"Apa syaratnya?" tanya Fahri tak sabar. Dirinya juga sangat bahagia Nuraini bisa menerima Melisa dan calon anaknya.
Nuraini menatap netra suaminya yang bersinar. Dia tau tidak bisa menolak, keputusan yang diambilnya juga bukan untuk menyenangkan mereka berdua. Tapi semata-mata dilakukan untuk dirinya sendiri. Walaupun dia mencintai suaminya, bisa saja menginginkan sebuah perpisahan. Akan tetapi, wanita cantik itu tau diharamkan surga bagi istri yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang benar. Semua Nuraini lakukan untuk menggapai ridho Tuhannya. Dia sudah mengerti bahwa hanya ada dua jalan bagi istri untuk mencapai surga yaitu ridho suami dan ridho Allah. Ya, Nuraini rela dimadu demi menggapai kedua ridho itu. "Syaratnya, aku ingin tinggal terpisah. Sebaiknya Mas carikan rumah buat Melisa," jawab Nuraini tersenyum. "Memang kenapa Mbak kalo kita tinggal serumah?" tanya Melisa tak mengerti. Melisa terkejut, bagaimana mungkin madunya memiliki pemikiran seperti itu. Dia berharap bisa tinggal di rumah besar dan mewah yang ditempati suaminya ini. "Iya, Nur kenapa mesti tinggal terpisah? Kalo kalian satu rumah kan bisa cepat akur dan kita bisa saling menjaga. Kalo ada apa-apa nggak pusing kesana kemari," protes Fahri juga tak paham. "Mas, tinggal bersama itu nggak baik. Bukankah para istri Rasululullah saw pun tinggal terpisah. Itu untuk mencegah saling benturan dan cemburuan, Mas." "Jadi, Mbak cemburu padaku? Karena aku bisa hamil sedangkan Mbak nggak!" ucap Melisa menyindir. Kembali hati Nuraini tersayat mendengarnya, disabarkan hatinya agar tetap tenang. Tanpa menjawab pertanyaan Melisa, dia mengulang lagi syaratnya. "Bukankah kalian ingin aku menerima jadi kalo syarat itu nggak bisa dipenuhi maka cuma ada jalan terakhir. Terpaksa kita berpisah, Mas," ujar Nuraini tegas. Fahri melongo, tidak menyangka Nuraini akan meminta cerai. Tentu saja permintaan itu tidak bisa dipenuhi karena selama ini lelaki itu hanya menumpang hidup pada istrinya. Melisa pikir bahwa rumah besar dan semua fasilitas mewah yang digunakan Fahri adalah miliknya. Tanpa dia ketahui semua aset itu adalah milik Nuraini, Fahri hanya bertugas mengelolanya. "Bagaimana, Mas? Kalo Melisa mau, aku akan belikan dia rumah. Tapi nggak sebesar rumah ini," ucap Nuraini dengan senyum manisnya. "Mas, aku mau tinggal di sini aja," rengek Melisa bergelayut manja di lengan Fahri. "Mas tau, Mel! Tapi bukankah kamu sudah setuju asal Nuraini mengijinkan, kamu mau tinggal di mana saja bersama Mas," bujuk Fahri menjawil dagu Melisa mesra. Nuraini yang melihat kemesraan suaminya dengan Melisa merasa sedih. Tidak dipungkiri ada rasa cemburu yang menjalar di relung hatinya. Selama ini dia sudah memberikan apa saja buat Fahri, namun tidak cukup untuk membuat kesetiaan Fahri bertahan selamanya. "Untuk beberapa hari aku mengijinkan Melisa tinggal di rumah ini sebelum rumah terbeli. Bawa dia istirahat, Mas!" pinta Nuraini lalu bangkit dan kembali ke kamarnya. Setelah Nuraini menghilang, Fahri membawa Melisa ke kamar tamu yang terletak di lantai bawah. Dengan manyun, dilangkahkan kakinya menuju sebuah tempat yang akan digunakan untuk tidur. Melisa merebahkan tubuhnya di ranjang, seharian duduk membuat punggungnya lelah. Sebenarnya dia bosan duduk terlalu lama tapi demi tercapainya tujuan untuk tinggal di