Share

Part 3. Prosedur Rumit

Penulis: Loyce
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-02 19:49:26

“Mas, ini adalah satu-satunya cara agar kita bisa punya anak.” Talita menarik tangan Praba kemudian digenggamnya. “Aku hanya ingin keluarga kita ….”  

“Lupakan!” Praba memutus ucapan Talita. “Saya tidak akan melakukannya.” 

Praba beranjak dari tempat duduknya, melepaskan genggaman tangan Talita dengan kasar sebelum dia pergi dari ruang tamu. Langkah kakinya tegap mengayun dengan pasti. Sinar hanya bisa terpaku di tempatnya dengan menahan napasnya. 

‘Jadi, Talita belum mendiskusikan ini kepada suaminya sebelumnya?’ tanya Sinar di dalam hati. 

Tentu hal wajar ketika suami Talita menolak ide tersebut. Sinar benar-benar merasa hidupnya jungkir balik hanya dalam beberapa jam saja. 

Talita beranjak dari sofa mengejar sang suami. Meninggalkan Sinar yang masih tenggelam dengan pikirannya sendiri. Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba saja muncul dengan membawa minuman dan menyuguhkannya di depan Sinar.

“Silakan minumannya, Mbak.” Sinar sempat kaget melihat keberadaan perempuan itu sebelum dia tersenyum dan berterima kasih. 

Ruangan itu hening dan hanya terdengar detik jam. Sinar dibuat bimbang dengan situasi yang memeluknya saat ini. Dia ingin sekali pergi dari rumah Talita, tetapi itu tak sopan tanpa berpamitan dengan sang tuan rumah. 

Jika dia tetap berada di sana, ia merasa tersiksa dengan segala ketidaknyamanan yang dirasakan. Sinar mencoba untuk tenang. Mengatur napasnya sebelum mengambil keputusan. Hampir sepuluh menit Sinar hanya diam menunggu Talita, tetapi perempuan itu tak kunjung kembali menemuinya. Rumah itu terasa begitu sepi dan Sinar memutuskan untuk beranjak. 

Sayangnya, suara pertengkaran dari dalam rumah itu tiba-tiba terdengar di telinganya. 

“Mas bilang apa? Sebuah ambisi? Aku melakukan ini demi keutuhan rumah tangga kita. Aku nggak mau ….” 

“Saya meninggalkanmu karena kita nggak punya anak. Itu kan yang kamu takutkan selama ini?” Praba memutus ucapan Talita dengan dingin. 

Sinar seketika merasakan tubuhnya bergetar. Dia kembali terduduk dengan kepala tertunduk lesu. 

“Kamu tidak perlu khawatir. Saya tidak akan meninggalkanmu. Saya akan tetap di sisimu tanpa, atau dengan anak dalam rumah tangga kita. Sudah puas?” Suara Praba kembali mengalun. 

Sinar yang mendengar perdebatan sepasang suami istri itu hanya bisa mematung di tempat duduknya. Wajahnya menegang dan degupan jantungnya menggila. Jika Sinar bisa menghilang detik itu juga, dia pasti akan melakukannya. Sinar tidak pernah menyangka akan terjebak dalam masalah rumah tangga orang lain seperti ini. 

Sinar tidak mendengar apa pun lagi setelah itu seolah ucapan Praba yang baru saja dimuntahkan itu membuat sebuah ketenangan di hati Talita. Lebih baik dia segera pergi dari rumah ini dan tidak lagi terlibat dengan orang kaya seperti mereka. 

Sinar kembali berdiri dan melongokkan kepalanya untuk mencari siapa pun untuk pamit. Namun, Talita ternyata yang muncul.  

“Sinar, kamu boleh pergi.” Wajah Talita masih tampak memerah karena luapan emosi yang baru saja dikeluarkan. “Saya akan menghubungimu nanti.” 

Sinar mengangguk cepat. Dia juga ingin segera pergi dari rumah tersebut. Bahkan jika dia bisa, Talita tak perlu lagi menghubunginya. Tentang pengobatan adiknya, Sinar tetap akan mengusahakannya. 

“Baik, Bu. Saya permisi sekarang.”

Sinar segera membalikkan badannya agar bisa segera keluar dari rumah besar tersebut. Namun, lagi-lagi, Talita memanggilnya membuat langkah Sinar terhenti. 

“Supir akan mengantarkanmu. Pastikan ponselmu tetap aktif agar saya mudah menghubungimu.” 

Sinar hanya mengangguk sebelum benar-benar keluar dari rumah tersebut. Sebuah mobil hitam sudah menunggunya di depan rumah dan dia segera dipersilakan masuk oleh seorang supir. Hanya karena mengurus ‘perjanjian’ tersebut, dia bahkan lupa dengan adiknya yang tadi ditinggalkan di rumah sakit. 

Beruntung, adiknya tiba di rumah dengan selamat, terlihat dari sebuah chat yang remaja itu kirimkan kepadanya. 

*** 

“Pak … Praba.” Sinar dibuat terkejut pagi ini ketika dia baru saja keluar dari rumahnya dan mendapati Praba berdiri di depan pagar rumahnya. 

Lelaki itu menatap ke arah rumah Sinar dengan wajah dinginnya dan kedua tangannya dijejalkan ke dalam saku celana. Sinar tidak bisa menebak untuk apa lelaki itu datang pagi-pagi sekali karena bahkan semalam saja mereka tidak saling berbicara kecuali ketika mereka berkenalan. 

