Elvan mengulum senyum mendengar perkataan polos yang terlontar dari bibir Neya. "Apa anda malaikat pencabut nyawa? Ternyata malaikat pencabut nyawa itu cukup tampan. Tapi kenapa selalu digambarkan dengan sosok yang menyeramkan?"
Elvan semakin terkekeh, lelaki tampan itu merasa terhibur dengan tingkah lucu Neya. Akan tetapi, juga merasa lega jika gadis itu ternyata tidak mengenalnya sebagai laki-laki yang telah merenggut kesuciannya. Meskipun memang terlihat miris dan pengecut, sebuah tawa di depan wanita yang telah dia sakiti.Neya ...Wanita yang malangNeya ...Wanita yang telah dia renggut kesuciannyaDan Neya ...Wanita yang sedang mengandung darah dagingnya.Sebenarnya Elvan bingung, sekaligus gugup harus bagaimana cara memulai percakapannya dengan Neya. Melihat Neya tak sadarkan diri saja membuat pikirannya buntu dan Elvan yakin, gadis itu pasti telah melewati hal yang berat karenanya, apalagi saat ini Neya sedang mengandung darah dagingnya, pasti bukan hal yang mudah, hidup sendiri terlunta-lunta di jalan dalam keadaan hamil. Akan tetapi melihat tingkah lucu gadis itu, semua rasa cemas di hatinya hilang seketika."Jadi, malaikat pencabut nyawa juga bisa tertawa?"Elvan menghentikan tawanya, lalu menatap Neya dengan tatapan hangat. "Aku bukan malaikat pencabut nyawa. Lihat ini rumah sakit, bukan surga."Mendengar perkataan Elvan, Neya pun mengamati sekelilingnya. Seketika, dia merutuki dirinya sendiri atas sikapnya yang terlihat bodoh di depan laki-laki yang menurutnya sangat tampan. Setelah menyadari jika dirinya berada di dalam sebuah ruang perawatan rumah sakit, Neya terlihat salah tingkah, gadis itu meringis sambil mengaruk kepalanya yang tak gatal. Rasanya, dia benar-benar malu bersikap konyol di depan laki-laki itu."Bagaimana, kau sudah cukup sadar kan kalau saat ini kita sedang berada di rumah sakit."Neya mengangguk seraya tersenyum simpul, keheningan kembali tercipta diantara keduanya. Lagi-lagi, Elvan merasa bingung harus memulai percakapan dari mana, karena yang ada di dalam hatinya adalah rasa bersalah yang semakin mendalam pada Neya."Anda yang menolong saya?" Suara lembut Neya menyentak lamunan Elvan yang saat itu sedang melempar pandangan ke arah luar jendela untuk menghilangkan rasa gugup sekaligus rasa bersalah yang belum saja hilang dalam benaknya. Lebih tepatnya, rasa bersalah yang selamanya tak akan pernah hilang dan akan terus mengusik hidupnya."Jadi, dia benar-benar tidak mengenaliku?" batin Elvan. "Ya sepertinya begitu karena malam itu, dia memalingkan wajahnya dariku. Sebenarnya ini cukup bagus, setidaknya aku bisa mengulur waktu untuk bisa mendekatinya, sampai bisa mencari cara meminta maaf atas kesalahan besar yang telah kulakukan padanya," batin Elvan kembali."Tuan, apa anda yang menolong saya?" tanya Neya. Elvan pun mengangguk."Iya, aku yang menolongmu. Tadi malam, kau hampir saja tertabrak mobilku.""Lalu, bagaimana dengan pemilik mini market yang menuduh saya sebagai pencuri, Tuan?" Neya menanyakan hal tersebut, disertai gurat cemas di wajahnya."Dia sudah pergi saat melihatmu terjatuh di depan mobilku. Jadi, kau dituduh mencuri mini market milik laki-laki itu?"Neya menganggukan kepalanya disertai raut wajah sendu. "Saya bukan pencuri, Tuan," jawab Neya lirih, dan terdengar begitu menyayat hati Elvan. Tentunya laki-laki itu semakin merutuki dirinya sendiri yang telah membuat kemalangan berkali-kali pada Neya.Elvan menghela nafas kasar untuk melepaskan rasa kesal sekaligus penat di dada, rasa kesal pada dirinya sendiri yang telah begitu bodoh membiarkan wanita seperti Neya mengalami hal yang begitu buruk di usianya yang masih muda."Kau tenang saja, aku percaya jika kau bukanlah seorang pencuri."Neya mengangkat wajahnya lalu menatap Elvan dengan sorot mata berbinar. "Terima