Hayati serasa frustasi membayangkan jika dia akan terus berada dalam unit apartemen itu. Rangga benar-benar tidak membiarkan Hayati keluar. Entah apa tujuannya, bahkan Hayati tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan hubungannya dengan Rama telah berakhir.Sudah lebih dari satu minggu Hayati berada di apartemen yang kemungkinan adalah milik Rangga. “Bu Ida, saya mau keluar. Boleh?” tanya Hayati pada asisten rumah tangga yang memang tinggal di unit tersebut.“Maaf Non, tidak boleh. Bapak bilang Non Hayati tidak boleh keluar,” jawab Bu Ida.“Tapi saya jenuh Bu. Apa Ibu nggak tahu ini namanya penculikan. Kalau saya laporkan Ibu juga bisa dihukum,” ujar Hayati menakuti Bu Ida tapi Bu Ida hanya tersenyum.***Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kediaman orangtua Rama. Sejak kepergian Hayati setelah ditalak oleh Rama, kedua orangtuanya merasa lega karena Hayati bukan lagi orang ketiga di rumah tangga anaknya. Berbeda dengan orang tuanya yang senang karena Rama saat ini hanya memiliki I
Hayati berjalan mengekor langkah Rangga. Sesuai dengan ucapannya kalau mereka akan berbelanja kebutuhan persediaan makanan untuk di apartemen, saat ini mereka sudah berada di supermarket. “Pak Rangga,” panggil Hayati. Rangga pun menoleh masih dengan langkah lebarnya.“Saya nggak akan ada tenaga untuk jalan Pak, ini luas banget dan sudah pasti yang mau Bapak beli banyak.”Rangga mengernyitkan dahinya karena tidak paham dengan maksud perkataan Hayati. “Saya mau sarapan dulu,” ujar Hayati malu-malu. Rangga menghela nafasnya, dia lupa tadi sudah berjanji akan memberikan Hayati sarapan sebelum mengikutinya berbelanja.Rangga akhirnya berbelok, “Makan di situ, aku harus ke toilet,” ucap Rangga. Hayati menganggukkan kepala. “Jangan berusaha kabur, ada anak buahku di sini kamu tidak akan bisa melarikan diri.”“Mau kabur kemana Pak, ponsel saya masih di Bapak. Dompet juga nggak dibawa,” jawab Hayati.***Hayati membawa beberapa kantong belanja, begitupun dengan Rangga. Lift yang mengantarkan m
“Isna, jangan mencari kambing hitam untuk masalah kita.” Isna mendengus kesal, “Kita ada masalah?” tanyanya heran pada Rama. Berjalan memutar meja dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Rama. “Sangat wajar jika dalam rumah tangga ada permasalahan,” ujar Rama. “Masalahnya ada pada kamu, kamu menyesal karena sudah menalak Hayati.” Rama menghela nafasnya, mengalihkan atensi menatap Isna. “Masalah rumah tangga kita tidak ada hubungannya dengan Hayati. Sejak aku menikahinya sampai dengan menalaknya tidak ada yang masalah yang disebabkan oleh Hayati. Aku tidak mencintainya dan tidak pernah menyentuhnya. Masalah kita adalah kamu sibuk dan aku juga sibuk,” jelas Rama tanpa mengatakan persoalan sebenarnya. “Aneh, kenapa kamu baru permasalahkan sekarang. Kamu menikahi aku karena kita sudah menjalin hubungan sebelumnya bukan karena perjodohan apalagi seperti beli kucing dalam karung yang tidak mengenalku sama sekali. Kamu tahu kesibukanku seperti apa, kenapa baru protes sekarang?” t
Rangga melangkah semakin mendekat pada Hayati yang terlihat semakin gugup. Pisau di tangannya ikut bergetar, "Pak, jangan salahkan saya kalau Pak Rangga terluka." "Kamu pikir saya tertarik dengan tubuh kamu? Ck, menggoda juga nggak," tutur Rangga. Membuat otak Hayati nge-blank seketika. Tangannya mulai menurunkan pisau yang digenggam. Rangga menyentil kening Hayati, "Kalau saya penjahat sesungguhnya, kamu pasti sudah celaka. Pisau yang kamu pegang itu untuk cake. Nggak ada tajem-tajemnya, bahannya aja plastik." "Hahh." Hayati mengangkat pisau yang dipegangnya dan menoleh ke arah Rangga yang sudah kembali melangkah meninggalkan dapur. "Kenapa bisa salah ambil, ini sih mirip pisau mainan." Hayati membersihkan meja makan dan dapur sesuai perintah Rangga. Bergegas melangkah saat melewati kamar Rangga menuju kamarnya. Tidak lupa dia mengunci pintu kamar, “Untuk jaga diri, di mobil aja Pak Rangga berani mencium aku. Apalagi disini, nggak ada orang lain,” ujar Hayati. Tubuhnya bergidik me