“Saya perlu bicara sama kamu,” ucap Praba tanpa basa-basi tampak tidak ingin membuang waktunya terlalu lama.  

Sinar gugup, jantungnya berdetak tak karuan ketika dia bisa menatap dengan jelas lelaki itu secara langsung. Praba benar-benar sangat tampan. Tubuhnya tinggi dengan pembawaan yang tenang. Dia pasti pengusaha bertangan dingin. Begitu pikir Sinar. 

“Maaf, Pak. Kalau boleh saya tahu, apa yang ingin Bapak bicarakan kepada saya?” 

“Masuklah!” perintah Praba. 

“Maaf?” 

“Masuklah ke mobil. Kita bicara di dalam. Saya akan sekalian mengantarkanmu ke tempat kerja.” 

Sinar bergeming menatap mobil hitam mewah yang terparkir di depannya dalam keadaan mesin masih menyala. Meneguk ludahnya berkali-kali, tangannya terus meremas tali tas selempangnya. 

Meskipun ragu, Sinar akhirnya menuruti permintaan Praba. Duduk di kursi belakang dan tersenyum kecil kepada sopir yang berada di balik kemudi. Sopir yang sama yang mengantarkannya semalam. Mobil hitam itu lantas meluncur meninggalkan rumah Sinar. 

Duduk bersebelahan dengan Praba benar-benar membuat Sinar merasa dihakimi. Lelaki itu memang belum berbicara, tetapi dia merasakan ketenangan Praba seperti mengintimidasinya. 

“Tolak permintaan Talita untuk melakukan kekonyolan yang ditawarkan kepadamu.” Praba mulai bersuara setelah lima menit dalam keheningan. 

“Saya sudah sempat menolaknya, Pak,” jawab Sinar berterus terang. 

“Lalu pada akhirnya kamu menerimanya.” Praba menanggapi cepat. “Berapa uang yang ditawarkan?” 

Sinar tidak cepat menjawab. Tidakkah Talita menjelaskan kepada Praba tentang perjanjian tersebut? Apa yang akan Sinar terima dan apa yang akan Talita dapatkan dari kesepakatan itu? Seharusnya Talita mengatakan itu kepada Praba sehingga Praba tahu semuanya. Sinar merasa ada yang aneh dengan hubungan suami istri tersebut. 

Talita bahkan tidak mengatakan kepada Praba tentang rencana untuk menyewa rahim sampai suaminya itu terkejut saat mengetahuinya. 

“Berapapun itu, tolak.” Praba kembali bersuara dengan tegas ketika tak kunjung mendapatkan jawaban dari Sinar.   

Sinar menunduk memainkan jari-jarinya yang panjang. Sejujurnya, Sinar juga tidak bersedia melakukan cara ini untuk mendapatkan uang. Namun, dia memikirkan kesehatan adiknya. Semalam dia bahkan tidak bisa tidur karena memikirkan Surya. Dia sungguh takut kehilangan lelaki itu. 

Suasana di dalam mobil tersebut hening untuk beberapa saat ketika Sinar bersuara dengan sedikit bergetar. 

“Saya bersedia bekerja sama dengan Bu Talita karena kami saling membutuhkan, Pak. Tapi, kalau memang Bapak tidak setuju dengan itu, Bapak bicarakan langsung saja kepada Bu Talita.” 

Sinar sengaja tidak mengatakan kesulitan apa yang sedang dihadapinya. Bagi Sinar, kesulitannya tak perlu di share kepada orang yang tidak dikenalnya. Kecuali Talita yang memang sudah mengetahuinya sejak awal. 

“Saya sudah berbicara dengannya.” Praba menjawab dingin. “Dan dia kukuh akan melanjutkan ide gilanya. Itulah kenapa saya menemui kamu agar kamu bisa membantu saya menolak permintaannya.” 

Kali ini Praba menoleh kepada Sinar dan tatapan mereka bertemu. Hanya beberapa detik, tetapi jantung Sinar sudah tidak terkendali rasanya ketika menatap mata hitam milik Praba. Sinar memutus tatapannya lebih dulu. 

“Akan ada prosedur rumit yang akan kamu lakukan dan saya yakin, sebagai seorang perempuan kamu akan dirugikan.”

Sinar meneguk ludahnya susah payah ketika Praba mengatakan hal itu. Dia tak tahu prosedur seperti apa yang akan dilaluinya. Namun, Praba benar. Dia adalah seorang perempuan single. Dia belum pernah menikah. Jika laki-laki yang akan menikahinya nanti tahu jika dia pernah melahirkan, maka sudah pasti, laki-laki itu pasti tidak akan bersedia menerimanya. 

Akan tetapi, Sinar tiba-tiba penasaran dengan prosedur rumit yang Praba katakan. Bukankah dokter sudah menjelaskan panjang lebar tentang sewa rahim tersebut? Lalu prosedur apa yang perlu dilakukan?

Penasaran, Sinar lantas bertanya. “Kalau saya boleh tahu, prosedur seperti apa yang Bapak maksud?” 

“Pernikahan,” ucap Praba terus terang, “Kamu harus menikah sebelum sewa rahim dilakukan, hal itu menyangkut hukum.” 

***  

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 125. End

    Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 124

    “Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 123

    “Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 122

    Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 121

    Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 120

    “Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status