rumah ini, dia pun mengesampingkan egonya. "Kamu istirahat dulu ya!" ucap Fahri saat dilihatnya Melisa memejamkan mata. "Mas mau kemana?" tanyanya sambil memegang tangan Fahri. Lelaki itu mendekat dan mengecup tangan Melisa lembut, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut. "Mas mau menemui Nuraini sebentar, ada yang mau Mas bicarakan dengannya." "Tapi Mas janji jangan berhubungan badan dengannya selama aku hamil. Lagian Mbak Nur juga nggak bisa hamil percuma juga Mas sentuh dia," pinta Melisa tapi lebih menyerupai perintah. Fahri mengerutkan keningnya, merasa permintaan Melisa aneh. Nuraini masih istrinya dan wajar sebagai suami tetap menjalankan kewajibannya. Namun, demi menyenangkan hati Melisa Fahri hanya mengangguk. Langkah kaki tegap Fahri menapaki tangga satu demi satu hingga tiba di lantai atas. Begitu sudah di depan pintu dia mengatur napasnya dan membuka pintu. Nuraini yang kaget lantas buru-buru memakai hijabnya. Entah kenapa setelah suaminya membawa pulang wanita lain, dia menjadi sensitif hingga auratnya pun ingin tertutup dari suaminya. "Mas, ada apa?" tanya Nuraini langsung duduk membetulkan penampilannya. Sepertinya dia sedang akan istirahat. Fahri yang juga kaget dengan sikap istrinya yang tidak seperti biasa pun menjadi salah tingkah. "Boleh Mas masuk?" "Masuklah, Mas." Fahri duduk di sebelah Nuraini yang menggeser duduknya hingga berjarak. Lagi-lagi lelaki itu dibuat heran tapi mungkin paham istrinya masih shock. Nuraini terdiam menunggu Fahri bicara, kali ini wanita yang kini jadi kakak madu tidak banyak bicara. Dia takut akan menjadi bertengkar kalo tidak bisa mengerem bicaranya. Ridho itu masih dibutuhkannya. "Mas minta maaf kalo sudah menyakiti hatimu dengan pernikahan kedua Mas. Tapi percayalah Mas nggak ingin bercerai darimu," tekan Fahri seraya ingin menggenggam tangan istrinya. "Nggak apa-apa, Mas! Bukankah selama ini aku selalu mengabulkan apapun permintaan Mas. Selama untuk mendapat ridhomu aku ikhlas," jawab Nuraini lembut. Mendengar penuturan istrinya membuat Fahri merasa bersalah. Nuraini yang begitu sabar dan lembut telah dia lukai begitu besar. Apalagi kini Melisa telah mengandung anaknya yang seharusnya anak itu berada dalam rahimnya. Untuk menebus kesalahannya, Fahri mencoba menyentuh istrinya. Diraihnya tangan Nuraini yang tidak menolak karena tatapan lelaki itu mampu menembus benteng pertahanannya. Setelah berhasil, Fahri mendekatkan wajahnya kemudian mereka saling berciuman. Napas keduanya memburu dan tangan Fahri mulai bekerja akan membuka kancing yang dikenakan Nuraini. Lelaki itu sudah berhasrat dan ingin menuntaskannya, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba terdengar teriakan dari luar kamar. Fahri menghentikan aksinya pun dengan Nuraini yang merapikan kembali baju dan hijabnya yang sudah berantakan. "Sepertinya suara Melisa, Mas. Coba lihat sana!" pinta Nuraini. Gegas Fahri bangkit dan berjalan membuka pintu. Dilihatnya Melisa berdiri di depan pintu sambil memegang perutnya. "Aduh, Mas! Perutku sakit!"Nuraini yang berdiri di belakang Fahri pun terkejut. "Mas, cepat bawa ke rumah sakit!" "Nggak usah, Mas! Cukup gendong aja aku ke kamar, dibawa tidur aja sudah baikan," ucapnya mengangkat tangan agar digendong Fahri. "Nur, Mas bawa Melisa dulu ke kamar ya!" Nuraini mengangguk dan tetap