Fahri beranjak akan pergi dan langkahnya terhenti kala mendengar ucapan istrinya. "Mas, apakah kamu nggak mencintaiku lagi?"
Lelaki itu berbalik badan dan tersenyum, "Mas mencintaimu, Nur!" Kamu bohong kan, Mas! Tidak mungkin kamu masih mencintaiku setelah apa yang kamu perbuat padaku hari ini, batin Nuraini mendengus. Dirinya menatap punggung Fahri yang berjalan keluar setelah mengucapkan cinta. Bila dulu kata cinta itu begitu melambungkan Nuraini. Walaupun hidup berdua tanpa anak, bagi wanita berumur dua puluh lima itu tidak masalah. Asal kasih sayang Fahri tidak berkurang maka persoalan lain tidak dia pusingkan. Teringat janji yang dipinta Fahri tadi, Nuraini menghubungi seorang teman. Tidak berapa lama dering panggilan tersambung. "Assalamu'alaikum, Nuraini!" "Wa'alaikumussalam, maaf mengganggu kesibukan kamu Mas Tommy," ucap Nuraini segan. "Nggak apa-apa, hum! Ada apa tumben meneleponku?" Nuraini mentralkan jantungnya yang berdebar, sebenarnya dia tidak ingin lagi berhubungan dengan lelaki yang dipanggil Tommy tadi tapi karena terpaksa tidak ada lagi yang dikenal dan percayainya. "Aini, kamu masih di sana 'kan?" panggilnya lagi karena Nuraini cuma terdiam. "Ah iya, Mas Tommy! Maaf, aku ada perlu," ujarnya tersentak dan sadar dari lamunan. "Apakah terjadi sesuatu?" "Bukan, aku ingin tanya tentang properti yang Mas jual. Apa masih ada untuk ukuran kecil?" "Kamu mau membeli rumah, Aini?" tanya Tommy heran. Walaupun tidak bisa melihat tapi Nuraini yakin kalo lelaki di seberang sana sedang menautkan alisnya. Dia masih ingat betul ekspresi Tommy. "Iya, Mas! Aku mau beli rumah," jawab Nuraini pendek. "Untuk siapa? Bukankah kamu sudah ada rumah?" Nuraini menghela napas, Tommy terlalu banyak bertanya. Itulah yang tidak disukainya, dia khawatir jika keadaan dirinya diketahui lelaki parlente di seberang sana. Dibanding Fahri yang miskin, Tommy termasuk lelaki kaya yang mengandalkan tangan sendiri. Sebagai pengusaha properti yang laris, Tommy banyak digandrungi para wanita. Entah kenapa sampai sekarang dia masih betah menjomblo. "Baiklah, Mas nggak akan bertanya lagi. Jika kamu mau beli rumah, oke mari kita bertemu untuk melihatnya," ucap Tommy akhirnya. Dia tau wanita yang sedang diteleponnya itu sungguh pandai menyimpan rasa dan rahasia. "Nggak perlu, Mas! Aku percaya kok sama pilihan Mas, kalo sudah ada nanti kabari biar uangnya aku transfer," ucap Nuraini menolak halus. Bukannya dia tak ingin bertemu tapi statusnya sekarang sebagai istri tidak bisa berduaan dengan lelaki yang bukan mahram. Nuraini tidak ingin suaminya marah dan menuduhnya selingkuh. "Benar kamu nggak mau lihat langsung rumahnya? Kamu nggak kecewa nanti?" Tekan Tommy lagi. Lelaki itu berusaha membujuk Nuraini agar mau bertemu karena dia sudah memendam kerinduan pada wanita yang pernah disukainya itu. "Benar, Mas! Nanti fotokan aja rumahnya ya! Kalo gitu aku tutup dulu, assalamu'alaikum!" "Aini?" panggil Tommy tapi sambungan keburu dimatikan Nuraini. Lelaki itu menghela napas, memikirkan Nuraini yang sudah berubah banyak. Sementara Nuraini masih memegang ponselnya yang didekap di dada. Dia dengar