Selesai sholat, Nuraini turun menuju meja makan di mana hidangan yang dimasak tadi ia letakkan. Namun, dirinya kaget mendapati Fahri dan Melissa sedang makan. Dia merasa sedih suaminya tidak mengajaknya makan bersama.
Melihat Nuraini muncul, Fahri segera menoleh. Tanpa rasa bersalah berucap dengan entengnya. "Makan, Nur!" "Iya, Mas! Kenapa nggak menungguku tadi?" tanya Nuraini dengan senyum. "Melisa katanya sudah lapar jadi kami makan duluan," ucap Fahri menyikut Melisa yang masih asyik makan. Melisa cuma mengangguk dan meneruskan makannya. Nuraini hanya tersenyum miris melihat madunya seperti orang kelaparan. Diambilnya nasi lalu melihat lauk yang tinggal sedikit, wanita itu menghela napas. "Maaf, Mbak! Lauknya tinggal sedikit abisnya masakan Mbak enak, kalo kurang nanti Mbak bisa masak lagi," celetuk Melisa seenaknya. Nuraini mendengus menatap Melisa, dipikirnya masak itu tidak lelah apa. Akhirnya terpaksa dia makan dengan lauk yang tinggal sedikit itu. Fahri juga terlihat acuh dan makan dengan lahap. Pasti tenaga mereka terkuras habis karena seharian asyik memadu kasih terus. Lama-lama Nuraini jengah dan ingin segera mendepak madunya dari rumah. Bunyi sendawa keluar dari mulut Melisa menandakan ia telah kenyang. Namun, rasanya tidak sopan bila berbunyi di depan orang. Melisa tidak peduli hal itu, baginya asal perut kenyang maka hati pun senang. "Mas, aku udah kenyang!" ujar Melisa bangun dari duduknya. "Mau kemana?" tanya Nuraini merasa heran. Sehabis makan madunya bukan membereskan malah langsung pergi. "Mau duduk di depan, Mbak! Masa' iya di sini terus lihat Mbak makan," jawabnya."Tolong taruh piring kotor bekas makan kamu di westafel. Boleh juga sekalian dicuci," pinta Nuraini. "Aku 'kan sedang hamil, Mbak! Nggak boleh capek," kilahnya menolak. "Hanya melakukan ringan seperti itu nggak capek, kalo nggak mau nyuci seenggaknya bereskan dan taruh di westafel," tekan Nuraini tetap menyuruh Melisa. Kali ini dia tidak mau terlalu lemah agar madunya tau dia siapa. "Mas!" rengek Melisa pada Fahri yang baru aja siap makan. "Ya sudah, kamu ke depan aja biar Mas yang nyuci nanti," ucap Fahri membela Melisa yang melangkah pergi dengan senang. Nuraini terdiam dengan perlakuan suaminya, mulai sekarang dia akan membiasakan dulu. Nanti setelah tiba saatnya dia akan memberi pelajaran untuk keduanya. "Mas, kamu terlalu memanjakan Melisa. Dia akan semakin malas dan menyuruh Mas ini itu," keluh Nuraini yang mengutarakan ketidaksukaan hatinya. "Nggak apa-apa, Melisa sedang hamil jadi sebisanya Mas bantu dan jaga dia. Seharusnya kamu sebagai kakak madu juga membantunya, membereskan dan mencuci piring kamu kan bisa kenapa menyuruh Melisa lagi." "Selama ini Mas juga nggak pernah begitu padaku tapi dengan senang hati aku melakukan semua. Hanya untuk mendapat ridho kamu Mas, tapi aku nggak ikhlas kalo Melisa seperti ini," lanjut Nuraini sedih. "Sudahlah, Mas juga nggak repot. Jadi, jangan samakan dirimu dengan Melisa. Dia sedang mengandung anak Mas dan sudah tiga tahun kamu pun belum hamil." Perkataan Fahri barusan seperti menyayat hati Nuraini dengan pisau, sungguh perih. Bukan kemauannya bila belum hamil. tapi semua juga tak lepas dari peran Fahri yang tidak mau bekerjasama. Suaminya seakan lupa siapa yang sebenarnya tidak ingin memiliki anak. Dalam diam Nuraini hanya menatap punggung Fahri yang sedang mencuci piring kotor bekas mereka. Sedangkan di depannya masih teronggok tanpa