"Pak Keandra... Neina?" tanya Felix, mencoba memastikan ia tidak salah dengar.Keandra menyipitkan mata. Suaranya berubah dingin, menusuk tulang. "Kau tuli, Felix? Aku bilang, minta Neina datang menemuiku." Ada nada peringatan dalam suaranya, sebuah ancaman tersirat yang membuat Felix bergidik. Keandra jarang sekali mengeluarkan nada seperti itu, kecuali jika ia benar-benar marah atau terganggu.Felix segera mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan segera panggil dia." Ia berbalik, tergesa-gesa keluar dari ruangan Keandra, meninggalkan suasana berat di belakangnya.Saat Felix keluar dari ruangan Keandra, ia langsung berjalan menuju ruangan Neina. Wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk antara keterkejutan dan kekhawatiran."Neina," panggil Felix, suaranya sedikit lebih keras dari biasanya.Ketukan Felix di pintu Neina terdina halus, nyaris tenggelam dalam riuhnya suara pendingin ruangan. Namun, Neina, yang sedang berkutat dengan tumpukan dokumen di mejanya, segera mengangkat kepala. Waj
Suasana kantor masih sepi, hanya ada suara ketukan jari Neina di keyboard dan desiran AC. Felix pamit untuk menyiapkan beberapa dokumen di ruangannya sendiri. Sepeninggal Felix, Neina meraih ponselnya lagi. Ia masih penasaran dengan pengirim pesan misterius tiba-tiba itu padanya. Jemarinya menelusuri pesan misterius itu, mencoba menemukan petunjuk, namun nihil. Ia merasa sama sekali tidak mengenal nomor ponsel yang mengirimkan pesan untuknya tersebut. Pintu kantor Keandra, yang berada tepat di seberang ruangan Neina, masih tertutup rapat. Keandra belum juga datang. Neina merasa sedikit lega. Ia tidak yakin bisa menghadapi Keandra pagi ini, terutama setelah kejadian yang semalam mereka lalui. “Rileks Neina. Kamu harus yakin jika dia tidak mengingat kejadian semalam.” Berulang kali Neina meyakinkan diri. Agar mampu berkonsentrasi dalam menghadapi hari yang akan terasa sangat panjang baginya. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan mengecek email dan membalas beberapa pesan pentin
Pintu kaca ruang kerja Neina terbuka mendadak, menghasilkan decitan pelan yang memecah kesunyian pagi. Neina, yang sejak tadi tenggelam dalam kebingungan akibat pesan misterius di ponselnya itu pun tersentak.Pandangannya beralih dari layar yang menyala ke siluet seseorang di ambang pintu. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena terkejut, melainkan karena gejolak tak menentu yang sudah bercokol di benaknya sejak subuh."Kamu sudah di sini, Neina? Pagi sekali." Suara familiar itu terdengar, sedikit serak khas orang yang baru bangun tidur, namun tetap tegas. Felix, asisten pribadi Keandra, atasannya, melangkah masuk. Rambut cokelat gelapnya sedikit acak-acakan, kemejanya belum sepenuhnya rapi, menandakan ia juga terburu-buru datang. Aroma kopi hitam samar-samar tercium dari tubuhnya.Neina memaksakan seulas senyum tipis. "Ah, Pak Felix. Ya, aku hanya ingin memastikan jadwal Pak Keandra hari ini sudah rapi atau belum. Ada beberapa hal yang perlu dicek ulang." Tangannya tanpa sad
"Baiklah," ucap Keandra akhirnya, nadanya datar. Ia beranjak dari kursi, meninggalkan Bibi Raras yang masih berdiri cemas. "Siapkan sarapan untukku. Dan, tolong jangan beritahu Neina bahwa aku menanyakan hal ini." Bibi Raras mengangguk patuh, merasa sedikit lega karena Keandra tidak bertanya lebih jauh. "Baik, Den."Keandra berjalan kembali ke kamarnya, pikirannya dipenuhi Neina. Ada perasaan aneh yang menjalari dadanya. Rasa terima kasih? Mungkin. Rasa bersalah karena telah membuat Neina repot? Bisa jadi. Rasa kesal? Sangat mungkin.Tapi yang jelas, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang ia tidak tahu persis apa. Ia harus memastikan sendiri. Ia harus berbicara dengan Neina. Dan tidak akan lagi membiarkan wanita itu berbuat di luar batasan. Keandra tak akan suka disentuh. Siapapun. Selain Olivia, istrinya. Di dalam kamar miliknya. Ia segera mencari keberadaan ponsel miliknya. Nomor pertama yang iia carai adalah nomor Olivia-istrinya. Ia menunggu kabar Olivia dengan harapan bes
"Aku pergi dulu, Bu!" Neina berteriak dari ambang pintu, suaranya sedikit terburu-buru. Ia tak ingin berlama-lama di rumah, apalagi sampai berpapasan dengan Keandra. Sarapan yang disediakan oleh Bibi Raras pun baru beberapa suap masuk ke mulutnya. Pagi ini, rasanya canggung sekali membayangkan harus bertemu mata dengannya setelah kejadian semalam. Ingin segera menghilang dari rumah adalah tujuan utamanya. Bibi Raras, dengan sigap menghampiri, "Jangan buru-buru, Non. Sarapan dulu, nanti masuk angin. Ini belum dihabiskan loh." Wanita paruh baya itu selalu saja penuh perhatian. Neina merasa tenang berada di rumah yang selalu menanamkan permusuhan dengannya. Neina menggeleng, tangannya sudah memegang gagang pintu, "Nggak usah, Bu. Banyak kerjaan di kantor yang harus segera diselesaikan. Nanti telat." Padahal, alasan utamanya adalah menghindari tatapan Keandra. Ia yakin, wajahnya pasti masih memerah mengingat bagaimana ia merawat pria itu semalam. Bahkan ia sangat berharap, Keandra t
Napas Neina tercekat. Udara dingin dini hari seolah ikut membeku dalam paru-parunya. Suara parau itu, pertanyaan singkat itu, "Siapa... kau?"—menggema di benaknya, melumpuhkan setiap sel dalam tubuhnya. Itu adalah suara Keandra, suaminya, yang kini terbaring di bawahnya, mata sayu itu baru saja terbuka, menatapnya dengan tatapan asing.Lalu, secepat kilat, kelopak mata itu kembali menutup. Keandra terlelap lagi, napasnya kembali teratur. Kelegaan yang membanjiri Neina terasa begitu besar hingga hampir membuatnya pingsan. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar. Rasa takut yang begitu mencekam tadi kini berganti dengan rasa mual yang melilit perut.Dengan hati-hati, Neina melepaskan cengkeraman Keandra yang masih melingkar longgar di pinggangnya. Tangan suaminya terasa hangat, kontras dengan dinginnya keringat yang membanjiri tubuh Neina. Ia beringsut mundur, menjauh dari tubuh Keandra, berusaha seminimal mungkin menimbulkan gerakan. Setiap ototnya me