kalo tadi Tommy memanggilnya tapi Nuraini tidak mau memberi celah pada teman lelakinya itu. Sadar kalo kini dia bukan lagi lajang melainkan sebagai istri dari Fahri Kurniawan. Jauh sebelum mengenal Fahri, Nuraini sudah berteman dengan Tommy. Keseharian mereka yang dekat sudah layaknya seperti kakak dan adik. Tommy yang begitu melindungi Nuraini dari siapapun yang mencoba mengganggunya. "Aini, nggak ada yang jemput?" tanya Tommy begitu membuka kaca mobilnya. Saat itu Nuraini yang baru keluar dari gedung universitas tempatnya menimba ilmu. Menunggu jemputan supir, namun supirnya baru mengabari kalo ayahnya ada urusan mendadak. Mobil Aini sendiri masih dalam perbaikan di bengkel. Nuraini menggeleng setelah Tommy balik bertanya. "Ayo masuk! Mas antar pulang!" Wanita berambut panjang itu hanya mengangguk. Setelah masuk menutup pintu dan kemudian mobil berjalan menuju rumahnya. Dahulu Nuriani memang belum memakai hijab, baru setelah setahun menikah perkenalannya dengan Umi Khadijah memutuskannya untuk menutup aurat. "Tumben Mas bisa jemput aku?" tanya Nuraini melirik Tommy yang ceria seperti biasa. "Soalnya hari ini Mas nggak sibuk dan hati merasa kok pengen jemput kamu. Ya sudah Mas arahkan ke kampus ternyata kebetulan kamu lagi menunggu jemputan," ujarnya tertawa. "Sudah rezeki, Mas!" Nuraini pun ikut tertawa. Begitulah keakraban mereka dulu sampai Nuraini terkejut Tommy mengutarakan perasaannya. Tidak menyangka kalo lelaki itu punya perasaan khusus padanya. Sedangkan dia sendiri sudah mengganggap Tommy sebagai sahabat sekaligus kakak. Nuraini tidak bisa menyambut rasa cinta yang diungkapkan Tommy. Karena tanpa sepengetahuannya, diam-diam Nuraini menjalin kasih dengan Fahri. Fahri sendiri teman satu kampus yang berbeda level. Nuraini jatuh hati atas sikap Fahri yang perhatian padanya. Sering bertemu setiap hari membuat benih-benih cinta tumbuh di hatinya. Hati Tommy hancur kala menerima undangan pernikahan Nuraini. Diremasnya kartu di tangannya sampai hancur seperti dirinya yang hancur berkeping-keping. 'Mas nggak nyangka, Aini. Kebersamaan kita selama ini hanya kamu anggap biasa. Tidak ada rasa itu sedikitpun di hatimu, aku sungguh bodoh. Bahkan aku sudah menolak pinangan seorang kenalan ibu hanya demi mendapatkan hatimu,' rintih Tommy menatap undangan yang sudah jatuh ke lantai. Menatap sedih foto nikah Nuraini dengan lelaki lain. Andai yang disitu itu dia pasti bahagia tak terkira. Akan tetapi, takdir berkata lain Tommy hanya bisa pasrah menerima semuanya. Selesai menelepon, Nuraini melirik jam sudah waktunya memasak untuk makan malam. Di rumah besar ini Aini memang melakukan sendiri tugasnya karena dia paham melayani suami pahalanya seperti berjihad di medan perang. Dia turun ke lantai bawah, tak terlihat suami dan madunya. Aini cuma menggeleng, masih satu rumah saja Fahri selalu bersama Melisa. Bagaimana bila sudah pisah rumah pasti dia jarang bertemu suaminya. Nuraini tidak mau terlalu pusing, gegas dia membuka kulkas untuk melihat bahan masakan. Diambilnya lalu segera memotong dan mencacah bumbunya. Tidak lama aroma sedap menguar dari dapur. "Mas!" panggil