Share

Mas Arjuna

Penulis: Peonny274
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-11 18:19:52

Bab 3

“Anin, bangun sebentar, Nduk.”

Suara itu samar, bagai gema dalam mimpi buruk. Anin meringkuk di atas kasur tipisnya, masih terlilit sisa kantuk. Namun tangan ibu mengguncang pelan pundaknya.

“Ibu ada pengajian. Rantang ini tolong diantar ke sawah, ya. Bapak belum makan.”

Dengan setengah sadar dan berat sebelah mata terbuka, Anin duduk. “Kenapa Ibu nggak bilang dari awal sih…” gerutunya sambil mengucek mata. Tapi tangannya tetap menyambut rantang putih dua susun yang diberi ibu.

“Ibu titip ya. Pulangnya bawa rantangnya juga. Jangan ditinggal. Nanti ilang.”

Ibu pergi meninggalkan kamar. Anin mematung sebentar, menghela napas panjang, lalu bergerak seperti zombie. Pertama, ia oleskan sunscreen dan sun block ke leher dan lengan—ritual wajib untuk kulit putih mulusnya. Lalu dipakainya cardigan tipis, karena di baliknya ia hanya pakai daster tidur. Rambut dijedai asal, dan tak lupa, sandal jepit.

Langkahnya berat saat menuju teras. Scoopy putih susu yang dibelinya dengan hasil kerja di Jakarta terparkir manis di sana. Ia naik dan melaju di jalan kampung yang panasnya seperti neraka kecil.

Sepuluh menit kemudian, Anin memarkir motornya di pinggir ladang. Angin kering bertiup membawa debu dan bau tanah. Ia menuruni pematang mencari sosok bapaknya. Beberapa pria muda yang bekerja di sawah melempar siulan dan senyum miring.

“Kiww, Mbaknya cantik banget. Udah ada yang punya belum, nih?”

“Cewek! bagi Wa nya dong!”

Sialan, batin Anin. Ia menahan emosi dan tetap melangkah.

“Mas, lihat Bapak saya nggak? Pak Minan?” tanyanya pada salah satu pekerja yang lebih tua.

“Oh, Pak Minan lagi garap sawah yang di pojok sana, Mbak,” jawabnya ramah.

Anin mengangguk dan berjalan ke arah yang ditunjuk. Di bawah matahari yang makin terik, ia melihat bapaknya menyabit dengan posisi membungkuk. Begitu melihat Anin, Pak Minan langsung naik ke pinggiran dan duduk di cakru—gubuk kecil dari kayu dan seng yang mulai berkarat.

“Lho, kok kamu yang nganter, Nduk?” tanya Bapak sambil tersenyum lelah.

“Ibu ke pengajian,” jawab Anin pendek. Ia duduk di sebelahnya, menyodorkan rantang.

Pak Minan membuka rantang, mengucap bismillah, dan mulai makan dengan tenang. Anin menatap sawah yang luas, lalu beralih menatap sosok tua di sebelahnya. Ada perasaan getir. Bapaknya, yang dulu gagah, kini semakin tua, kurus, dan kulitnya menghitam karena matahari.

“Motornya nggak mogok, toh?” tanya Pak Minan sambil mengunyah.

“Nggak,” jawab Anin. “Emangnya kenapa pak?”

“Dulu, sering mogok di tanjakan. Udah Bapak bawa ke bengkel. Tapi tetap hati-hati, ya nduk.”

Anin mengangguk kecil. Beberapa pekerja di sawah tampak memandangi mereka, lalu terdengar bisik-bisik.

“Serius itu anak Pak Minan? sekarang jadi cantik banget…”

Sambil menunggu Bapaknya selesai makan, Anin mengalihkan pandangannya ke sawah di seberang. Seorang pria sedang menggarap tanah di bawah teriknya matahari. Kausnya basah oleh keringat, menempel di tubuh yang kekar. Wajahnya… duh, ganteng pula.

“Istighfar Anin,” gumam Anin dalam hati. Tapi matanya enggan berpaling.

“Nanti Bapak pulang sendiri, Nduk. Nggak usah ditunggu.”

“Ya udah. Hati-hati ya, Pak.” Anin berdiri, mengangkat rantang. Sebelum berbalik, bapaknya berkata sambil menengok ke langit.

“Hati-hati juga, ya. Udah mulai mendung.”

Anin baru menyadari, langit kini kelabu. Padahal tadi panas menyengat.

“Iya, Pak.” Anin tersenyum lalu bergegas kembali ke sepeda motornya.

Belum jauh ia mengendarai motornya, hujan tiba-tiba turun deras. Seperti ember tumpah dari langit. Anin mengumpat pelan. “Sial…”

Lalu, bruk. Motornya mati mendadak.

"Mampus…”

Ia menepi, berusaha menghidupkan Scoopy itu berkali-kali. Tidak berhasil. Badannya mulai basah kuyup, rantang sudah ia selipkan di dek motor. Ia mengangkat ponsel, mencoba menelepon ibunya. Tidak diangkat. Sekali, dua kali, sampai lima.

