Airin tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur, saat membuka mata, dia melihat Sakha tengah duduk di lantai dengan sebuah sajadah sebagai alasnya. Lalu pandangan Airin menatap ke arah langit-langit kamar, mengumpulkan kembali pikirannya yang terpecah belah.
Jadi sepertinya sudah beberapa hari berlalu semenjak kecelakaan itu, yang Airin tidak terlalu ingat dengan jelas. Tapi dia ingat tentang rasa sakitnya, dan ketakutan yang melebihi rasa sakit itu sendiri.
Samar, Airin ingat bahwa saat itu dia melihat wajah Sakha di sana, tepat sebelum dia menutup mata dan semuanya menjadi gelap.
Apa yang terjadi setelahnya? Bagaimana Sakha bisa ada di sana? Dan bagaimana keadaan Henia sekarang?
Semua pertanyaan itu memenuhi kepala Airin. Dan dia hanya tersadar saat Sakha memanggil namanya.
“Airin.” Pria itu duduk di sofa di samping ranjang dan meraih tangan Airin.
Airin menatap mata suaminya itu, mencoba mengenali setiap ekspresinya dan menyad
Bab 87 – Yang Terjadi SetelahnyaTiga minggu berlalu dengan sangat lambat. Airin masih dirawat di rumah sakit. Sakha masih menemaninya dan terkadang pergi untuk bekerja, tapi sekalipun pulang pada tengah malam Sakha selalu ada dan menemaninya di sana.Seperti malam ini. Dia duduk di sofa ditemani secangkir kopi. Pikiran Sakha yang akhir-akhir ini kacau kerap kali membuatnya terjaga semalaman. Bahkan sekalipun dia mengantuk, dia lebih memilih untuk tidak tidur, tapi biasanya dia tidak sadar akan jatuh tertidur dalam posisi duduk di sofa itu.Sakha tampak benar-benar kacau dan orang yang melihat juga pasti akan langsung menyadarinya.Tadinya, Sakha hendak menyerahkan semua masalah pekerjaannya ke asisten dan orang-orang kepercayaannya, sementara Sakha ingin berfokus menjaga Airin sampai istrinya ini sembuh. Namun ada beberapa hal di kantornya yang harus Sakha kerjakan sendiri yang tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun.Sakha mungkin akan merasa
Bab 88 – CeraiAirin akhirnya diizinkan dokter untuk pulang. Dia belum sembuh sepenuhnya, masih harus melakukan pemeriksaan beberapa kali ke rumah sakit. Itulah kenapa Sakha tidak langsung mengajaknya pulang ke desa, melainkan ke rumah pribadinya sendiri di kota.“Kamu tidak masalah ‘kan tinggal di sini dulu?” tanya Sakha sembari membukakan pintu kamar untuk Airin.Airin, yang berjalan bagai mayat hidup itu hanya mengangguk dengan gerakan kaku.Sakha tidak mengatakan apa pun. Bahkan sekalipun dia ingin berucap, dia menelan kembali kata-katanya, takut Airin akan semakin mengabaikannya.“Mau makan lagi?” tawar Sakha.Airin menggeleng. Saat dia berbalik dan melihat wajah lelah suaminya, Airin merasa semakin bersalah. “Aku sudah kenyang,” jawabnya kemudian.“Baiklah. Kalau begitu istirahat saja dulu.” Sakha melangkah ke pintu, berniat untuk pergi.Menyadari itu, Airin refl
Setelah Sakha pergi, barulah si ibu kontrakan bertindak dengan keberanian yang tidak pernah dimilikinya sebelumnya untuk menghadapi sepasang pria dan wanita yang telah melakukan maksiat di kontrakannya itu. Keberaniannya bercampur dengan amarah membara.Dia menggedor kamar kontrakan yang tadi, lalu memaksa pintunya terbuka. Dengan suara yang sengaja tidak dipelankan, si ibu kontrakan mengusir dua orang itu dari sana.“Pergi kalian berdua dari sini! Dasar tidak tahu malu!” Si ibu kontrakan memelototi mantan suami Henia dan menyumpahinya dengan sederet kata bermakna kotor.Henia keluar dari kamar setelah mengemasi barangnya dan menatap si ibu kontrakan marah.“Heh, Nenek! Gue sudah bayar lu mahal-mahal ya buat tutup mulut. Kenapa lo biarin orang lain masuk sini dan buat—“Ucapan Henia terpotong saat tiba-tiba saja suami si ibu kontrakan datang dan melempar segepok uang kep