Nuraini mengetuk pintu kamarnya. Pintu itu terbuka dan muncul Fahri yang terlihat kusut seperti baru bangun tidur. Di ranjang, Nuraini melihat Melisa sedang tidur dengan tubuh polos hanya ditutup selimut. "Ada apa?" "Makan dulu, aku sudah siap masak. Mas sudah sholat belum?" tanya Nuraini lembut. Fahri menggeleng. "Sepertinya sejak bersama Melisa, Mas sudah malas sholat ya! Jangan ditinggal Mas, dosa besar nanti." Mendengar nasehat istri pertamanya membuat Fahri seperti tertampar. Ya diakuinya sejak bersama Melisa, dia malas untuk sholat. Istri keduanya itu kerap menempel seperti lem. Kuat dan tidak bisa lepas. Melisa juga manja dan kerap menyuruh Fahri ini itu. Nuraini meninggalkan kamar itu setelah berpesan agar Melisa dibangunkan. Sekalian mengajak madunya itu untuk sholat. Menunggu suaminya untuk sholat bersama tapi hingga setengah jam belum muncul juga akhirnya dia sholat sendiri. Dalam sujud, wanita itu banyak menumpahkan air mata agar Yang Kuasa memberinya selalu kekuatan dan kesabaran dalam menjalani rumah tangganya. "Ya Allah, ampuni hamba bila masih banyak kekurangan sebagai istri. Hamba sudah melakukan semampunya tapi Engkau beri hamba ujian dengan hadirnya orang ketiga diantara kami. Ya Allah, jika suami hamba adalah jodoh terbaik maka dekatkanlah. Beri hamba jalan keluar tapi jika suami hamba bukan jodoh yang baik, jauhkan kami dan beri pengganti yang lebih baik. Aamiin."Selesai sholat, Nuraini turun menuju meja makan di mana hidangan yang dimasak tadi ia letakkan. Namun, dirinya kaget mendapati Fahri dan Melissa sedang makan. Dia merasa sedih suaminya tidak mengajaknya makan bersama. Melihat Nuraini muncul, Fahri segera menoleh. Tanpa rasa bersalah berucap dengan entengnya. "Makan, Nur!" "Iya, Mas! Kenapa nggak menungguku tadi?" tanya Nuraini dengan senyum. "Melisa katanya sudah lapar jadi kami makan duluan," ucap Fahri menyikut Melisa yang masih asyik makan. Melisa cuma mengangguk dan meneruskan makannya. Nuraini hanya tersenyum miris melihat madunya seperti orang kelaparan. Diambilnya nasi lalu melihat lauk yang tinggal sedikit, wanita itu menghela napas. "Maaf, Mbak! Lauknya tinggal sedikit abisnya masakan Mbak enak, kalo kurang nanti Mbak bisa masak lagi," celetuk Melisa seenaknya. Nuraini mendengus menatap Melisa, dipikirnya masak itu tidak lelah apa. Akhirnya terpaksa dia makan dengan lauk yang tinggal sedikit itu. Fahri juga terlihat ac
Ponsel kembali bergetar menyentak lamunan Nuraini. Masuk pesan dari Tommy yang mengirim foto sertifikat lengkap dengan namanya. [Aini, sebenarnya rumah itu untuk siapa?] "Maaf Mas Tommy, kalo bisa antarkan kunci rumah dengan sertifikatnya hari ini?" balas Nuraini beralih telepon tanpa menjawab pertanyaan Tommy. Di seberang sana lelaki itu menghela napas, Nuraini mendengarnya karena ponsel begitu dekat di bibir. Maafkan aku Mas Tommy tidak bisa memberitahumu yang sebenarnya, batinnya sendu. "Baiklah, kalo itu maumu. Sebentar lagi akan Mas kirim."Nuraini menghentikan obrolan setelah mengucapkan terima kasih. Benar saja tak butuh lama dua puluh menit kemudian seorang kurir berteriak dari luar. "Paket!" Gegas Nuraini turun setelah memakai hijabnya, saat kakinya baru saja menapak di bawah pintu kamar terbuka. Fahri dan Melisa yang keluar dari kamar juga mendengar teriakan paket. "Kamu ada pesan barang, Nur?" tanya Fahri yang melihat istri pertamanya itu buru-buru ke depan. "Iya,
