Share

Kecupan Hangat

Author: Peonny274
last update Last Updated: 2025-06-11 18:26:16

Bab 4

Tangisan bayi memecah keheningan pagi. Di tengah ruangan yang sederhana namun hangat itu, Juragan Arjuna berdiri tegap, mengumandangkan adzan lembut di telinga kanan anak mereka yang baru lahir.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar…”

Suaranya tenang. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap anak itu seolah dunia telah berubah maknanya sejak kehadirannya. Selesai adzan, Arjuna menoleh pada Anin yang duduk bersandar lemah pada ranjang rumah sakit.

“Dek,” katanya pelan.

Anin mengangguk pelan, senyum di bibirnya mengembang meski tubuhnya masih lelah.

Dengan hati-hati, Arjuna menyerahkan si kecil ke dalam pelukannya. Anin menyambutnya dengan tangan gemetar, seolah baru pertama kali menyentuh sesuatu yang begitu suci.

Arjuna menunduk, mengecup kening Anin penuh kasih. “Makasih ya, Dek… Udah mau jadi istri Mas… Udah ngasih Mas gelar baru—sebagai ayah…”

Anin tersenyum, air matanya mengalir tanpa suara. Ia menatap wajah suaminya, yang kini tampak begitu berbeda dari laki-laki yang dulu sekadar bertamu karena hujan.

“Makasih juga, Mas… Udah jadi suami yang sabar… dan ayah yang baik…”

Tapi tiba-tiba dunia berubah. Semuanya pudar. Suara bayi hilang. Aroma rumah sakit tergantikan oleh bau sabun cuci. Dan...

“Anin! Anin bangun!”

Tubuhnya terguncang. Mata Anin terbuka lebar.

“Ibu?”

“Koe ki kenapa sih? Tidur kok senyum-senyum kek orang gemblung!” gerutu ibunya sambil berdiri, tangan berkacak pinggang. “Udah jam sepuluh! Jadi pulang ke Jakarta, kan?”

Mata Anin langsung melirik ke jam dinding.

“Ya ampun!” jeritnya. Ia bergegas bangkit, menabrak selimut, dan setengah berlari ke kamar mandi. Air dingin menyegarkan wajahnya yang masih menyimpan jejak mimpi yang terasa begitu nyata.

Setelah selesai mandi, Anin cepat-cepat mengenakan pakaiannya, mengambil koper yang semalam telah ia susun rapi di pojokan kamar. Ia menariknya keluar kamar dengan tergesa.

Di teras rumah, ibunya sudah menunggu sambil melipat kain. “Udah siap?”

“Iya, Bu. Bapak udah siap?”

“Udah nunggu dari tadi.”

“Pamit, Bu…” kata Anin pelan.

Ibunya menoleh, mendekat, dan memeluknya sebentar. Lalu ia berbisik di telinga Anin, “Jangan lupa ya, Nduk… lima ratus juta.”

Tubuh Anin menegang sejenak. Ia mengangguk kaku. “Iya, Bu…”

Tak ada pembicaraan lebih lanjut. Mereka sudah tahu betapa berat kata-kata itu. Anin berjalan menuju motor di mana sang bapak telah menunggu. Topi lusuh menutupi sebagian wajah lelahnya.

“Yuk, Pak,” kata Anin pelan.

Bapak hanya mengangguk dan menyalakan mesin motor. Suaranya meraung pelan menyusuri jalan kampung yang mulai berdebu kembali setelah semalam diguyur hujan.

Sesampainya di stasiun kecil kota kabupaten, Anin turun dan membuka koper, memeriksa ulang tiket kereta di ponselnya.

“Pamit, Pak…”

Bapaknya menatapnya dalam diam sejenak, lalu mengangguk. “Ati-ati ya, Nduk.”

Anin mengangguk. “Iya, Pak.”

“Semangat. Semua pasti ada jalannya.”

“Iya, Pak…”

Anin menunduk. Tak sanggup menatap wajah bapaknya lebih lama. Ada rasa bersalah di hatinya.

Ia melangkah menuju peron, meninggalkan ayahnya yang perlahan memutar motor, kembali ke desa. Kereta sudah siap berangkat. Ia naik, menemukan kursinya, dan duduk di samping jendela.

Kereta mulai bergerak. jendela memperlihatkan bayangan sawah dan pepohonan. Tapi kepala Anin tak di sana. Ia masih di dalam mimpi tadi—mimpi yang nyaris terasa seperti kehidupan nyata.