disentuh. Menunjukkan Fahri enggan mengurus dirinya lagi. "Mas, mulai besok Melisa sudah bisa tinggal di rumah barunya. Sebaiknya Mas juga berkemas," ucap Nuraini beranjak pergi setelah meletakkan piring kotornya di meja dapur. Biarlah kalo tidak dicuci Fahri, bisa dia cuci sendiri nanti. "Maksud kamu apa Nur menyuruh Mas berkemas?" tanya Fahri tidak mengerti. Nuraini menghela napas, suaminya tidak tau atau pura-pura. "Bukankah Mas bilang ingin menjaga Melisa dan aku lihat Mas selalu lengket padanya sepanjang hari. Jadi sebaiknya Mas tinggal dengannya saja." Usai mengucapkan itu, Nuraini melengos pergi menuju kamar. Dikunci pintunya lalu mengambil koper dan membereskan semua pakaian Fahri. Cukup sampai di sini aja dia bersabar, kalo suaminya ingin selalu bersama madunya maka dia ijinkan. Dengan begitu hatinya tidak terlalu sakit terus menerus melihat perlakuan yang tidak adil itu. "Nur, buka pintunya!" panggil Fahri dari luar. Wanita berhijab itu menyeret koper lalu membuka pintu. Fahri melongo melihat koper di depannya. Tanpa ijin, istri pertamanya sudah berniat mengusirnya. Lelaki itu khawatir setelah dia tinggal bersama Melisa maka Nuraini akan menggugat cerai. "Nur, Mas bisa jelaskan tapi bukan seperti ini. Mas akan bagi waktu dalam seminggu untukmu dan Melisa," bujuk Fahri meraih tangannya. "Sudahlah, Mas! Nggak perlu dijelaskan, aku ngerti kok! Tinggallah dengan Melisa dengan nyaman, aku nggak apa-apa sendirian di sini," ucap Nuraini mencoba tersenyum. "Baiklah, tapi janji kamu nggak akan memberitau orang tua kita soal ini," mohon Fahri memelas. Nuraini mengangguk, baginya kekhawatiran Fahri hanya sebuah alasan agar kedok busuk mereka tidak ketahuan. Tapi, Nuraini sudah mengetahui semuanya dan pelan-pelan dia ingin menyingkirkan Melisa. Usai Nuraini menutup pintu, Fahri turun dengan membawa kopernya. Diantara senang dan sedikit sedih dia berjalan menuju kamar di mana Melisa berada. Istri keduanya itu terkejut Fahri masuk dengan kopernya. "Loh, kenapa Mas? Mbak Nur mengusir Mas?" Fahri menggeleng lesu. "Bukan, Nur bilang besok kamu sudah bisa menempati rumah baru jadi menyuruh Mas tinggal denganmu." "Mas nggak senang tinggal denganku? Kok masam begitu wajahnya?" "Mas hanya takut setelah Mas pergi dari rumah ini, Nuraini akan menggugat cerai," alibi Fahri. "Biar aja kalo Mbak Nur minta cerai, yang penting kita sudah punya rumah, anak ini juga pekerjaan Mas yang mapan itu," kilahnya tak mengerti dengan pemikiran suaminya. "Sudahlah, kalo Mas nggak senang Mas tinggalkan aja aku. Anak ini biar aku gugurkan," ucap Melisa lagi merajuk. "Jangan, iya Mas akan tinggal denganmu, Sayang!" goda Fahri merayu Melisa dengan menggelitik pinggangnya. Kedua insan itu pun masih tertawa bahagia, sementara di kamar atas hati Nuraini gundah gulana. Benarkah keputusan yang diambilnya tadi? Mengijinkan suaminya tinggal dengan Melisa sama aja seperti kehilangan ridho. Nuraini tidak akan bisa melayani Fahri seperti biasa. Apa yang dilakukannya nanti kalo suaminya tidak ada di rumah bersamanya? Pasti dia akan kesepian sepanjang hari tapi juga tidak sanggup melihat kemesraan yang dipertontonkan mereka kepadanya. Tiba-tiba ponselnya berdering, masuk notifikasi pesan di gagang hijau. Gegas Nuraini membukanya dan pesan itu dari Tommy yang mengirimkan gambar rumah. Entah suatu kebetulan karena balasan untuk mereka atau memang sudah takdir, foto rumah yang ditawarkan begitu kecil. [Maaf, Aini! Cuma rumah ini