Share

Curhat

"Bagaimanapun Nur masih istri, Mas! Hatinya pasti sedih jadi Mas ingin menghiburnya. Mas nggak mau Nur minta cerai karena masih butuh dia. Sampai Mas bisa menguasai semua miliknya baru Mas akan menceraikannya." 

Tanpa mereka ketahui diam-diam Nuraini mendengarkan pembicaraan mereka di balik pintu. Awalnya dia tidak sengaja karena ingin melihat keadaan adik madunya tapi tak disangka mendapat pengakuan mengejutkan. 

Nuraini menutup mulutnya yang kaget dengan perkataan suaminya. Benarkah yang dikatakan Fahri, kenapa harus membohonginya. Tak cukupkah luka yang digores karena pengkhianatan. Kini harus ditambah harta miliknya yang ingin direbut. 

Nuraini masih terpekur di depan pintu, sampai kemudian terdengar tawa cekikan Melisa diiringi lenguhan keduanya di dalam kamar membuatnya tersadar dan jijik. Menatap pintu dengan nyalang dan penuh amarah. 

Wanita cantik berhijab coklat itupun berlalu dengan perasaan hancur. Dalam satu hari ini sudah berapa kali dia mendapat kejutan dari suaminya. Harapannya untuk mendapat ridho suami pun pupus, kini tinggal satu jalan. 

Gegas Nuraini memasuki kamar lalu mengunci pintunya agar Fahri tidak menyelonong masuk lagi seperti tadi. Disambar ponselnya yang ada di meja rias, lalu menuju balkon untuk menelepon. 

Nuraini ingin mendapat jawaban dari keputusan hatinya. Setelah dicari nomor yang dituju dan menekan tombol panggilan, terdengar nada sambung di seberang sana. 

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapa lembut suara wanita. 

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, maaf mengganggu Umi Khadijah," jawab Nuraini segan. 

"Nggak apa-apa, Sayang! Gimana kabar kamu, Nuraini?" tanyanya balik. 

"Alhamdulillah baik! Umi, Aini mau meminta solusi atas masalah rumah tangga yang rumit ini. Aini bingung harus bagaimana mengambil keputusan." 

"Apa kamu sudah minta petunjuk Allah? Sholat istikharah, pinta semua padaNYA karena Dia yang akan memberi jalan keluarnya. Jangan ceritakan masalah rumah tanggamu pada orang lain karena itu aib. Kecuali dia memang bisa dipercayai untuk menjaga amanah." 

Nuraini begitu takzim mendengar nasehat Umi Khadijah. Selama ini ustazah itulah tempat dia bertanya tentang berbagai hal kehidupan hingga sedikit banyak membawa pengaruh yang baik padanya. 

"Aini belum melaksanakan sholat istikharah, Umi. Sekarang ingin mendengar solusi dari Umi dulu agar hati Aini nggak bimbang." 

"Aini percaya dengan Umi? Dengan cerita pada Umi berarti Aini menaruh kepercayaan pada Umi untuk memegang amanah." 

"Insya Allah, Umi. Aini percaya sebab belum cerita pada orang tua juga jadi baru Umi yang pertama." 

Kemudian mengalirlah cerita dari bibir Nuraini mulai dari suaminya yang pulang membawa Melisa hingga pembicaraan mereka di kamar tadi. Terdengar Umi Khadijah menghela napas berulang kali dan beristigfar. 

"Begitulah Umi, awalnya Nurani ikhlas bila dimadu dan berusaha menerima keadaan ini tapi ternyata Mas Fahri sudah terlalu jauh. Dia bahkan ingin menghancurkan Aini, apakah Aini mesti menerima semua ini atau berpisah?" isak Nuraini. 

"Sabar, Aini! Ingat Allah itu nggak tidur pasti Dia melihat semua perbuatan hambanya. Menurut Umi tinggal terpisah sudah bagus agar bisa terhindar dari hal buruk seperti mendengar pembicaraan itu. 

Tapi kalo keputusanmu ingin berpisah dari suamimu coba bicarakan pada orang tua masing-masing. Kumpulkan mereka semua agar bisa melakukan mediasi, saran Umi jangan gegabah ambil keputusan. Bisa aja saat ini suami kamu dalam pengaruh buruk istri keduanya," jelas  Ustazah Khadijah panjang lebar. 

"Iya, Umi. Insya Allah, Aini akan jalankan seperti saran Umi. Makasih banyak Umi nasehatnya." 

"Sama-sama, Aini! Ingat selalu doakan suamimu agar dapat hidayah dan rumah tangga kalian bahagia selamanya." 