Tok, tok, tok! Nuraini terkejut ada yang mengetuk jendela mobilnya. Gegas dihapus air matanya dan membuka kacanya, terlihat seraut wajah lelaki dengan rahang mengetat. "Aini, kamu berhutang penjelasan pada Mas!" ujar lelaki itu yang tak lain adalah Tommy. "Mas Tommy?" "Ya, kamu harus jelaskan apa yang terjadi. Mas sudah melihat sendiri. Kamu beli rumah untuk Fahri, lalu siapa wanita itu?" Nuraini menghela napas, tidak mungkin lagi ditutupi semua kalo Tommy sudah tau. Dia merasa malu dengan keadaannya, pasti lelaki itu akan mencemoh dirinya yang tidak becus mengurus suami. "Aini?" panggil Tommy lagi karena dilihat wanita di depannya jadi melamun. "Jangan di sini, Mas! Kita cari tempat lain aja, di cafe misalnya. Aku akan jalan duluan, Mas naik mobil sendiri aja," ucap Nuraini akhirnya mengalah. "Baiklah, Mas ikuti mobil kamu dari belakang. Tapi kamu nggak apa-apa 'kan menyetir?" tanya Tommy cemas. Nuraini menggeleng dan tersenyum. Nuraini melesatkan roda empat itu dengan stabi
Ponsel berdering, Nuraini mengambil dari dalam tas kecil. Membuka layarnya ada notifikasi pesan masuk lewat aplikasi gagang hijau. Dari Mas Fahri, gumamnya pelan. Nuraini mengerutkan alisnya setelah membaca pesan itu. [Nur, Mas nggak nyangka kalo kamu mengusir Mas karena sudah punya lelaki lain. Kamu selingkuh ternyata, Mas kecewa sama kamu] ditambah emot sedih. Lekas Nuraini membalas pesan suaminya yang telah salah paham. [Mas, kamu salah. Aku nggak selingkuh, lelaki tadi itu adalah pemilik rumah yang aku beli dan dia datang untuk menagih pembayaran] Nuraini terpaksa berbohong tentang siapa Tommy. Dia tidak mau melibatkan lelaki parlente itu dengan masalah rumah tangganya dan Fahri tidak perlu tau juga siapa Tommy. Wanita berhijab itu meletakkan ponselnya di meja. Tommy yang sedari tadi memperhatikan menjadi penasaran siapa yang sudah mengirim pesan hingga membuat wanita di depannya itu mengerutkan alisnya. "Dari Mas Fahri," ucap Nuraini sebelum Tommy sempat bertanya. "Apa ka
"Ada yang mengirim pada Papa foto Fahri sedang memeluk wanita di sebuah pusat perbelanjaan. Katakan, apa benar ini Fahri?" Degh! Hati Nuraini mencelos saat Bram menunjukkan beberapa foto di ponselnya. Ranti juga terhenyak dari duduknya begitu matanya menatap foto menantunya itu. "Nak, ini benar Fahri suamimu?" tanya Ranti berusaha sabar. Wanita yang sudah berumur empat puluh lima tahun itu tidak mau marah sebelum pasti tau yang sebenarnya. Nuraini hanya menunduk, haruskah dia mengatakan yang sejujurnya. Ingin disangkal pun foto itu sangat terlihat jelas, pelukan mesra mereka yang dua hari ini selalu diperlihatkan di depannya. "Kenapa diam? Benar ini Fahri 'kan?" Bram kembali bertanya dengan tegas. Lelaki yang masih nampak gagah itu begitu tidak menyukai pengkhianatan. "Katakan saja, Nak! Kami nggak akan menyalahkanmu," hibur Ranti setelah mendengar isakan Nuraini. Bram mendengkus, dia sudah menduga tanpa Nuraini menjawab dengan isakan saja itu artinya memang putrinya sedang meng
