แชร์

Bab 155. Ingin Kembali Bekerja

ผู้เขียน: Wijaya Kusuma
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-13 15:56:42

Langit sore menjelang senja, temaram jingga menutup halaman rumah besar milik Keandra. Burung-burung kecil beterbangan pulang ke sarang, sementara angin berhembus ringan membawa aroma bunga kamboja yang ditanam di sudut taman.

Di balik jendela besar, Neina berdiri dengan bantuan tongkatnya, menatap keluar dengan senyum tipis. Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, ia merasa benar-benar mampu menghirup udara kebebasan—meski baru sebatas dari balik kaca.

Di sisi lain, Dinda, perawat yang selama ini setia mendampingi, masih sabar mendekat, selalu patuh merawat dengan penuh kesabarannya. Ia membawa nampan kecil berisi segelas air hangat dan beberapa butir obat.

“Nona Neina, waktunya minum obat dulu ya,” ucap Dinda lembut sambil meletakkan nampan itu di meja kecil dekat kursi.

Neina menoleh, tersenyum tipis. “Dinda, aku jadi terbiasa sekali dengan kalimat itu. Seperti alarm harian yang tak pernah terlupa.”

Dinda terkekeh pelan. “Memang harus begitu, Nona. Obat ini salah satu alasan k
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 195. Tak Bisa Jujur

    Neina terdiam, ia bingung harus berkata apa pada Keandra. Apa ia harus jujur atau diam menyembunyikan kebenaran yang entah ia pun tidak tahu apa Keandra mengetahui fakta ini atau tidak. “Neina,” panggil Keandra lagi saat tak kunjung mendapat penjelasan dari Neina. “Tidak. Tidak ada apa-apa. Yang penting saat ini nenek dapat penanganan cepat,” ujarnya untuk mengalihkan perhatian. Ia belum siap berkata sejujurnya dalam situasi yang bahkan ia sendiri pun tak tahu kebenaran yang terjadi atas kematian kedua orang tuanya dulu. Keandra tak menuntut lebih jauh Meski ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Neina darinya. Mereka menunggu sang nenek di ruang gawat darurat. Membiarkan petugas medis memberikan penanganan pada sang nenek di dalam sana. Lorong rumah sakit itu terasa terlalu sunyi, hanya terdengar langkah kaki dokter yang perlahan keluar dari ruang ICU. Neina yang sejak tadi mondar-mandir langsung menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang, jantungnya berdegup lebih cepat

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 194. Syok yang Mematikan

    Sirine darurat portabel memekik nyaring, suaranya yang melengking tajam menusuk udara senja Kota Jakarta yang padat. Cahaya strobo merah-biru memantul liar di kaca-kaca mobil yang mulai bergerak ke tepi, memberi jalur bagi mobil hitam yang melaju cepat, seolah dikejar waktu yang kejam.Pak Wawan, dengan rahang mengeras dan fokus penuh, menekan pedal gas. Jalanan yang mulai dipenuhi kemacetan jam pulang kantor terasa seperti labirin yang tak berujung. Setiap detik yang hilang adalah beban yang memberatkan dada.Di kursi belakang, suasana jauh lebih mencekam.Bu Lela terbaring lemah, wajahnya pucat pasi, hanya sedikit warna yang kembali berkat aliran oksigen dari tabung portabel yang mendesis pelan. Dokter yang duduk di sisinya memasang ekspresi tegang, matanya tak lepas dari monitor kecil yang menunjukkan detak jantung yang naik turun tak stabil.Di seberang, Neina menggenggam erat tangan neneknya yang terasa dingin dan keriput. Air mata jatuh berderai, membasahi punggung tangan itu,

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 193. Syok yang Mematikan

    “Paksa saja, Pak! Nenek di dalam!” pinta Neina, ia sedang panik sebab sang nenek yang biasa menyambutnya tak kunjung membuka pintunya. Pak Wawan mengangguk cepat. Dengan sekuat tenaga, ia mendobrak pintu kayu itu. Satu kali. Dua kali. Pada pukulan ketiga, pintu terhempas terbuka, membuat debu berhamburan.Tanpa pikir panjang, Neina langsung berlari ke arah halaman belakang. Nafasnya terengah-engah, langkah kakinya terasa berat seakan bumi ikut menahan. Begitu tiba, matanya langsung menangkap sosok neneknya—Sang nenek—terkulai di atas kursi rotan, tubuhnya jatuh miring seakan kehilangan tenaga. Sang bibi panik berusaha mengguncang dan menepuk-nepuk pipinya.“Bu… bangun, Bu… Ya Allah, jangan begini,” suara bibi bergetar, hampir menangis. Ia masih berusaha membangunkan tuannya. “Nenek!” pekik Neina, nyaris histeris. Ia segera berjongkok di sisi tubuh renta itu, menggenggam tangan Bu Lela yang terasa dingin. “Nek, dengar suara Neina… ini aku… Neina datang, Nek. Ayo, bangun!” Neina be