Akhirnya sambungan telepon ditutup, Nuraini bisa menghembuskan napas lega. Kini dia sudah tau harus bagaimana, sebelum menelepon tadi di pikirannya sudah terbesit ingin mengusir suami dan istri keduanya dari rumah. 

Nuraini masih ingin mempertahankan rumah tangga dengan semampunya. Apabila segala usaha yang dilakukan tidak berhasil maka langkah terakhir adalah berpisah. 

Langit semakin senja, di ujung sana terlihat semburat merah jingga sudah akan tenggelam. Nuraini melirik jam di dinding kamar, belum ada tanda suaminya menghampiri. Apa dia begitu terlena bersama adik madunya. 

Usai menghela napas diayunkan kakinya menuju kamar mandi. Dia tidak perlu turun ke bawah karena di kamarnya ada sendiri. Baru saja siap berganti pakaian terdengar ketukan di pintu. 

"Nur, boleh Mas masuk?" 

Suara Fahri yang terdengar dari luar memutuskan Nuraini memakai hijab. Walaupun hatinya masih sakit tapi diusahakan untuk berdamai. Dia mengalah bukan berarti kalah juga tidak akan membiarkan suaminya dikuasai istri keduanya. 

"Masuk, Mas!" pinta Nuraini setelah membuka pintu. 

"Ada apa?" tanyanya begitu Fahri baru saja menghempaskan tubuhnya di ranjang. 

"Maaf kalo kebersamaan kita tadi terganggu karena Melisa sakit perut. Sekarang dia sudah baik-baik saja," ucap Fahri tersenyum. 

Bagaimana tidak baik, Mas! Wong kalian saja baru asyik memadu kasih. Aku tau kalo Melisa hanya pura-pura sakit perut, batin Nuraini. 

"Nggak apa-apa, Mas! Lagian dia sedang hamil pasti ingin selalu diperhatikan. Sayangnya aku nggak bisa merasakan anak dalam perutku," keluh Nuraini meraba perutnya dengan sedih. 

Sebagai istri, Nuraini juga ingin seperti wanita lain yang bisa memberi keturunan. Dia ingin anaknya kelak memanggil bunda, panggilan yang penuh kasih sayang. 

Fahri tidak sampai hati melihat kesedihan di wajah istrinya. Jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali membuat wanita itu hamil tapi setiap akan menjamahnya lelaki itu seperti enggan. 

Bukan karena Nuraini tidak cantik, hanya saja wajah yang kusam membuat Fahri jadi kurang bernapsu. Lain dengan Melisa yang selalu berdandan dan rajin ke salon. Melihat penampilannya saja sudah membuat Fahri selalu ingin menerkam. 

Sebenarnya Nuraini bukan tidak berdandan, tapi dia hanya memakai bedak tipis dan pelembab bibir. Apalagi bila keluar rumah, istri pertamanya itu tidak ingin berdandan membuat Fahri sedikit malu jalan dengannya. 

Bagi Nuraini, berdandan hanya di rumah khusus untuk suaminya. Sejak menikah dia selalu menerapkan sunnah dan adab sebagai istri yang diajarkan Ustazah Khadijah. Oleh karena itu, Fahri yang tidak memahami hal itu pun menjadi salah paham. 

"Oh iya, Mas ingin bertanya kapan kamu membeli rumah untuk Melisa?" tanya Fahri yang membuat Nuraini mengerutkan kening. 

Hampir saja dia lupa kalo sudah berjanji akan membelikan madunya itu rumah. Nuraini merasa Melisa sudah tidak sabar ingin menjauhkan Fahri dengannya. 

"Besok aku tanya temanku dulu, Mas. Dia punya properti yang mau dijual, semoga aja ada yang cocok," jawab Nuraini sedikit malas. 

"Oke, Mas akan sampaikan pada Melisa agar bersabar dulu. Soalnya dia ingin mengundang orang tua dan sanak saudaranya di rumah baru," ucap Fahri lagi enteng tanpa memikirkan perasaan istri pertamanya. 

Nuraini menghela napasnya, menatap wajah Fahri. Wanita itu seperti tidak mengenal suaminya lagi, kemana Fahri yang dulu. Lelaki yang tidak pernah menyakitinya sekalipun, tapi sejak memiliki Melisa, Fahri sudah berubah banyak. 

Fahri beranjak akan pergi dan langkahnya terhenti kala mendengar ucapan istrinya. "Mas, apakah kamu nggak mencintaiku lagi?" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, cuman ini isi kepala jau. g masuk akal. cerita sampah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status