kasih, Tuan. Jadi, Tuan mau menolong saya karena tahu saya bukan pencuri, 'kan? Saya ucapkan terima kasih banyak Tuan. Tapi, emh sebenarnya orang seperti saya tidak pantas diberikan kamar perawatan semewah ini. Lihat, kamar perawatan ini bahkan ada kulkas dan sofa yang saya belum pernah lihat sebelumnya. Pasti harga sewanya sangat mahal, 'kan Tuan, kalau saya disuruh menggantinya, saya pasti tidak akan sanggup."Neya mengigit bibir bawahnya sembari menautkan tangannya saat melihat ekspresi Elvan yang terlihat datar. "Bagaimana kalau sekarang Tuan memindahkan saya ke kamar perawatan kelas 3 saja, sepertinya itu jauh lebih sesuai dengan kemampuan saya, Tuan.""Tidak, kau di sini saja.""Tapi Tuan, kamar perawatan ini sangat mewah, pasti akan sangat sulit bagi saya untuk menggantinya. Bagaimana saya bisa mengganti semua ini, di sini saja saya belum punya pekerjaan tetap.""Kau tenang saja Neya, kau tidak perlu menggantinya. Aku ikhlas menolongmu.""Tapi ...""Tidak ada tapi- tapian, lebih baik kau pikirkan kesehatanmu dan anak yang ada di dalam kandunganmu."Mendengar perkataan Elvan, Neya menatap laki-laki itu dengan tatapan penuh tanda tanya. "Kenapa kau menatapku seperti itu, Neya?""Tuan sudah tahu kalau saya sedang hamil?"Elvan mengangguk sembari tersenyum. "Ya, tadi dokter sudah mengatakan padaku kalau saat ini kau sedang hamil.""Kalau Tuan sudah tahu saya sedang hamil, kenapa Tuan tidak bertanya di mana suamiku saat tadi aku baru saja sadarkan diri.""Apa itu penting?"Neya meringis, sekaligus merasa cemas jika laki-laki yang ada di depannya tahu jika dirinya sedang hamil tanpa memiliki suami, laki-laki itu akan beranggapan buruk padanya."Kenapa diam, Ney? Aku tidak perlu tahu kau sudah memiliki suami atau belum, karena seorang wanita bersuami pasti tidak pergi di malam hari dalam kondisi hujan lebat hanya sekedar untuk membeli makanan di mini market."Mendengar perkataan Elvan, Neya pun tertunduk. "Anda benar, saya memang belum memiliki suami, padahal saat ini saya sedang mengandung. Tapi percayalah Tuan, saya bukan wanita nakal, sebisa mungkin saya menjaga diri saya. Apa yang saya alami, hanyalah sebuah musibah yang pernah menimpa diri saya."Neya terisak, tentunya hal itu juga membuat dada Elvan semakin sesak. "Aku tidak pernah beranggapan buruk padamu, kau tenang saja. Jangan terlalu banyak berpikir yang nantinya bisa mengganggu kesehatanmu dan janin dalam perutmu.""Terima kasih Tuan, anda begitu baik padaku. Bahkan, anda juga sudah tahu namaku padahal kita belum berkenalan."Elvan mengulum senyum setelah itu laki-laki tersebut mengulurkan tangannya pada Neya. "Perkenalkan aku Elvan, kau Neya, 'kan? Aku tahu namamu saat melihat identitasmu ketika mendaftar ke rumah sakit ini.""Oh Tuan Elvan nama yang bagus, sama seperti orangnya."Neya meringis disertai gelagat salah tingkah saat Elvan terlihat sedang memperhatikannya. Meskipun laki-laki yang ada di depannya itu sudah cukup matang, tapi laki-laki dewasa itu terlihat sangat tampan dan menarik hingga membuatnya canggung."Neya, ini sudah malam sebaiknya kau tidur," ucap Elvan. Belum sempat Neya menjawabnya, ponsel Elvan berbunyi menampilkan sosok nama Aileen di layar ponsel itu. Gegas Elvan pun menjauh dari brankar.[Halo Mas, kamu lagi di mana tadi aku telepon ke rumah, kenapa pembantu di rumah bilang kalau kamu belum sampai juga di rumah?][Oh ... Emh, begini ...]"Aaaaaa ... Aw ..."Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan. Neya berteriak karena tiba-tiba perutnya terasa sakit. Elvan saat ini dia sedang mengangkat telpon dari Aileen, seketika merasa panik saat melihat Neya yang terlihat begitu kesakitan."Awwww ... Aaaa ..."[Mas suara siapa itu? Kenapa seperti ada suara perempuan yang sedang berteriak?]Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.