menatap Fahri yang menggendong Melisa turun ke bawah. Melisa menoleh ke arah kakak madunya seperti mengejek. "Bukankah tadi kamu istirahat, kenapa bisa naik ke atas?" tanya Fahri setelah membaringkan Melisa di ranjang. "Kamu sudah janji nggak akan menyentuh Mbak Nur, Mas! Aku lihat tadi kalian akan berhubungan jadi aku cegah dengan pura-pura sakit," jawab Melisa cemberut. "Bagaimanapun Nur masih istri, Mas! Hatinya pasti sedih jadi Mas ingin menghiburnya. Mas nggak mau Nur minta cerai karena masih butuh dia. Sampai Mas bisa menguasai semua miliknya baru Mas akan menceraikannya." Tanpa mereka ketahui diam-diam Nuraini mendengarkan pembicaraan mereka di balik pintu."Siapa di luar?" panggil Melanie karena mendengar keributan. Lisa menggerutu pada temannya karena aksinya ketahuan. Mau tidak mau dia pun mencoba menjelaskan agar sang bos tidak curiga. Tangan Lisa siap mengetuk pintu, terdengar jawaban dari dalam agar menyuruhnya masuk. Pintu pun terbuka lalu Lisa masuk dan tatkala Fahri melihatnya dia pun terkejut. Wajah lelaki itu berubah pias karena kehadiran sosok Lisa yang sangat tidak asing. Sekilas wanita yang mengenakan rok pendek itu menatap Fahri lalu beralih kepada Melanie. "Maaf, Bu! Tadi saya hanya lewat dan memungut barang yang nggak sengaja terjatuh tapi si Mala malah menuduh yang bukan-bukan," jelas Lisa seraya menunjukkan beberapa sampel pakaian. "Kalo gitu panggil Mala kesini, agar dia nggak salah paham," pinta Melanie setelah mendengarkan penjelasan asal keributan. "Nggak usah, Bu! Saya nggak mau perpanjang masalah, saya sudah memaafkannya. Kalau gitu saya permisi dulu, Bu," tolak Lisa. Dia tidak mungkin memanggil temannya itu
Usai menikah, Fahri diboyong istrinya ke rumah baru mereka. Lelaki itu menghirup udara kebebasan lagi, ibarat baru keluar dari yang namanya penjara kesulitan hidup. Langkah kakinya mantap begitu turun dari mobil. Ya, Melanie memang termasuk golongan berada. Semua fasilitas kemewahan sudah tersedia, kini mereka tinggal menikmati saja. "Gimana dengan rumahnya, Mas?" tanya Melanie setelah mereka masuk ke dalam rumah. Rumah tingkat dua dengan gaya klasik plus furnituer dan barang mahal sangat menarik perhatian Fahri. Pandangannya mengamati setiap sudut dengan berbagai model perabot. Di otaknya sudah terhitung bila barang-barang di dalam rumah dijual sudah ratusan juta hasilnya. "Mas," rengek Melanie karena pertanyaannya tidak dijawab Fahri. Wanita yang baru saja mengecap kebahagiaan itu termasuk sedikit manja tapi pekerja keras. Oleh karena itu hidupnya sukses bergelimang harta. "Eh, ya Sayang. Kamu tanya apa tadi?" gelegap Fahri malu. "Kamu suka rumah ini, Mas?" "Oh, suka banget Sa
Fahri gegas menuju apartemen Melanie begitu sambungan terputus. Dirinya tidak bisa begitu saja mengabaikan wanita yang membutuhkan pertolongan. Dia tidak ingin merasa menyesal lagi setelah kehilangan dua wanita yang pernah hidup bersamanya. "Mel, Melanie ...!" panggil Fahri seraya mengetuk pintu depan apartemen. Lelaki itu mengulang kembali panggilannya karena tidak ada jawaban dari dalam. Dia pun bermaksud mendobrak saja pintu tersebut, untungnya suasana sepi karena sudah hampir tengah malam. Setelah berhasil membuka paksa pintu, Fahri gesit mencari keberadaan Melanie. Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, merasa kalau wanita itu pasti berada di dalam. "Mel, kamu di mana?" Fahri celingukan ke dalam kamar dan tetap tidak menemukan wanita itu. Langkah kakinya pun seperti menyuruh agar lebih ke dalam, namun tiba-tiba dirinya dikejutkan dengan suara pintu tertutup. Lelaki itu berbalik dan ekspresinya sungguh terpana. Melanie tanpa busana sedang berdiri di hada
