[Mas kamu sebenarnya lagi di mana? Lalu kenapa ada suara perempuan? Siapa sebenarnya perempuan itu, Mas? Kamu nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh kan sama perempuan itu?]
[Tenang dulu Aileen, dengarkan aku baik-baik. Tolong jangan berpikiran buruk dulu karena situasi saat ini tidak seperti yang kamu pikirkan.][Kalau begitu, tolong jelaskan padaku siapa wanita itu.][Baiklah kalau begitu, akan kuceritakan kejadian yang sebenarnya.]Elvan kini tampak keluar dari ruang perawatan Neya setelah memastikan keadaan Neya baik-baik saja dari gerakan bibir wanita itu, yang seolah memberi kode kalau dia tidak apa-apa. Beberapa saat yang lalu, memang Neya terdengar mengeluh kesakitan saat tangannya yang lebam menyentuh sisi nakas untuk mengambil air minum hingga teriakannya membuat Aileen panik. Sedangkan Neya, tampak menatap punggung Elvan yang berjalan keluar disertai tatapan penuh tanda tanya."Siapa yang meneleponnya? Pacar atau istrinya?" Neya tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Ah biarkan saja, itu bukan urusanku. Dia pria yang sangat tampan dan kaya, mustahil jika dia belum memiliki seorang istri atau pun pacar."Neya beralih menatap ke perutnya yang masih rata, lalu kembali mengelus perut itu. "Hai, anakku sayang bagaimana kabarmu di dalam sana? Kau baik-saja, 'kan?"Elvan yang kini sudah berdiri di depan pintu tampak melirik Neya yang sedang mengelus perutnya dari celah pintu yang sedikit terbuka. Laki-laki itu tersenyum saat melihat tingkah Neya yang seolah sedang bercanda dengan anak yang ada di dalam kandungannya."Anakku, kau pasti akan baik-baik saja dan tumbuh dengan sehat. Aku janji, akan selalu menjagamu, Sayang," gumamnya lirih. Hal itu tentu saja sayup-sayup terdengar oleh Aileen.[Mas kamu ngomog apa, sih? Anak? Anak siapa? Mas jangan diem aja dong, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah ini sudah malam, kenapa kamu bisa bersama seorang wanita di malam hari seperti ini?] cerocos Aileen yang menyentak lamunan Elvan.[Begini Aileen, tadi saat aku pulang dari bandara, hujan turun begitu deras. Dan tiba-tiba saja, mobilku hampir menabrak seorang wanita hamil.][Apa? Nabrak? Jadi sopir kita hampir saja nabrak orang Mas? Kok nggak ati-ati sih bawa mobilnya.][Aileen, tenangkan dirimu dulu. Memang tadi hujannya sangat deras, dan tiba-tiba saja, ada wanita dari arah gang yang berlari, tanpa melihat mobil kami yang sedang melaju. Untungnya, sopir kita tidak terlalu kencang mengemudikan mobil itu, jadi kami bisa mengerem tepat waktu. Akan tetapi, mungkin wanita itu merasa syok dan sedikit luka saat tubuhnya terbentur aspal. Jadi,aku membawanya ke rumah sakit. Dan suara wanita itu adalah suara wanita yang sedang diobati dokter. Aku tadi sedang berdoa semoga wanita dan anak dalam kandungannya, baik-baik saja.][Kamu nggak bohong 'kan, Mas?][Aileen, untuk apa aku berbohong? Jika kamu nggak percaya, kamu bisa tanyakan ini pada pihak rumah sakit.][Baiklah Mas, aku percaya.] Helaan napas terdengar di ujung sambungan telepon, membuat Aileen terkekeh.