yang tersisa dan paling kecil tapi tenang aja untuk kamu Mas kasih gratis] pesan dari Tommy. [Nggak apa-apa, Mas! Aku akan tetap bayar biarpun kecil, katakan harganya biar aku transfer sekarang] balas Nuraini. [Nggak usah, Mas ikhlas! Mas juga sudah membuat sertifikat atas namamu sekalian. Anggap aja itu hadiah dari Mas untuk ulang tahun pernikahanmu dengan Fahri] Membaca itu perasaan Nuriani sedih, sebenarnya besok adalah aniversari ke tiga rumah tangganya. Dia yakin Fahri pasti tidak ingat karena Melisa sudah menguasai semua hati dan pikiran suaminya. Kenapa Tommy yang hanya sahabat dan kakak baginya ingat aniversari mereka, sedangkan suaminya malah lupa. Kembali Nuraini menghembus napas yang tiap tarikan kini terasa berat. Ponsel kembali bergetar menyentak lamunan Nuraini. Masuk pesan dari Tommy yang mengirim foto sertifikat lengkap dengan namanya. [Aini, sebenarnya rumah itu untuk siapa?]"Siapa di luar?" panggil Melanie karena mendengar keributan. Lisa menggerutu pada temannya karena aksinya ketahuan. Mau tidak mau dia pun mencoba menjelaskan agar sang bos tidak curiga. Tangan Lisa siap mengetuk pintu, terdengar jawaban dari dalam agar menyuruhnya masuk. Pintu pun terbuka lalu Lisa masuk dan tatkala Fahri melihatnya dia pun terkejut. Wajah lelaki itu berubah pias karena kehadiran sosok Lisa yang sangat tidak asing. Sekilas wanita yang mengenakan rok pendek itu menatap Fahri lalu beralih kepada Melanie. "Maaf, Bu! Tadi saya hanya lewat dan memungut barang yang nggak sengaja terjatuh tapi si Mala malah menuduh yang bukan-bukan," jelas Lisa seraya menunjukkan beberapa sampel pakaian. "Kalo gitu panggil Mala kesini, agar dia nggak salah paham," pinta Melanie setelah mendengarkan penjelasan asal keributan. "Nggak usah, Bu! Saya nggak mau perpanjang masalah, saya sudah memaafkannya. Kalau gitu saya permisi dulu, Bu," tolak Lisa. Dia tidak mungkin memanggil temannya itu
Usai menikah, Fahri diboyong istrinya ke rumah baru mereka. Lelaki itu menghirup udara kebebasan lagi, ibarat baru keluar dari yang namanya penjara kesulitan hidup. Langkah kakinya mantap begitu turun dari mobil. Ya, Melanie memang termasuk golongan berada. Semua fasilitas kemewahan sudah tersedia, kini mereka tinggal menikmati saja. "Gimana dengan rumahnya, Mas?" tanya Melanie setelah mereka masuk ke dalam rumah. Rumah tingkat dua dengan gaya klasik plus furnituer dan barang mahal sangat menarik perhatian Fahri. Pandangannya mengamati setiap sudut dengan berbagai model perabot. Di otaknya sudah terhitung bila barang-barang di dalam rumah dijual sudah ratusan juta hasilnya. "Mas," rengek Melanie karena pertanyaannya tidak dijawab Fahri. Wanita yang baru saja mengecap kebahagiaan itu termasuk sedikit manja tapi pekerja keras. Oleh karena itu hidupnya sukses bergelimang harta. "Eh, ya Sayang. Kamu tanya apa tadi?" gelegap Fahri malu. "Kamu suka rumah ini, Mas?" "Oh, suka banget Sa
Fahri gegas menuju apartemen Melanie begitu sambungan terputus. Dirinya tidak bisa begitu saja mengabaikan wanita yang membutuhkan pertolongan. Dia tidak ingin merasa menyesal lagi setelah kehilangan dua wanita yang pernah hidup bersamanya. "Mel, Melanie ...!" panggil Fahri seraya mengetuk pintu depan apartemen. Lelaki itu mengulang kembali panggilannya karena tidak ada jawaban dari dalam. Dia pun bermaksud mendobrak saja pintu tersebut, untungnya suasana sepi karena sudah hampir tengah malam. Setelah berhasil membuka paksa pintu, Fahri gesit mencari keberadaan Melanie. Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, merasa kalau wanita itu pasti berada di dalam. "Mel, kamu di mana?" Fahri celingukan ke dalam kamar dan tetap tidak menemukan wanita itu. Langkah kakinya pun seperti menyuruh agar lebih ke dalam, namun tiba-tiba dirinya dikejutkan dengan suara pintu tertutup. Lelaki itu berbalik dan ekspresinya sungguh terpana. Melanie tanpa busana sedang berdiri di hada