"Apa maksudmu, Wa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?" 'Yang ganggu aku, sama bikin aku nggak nyaman, itu justru kamu, Elvan,' batin Dewa. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala, lalu berkata, "Mertuaku ingin kami memegang anak perusahaan mereka di Singapura. Jadi, mau tidak mau, aku harus menuruti mereka. Kau ...." Belum sempat Dewa melanjutkan kata-katanya, Elvan sudah menepuk bahu pria itu. "Mereka lebih membutuhkan kalian, aku nggak mau egois. Sudah waktunya kalian membangun perusahaan mereka. Kapan kau akan keluar, Dewa?""Secepatnya, mungkin hari ini," jawab Dewa yang sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan Neya.Elvan pun mengangguk. "Tolong urus surat pengunduran dirimu! Oh iya, tolong lakukan tugas terakhirmu sebelum kamu pergi. Kau ingat, 'kan?""Tentu saja.""Terima kasih untuk semuanya, Wa. Kami pasti akan sering berkunjung. Aku pergi dulu, aku harus mengurus surat ceraiku dan kepulangan Aileen ke Indonesia.""Kapan Ai
"KBRI? Memangnya ada apa tiba-tiba pihak KBRI menghubungiku?""Ini tentang Mba Aileen, Mas. Mba Aileen ditemukan tidak sadarkan diri di bawah fly over. Ada warga yang membawa Aileen ke rumah sakit, dan menghubungi KBRI. Untungnya, salah satu staf KBRI ada yang mengenalmu. Jadi, setelah itu mereka langsung menelponmu.""Astaga ...!""Dia sekarang ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang ya, Mas."Elvan pun mengangguk, lalu memutar balik arah mobilnya menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh Neya. Setibanya di sana, keduanya menuju ke ruang emergency, tempat Aileen saat ini dirawat."Di mana pasien atas nama Aileen, Sus?" tanya Neya pada seorang perawat jaga."Di sana, Tuan, Nyonya. Nyonya Aileen, menderita dehidrasi akut sekaligus mal nutrien. Bahkan HB di tubuhnya juga sangat rendah," ujar perawat tersebut saat mengantar Neya dan juga Elvan ke bilik di ruangan emergency tempat Aileen dirawat.Ketika keduanya masuk ke bilik tersebut, Aileen tengah tidur di atas brankar dengan raut w
Elvan tampak menggandeng Neya dengan begitu mesra, saat memasuki sebuah pesta. Di pesta tersebut, hampir semua pasang mata tertuju pada keduanya, terutama pada Neya yang malam ini terlihat begitu cantik. Semua orang kagum padanya, tak terkecuali seorang laki-laki yang kini mengamati keduanya."Tuan Elvan beruntung banget ya dapat istri cantik dan masih muda kaya Neya.""Iya, biarpun jarak mereka jauh, tapi tetep cocok aja sih. Habis Tuan Elvan juga ganteng, keliatan masih muda.""Namanya juga jodoh.""Pasangan ter-oke yang ada di sini deh."Sayup-sayup pujian pada Elvan dan Neya pun mengudara di telinga Dewa. Hal tersebut tentu saja membuat laki-laki itu tersulut emosi di tengah kecemburuan yang sedang dihadapinya sekarang. Raut amarah di wajah suaminya tentu saja diketahui oleh Luna, tapi wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena apapun yang dia perbuat, seolah semua salah di mata Dewa."Ini istri anda?" tanya seorang