Ketegangan yang menguar di udara terasa mencekik.
Kaiden hanya diam di tempatnya, tetapi tatapan matanya yang intens seolah berusaha melucuti Anna. Seringai tipis tersemat di bibirnya. Pria ini sengaja, pikir Anna. Dia sengaja melakukan intimidasi seperti ini untuk membuat lawannya mengkerut. Sebuah teknik halus untuk membuat kepercayaan diri seseorang menurun. Kaiden tahu benar bagaimana menggunakan kekuasaannya, tetapi Anna mencoba untuk tidak merasa gentar sedikit pun. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa jauh di dalam hatinya, ada percikan ketakutan yang muncul. Anna menekan tangannya ke paha dan membalas tatapan Kaiden. Mata hitam pria itu tampak mengerling, ada sesuatu yang tengah ia rencanakan dalam kepalanya. Apakah pria ini benar-benar hanya akan menatapnya? Dia duduk dengan santai di seberang meja, punggungnya bersandar di sofa. Asap teh di atas meja tak lagi mengepul. Hampir 10 menit berlalu dalam keheningan. Anna membersihkan tenggorokannya dan memilih untuk menyesap tehnya. Akhirnya, Kaiden memalingkan pandangan dan mulai memperhatikan sekeliling rumah kecil Anna. Ekspresinya tampak menilai, kemudian pandangannya kembali ke Anna lagi. Matanya dengan terang-terangan memperhatikan tubuh Anna yang dibalut dress pemberiannya. “Kau terlihat cantik dengan dress mahal,” ucapnya. Seringainya berubah menjadi senyum tipis yang manis. Anna menatap datar. “Terima kasih. Tapi aku lebih suka pakaian ‘rakyat jelataku’.” Kaiden tertawa kecil. “Sayang sekali, setelah menikah denganku, semua itu akan dibuang.” “Menikah? Kau terlalu percaya diri. Kau pikir aku akan menerima lamaranmu?” Mata Kaiden menyipit mendengar ucapannya, tetapi senyum manis itu masih tersemat di sana. “Di mana sopan santunmu saat bicara dengan jenderalmu? Beraninya kau memanggilku dengan sebutan ‘kau’ yang tidak sopan.” “Kau ingin aku memanggilmu apa? Tuan Kaiden? Atau Yang Mulia Kaiden? Kau sebegitu hausnya dengan sebuah penghormatan?” Anna mencebik, suaranya dipenuhi sarkasme. Alih-alih marah, Kaiden malah tertawa. Anna berharap pria itu setidaknya kesal, tetapi ekspresinya justru terlihat jenaka. “Lidahmu terlalu tajam, Sayang. Tidak cocok dengan wajah manismu,” komentarnya. Anna ingin mendecih mendengarnya. Pria ini tidak sedang menggodanya, bukan? Lebih baik ia langsung bicara ke inti. “Aku tidak mengerti. Ada banyak gadis kaya di ibu kota yang penuh glamor dan kemewahan, yang mungkin setara denganmu, tapi kenapa kau tidak memilih salah satu dari mereka? Apalagi kau hanya menginginkan anak.” Kaiden tersenyum miring dan menatap Anna lekat-lekat. “Tapi aku menginginkanmu. Bagaimana ini?” Ia mencondongkan tubuhnya ke depan sebelum melanjutkan, “Aku tahu kau mengetahui strategi perang seperti ayahmu dan mendapat nilai paling tinggi di akademi. Aku tidak akan memilih wanita bodoh yang kepalanya hanya berisi hal-hal tidak berguna. Anakku pintar, maka keturunanku juga pintar.” “Apa kau juga memikirkan hal itu saat menikah dengan istri pertamamu, Nona Selena?” Kaiden menaikkan satu alisnya. “Dia mandul.” Anna hampir mendengus. “Kebebasan adalah hak semua orang, bukan begitu? Sebagai seorang jenderal, aku pikir kau mengerti segala peraturan yang dibuat oleh Pemimpin Shelton Damme. Aku yakin kalau keinginanmu untuk menikahiku hanya keegoisan semata. Kau sebenarnya hanya ingin mempermainkan rakyat jelata sepertiku, bukan?” Senyum di wajah Kaiden menghilang dan Anna langsung mengungkapkan keinginannya, “Maaf, tapi aku tidak berniat untuk menerima lamaranmu. Kau hanya pria kejam yang tidak punya belas kasihan—argh!” Anna