Ia menunduk, menatap tangannya yang bertumpu di pangkuan. Bibirnya menggumam, seolah berbicara kepada sosok yang tak hadir.

"Mas Arjuna…”

Mimpi itu, mengapa terasa begitu benar? Begitu hangat dan penuh makna, seolah tak hanya karangan tidur? Seolah… itu seharusnya menjadi masa depan?

Ia menggeleng. “Ah, Anin… mimpi kok baper.”

Namun wajah Juragan Arjuna, dengan suara lembut dan senyum miringnya, tak mau pergi dari benaknya. Suara adzan nya. Sentuhan tangannya saat menyerahkan bayi kecil mereka. Ciuman di keningnya.

Setengah tertawa getir, Anin menyandarkan kepala ke jendela.

“Aneh deh... cuma mimpi tapi nyeseknya nyata.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kesayangan Juragan   Hasutan Setan.

    Bab 25.Pagi itu langit mendung, tapi suasana kampung tetap hidup. Anak-anak bermain sepeda di jalanan kecil, ibu-ibu sibuk menjemur pakaian, dan suara ayam bersahutan dari kandang belakang rumah warga. Bu Minah, dengan daster batik dan kerudung tipis yang dililit asal, baru saja memberikan uang kebersihan kepada pemuda desa yang datang menagih iuran rutin.“Makasih ya, Buk,” ucap pemuda itu, tersenyum ramah.“Sami-sami, Le. Sing semangat bersih-bersih desane,” balas Bu Minah, senyum tipis menghiasi wajahnya yang mulai berkeriput.Pemuda itu melanjutkan langkahnya menuju rumah tetangga sebelah, dan Bu Minah pun kembali memperhatikan pot bunga kesayangannya yang baru saja ia siram tadi pagi—pot besar berisi anggrek bulan, ditaruh rapi di tepi halaman rumahnya.Tiba-tiba…Brakkk!Sebuah sepeda kecil melaju kencang dan menabrak pot bunga itu. Potnya pecah, tanah berhamburan, dan si anak laki-laki jatuh terguling di tanah sambil menangis kencang.“Hehh! Astaghfirullah!” teriak Bu Minah pa

  • Istri Kesayangan Juragan   Rahasia Terpendam.

    Bab 24.Anin melirik jam di handphone-nya. Sudah hampir pukul dua siang. Uap dari nasi yang tadi mengepul hangat perlahan menghilang, menyisakan dingin di meja makan. Ayam goreng yang digorengnya sebelum dzuhur sudah tak lagi renyah. Sambal tomat buatan sendiri pun mulai mengering di pinggir piring kecil.Ia duduk di kursi, diam. Tidak ada suara selain denting jam dinding dan bunyi kipas angin yang menderu pelan. Tangannya menahan dagu, matanya sayu. Arjuna belum juga pulang.Anin menghela napas berat. Ia tahu suaminya sibuk. Tapi tetap saja, ada rasa kesal. Tak ada kabar, tak ada pesan, hanya menunggu dan menunggu sampai rasa lapar berubah menjadi malas.Tak lama kemudian, suara berat memecah kesunyian.“Assalamualaikum…” suara Arjuna terdengar dari luar.Anin menjawab pelan, “Waalaikumsalam.”Arjuna masuk dengan langkah santai. Tanpa banyak bicara, ia langsung menuju kamar mandi. Seperti kebiasaannya, walaupun hanya duduk di ruang kerja atau keliling kandang, Arjuna tetap mencuci ta

  • Istri Kesayangan Juragan   Orang Masa Lalu.

    Bab 23.Pagi itu, matahari baru saja naik malu-malu di balik bukit. Anin sudah bangun sejak Subuh, menyiapkan sarapan untuk Arjuna: nasi hangat, tempe goreng, dan sambal tomat kesukaan suaminya. Setelah Arjuna berangkat ke sawah, Anin membereskan dapur sebentar, lalu mengisi alat penyiram tanaman dari keran di samping rumah.Sambil bersenandung kecil, ia menyiram koleksi bunga yang ia tanam di luar pagar: mawar merah, kenanga, dan beberapa pot bunga krisan yang baru ia beli dari pasar minggu lalu. Tanah masih basah, aroma embun bercampur wangi bunga menyeruak pelan.Di seberang jalan, seorang ibu-ibu dengan daster batik berjalan sambil menenteng belanjaan di tangan kiri. Wajahnya terlihat lelah tapi semangat. Ia melambai ketika melihat Anin.“Eh Anin, lagi nyiram bunga ya?” sapa Bu Sri, tetangga depan rumah yang terkenal cerewet tapi juga cepat akrab.“Iya Bu, biar nggak layu,” jawab Anin ramah.Bu Sri melangkah pelan mendekat, meletakkan kantong belanjaan di pinggir jalan, lalu memic

  • Istri Kesayangan Juragan   Uang Bulanan.