Fahri terengah-engah setelah berhenti lari demi menghindari mantan istrinya. Sambil mengatur napas, dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Nuraini tidak mengejarnya. Lelaki itu terduduk lesu begitu merasa aman dan tidak lama termenung. Hari ini dia begitu sial, dari pagi menadahkan tangannya di lampu merah tapi tidak ada seorangpun yang berbaik hati memberinya uang. Hatinya sedikit gembira saat mengetuk sebuah kaca mobil yang kemudian terbuka dan lembar biru itu terulur di tangannya. Wajahnya menekuk tatkala mendengar suara wanita di telinganya, dia mendongak dan spontan terkejut begitu tau yang memberi uang adalah mantan istrinya. "Mas Fahri?" Dia pun segera berlari karena malu, namun matanya sempat melirik sekilas ke perut wanita yang pernah dicintainya itu. "Perut kamu sudah besar, Nur. Pasti sudah dekat akan melahirkan. Sayangnya bukan aku yang akan menemanimu dan anak kita nanti, tapi lelaki yang di sampingmu. Lelaki itu?" Fahri berhenti bergumam dan mencoba menginga
Dua hari kemudian, Bram benar-benar sudah membuka matanya. Senyumnya merekah melihat anak dan istri sedang duduk menemaninya. Nuraini yang membaca Alquran pun berhenti setelah tau papanya bangun. Alunan merdu kalam Allah yang membuat Bram tersentak. "Alhamdulillah, papa sudah sadar," ucap Nuraini senang. "Apa yang terjadi pada Papa?" "Papa pingsan terus colabs dan koma, sudah semingguan juga. Akhirnya sekarang bangun, Aini minta maaf udah buat Papa pingsan," ujar Aini sesenggukan. Bram menggeleng, diraihnya tangan anaknya lalu digenggam. "Kamu nggak salah, Nak! Papa yang seharusnya minta maaf. Jujur, Papa malu saat kamu tau kelakuan buruk Papa." Bram beralih menatap Ranti yang sedari tadi diam. Ditatapnya wajah istri yang masih terlihat cantik itu. Senyum tipis tersungging di bibir wanita yang sudah dua puluh tahun lebih di nikahinya. "Mah, Papa minta maaf sudah melukai hatimu. Ternyata Mama sudah tau sejak dulu kalo Papa ada _____" "Sssttt, nggak usah bahas itu lagi Pah! Semua
"Tante ngomong apa, tentu aja ayah kandungku itu adalah Bram. Ibuku sendiri yang bilang, jadi sekarang aku ingin menuntut hakku. Seperti Nur, aku ingin meminta separuh kekayaan ayahku," sembur Melisa percaya diri. Ranti tertawa, "Dengar Melisa, Ayah kandungmu bukanlah Bram! Sama seperti anak yang kamu kandung bukanlah anak Fahri!" gelegar suara Ranti membuat semua orang termasuk Fahri terkejut. "Apa maksudnya, pasti Mama berbohong! Bilang aja kalo Mama nggak ingin jatuh miskin karena Melisa menuntut haknya," desis Fahri tak percaya. Sedangkan Melisa sedikit gemetar takut boroknya terungkap. "Iya, Mas jangan percaya apa yang dibilang Tante. Anak ini tentu aja anak kamu Mas!" sergahnya membantah. Ranti hanya menyeringai dengan sikap keduanya. "Tunggu, Mah sebenarnya ada apa ini? Kenapa Melisa mengaku Papa sebagai ayahnya?" Giliran Nuraini yang bingung. Ranti menggengam tangan anaknya agar tenang dan menyerahkan semua padanya. Selama ini Nuraini hanya tau Papanya berselingkuh denga