“Duh, Ibu… angkat dong…”

Tiba-tiba, suara motor mendekat dari arah belakang. Anin panik. Sepeda motor itu berhenti tepat di depannya. .

“Eh, motornya kenapa, Mbak?” tanya pria itu sambil turun dari motornya.

Anin menoleh. “Mogok, Mas. Dari tadi nggak bisa distarter.”

“Oh, yaudah. Naik aja, saya antar,” ucap pria itu sambil menepuk jok belakang motornya.

Anin tampak ragu. Matanya melirik ke arah motornya.

“Tapi… itu motor saya, Mas. Nggak bisa ditinggal begitu aja,” ucapnya pelan.

Pria itu hanya tersenyum. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu menelpon seseorang.

“Halo, Lek. Bisa ke grosir pakan? Ada motor mogok, tolong diamankan, ya. Iya, motor cewek. tak titip yo.”

Setelah menutup telepon, ia kembali menatap Anin.

“Sudah, tenang aja. Motornya aman. Teman saya orang sawah juga. Sering bantu Bapak sampean,” ujarnya, meyakinkan.

Anin masih ragu, lalu bertanya, “Mas temen kerja Bapak, ya?”

Pria itu mengangguk. “Iya, sering bantu di sawah juga. Yuk, nanti keburu hujan.”

Anin diam. Tubuhnya sudah menggigil, rambutnya basah, dan dingin mulai meresap ke tulang. Dengan ragu, ia naik ke jok belakang. Sambil setengah sadar ia menyandarkan diri karena kedinginan.

Tubuhnya tanpa sengaja bersentuhan dengan punggung pemuda itu. Anin langsung kaget dan menjauh sedikit, tapi pemuda itu hanya berkata pelan, “Nggak apa-apa, saya ngerti. Pegang aja kalau takut jatuh.”

Anin tidak menjawab.

Selama di perjalanan, hati Arjuna tak bisa tenang. Suara pikirannya terus saja berisik.

Apa benar ini anaknya Pak Minan dan Bu Lastri?

Jangan-jangan ini yang dimaksud Ibu tempo hari… Tapi bisa aja kakaknya. Atau adiknya. Tapi… anak Bu Lastri kan cuma satu.

Perjalanan ke rumah terasa jauh lebih singkat. Saat mereka sampai, Anin turun terburu-buru.

“Makasih ya, Mas…”

Sebelum lelaki itu sempat menjawab, suara dari dalam rumah terdengar lantang.

“Lho, Nak Arjuna, ayo masuk dulu! Udah kehujanan gitu.”

“Ndak usah, Bu. Saya pamit dulu ya, sudah terlanjur basah.” Sahut juragan Arjuna sopan.

Ibu menahan tangan Anin yang hendak masuk ke dalam rumah.

“Kamu kok bisa pulang bareng Nak Arjuna, Nduk? Motor kamu ke mana?”

Anin menyerahkan rantang ke tangan ibunya sambil menghela napas.

“Motor Anin mogok, Bu. Sudah ratusan kali Anin telponin Ibu, tapi nggak ada yang diangkat. Pas banget Mas... siapa ya namanya... Arjuna, ya Mas Arjuna lewat. Anin ditawari tumpangan, ya udah Anin ikut. Anin sempat tanya, ‘Mas temen kerja Bapak ya?’ Dia cuma he he aja.”

Ibu langsung melotot.

“Lambemu!” katanya spontan.

“Dia itu juragan, Nduk. Bos-nya bapakmu! Juragan Arjuna!”

Nada suaranya meninggi, dengan penekanan kuat di kata juragan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kesayangan Juragan   Bab 7 || Lamaran

    Juragan Arjuna berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putih bersih yang baru saja disetrika. Napasnya ditahan sejenak, menenangkan degup jantung yang berdetak tak karuan. Malam ini bukan malam biasa—malam ini ia akan melamar seorang gadis, perempuan cantik bernama Anindya Kirana.Ibu masuk ke kamar sambil memeriksa rambutnya yang dibalut kerudung satin."Nanti ibu mau cucu dua ya, Le," bisik Bu Minah sembari merapikan bros di dadanya."Apasih Bu, ini aja baru lamaran loh," jawab Arjuna sambil geleng-geleng.Bu Minah nyengir, lalu langsung keluar kamar. "Ibu belum siap dandan!"Arjuna menghela napas panjang, lalu berjalan ke teras, tempat ayahnya, Pak Wiryono, sudah duduk sejak beberapa menit lalu sambil menyeruput kopi panas.Pak Wiryono menoleh pelan, menatap anak lelakinya dengan mata yang tenang. "Koe memang siap dengan semua ini, kan, Le?"Arjuna mengangguk pelan. "InsyaAllah saya siap, Pak."Pak Wiryono menarik napas dalam. "Jangan pernah anggap pernikahan itu permainan ya, Le