[Terima kasih Aileen.][Mas, setelah urusan di rumah sakit beres, kamu cepet pulang ya, terus istirahat besok kamu harus berangkat ke kantor 'kan, Sayang?][Ya, lalu bagaimana keadaan Mama dan Papa?][Mereka baik-baik saja, kondisi kesehatan Papa juga sepertinya semakin membaik, tidak ada yang perlu dicemaskan.][Syukurlah kalau begitu, aku tutup dulu teleponnya, aku mau menyelesaikan urusanku di rumah sakit.][Iya Mas.]Setelah menutup panggilan telepon dari Aileen, gegas Elevan masuk kembali ke dalam kamar, mendekat pada Neya yang kini tampak sedang menatap langit-langit kamar."Kenapa kau tidak tidur? Apa kau tidak lelah?""Sepertinya tadi aku cukup lama beristirahat, aku juga belum ngantuk.""Tapi kau tetap harus beristirahat, kau sedang mengandung. Jadi harus memiliki waktu istirahat yang cukup." Naya menarik kedua sudut bibirnya, menatap Elvan dengan tatapan hangat."Kenapa kau menatapku seperti itu?" Detik berikutnya, Neya tampak memejamkan mata, butiran-butiran kristal tampak keluar dari kedua sudut matanya. Wanita itu terisak lirih yang terdengar begitu menyayat hati, tangannya meremas pakaian lusuh yang dia kenakan, seakan meluapkan emosi dan kesedihan yang telah menumpuk di hatinya.Sungguh, hal itu membuat hati Elvan teriris, kalau saja Elvan bukan laki-laki beristri, tentu dia sudah merengkuh tubuh Neya ke dalam pelukannya. Akan tetapi, dia harus menyadari siapa dirinya saat ini, dia adalah seorang suami yang harus menjaga perasaan dan harga diri wanita yang sudah dia nikahi. Lebih tepatnya pernikahan yang telah ternoda karena saat ini justru wanita di depannya lah yang sedang mengandung darah dagingnya."Kenapa kau menangis?"Neya menggelengkan kepalanya disertai senyum tipis di bibirnya, Elvan membiarkan gadis itu sejenak sampai dia merasa tenang."Tidurlah!""Tuan, bolehkan aku bertanya sesuatu padamu?""Apa yang ingin kau tanyakan?""Mengapa Tuan membantu saya? Kenapa Tuan begitu baik pada saya? Bukankah Tuan tahu kalau saya seorang wanita hamil yang tidak bersuami? Apa anda tidak pernah sedikit pun berpikir buruk pada saya?""Tidak ada alasan untuk memiliki pikiran buruk padamu.""Tapi, kenapa? Bahkan ibuku saja membeciku karena kehamilanku. Kehamilanku adalah aib baginya, Tuan."Hati Elvan semakin bergemuruh, akhirnya laki-laki itu pun tak sanggup menahan gejolak di dalam dada. Perlahan tangannya terulur, lalu menggenggam jemari Neya yang saling bertautan. Sontak, hal itu membuat Neya merasa begitu terkejut, dan menatap Elvan yang saat ini tengah menatapnya dengan tatapan mata teduhnya."Anak yang ada di dalam kandunganmu, bukanlah sebuah aib karena setiap anak terlahir suci. Mungkin, saat ini ibumu belum bisa menerima kehadirannya. Tapi, suatu saat nanti, aku yakin pasti dia juga akan menyayangi dan menerima anak ini dengan tangan terbuka."Neya pun menundukkan kepalanya, perasannya begitu campur aduk. Bukan, ini bukan hanya tentang kegundahan masalah yang dia alami, tapi juga tentang sikap hangat Elvan, apalagi laki-laki dewasa itu kini masih saja menggenggam jemarinya. Jantungnya berdetak begitu kencang, bahkan Neya juga takut jika laki-laki itu sampai mendengarnya. Apalagi jarak mereka kini begitu dekat."Apa kau malu mengandung anak itu, Ney?"Mmendengar perkataan Elvan, Neya mengangkat kepalanya, lalu menatap laki-laki itu dengan tatapan kosong yang tak dapat Elvan artikan."Kenapa? Apa kau malu mengandung anak itu karena tidak memiliki seorang ayah?""Tidak, bukan seperti itu ..." Neya menggeleng perlahan. Bibirnya memang bisa berkata tidak, tapi Elvan yakin di dalam hatinya pasti gadis muda itu sedang menanggung beban yang begitu berat."Aku menyayangi anak ini, tapi aku juga memikirkan bagaimana tentang masa depan anak ini kelak, dan aku juga ..."Perkataan Neya terhenti, manakala Elvan semakin mendekatkan kursi yang dia duduki ke arah brankar. Tingkah Elvan pun semakin membuat Neya gugup."Neya, apa kau mau menikah denganku?"Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.
