyesa
Kekuatan dan kekuasaan adalah hal yang utama di Mosirette. Seseorang yang berada di derajat terbawah hanya bisa menunduk menerima perintah. Apa pun yang dikatakan oleh sang Pemimpin Negara, rakyat kecil hanya bisa menganggukkan kepalanya. Seperti halnya yang terjadi pada Annalise York, ketika tawaran perjodohan disodorkan padanya. Helaan napas frustrasi berembus dari mulut Anna. Kepalanya rasanya ingin meledak. Ia merasa sangat bingung dan gelisah memikirkan apa yang akan terjadi satu jam ke depan. Ia ingin menolak lamaran sang jenderal, tetapi di sisi lain, ayahnya yang sakit memintanya untuk menerima pria itu. Ayahnya selalu bijaksana dalam mengambil keputusan. Namun kali ini, Anna pikir ayahnya telah keliru. Apa yang ayahnya lihat dari pria itu? Sang jenderal yang terkenal dengan kekejamannya. Kaiden Hyperion. Rumor yang beredar mengatakan kalau Kaiden adalah pembunuh berdarah dingin yang tidak memiliki belas kasihan. Dia membantai siapa pun yang melanggar perintahnya, seka