tersentak ketika Kaiden meraih tangannya yang terluka dengan kasar. Rasa sakit menyebar di lengannya, tetapi ia mengigit keras lidahnya, menahan ringisan untuk lolos. Kini, mata Kaiden tampak berkilat marah. “Apa seperti ini caramu berterima kasih setelah aku menyelamatkanmu dan ayahmu?” “Apa seperti ini caramu melamar perempuan menjadi istrimu?” balas Anna dengan suara kasar. Kaiden mendecih. Segala topeng manis di wajahnya telah menghilang. “Apa kau ingin aku berlutut dan menciummu?” tangannya yang besar dengan cepat beralih untuk mencengkeram pipi Anna. “Baik, kalau itu yang kau inginkan.” Kaiden perlahan menunduk seolah ingin mencium Anna, sementara gadis itu memberontak. “Tidak! Kau hanya bajingan! Kau tidak bisa memerintahku seenakmu!” “Oh ya? Kau yang menginginkan ciuman ini.” Mata Anna melebar. Napas pria itu terasa panas menerpa bibirnya. Ketika Kaiden terlihat benar-benar akan merealisasikan ucapannya, Anna tak lagi berpikir untuk menampar pria itu. Sebuah tamparan keras yang bergema di ruangan itu. Anna membelalak, sementara Kaiden terkejut bukan main. Matanya terbuka lebar, wajahnya syok. Apa yang telah ia lakukan... Sebuah tindakan impulsif yang seketika Anna sesali. Kaiden berkedip dan cengkeramannya terlepas. Ia menatap Anna dengan tatapan tidak percaya, kemudian mata itu tampak membara. Suasana ruangan itu mendadak berubah. Anna bisa merasakan amarah yang berkobar di sekeliling tubuh Kaiden. Kaiden tidak pernah ditampar oleh siapa pun, dan calon istrinya baru saja melakukannya. ‘Apa dia memutuskan untuk membunuhku?’, batin Anna. Ia menunggu amarah Kaiden untuk meledak, tetapi Kaiden malah mengusap pipinya dan menghela napas. Dalam beberapa detik, percikan amarah itu menghilang di matanya. Kaiden tiba-tiba tertawa hambar dan Anna membeku di tempat. Betapa Kaiden menguasai emosinya... Apa yang diberitahukan oleh ayahnya kembali terngiang di kepala Anna. ‘Nak, Jenderal Kaiden sudah terlatih dan dia tidak akan mudah terbawa emosi di situasi apa pun agar pikirannya selalu jernih...’ Anna tidak menyangka dia benar-benar mengontrol emosinya setelah ditampar. “Mencoba menggunakan cakar kecilmu di depanku?” Salah satu sudut bibir Kaiden terangkat, menatap Anna dengan senyum meremehkan. “Kau memiliki keberanian seperti singa betina, tapi Sayang, singa jantan tetap pemimpinnya.” Anna mengepalkan tangannya dan menunduk. “Apa salah jika aku menolak, terlepas dari statusku?” “Tanya ayahmu kalau begitu.” “Kau mungkin menodongkan pistol padanya sampai dia setuju.” Kaiden spontan tertawa. “Yang benar saja? Kau bisa bertanya padanya. Kau pikir aku sekejam itu?” Anna tidak bisa menahan dirinya untuk memutar bola matanya. Tidak sekejam itu? Pria ini sedang melucu. “Aku mengajukan lamaran atas perintah Pemimpin Shelton, dan ayahmu menerimanya setelah aku menyelamatkanmu,” ucap Kaiden, nada suaranya terdengar mengintimidasi. “Aku juga telah membiayai seluruh perawatan ayahmu dan memindahkannya ke rumah sakit paling elit di ibu kota. Apakah mungkin kau lebih suka ayahmu dilempar keluar gurun dengan kondisinya yang parah itu?” Anna mencengkeram gaunnya, geram dengan perkataan Kaiden. “Ayahku adalah pahlawan perang. Kau tidak bisa melakukannya. Dia mengambil andil dalam kemenangan yang warga Mosirette cicipi sekarang.” “Aku lebih tahu hal itu, lebih baik dari dirimu sendiri,” ucap Kaiden, menyeringai. “Kalau begitu, kau bisa membiayai ayahmu dengan uangmu sendiri. Bagaimana?” Anna terdiam kaku, cengkeramannya menguat. “Apa kau bisa melakukannya, Annalise York?” Anna hanya bisa menggigit lidahnya. Jawabannya sudah