"Mama dan Papaku datang, mereka menanyakan Mas tapi aku bilang Mas lagi keluar kota," ucap Nuraini dibuat secemas mungkin agar Fahri tidak curiga. 'Degh! Bagaimana ini kalo mertuaku sampai tau aku menikah lagi. Pasti mereka akan mendepakku,' batin Fahri galau. "Mas, bagaimana bisa sekarang kamu pulang? Tapi jangan bawa Melisa," ucap Nuraini lirih. "Ehm, Mas nggak mungkin meninggalkan Melisa sendiri, Nur!" Nuraini menghela napas, dia sudah tau suaminya tidak bakal mau meninggalkan istri keduanya itu. Ranti dan Bram yang mendengarkan pun merasa geram. Sengaja Nuraini menelepon depan orang tuanya dengan mengaktifkan loudspeaker. "Ya sudah kalo kamu nggak mau, Mas! Aku akan bilang pada orang tuaku kalo kamu menikah lagi. Siap-siap aja menerima gugatan cerai," sergah Nuraini. "Jangan, Nur! Tolong beri Mas kesempatan, jangan bilang pada Papa dan Mama. Mas akan bujuk Melisa biar sementara dia tinggal sendiri dulu," pinta Fahri terdengar memelas. "Apa, Mas! Kamu mau meninggalkan aku?"
Tapi segera dicegat Fahri, "Apa, mereka di sini seminggu?" "Iya, soalnya orang tuaku super sibuk dan jarang ada waktu. Jadi, saat ini mereka sedang berlibur makanya menginap di sini. Kenapa, nggak rela pisah lama-lama dengan Melisa?" "Bukan, tapi kasihan kalo dia tinggal sendiri apalagi sedang hamil," keluh Fahri kacau. Sudah seperti ini pun kamu tetap tidak bisa berpaling dari Melisa, Mas. Kalo aku mau sekarang bisa saja mendepakmu tapi kalo semudah itu kamu pasti senang. Kamu harus merasakan penderitaan dulu seperti yang kurasakan, batin Nuraini mendengkus. Wanita muda itu membiarkan Fahri termenung di kamar lalu melangkah keluar. Hatinya sakit setiap kali dari mulut suaminya keluar tentang Melisa. Seolah-olah wanita perebut itu lebih penting dari dirinya. "Bagaimana Fahri?" tanya Ranti pelan setelah duduk di samping ibunya. "Dia terkejut saat Aini bilang Mama dan Papa mau menginap selama seminggu. Bukan itu aja, Mas Fahri malah mencemaskan Melisa di sana padahal kita tau oran
[Mas, kamu ngapain sih! Kenapa nggak angkat teleponku?] [Kok cuma dibaca aja] Kembali pesan masuk tapi cuma Nuraini baca saja. [Mas pasti lagi bersenang-senang dengan Nur 'kan. Jangan bilang Mas menyentuh dia] ditambah emot merajuk. Nuraini yang tergelitik pun ingin mengerjai Melisa. Dia berpura-pura menjadi Fahri. Gegas diketiknya balasan sebelum suaminya terbangun. [Iya, memangnya kenapa Mas menyentuh Nur? Dia masih istri Mas, kami baru saja memadu kasih. Mas sangat puas karena malam ini Nur begitu cantik dan menggairahkan] Nuraini cekikan saat mengetik pesan tersebut. Membayangkan Melisa pasti kepanasan di sana, wanita itu begitu senang sambil melirik Fahri yang terlelap. [Mas pasti bohong! Mas sudah janji nggak akan menyentuh Nur lagi sejak aku hamil] [Kalo nggak percaya, Mas akan kirim fotonya] Tidak lama foto Nuraini kirim setelah tanda silang biru berarti sudah dilihat Melisa. Cepat Nuraini hapus kembali agar Fahri tidak curiga. Benar saja ponsel berdering, Melisa memang