Share

Part 4. Konsekuensi

Author: Loyce
last update Last Updated: 2024-05-02 19:59:23

“Pernikahan … menyangkut hukum?” tanya Sinar dengan suara terbata dan bergetar. Kekhawatiran itu merambat masuk ke dalam hatinya. 

“Kamu tidak tahu? Talita tidak mengatakannya?” tanya Praba balik. 

Sinar menggeleng cepat. “Bu Talita tidak mengatakan apa pun,” jawab Sinar dengan cepat. 

Praba tidak lagi menjawab. Memberikan tatapan kepada Sinar agar gadis itu keluar dari mobilnya dan tidak melanjutkan pembahasan tersebut. Sinar masih dihinggapi rasa penasaran di dalam hatinya tentang penjelasan praba, tetapi dia memilih untuk menurut dan keluar dari mobil. 

Mobil hitam itu segera meluncur pergi dan meninggalkan pertanyaan besar di dalam kepala Sinar. Jika sewa rahim menyangkut tentang hukum, itu artinya hal itu sangat sensitive. Harusnya dia memang tidak perlu meneruskan rencana tidak masuk akal tersebut. 

Di sepanjang Sinar bekerja, Sinar tidak fokus. Dia bahkan mendapatkan teguran dari chef karena kelalaiannya. 

“Kamu ini kenapa, Sinar?” tanya Gina saat makan siang. Dia adalah teman Sinar yang bekerja di tempat yang sama dengannya. “Ada masalah?” 

Gina tampaknya sudah memerhatikan Sinar sejak tadi sehingga dia tahu ada yang tidak beres dengan Sinar. 

“Keadaan Surya semakin buruk, Gin.” Sinar menjawab dengan lugas. Gina sudah tahu bagaimana kondisi kehidupan Sinar sehingga Sinar tidak perlu menutupi apa pun darinya. “Dia sudah mengalami komplikasi.” 

Gina segera mengelus punggung Sinar dengan lembut. “Kamu sabar, ya, Sin, aku tahu kamu pasti mampu melalui semua ini.” 

Sinar hanya mengangguk seadanya. Dia sudah pernah menceritakan kepada Gina tentang kondisi Surya dan bagaimana nantinya setelah pada tahap akhir penyakitnya. Saat dia sekarang sudah menyatakan tentang komplikasi, Gina pastilah tahu jika Sinar sedang membutuhkan banyak uang. 

“Apa yang bisa aku bantu buat kamu, Sin?” tanya Gina lagi, “kamu tahu kalau uang, aku nggak punya.” 

Sinar juga paham tentang itu. Mereka sama-sama bukan orang kaya dan Gina juga menjadi tulang punggung keluarga. Selama ini mereka hanya berbagi cerita dan saling menguatkan jika salah satunya memiliki masalah. 

“Menjadi teman berbagi cerita saja sudah cukup, Gin.” Sinar memaksakan senyumnya. “Aku akan berusaha sekuat yang aku bisa untuk memertahankan Surya agar tetap hidup.” 

Suara Sinar terdengar mengandung banyak luka. Pikirannya terlalu berisik dengan banyak hal seperti sebuah benang kusut yang tak bisa terurai. 

Malam tiba ketika Sinar selesai bekerja. Ini sudah pukul sepuluh malam dan rasa lelah sudah menggelayut di tubuhnya. Sinar sebenarnya ingin sekali menyudahi bekerja di restoran dan bekerja normal di kantoran. Namun, gaji yang ditawarkan di restoran tersebut cukup tinggi sehingga dia enggan untuk pergi meskipun jam kerjanya sangat menyita waktu. 

“Sinar!” 

Sebuah suara diiringi dengan suara langkah kaki itu membuat Sinar menoleh ke sumber suara. Sinar tampak terkejut ketika melihat Talita berada di sana. 

“Saya harap kamu tidak keberatan untuk ikut saya. Kita perlu bicara.” 

Sinar bergeming di tempatnya. Keraguan itu semakin besar. Dia ingat betul apa yang dikatakan oleh Praba pagi tadi. Perjanjian yang akan disepakati oleh Sinar dan Talita itu nyatanya menyangkut hukum. Dia tak paham hukum seperti apa yang akan membelitnya, tetapi itu membuatnya takut.

“Sinar, kamu tidak mendengarkan saya?”  

Sinar berkedip pelan mendengar suara Talita menembus gendang telinganya. Hal itu membuat Sinar memfokuskan tatapannya. 

“Maaf, Bu.” 

Wajah Talita tampak jengah sebelum menghembuskan napas panjang. “Ikut saya!” titahnya. Seolah Sinar adalah anak buahnya. 