jelas dan seringai Kaiden melebar. “Kau tidak bisa melakukannya,” ucap Kaiden dengan nada mengejek yang kental. Ekspresinya berubah menjadi dingin. “Jadi jawab sekarang. Karena jika aku kembali dengan kata ‘tidak’, maka aku akan langsung menemui ayahmu. Betapa kecewanya dia mengetahui kau menolak permintaannya dan penyakitnya...” Anna memalingkan wajahnya dan mendengus pelan. Pria ini menekannya. Memanfaatkan kelemahannya. Dia menggunakan cara licik untuk membuatnya tersudut. Dadanya terasa bergejolak dan kepalanya pusing. Tetapi, Anna benar-benar tidak memiliki pilihan lain. Ia sangat membenci Kaiden. “Ya,” kata Anna dengan enggan, sama sekali tidak menatap Kaiden. “Ya apa? Katakan dengan jelas.” “Ya. Aku. Menerima. Lamaranmu.” Anna menekankan setiap kata dengan marah, suaranya bergetar. ‘Dasar bajingan!’ Kaiden mengangguk dengan senyum puas. Anna ingin sekali menonjok wajah pria itu. Kalau bukan karena ayahnya, ia tidak akan pernah mau menikah dengan pria keji seperti Kaiden. Tetapi setelah jawabannya barusan, ia tahu hidupnya akan berubah drastis. Menjadi istri kedua Kaiden terdengar seperti pemberontak yang akan disiksa di sepanjang hidupnya.Perpustakaan utama di pusat kota terbilang jauh lebih lengkap dibanding perpustakaan di akademi. Rak-rak buku menjulang sampai ke langit-langit dengan berbagai koleksi, baik fiksi maupun non-fiksi.Anna berjalan-jalan memutari rak demi rak, berharap bisa menemukan buku yang membahas para pemberontak, terutama Panthera Kroy. Tetapi seperti sebelumnya, bahkan perpustakaan ini pun tidak menyediakan hal itu.Mungkin hanya Kaiden atau Pemimpin Shelton yang menyimpan data-data tentang mereka. Lalu... ayahnya. Seandainya Anna dibiarkan masuk ke gudang belakang, maka ia akan mengambil semua berkas itu.Pada akhirnya, Anna hanya mengambil 5 buku fiksi sebagai hiburan dan 3 buku tentang ilmu militer.Ketika ia melangkah ke penjaga perpustakaan, mata para pengunjung kembali tertuju padanya.Anna berusaha mengabaikan mereka sejak tadi. Mereka menatapnya dengan aneh, seakan ia adalah makhluk yang datang dari antah-berantah. Mereka tidak mengatakan apa-apa, tetapi mata mereka terus mengekorinya.“A
“Seorang prajurit kelas atas akan mengantar Anda ke perpustakaan utama, Nona.”Camila berkata setelah menata sarapan di atas meja. Anna mengangguk dan memperhatikan penampilannya sejenak. Ia kembali memakai gaun sutra yang ketat membentuk tubuh, juga rambut yang disanggul ke belakang. Camila menambahkan anting-anting panjang yang berayun setiap kali ia bergerak.Persis jenis anting yang sering Selena pakai, pikirnya.Seperti yang ia perhatikan, para wanita ibu kota selalu ingin terlihat sempurna—anggun, berkelas, dan glamor.Menurut Anna sendiri, penampilan itu hanya sebuah paksaan karena tekanan sosial yang tinggi. Kenyataannya, semua orang saling menjatuhkan agar terlihat lebih baik dari yang lain. Setidaknya itulah yang Anna perhatikan selama berada di akademi setelah wilayah Mosirette dibagi dua.Tangan Anna mengelus gaunnya sejenak, kemudian ia berbalik ke arah Camila. Ditatapnya sarapan di atas meja dan ia mengernyit.“Kenapa menunya berubah?” tanya Anna, mendekat dan memperhati