Rangga sudah berada di ruang kerjanya. Duduk bersandar pada kursi kebesarannya, dengan jari tangan di ketukkan pada meja. Rama sudah mengucap talak, artinya Hayati sudah bukan istrinya lagi. Apa karena hal ini dia melarikan diri, batin Rangga. Kepala Rangga berdenyut memikirkan masalah Hayati dan Isna. Jika Hayati dan Rama bukan lagi suami istri lalu apa alasan Rangga menahan Hayati. Kalau sebelumnya jelas dia menahan Hayati agar tidak mengganggu hubungan Rama dan Isna. Rangga pun kembali pusing memikirkan sebab pertengkaran Rama dan Isna. "Hahhh," hela nafas Rangga sambil menyugar rambutnya. "Kenapa Hayati tidak mengatakan kalau statusnya sudah ... Lalu apa alasanku masih menahannya." Tapi jauh dilubuk hati Rangga tidak ingin melepaskan Hayati. Meskipun Hayati mengatakan dia ingin pulang ke kampungnya. Rangga tidak bisa membayangkan ada pria dengan niat buruk memanfaatkan Hayati yang terlihat lugu dan polos. Bisa jadi salah satu pria itu adalah dirinya sendiri. "Shittt," ujar Ran
“Kamu ... kalau bicara suka asal.” “Loh, bener dong. Saya ‘kan janda. Hati-hati Pak Rangga nanti tergoda dan lama-lama suka. Saya nggak mau loh jadi orang ketiga lagi,” tutur Hayati. Rangga menghela nafasnya lalu menyerahkan kembali gelas berisi teh hangat yang tinggal setengah. “Kalau ada yang suka sama kamu, tapi duda. Gimana?” “Hm, tergantung Pak.” Rangga menunggu kelanjutan penjelasan dari Hayati, tapi malah menyodorkan mangkuk berisi bubur. “Makan terus minum obat biar cepat sehat.” Rangga menerima mangkuk sarapannya dengan malas, mulutnya terasa sangat pahit membuatnya tidak nafsu makan. “Dipaksakan Pak, memang mau baring di kasur terus,” ucap Hayati menasehati Rangga yang terlihat enggan menikmati sarapannya. Rangga hanya sanggup menghabiskan sebagian dari isi mangkuk kemudian mengembalikannya pada Hayati. “Setelah aku lebih baik, kita harus bicara,” ujar Rangga. Rangga perlu dengar langsung pengakuan dari Hayati jika dia sudah tidak ada hubungan dengan Rama dan rencana hid
Rangga sepertinya sudah pulih dan kembali sibuk dengan perusahaannya. Tidak setiap hari dia pulang ke apartemen, tentu saja pulang ke kediaman keluarga Adam. “Bu Ida, hubungi Pak Rangga. Tolong mintakan dompet aku, gimana bisa kabur kalau identitas masih ditahan Pak Rangga,” ujar Hayati.Bu Ida menatap heran pada Hayati. “Non Hayati mau kabur?”Hayati mengelak, “Maksud aku bukan kabur tapi ingin pulang. Untuk apa pula Pak Rangga menahan aku di sini.” Hayati juga ingat jika Rangga mengatakan akan bicara serius dengannya setelah sehat. Tentu saja tidak akan lama lagi Rangga benar-benar akan berbicara serius dengan Hayati. Meskipun tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh Rangga, Hayati masih khawatir dan takut dengan ancaman Rangga saat dirinya masih menjadi istri kedua Rama.“Aku bosan Bu, mintakan ijin ke Pak Rangga untuk aku ke luar. Jalan-jalan atau ... apalah yang penting keluar dari ruangan ini,” pinta Hayati memelas. Dia memang benar-benar jenuh, setiap hari hanya melihat Bu Ida
Bu Ida baru saja keluar dari kamar setelah berkali-kali mengompres kening Hayati. Saat Hayati sudah sadar, Bu Ida memberikan obat demam dan mengatakan akan membawa Hayati ke Rumah sakit atau memanggilkan dokter.Hayati menolaknya, dia mengatakan hanya perlu tidur. Rangga memasuki kamar Hayati dan duduk di tepi ranjang. Memandang wajah yang tertidur, mungkin karena efek obat yang diberikan Bu Ida. Untung saja saat Hayati terkulai lemas, Rangga berhasil merengkuh tubuhnya.Wajah Hayati terlihat pucat, Rangga membenarkan letak selimut yang menutupi tubuh Hayati. Merasa bersalah karena sudah berprasangka buruk pada Hayati dengan menuduhnya akan melarikan diri. Padahal Hayati melarikan diri dari Rama, sampai dia harus kehujanan dan saat ini tumbang.Satu hal yang baru diketahui oleh Rangga, Hayati memiliki tubuh yang ringkih. Baru saja kehujanan tapi sudah berhasil membuat fisik Hayati terganggu. Rangga sempat menelan saliva memandang bibir, dagu bahkan leher Hayati yang terekspos. Sebagai