“Bisa kita bicara di sini saja, Bu?” Sinar tidak bergerak sama sekali. “Ini sudah malam dan saya harus segera pulang.” 

Talita menatap Sinar lekat. “Hanya sebentar,” katanya tidak mau dibantah. 

Sinar pada akhirnya mengalah dan mengikuti Talita. Mereka masuk ke dalam mobil dan Talita membawa Sinar ke sebuah restoran 24 jam. Saat sampai, Sinar dibuat terkejut oleh keberadaan Praba. Lelaki itu sama sekali tidak tersenyum dan masih memasang wajah dinginnya. 

Setelah mereka duduk berhadapan dengan Talita duduk tepat di samping Praba, obrolan itu segera saja dimulai. Talita yang memulai lebih dulu. 

“Sinar, menikahlah dengan Mas Praba dan kadunglah anak kami.” Tanpa basa-basi, Talita mengatakan keinginannya dengan gamblang. 

Lidah Sinar kelu seketika. Ucapan Praba pagi tadi melayang di dalam pikirannya. Jadi, yang dimaksud lelaki itu dengan pernikahan adalah dia harus menikah dengan Praba? Untuk apa? bukankah dia hanya perlu menyewakan rahimnya dan masalah selesai? 

“Tidak,” tolak Sinar setelah dia menemukan kembali kewarasannya, “kenapa saya harus menikah dengan suami Ibu?” 

Wajah Sinar sudah memerah tanda jika hatinya dilingkupi oleh berbagai macam emosi. Terkejut, marah, dan lelah bercampur menjadi satu. Kenapa dia harus mendapatkan ‘jebakan’ semacam ini dan membuatnya merasa kesal. 

Sinar menatap Talita dan Praba bergantian. Namun, mereka tampak memasang wajah datarnya seolah mereka tidak sedang dalam sebuah masalah. Atau memang Sinar di sini yang memiliki masalah? 

“Karena kamu bersedia meminjamkan rahimmu kepada kami.” Talita menjawab dengan santai. “Dengarkan saya baik-baik Sinar. Pernikahan ini hanya untuk sebuah formalitas. Kamu menikah dengan suami saya, lalu kamu mengandung anak kami.” 

Talita menatap Sinar lurus-lurus. “Di negeri kita ini, tidak dibenarkan untuk melakukan sewa rahim dan saya tidak ingin mendapatkan masalah.” 

“Kalau memang hal itu tidak dibenarkan, maka kita urungkan saja perjanjian itu, Bu.” Sinar menyerah karena tidak ingin terlibat terlalu jauh. “Toh kita baru membicarakannya dan tidak ada perjanjian di atas putih.” 

“Dan kamu bersedia kehilangan adikmu lebih cepat?” Talita menekankan kalimatnya membuat Sinar tampak terdesak. 

“Kalau begitu kenapa harus ada sebuah pernikahan?” Sinar bertanya lemah. 

“Karena kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan pasangan istri yang sah.” Talita mengencangkan rahangnya karena merasa Sinar banyak bertanya. “Semua hal yang ada di negeri ini dilindungi oleh hukum dan kita tidak bisa seenaknya melakukan sesuatu, Sinar.” 

Sejauh apa pun Sinar mencoba mencerna, tetapi dia sungguh tak paham. Kepalanya terasa berdenyut nyeri mendengar penjelasan Talita. 

“Sudahlah, kamu tidak perlu memikirkan itu karena ada banyak penjelasan di dalam sana.” Talita bersuara lagi dan menekan Sinar. “Jadi, ambillah keputusanmu malam ini.” 

Sinar merasa putus asa. Di satu sisi dia mengingat kesehatan adiknya yang mulai terkikis, tetapi di sisi lain dia tidak bisa menerima permintaan Talita yang baginya sangat tidak masuk akal. Sedangkan Praba yang pagi tadi memintanya untuk menolak permintaan Talita, sekarang dia hanya diam tak membantunya sama sekali. 

“Saya bersedia menyewakan rahim saya tanpa pernikahan, Bu.” Sinar menjawab tegas. “Bu … saya ….” 

“Kalau kamu begitu ingin kami menikah, seharusnya kamu harus mampu menanggung konsekuensinya.” Praba akhirnya bersuara. Entah karena dia merasa kasihan dengan Sinar atau dia ingin mengalah kepada istrinya. 

“Konsekuensi?” Talita mengulangi ucapan Praba. 

“Berbagi suami dengan Sinar,” jawab Praba dengan dingin, “apa kamu sanggup dengan itu?” 

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 125. End

    Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 124

    “Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 123

    “Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 122

    Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 121

    Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un

  • Istri Kedua yang Diinginkan   Part 120

    “Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status