    Bab 22. Di dalam kamar yang luas dan hangat, Arjuna membungkuk di depan lemari, memutar kombinasi angka di brankas kecil miliknya. Suara klik terdengar saat kunci terbuka, dan pintu besi pelan-pelan terbuka, memperlihatkan beberapa bundel uang yang disusun rapi. Di sofa sudut kamar, Anin duduk bersila, memainkan jari-jarinya sambil memperhatikan suaminya. Hembusan angin dari celah tirai membuat kain itu berkibar pelan. "Tirainya ditutup dulu, Dek," ujar Arjuna tanpa menoleh. "Nanti ada tuyul yang masuk." Anin tertawa kecil. “Iya, Mas. Siap.” Ia berdiri dan menarik tirai tebal itu sampai menutup sempurna. Kamar menjadi sedikit lebih redup, tapi tetap nyaman. Arjuna meletakkan dua bundel uang di atas meja kecil di hadapan Anin. "Ini untuk kebutuhan bulan ini," ucapnya singkat. Anin bergeser, duduk lebih dekat. Ia membagi uang itu dengan telaten. “Yang ini untuk makan,” ujarnya sambil menyisihkan sebagian. “Ini buat kebetulan rumah. Yang ini pakan ternak, dan ini pupuk.” Arj

  • Istri Kesayangan Juragan   Foto tersembunyi.

    Bab 21.Matahari sudah tinggi ketika Arjuna terbangun, lalu terkesiap melihat jam di dinding.“Dek... kita kesiangan,” gumamnya seraya bangkit dari tempat tidur.Anin, yang masih malas membuka mata, hanya berguling pelan. “Iya mas. Aku enggak sempat masak.”Arjuna mengenakan kaos dan celana santai. “Mas ke warung depan ya, beli sarapan dulu. Kamu beresin kamar aja.”“Hmm, iya mas... hati-hati,” jawab Anin sambil duduk di pinggir ranjang, menyisir rambut dengan jari.Setelah Arjuna keluar, Anin mulai membereskan tempat tidur. Ia merapikan bantal, menarik sprei, dan menata selimut. Tapi saat ia berjalan ke sisi ranjang tempat Arjuna biasanya tidur, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di meja kecil.Dompet kulit kecokelatan.“Mas pasti lupa bawa dompet,” gumamnya.Ia mengambil dompet itu, niatnya hanya ingin mengantarkan. Tapi jemarinya berhenti di sana. Ada rasa penasaran yang menggelitik, entah datang dari mana. “Cuma lihat sebentar, kok. Kan ini dompet suami sendiri...” bisikny

  • Istri Kesayangan Juragan   Ada Yang Cemburu.

    Bab 20.Angin lembut mengayun dedaunan, membawa suara jangkrik dan aroma tanah yang lembab selepas petang. Di teras rumah, Arjuna dan Anin duduk berdampingan. Lampu mewah menggantung cantik di teras rumah, memantulkan cahaya lembut di wajah pasangan pasutri itu.Arjuna menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mengusap pelan tengkuknya yang terasa pegal setelah seharian beraktivitas. Anin duduk tenang di sebelahnya, tangannya diletakkan di sandaran tangan kursi, sambil sesekali menatap langit yang mulai menghitam sempurna.“Beberapa kambing tadi pagi lahiran, Dek,” ucap Arjuna memecah keheningan. Senyumnya mengembang, suaranya tenang seperti biasa.Anin menoleh, bibirnya tersenyum kecil. “Alhamdulillah... banyak, Mas?”“Empat ekor. Semuanya sehat. Yang dua kembar. Nanti kamu lihat deh, lucu-lucu.”Anin mengangguk, tapi senyumnya tak bertahan lama. Matanya kembali menerawang jauh ke depan, ke arah jalan desa yang kini sepi. Di kepalanya, suara-suara asing bergaung kata-kata yang men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status