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 192. Pesan Bukti Lama

    Ruang tamu rumah Daniswara masih diliputi keheningan. Angin sore masuk dari jendela besar yang terbuka separuh, membawa aroma bunga kamboja yang tumbuh di halaman. Lampu gantung tua berayun pelan karena hembusan udara, menambah kesan sendu pada suasana.Neina menatap wajah pria tua di depannya dengan penuh tanda tanya. Hatinya berdebar keras. Pertanyaan tentang orang tuanya masih menggantung di udara, menuntut jawaban.Daniswara menghela napas panjang. Ia kembali bersandar di kursi kayu berukir itu, berusaha menenangkan wajahnya. Senyum hangat perlahan ditarik di bibirnya, senyum yang terlihat begitu meyakinkan.“Neina,” suaranya lembut, nyaris seperti bisikan seorang kakek yang penuh kasih, “Kakek tidak mengenal kedua orang tuamu.” Kalimat pernyataan yang Daniswara atakan itu memang benar. Ia tidak mengenal kedua orang tua Neina sebenarnya. Bisa dikatakan, jika pria itu berkata jujur pada Neina. Neina menatapnya tajam, matanya bergetar. Penuh selidik. Rasa ingin tahunya begitu besar

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 191. Mencari Kebenaran

    Ruang tengah rumah besar itu terasa dingin meski pendingin ruangan menyala dengan suhu yang pas. Dinding marmer berkilau dipantulkan lampu kristal di langit-langit, menghadirkan kesan megah sekaligus asing bagi Neina. Ia berdiri di sana, memeluk sebuah tas tangan di lengannya, wajahnya terlihat tenang dari luar, tapi dalam dadanya ada gelombang yang tak berhenti berdebur.Di ujung sofa panjang berlapis kulit putih, Olivia bersandar anggun, kakinya disilangkan. Remote control ada di tangannya, sementara matanya terpaku pada layar televisi raksasa yang menampilkan sosok dirinya sendiri. Gaun merah darah, kilatan kamera, tepuk tangan penonton—semuanya seperti bukti nyata betapa Olivia hidup dalam sorotan. Ia tersenyum kecil, puas pada pantulan dirinya di layar itu.Ketika pintu depan berderit terbuka, langkah kaki berat terdengar masuk. Keandra.Pria itu baru pulang. Jasnya sedikit kusut, dasinya longgar, tanda hari itu telah melelahkan. Ia berjalan masuk tanpa banyak suara, namun aura

  • Istri Kedua Sang Presdir   Bab 190. Luka yang Terbuka

    Neina duduk di lantai, memeluk lututnya erat. Laptop sudah ia tutup, tapi bayangan foto-foto itu masih jelas di matanya. Foto Daniswara yang duduk dengan seorang pria asing, foto mobil yang ringsek, headline koran dengan nama ayah dan ibunya—semua seolah melekat di retina, tak bisa ia usir.Air matanya sudah berhenti, tapi dadanya masih terasa sesak. Tatapannya kosong, menembus pada bayangan masa lalu yang penuh luka baginya. Tiba-tiba pintu kamarnya berderit. Neina menoleh cepat, panik, takut seseorang melihatnya dalam keadaan ini.“Non Neina?” suara lembut itu lagi. Bibi Raras muncul sambil membawa nampan berisi secangkir teh hangat. “Saya tahu Nona bilang tidak lapar, tapi setidaknya minumlah ini. Teh bisa menenangkan.”Neina buru-buru menyeka wajahnya, berusaha tersenyum. “Terima kasih, Bu… Maaf, aku merepotkan.” Ia memaksa senyum, di balik kedua mata yang memerah akibat menangis. “Tidak ada kata repot untuk saya, Nona.” Bibi Raras meletakkan nampan di meja samping ranjang, lal

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status