Bab 90 – Harga Diri“Tidak.” Sakha memutuskan untuk tidak berbohong sekalipun jawabannya mungkin akan melukai Tia.Terbukti dari senyuman sedih di bibir wanita itu. “Aku senang Mas tidak mencoba untuk mengatakan sebaliknya.”“….”“Mas orang yang baik. Dan Airin benar-benar beruntung memiliki Mas di sisinya.”“Tia ….” Sakha tidak bisa berkata-kata. Kini dia mulai mempertanyakan apa tujuan Tia mengajaknya bertemu malam ini.“Dari awal, aku juga tidak bisa mencintai Mas Sakha,” kata Tia lagi.Itu tidak mengejutkan Sakha, karena dia pun tahu.“Jujur, aku memang hanya menginginkan harta Mas saja.”Lagi, Sakha tidak mengatakan apa pun.“Sebelum kedatangan Airin, kupikir aku bisa bertahan dengan mudah kalau hanya menghadapi Ria dan Nia. Tapi kemudian Airin datang dan menyita seluruh perhatian
Bab 91Kamar itu gelap, semua lampu telah dimatikan bahkan lampu tidur. Namun karena sudah lima menit lamanya Sakha berdiri di sana, pandangannya kini mampu beradaptasi dengan keadaan sekitar yang sangat minim cahaya itu.Sakha melihat Airin, meringkuk di ranjang tanpa selimut yang melindunginya dari dingin. Dia kemudian bergerak dengan hati-hati untuk menyelimuti perempuan itu dan duduk di sampingnya.Dahi yang mengerut perlahan mengendur, membuat Sakha tersenyum. Dia bertanya-tanya apa yang Airin lakukan selama dia pergi tadi sampai membuatnya ketiduran seperti ini. Padahal sudah tahu hujan, dia bahkan tidak menaikkan suhu ruangan. Kalau saja Sakha pulang terlambat, mungkin keesokan harinya Airin akan jatuh sakit.Luka di lengan atas Airin, Sakha tatap cukup lama. Kedua alisnya yang tebal nyaris menyatu. Dia menyentuh bagian itu, membuat kening Airin kembali merengut.Luka ini mengingatkan Sakha akan seberapa
Airin menunggu, lagi. Tapi sudah hampir tengah malam, Sakha tidak kunjung pulang. Dia memang berkata ingin pergi dari sisi pria itu, tapi nanti setelah mereka berdua berbicara. Segalanya harus diluruskan. Airin tidak ingin pergi membawa penyesalan karena kebodohannya sendiri. Namun, sampai kantuk membawa kesadarannya pergi—seperti malam sebelumnya—Sakha belum juga pulang. *** Lagi-lagi pada makan malam. Sakha tidak tahu kenapa waktu malam dan makanan menjadi waktu yang tepat baginya. Atau mungkin kali ini tidak tepat? Kemarin di makan malam bersama Tia. Sekarang di acara yang sama bersama keluarga besar Ferdinan. Ayah mertuanya yang begitu bersemangat terus menerus membahas tentang bisnis sedari tadi, seberapa tidak sabarnya dia mengutarakan ide untuk bisnis barunya di meja makan itu, sampai Sakha bahkan tidak memiliki waktu untuk menyela dan mengutarakan maksud kedatangannya malam ini. Ria duduk di samping Sak
Seperti malam sebelumnya. Sakha masuk ke kamar dan mendapati Airin telah tertidur pulas.Sekali lagi, dia menyesal karena pulang terlalu larut malam. Dia merindukan mata indah berwarna hitam kelam itu menatapnya. Dia rindu pada suara wanita itu berbicara padanya.Sekarang semuanya sudah baik-baik saja bagi mereka. Dan Airin bertahan sampai akhir tanpa banyak protes. Mereka bisa memulai semuanya lagi dari awal, pikir Sakha.Perasaan bahagia menbuncah di dalam dadanya, membuat dia tidak bisa menahan diri untuk bergabung bersama Airin di atas ranjang dan memeluk istrinya itu erat.Sakha menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Airin, dan menghidu aromanya dalam-dalam lalu mengeluarkan suara seperti lirihan.Mustahil Airin tidak terbangun dibuatnya.Saat wanita itu membuka mata, dia terkejut, tapi tidak mengatakan apa pun. Bahkan bernapas pun dia takut, takut kalau itu akan membuat Sakha menjauh darinya. Tapi dorongan untuk membalas pelukan itu be
Gelengan kepala diberikan Sakha. Kepalanya mendadak terasa berat sehingga dia pun memajukan tubuhnya, dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Airin. Lalu berbisik, “Hanya kamu sekarang, Airin.”Tanda tanya besar menggantung dalam benak Airin. “Hanya aku? Maksud Mas, Kak Ria sudah ….”“Ya, dia bukan istriku lagi.”“Ba-bagaimana? Bukankah Mas dengan orang tua Kak Ria ….”Sakha terkekeh, ternyata Airin juga sudah tahu sejauh itu. “Aku pergi ke rumahnya. Dan berbicara dengan orang tuanya.”“Tapi bagaimana dengan perusahaan Mas?”Sakha mendesah lelah lagi. Dia menarik Airin dekat dan memeluk tubuhnya. “Aku benar-benar merindukanmu, Airin.”Dorongan adalah yang diberikan Airin sebagai jawaban dari ungkapan rindu itu. Ini bukan saatnya untuk mereka bermesra-mesraan. Ada banyak hal yang belum Sakha jelaskan padanya.Sakha menepis tangan Airin ya