"Apa maksudmu, Wa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?" 'Yang ganggu aku, sama bikin aku nggak nyaman, itu justru kamu, Elvan,' batin Dewa. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala, lalu berkata, "Mertuaku ingin kami memegang anak perusahaan mereka di Singapura. Jadi, mau tidak mau, aku harus menuruti mereka. Kau ...." Belum sempat Dewa melanjutkan kata-katanya, Elvan sudah menepuk bahu pria itu. "Mereka lebih membutuhkan kalian, aku nggak mau egois. Sudah waktunya kalian membangun perusahaan mereka. Kapan kau akan keluar, Dewa?""Secepatnya, mungkin hari ini," jawab Dewa yang sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan Neya.Elvan pun mengangguk. "Tolong urus surat pengunduran dirimu! Oh iya, tolong lakukan tugas terakhirmu sebelum kamu pergi. Kau ingat, 'kan?""Tentu saja.""Terima kasih untuk semuanya, Wa. Kami pasti akan sering berkunjung. Aku pergi dulu, aku harus mengurus surat ceraiku dan kepulangan Aileen ke Indonesia.""Kapan Ai
"KBRI? Memangnya ada apa tiba-tiba pihak KBRI menghubungiku?""Ini tentang Mba Aileen, Mas. Mba Aileen ditemukan tidak sadarkan diri di bawah fly over. Ada warga yang membawa Aileen ke rumah sakit, dan menghubungi KBRI. Untungnya, salah satu staf KBRI ada yang mengenalmu. Jadi, setelah itu mereka langsung menelponmu.""Astaga ...!""Dia sekarang ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang ya, Mas."Elvan pun mengangguk, lalu memutar balik arah mobilnya menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh Neya. Setibanya di sana, keduanya menuju ke ruang emergency, tempat Aileen saat ini dirawat."Di mana pasien atas nama Aileen, Sus?" tanya Neya pada seorang perawat jaga."Di sana, Tuan, Nyonya. Nyonya Aileen, menderita dehidrasi akut sekaligus mal nutrien. Bahkan HB di tubuhnya juga sangat rendah," ujar perawat tersebut saat mengantar Neya dan juga Elvan ke bilik di ruangan emergency tempat Aileen dirawat.Ketika keduanya masuk ke bilik tersebut, Aileen tengah tidur di atas brankar dengan raut w
Elvan tampak menggandeng Neya dengan begitu mesra, saat memasuki sebuah pesta. Di pesta tersebut, hampir semua pasang mata tertuju pada keduanya, terutama pada Neya yang malam ini terlihat begitu cantik. Semua orang kagum padanya, tak terkecuali seorang laki-laki yang kini mengamati keduanya."Tuan Elvan beruntung banget ya dapat istri cantik dan masih muda kaya Neya.""Iya, biarpun jarak mereka jauh, tapi tetep cocok aja sih. Habis Tuan Elvan juga ganteng, keliatan masih muda.""Namanya juga jodoh.""Pasangan ter-oke yang ada di sini deh."Sayup-sayup pujian pada Elvan dan Neya pun mengudara di telinga Dewa. Hal tersebut tentu saja membuat laki-laki itu tersulut emosi di tengah kecemburuan yang sedang dihadapinya sekarang. Raut amarah di wajah suaminya tentu saja diketahui oleh Luna, tapi wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena apapun yang dia perbuat, seolah semua salah di mata Dewa."Ini istri anda?" tanya seorang