“Jangan berani-berani.” Anna mendelik tajam dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kaiden mendengus. Sudut bibirnya berkedut menahan tawa dan ekspresinya terlihat geli. “Kau bertingkah seolah itu adalah ciuman pertamamu.” Anna mengalihkan pandangan dengan raut masam dan tidak mengatakan apa-apa. Ya, itu memang ciuman pertamanya. Tetapi Kaiden mungkin mengira ia mencium semua pria yang ditemuinya. Kaiden menatap terkejut. “Dan kukira ada banyak pria yang tertarik padamu selama di akademi?” “Bukan berarti aku akan membuka bajuku untuk mereka semua. Bahkan aku tidak pernah bergandengan tangan dengan mereka,” ucap Anna dengan suara ketus. Entah kenapa ia merasa malu, padahal dulu ia tidak pernah peduli dengan hal itu. Teman-temannya setidaknya memiliki satu kekasih sebelum lulus di akademi. Anna terlalu menutup diri—itu kata mereka. Kaiden terdiam dan hanya menatap Anna untuk waktu yang lama, seolah-olah pria itu merasa bersalah telah mencuri ciuman pertamanya. Setelah naik pangk
Anna tidak bisa tidur.Memikirkan pernikahannya yang dipercepat, kunjungan ke rumah sakit, dan eksekusi terbuka itu terus membayangi pikirannya, membuat kepalanya terasa pusing.Sudah berjam-jam berlalu, mengganti posisi, dan mencoba tidur, tetapi mimpi tak kunjung menariknya ke alam bawah sadarnya. Matanya kembali terbuka dan ia berdecak frustrasi.Mungkin ia butuh angin segar.Bulan purnama bersinar terang di atas langit. Cahayanya menelusup masuk ke dalam kamarnya yang temaram. Ia beringsut bangun dan memutuskan untuk pergi ke halaman belakang.Ia mungkin bisa melihat macan kumbang itu tidur di kandang barunya. Phoenix katanya akan datang setiap hari untuk mengurus hewan yang satu keluarga dengan singa gurun itu.Macan itu jauh lebih jinak dari apa yang Anna bayangkan. Nyaris seperti kuda yang selama ini familier dengannya. Sepertinya tidak butuh waktu lama sampai Anna terbiasa dengan... hadiahnya.Menyebutnya sebagai hadiah terdengar agak kejam. Ia berencana untuk memberikan sebua
Macam kumbang dewasa.Anna hanya pernah melihat hewan itu di buku yang ia baca selama di akademi.Tidak banyak hewan yang bisa bertahan di iklim yang kering dan keras seperti gurun yang mengelilingi Mosirette. Selain singa gurun dan serigala, Anna tidak melihat banyak hewan selain kadal, kalajengking, dan ular. Itu pun, selalu ada pembersihan khusus yang dilakukan tiap tahun oleh pemerintah.Dan sekarang, macan kumbang dengan warna hitam legam itu berbaring di sana. Sepasang mata kuningnya terarah pada Anna, berkilau seperti koin emas baru.Itu adalah hadiah dari Pemimpin Shelton.Sungguh mengejutkan.Kaiden mengisyaratkan Anna untuk mendekat. Gadis itu melangkah hati-hati, tidak ingin membuat hewan buas itu terkejut.“Kau bisa mengelusnya,” ucap Kaiden dengan santainya.Anna menatapnya dengan waspada, menebak-nebak apakah itu jebakan atau tidak. Bagaimana kalau hewan itu melayangkan cakarnya? Ingatan tentang singa yang nyaris menerkamnya masih cukup membekas.“Dia tidak berbahaya,” k
Anna terbelalak. Bibir Kaiden yang dingin menekan bibirnya. Pandangan mereka bertemu. Rasanya seolah ia baru saja dihempas badai.Itu adalah ciuman tanpa hasrat. Ciuman untuk membungkamnya.Hanya beberapa detik dan Kaiden menarik diri. Ada sesuatu yang tampak berkilat di matanya. Kemudian, dia menyeringai tipis.“Sekarang lebih baik,” ucapnya, seolah ciuman tadi tidak berarti apa-apa. Atau, memang itulah kenyataannya.Kaiden berlalu pergi tanpa kata lagi, meninggalkan Anna yang membeku di tempat.Ekspresi Anna berubah menjadi keruh. “Dasar bajingan,” gumamnya, kesal luar biasa.Ia menuruni tangga dengan cepat, berniat mengejar Kaiden untuk memaki pria itu. Tetapi, Kaiden sudah lebih dulu masuk ke mobilnya dan melajukannya keluar dari gerbang mansion.Dia pergi begitu saja setelah merenggut ciuman pertamanya.Mungkin Kaiden tidak menganggapnya sebagai ciuman. Hanya bibir yang saling menempel satu sama lain.Memangnya kapan dia peduli dengan perasaan seseorang?Helaan napas kasar beremb