Bab 4
Tangisan bayi memecah keheningan pagi. Di tengah ruangan yang sederhana namun hangat itu, Juragan Arjuna berdiri tegap, mengumandangkan adzan lembut di telinga kanan anak mereka yang baru lahir. “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suaranya tenang. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap anak itu seolah dunia telah berubah maknanya sejak kehadirannya. Selesai adzan, Arjuna menoleh pada Anin yang duduk bersandar lemah pada ranjang rumah sakit. “Dek,” katanya pelan. Anin mengangguk pelan, senyum di bibirnya mengembang meski tubuhnya masih lelah. Dengan hati-hati, Arjuna menyerahkan si kecil ke dalam pelukannya. Anin menyambutnya dengan tangan gemetar, seolah baru pertama kali menyentuh sesuatu yang begitu suci. Arjuna menunduk, mengecup kening Anin penuh kasih. “Makasih ya, Dek… Udah mau jadi istri Mas… Udah ngasih Mas gelar baru—sebagai ayah…” Anin tersenyum, air matanya mengalir tanpa suara. Ia menatap wajah suaminya, yang kini tampak begitu berbeda dari laki-laki yang dulu sekadar bertamu karena hujan. “Makasih juga, Mas… Udah jadi suami yang sabar… dan ayah yang baik…” Tapi tiba-tiba dunia berubah. Semuanya pudar. Suara bayi hilang. Aroma rumah sakit tergantikan oleh bau sabun cuci. Dan... “Anin! Anin bangun!” Tubuhnya terguncang. Mata Anin terbuka lebar. “Ibu?” “Koe ki kenapa sih? Tidur kok senyum-senyum kek orang gemblung!” gerutu ibunya sambil berdiri, tangan berkacak pinggang. “Udah jam sepuluh! Jadi pulang ke Jakarta, kan?” Mata Anin langsung melirik ke jam dinding. “Ya ampun!” jeritnya. Ia bergegas bangkit, menabrak selimut, dan setengah berlari ke kamar mandi. Air dingin menyegarkan wajahnya yang masih menyimpan jejak mimpi yang terasa begitu nyata. Setelah selesai mandi, Anin cepat-cepat mengenakan pakaiannya, mengambil koper yang semalam telah ia susun rapi di pojokan kamar. Ia menariknya keluar kamar dengan tergesa. Di teras rumah, ibunya sudah menunggu sambil melipat kain. “Udah siap?” “Iya, Bu. Bapak udah siap?” “Udah nunggu dari tadi.” “Pamit, Bu…” kata Anin pelan. Ibunya menoleh, mendekat, dan memeluknya sebentar. Lalu ia berbisik di telinga Anin, “Jangan lupa ya, Nduk… lima ratus juta.” Tubuh Anin menegang sejenak. Ia mengangguk kaku. “Iya, Bu…” Tak ada pembicaraan lebih lanjut. Mereka sudah tahu betapa berat kata-kata itu. Anin berjalan menuju motor di mana sang bapak telah menunggu. Topi lusuh menutupi sebagian wajah lelahnya. “Yuk, Pak,” kata Anin pelan. Bapak hanya mengangguk dan menyalakan mesin motor. Suaranya meraung pelan menyusuri jalan kampung yang mulai berdebu kembali setelah semalam diguyur hujan. Sesampainya di stasiun kecil kota kabupaten, Anin turun dan membuka koper, memeriksa ulang tiket kereta di ponselnya. “Pamit, Pak…” Bapaknya menatapnya dalam diam sejenak, lalu mengangguk. “Ati-ati ya, Nduk.” Anin mengangguk. “Iya, Pak.” “Semangat. Semua pasti ada jalannya.” “Iya, Pak…” Anin menunduk. Tak sanggup menatap wajah bapaknya lebih lama. Ada rasa bersalah di hatinya. Ia melangkah menuju peron, meninggalkan ayahnya yang perlahan memutar motor, kembali ke desa. Kereta sudah siap berangkat. Ia naik, menemukan kursinya, dan duduk di samping jendela. Kereta mulai bergerak. jendela memperlihatkan bayangan sawah dan pepohonan. Tapi kepala Anin tak di sana. Ia masih di dalam mimpi tadi—mimpi yang nyaris terasa seperti kehidupan