Fahri terengah-engah setelah berhenti lari demi menghindari mantan istrinya. Sambil mengatur napas, dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Nuraini tidak mengejarnya. Lelaki itu terduduk lesu begitu merasa aman dan tidak lama termenung. Hari ini dia begitu sial, dari pagi menadahkan tangannya di lampu merah tapi tidak ada seorangpun yang berbaik hati memberinya uang. Hatinya sedikit gembira saat mengetuk sebuah kaca mobil yang kemudian terbuka dan lembar biru itu terulur di tangannya. Wajahnya menekuk tatkala mendengar suara wanita di telinganya, dia mendongak dan spontan terkejut begitu tau yang memberi uang adalah mantan istrinya. "Mas Fahri?" Dia pun segera berlari karena malu, namun matanya sempat melirik sekilas ke perut wanita yang pernah dicintainya itu. "Perut kamu sudah besar, Nur. Pasti sudah dekat akan melahirkan. Sayangnya bukan aku yang akan menemanimu dan anak kita nanti, tapi lelaki yang di sampingmu. Lelaki itu?" Fahri berhenti bergumam dan mencoba menginga
Dua hari kemudian, Bram benar-benar sudah membuka matanya. Senyumnya merekah melihat anak dan istri sedang duduk menemaninya. Nuraini yang membaca Alquran pun berhenti setelah tau papanya bangun. Alunan merdu kalam Allah yang membuat Bram tersentak. "Alhamdulillah, papa sudah sadar," ucap Nuraini senang. "Apa yang terjadi pada Papa?" "Papa pingsan terus colabs dan koma, sudah semingguan juga. Akhirnya sekarang bangun, Aini minta maaf udah buat Papa pingsan," ujar Aini sesenggukan. Bram menggeleng, diraihnya tangan anaknya lalu digenggam. "Kamu nggak salah, Nak! Papa yang seharusnya minta maaf. Jujur, Papa malu saat kamu tau kelakuan buruk Papa." Bram beralih menatap Ranti yang sedari tadi diam. Ditatapnya wajah istri yang masih terlihat cantik itu. Senyum tipis tersungging di bibir wanita yang sudah dua puluh tahun lebih di nikahinya. "Mah, Papa minta maaf sudah melukai hatimu. Ternyata Mama sudah tau sejak dulu kalo Papa ada _____" "Sssttt, nggak usah bahas itu lagi Pah! Semua
"Tante ngomong apa, tentu aja ayah kandungku itu adalah Bram. Ibuku sendiri yang bilang, jadi sekarang aku ingin menuntut hakku. Seperti Nur, aku ingin meminta separuh kekayaan ayahku," sembur Melisa percaya diri. Ranti tertawa, "Dengar Melisa, Ayah kandungmu bukanlah Bram! Sama seperti anak yang kamu kandung bukanlah anak Fahri!" gelegar suara Ranti membuat semua orang termasuk Fahri terkejut. "Apa maksudnya, pasti Mama berbohong! Bilang aja kalo Mama nggak ingin jatuh miskin karena Melisa menuntut haknya," desis Fahri tak percaya. Sedangkan Melisa sedikit gemetar takut boroknya terungkap. "Iya, Mas jangan percaya apa yang dibilang Tante. Anak ini tentu aja anak kamu Mas!" sergahnya membantah. Ranti hanya menyeringai dengan sikap keduanya. "Tunggu, Mah sebenarnya ada apa ini? Kenapa Melisa mengaku Papa sebagai ayahnya?" Giliran Nuraini yang bingung. Ranti menggengam tangan anaknya agar tenang dan menyerahkan semua padanya. Selama ini Nuraini hanya tau Papanya berselingkuh denga