nyata. Ia menunduk, menatap tangannya yang bertumpu di pangkuan. Bibirnya menggumam, seolah berbicara kepada sosok yang tak hadir. "Mas Arjuna…” Mimpi itu, mengapa terasa begitu benar? Begitu hangat dan penuh makna, seolah tak hanya karangan tidur? Seolah… itu seharusnya menjadi masa depan? Ia menggeleng. “Ah, Anin… mimpi kok baper.” Namun wajah Juragan Arjuna, dengan suara lembut dan senyum miringnya, tak mau pergi dari benaknya. Suara adzan nya. Sentuhan tangannya saat menyerahkan bayi kecil mereka. Ciuman di keningnya. Setengah tertawa getir, Anin menyandarkan kepala ke jendela. “Aneh deh... cuma mimpi tapi nyeseknya nyata.”Juragan Arjuna berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih bersih yang baru saja disetrika. Napasnya ditahan sejenak, menenangkan degup jantung yang berdetak tak karuan. Malam ini bukan malam biasa—malam ini ia akan melamar seorang gadis, perempuan cantik bernama Anindya Kirana.Ibu masuk ke kamar sambil memeriksa rambutnya yang dibalut kerudung satin."Nanti ibu mau cucu dua ya, Le," bisik Bu Minah sembari merapikan bros di dadanya."Apasih Bu, ini aja baru lamaran loh," jawab Arjuna sambil geleng-geleng.Bu Minah nyengir, lalu langsung keluar kamar. "Ibu belum siap dandan!"Arjuna menghela napas panjang, lalu berjalan ke teras, tempat ayahnya, Pak Wiryono, sudah duduk sejak beberapa menit lalu sambil menyeruput kopi panas.Pak Wiryono menoleh pelan, menatap anak lelakinya dengan mata yang tenang. "Koe memang siap dengan semua ini, kan, Le?"Arjuna mengangguk pelan. "InsyaAllah saya siap, Pak."Pak Wiryono menarik napas dalam. "Jangan pernah anggap pernikahan itu permainan ya, Le
Mentari sudah bergeser ke barat ketika suara langkah kaki berat terdengar di teras rumah keluarga Wiryono. Juragan Arjuna terduduk di teras rumah orangtuanya, tubuhnya bersandar lesu di kursi kayu tua yang biasa dipakai mendiang kakeknya duduk sore-sore. Wajahnya datar, tapi matanya menyiratkan kebingungan yang dalam.Di seberangnya, duduk Bu Lastri. Matanya sembab, bekas air mata belum benar-benar kering. Ia menggenggam tangan Bu Minah, seakan masih berharap ini semua hanya mimpi."Jadi gini, Le..." suara Bu Minah membuka percakapan. Suaranya terdengar tenang tapi tak memberi ruang untuk penolakan. "Anin, anaknya Bu Lastri, bersedia menikah sama kamu.”"Kamu mau kan, Le?" tanya Bu Lastri akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.Arjuna diam. Wajah Anin terlintas di benaknya. Gadis kota yang jarang pulang, yang selalu sibuk bekerja, dan kini... rela menikah dengannya demi menyelamatkan keluarganya? Perasaan iba dan bingung menyatu, bergolak dalam dadanya.Dengan nafas berat, Arjuna men
Sudah dua minggu sejak Anin pulang ke kampung, ia sibuk meminjam ke sana sini. Namun tak satupun yang berhasil. Semuanya menolak halus atau tak sanggup membantu. Terdesak waktu, akhirnya Anin memberanikan diri mengajukan pinjaman ke kantor—meski hatinya penuh ragu.Sekarang Anin tengah duduk di kursi empuk ruang HRD, tangannya menggenggam map pengajuan pinjaman yang mulai lemas di pangkuannya. Di seberangnya, Mbak Linda—staf HRD—tersenyum tipis, berusaha ramah walau jelas sulit menyampaikan kabar buruk.“Maaf ya, Anindya… jumlah yang kamu ajukan terlalu besar. Kami hanya bisa bantu lima puluh juta. Itu pun lewat approval manajemen.”Anin tersenyum kecil, meski matanya tampak sayu.“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Saya maklum. Terima kasih banyak sudah diusahakan.”Ia berdiri, membungkuk sopan, lalu melangkah keluar dari ruangan dengan pelan. Begitu pintu tertutup, suara lembut langsung menyapanya.“Gimana, Nin?” tanya Dita, rekan kerjanya, dengan nada penuh harap.Anin hanya menggeleng pela
Bab 4 Tangisan bayi memecah keheningan pagi. Di tengah ruangan yang sederhana namun hangat itu, Juragan Arjuna berdiri tegap, mengumandangkan adzan lembut di telinga kanan anak mereka yang baru lahir. “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suaranya tenang. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap anak itu seolah dunia telah berubah maknanya sejak kehadirannya. Selesai adzan, Arjuna menoleh pada Anin yang duduk bersandar lemah pada ranjang rumah sakit. “Dek,” katanya pelan. Anin mengangguk pelan, senyum di bibirnya mengembang meski tubuhnya masih lelah. Dengan hati-hati, Arjuna menyerahkan si kecil ke dalam pelukannya. Anin menyambutnya dengan tangan gemetar, seolah baru pertama kali menyentuh sesuatu yang begitu suci. Arjuna menunduk, mengecup kening Anin penuh kasih. “Makasih ya, Dek… Udah mau jadi istri Mas… Udah ngasih Mas gelar baru—sebagai ayah…” Anin tersenyum, air matanya mengalir tanpa suara. Ia menatap wajah suaminya, yang kini tampak begitu berbeda dari laki-laki yang dulu sekadar be
Bab 3“Anin, bangun sebentar, Nduk.” Suara itu samar, bagai gema dalam mimpi buruk. Anin meringkuk di atas kasur tipisnya, masih terlilit sisa kantuk. Namun tangan ibu mengguncang pelan pundaknya. “Ibu ada pengajian. Rantang ini tolong diantar ke sawah, ya. Bapak belum makan.” Dengan setengah sadar dan berat sebelah mata terbuka, Anin duduk. “Kenapa Ibu nggak bilang dari awal sih…” gerutunya sambil mengucek mata. Tapi tangannya tetap menyambut rantang putih dua susun yang diberi ibu. “Ibu titip ya. Pulangnya bawa rantangnya juga. Jangan ditinggal. Nanti ilang.” Ibu pergi meninggalkan kamar. Anin mematung sebentar, menghela napas panjang, lalu bergerak seperti zombie. Pertama, ia oleskan sunscreen dan sun block ke leher dan lengan—ritual wajib untuk kulit putih mulusnya. Lalu dipakainya cardigan tipis, karena di baliknya ia hanya pakai daster tidur. Rambut dijedai asal, dan tak lupa, sandal jepit. Langkahnya berat saat menuju teras. Scoopy putih susu yang dibelinya dengan hasil k
Bab 2 Langit belum sepenuhnya terang saat Anindya tiba di stasiun Semarang. Udara pagi masih menggigit, dan tubuhnya terasa lelah setengah mati. Ia memasang kacamatanya—bukan untuk membantu melihat, tapi untuk menyembunyikan matanya yang sembab. Di luar stasiun, mobil pick up tua sudah menunggu. Tetangga sebelah, Pak Raji, duduk di kursi pengemudi. “Anin ya?” sapa Pak Raji, suaranya pelan. "Iya, Pak. Makasih udah jemput.” ucap Anindya pelan. Ia membuka pintu depan dan duduk di samping sopir. Kendaraan mulai melaju. Tapi arah yang mereka tuju… bukan rumah sakit. Anin ingin bertanya, tapi urung. Mungkin, pikirnya, ibu menyuruhnya pulang dulu agar istirahat sebentar sebelum ke ICU. Lagipula matanya berat. Kepalanya berdenyut. Badannya menggigil. Ketegangan semalam belum juga reda. Sesampainya di depan rumah, dia dibangunkan oleh suara pak Raji, “Anin, wis tekan.” Ia membuka mata, mengucek pelan. Dan seketika seluruh tubuhnya membeku. Di teras rumah kecil itu, ayahnya—yang semest