  • Istri Kesayangan Juragan    Mendapat Restu

    Mentari sudah bergeser ke barat ketika suara langkah kaki berat terdengar di teras rumah keluarga Wiryono. Juragan Arjuna terduduk di teras rumah orangtuanya, tubuhnya bersandar lesu di kursi kayu tua yang biasa dipakai mendiang kakeknya duduk sore-sore. Wajahnya datar, tapi matanya menyiratkan kebingungan yang dalam.Di seberangnya, duduk Bu Lastri. Matanya sembab, bekas air mata belum benar-benar kering. Ia menggenggam tangan Bu Minah, seakan masih berharap ini semua hanya mimpi."Jadi gini, Le..." suara Bu Minah membuka percakapan. Suaranya terdengar tenang tapi tak memberi ruang untuk penolakan. "Anin, anaknya Bu Lastri, bersedia menikah sama kamu.”"Kamu mau kan, Le?" tanya Bu Lastri akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.Arjuna diam. Wajah Anin terlintas di benaknya. Gadis kota yang jarang pulang, yang selalu sibuk bekerja, dan kini... rela menikah dengannya demi menyelamatkan keluarganya? Perasaan iba dan bingung menyatu, bergolak dalam dadanya.Dengan nafas berat, Arjuna men

  • Istri Kesayangan Juragan   Pasrah Pada Takdir

    Sudah dua minggu sejak Anin pulang ke kampung, ia sibuk meminjam ke sana sini. Namun tak satupun yang berhasil. Semuanya menolak halus atau tak sanggup membantu. Terdesak waktu, akhirnya Anin memberanikan diri mengajukan pinjaman ke kantor—meski hatinya penuh ragu.Sekarang Anin tengah duduk di kursi empuk ruang HRD, tangannya menggenggam map pengajuan pinjaman yang mulai lemas di pangkuannya. Di seberangnya, Mbak Linda—staf HRD—tersenyum tipis, berusaha ramah walau jelas sulit menyampaikan kabar buruk.“Maaf ya, Anindya… jumlah yang kamu ajukan terlalu besar. Kami hanya bisa bantu lima puluh juta. Itu pun lewat approval manajemen.”Anin tersenyum kecil, meski matanya tampak sayu.“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Saya maklum. Terima kasih banyak sudah diusahakan.”Ia berdiri, membungkuk sopan, lalu melangkah keluar dari ruangan dengan pelan. Begitu pintu tertutup, suara lembut langsung menyapanya.“Gimana, Nin?” tanya Dita, rekan kerjanya, dengan nada penuh harap.Anin hanya menggeleng pela

  • Istri Kesayangan Juragan   Kecupan Hangat

    Bab 4 Tangisan bayi memecah keheningan pagi. Di tengah ruangan yang sederhana namun hangat itu, Juragan Arjuna berdiri tegap, mengumandangkan adzan lembut di telinga kanan anak mereka yang baru lahir. “Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suaranya tenang. Matanya berkaca-kaca. Ia menatap anak itu seolah dunia telah berubah maknanya sejak kehadirannya. Selesai adzan, Arjuna menoleh pada Anin yang duduk bersandar lemah pada ranjang rumah sakit. “Dek,” katanya pelan. Anin mengangguk pelan, senyum di bibirnya mengembang meski tubuhnya masih lelah. Dengan hati-hati, Arjuna menyerahkan si kecil ke dalam pelukannya. Anin menyambutnya dengan tangan gemetar, seolah baru pertama kali menyentuh sesuatu yang begitu suci. Arjuna menunduk, mengecup kening Anin penuh kasih. “Makasih ya, Dek… Udah mau jadi istri Mas… Udah ngasih Mas gelar baru—sebagai ayah…” Anin tersenyum, air matanya mengalir tanpa suara. Ia menatap wajah suaminya, yang kini tampak begitu berbeda dari laki-laki yang dulu sekadar be

  • Istri Kesayangan Juragan   Mas Arjuna

    Bab 3“Anin, bangun sebentar, Nduk.” Suara itu samar, bagai gema dalam mimpi buruk. Anin meringkuk di atas kasur tipisnya, masih terlilit sisa kantuk. Namun tangan ibu mengguncang pelan pundaknya. “Ibu ada pengajian. Rantang ini tolong diantar ke sawah, ya. Bapak belum makan.” Dengan setengah sadar dan berat sebelah mata terbuka, Anin duduk. “Kenapa Ibu nggak bilang dari awal sih…” gerutunya sambil mengucek mata. Tapi tangannya tetap menyambut rantang putih dua susun yang diberi ibu. “Ibu titip ya. Pulangnya bawa rantangnya juga. Jangan ditinggal. Nanti ilang.” Ibu pergi meninggalkan kamar. Anin mematung sebentar, menghela napas panjang, lalu bergerak seperti zombie. Pertama, ia oleskan sunscreen dan sun block ke leher dan lengan—ritual wajib untuk kulit putih mulusnya. Lalu dipakainya cardigan tipis, karena di baliknya ia hanya pakai daster tidur. Rambut dijedai asal, dan tak lupa, sandal jepit. Langkahnya berat saat menuju teras. Scoopy putih susu yang dibelinya dengan hasil k

  • Istri Kesayangan Juragan   Pria Kaya Raya

    Bab 2 Langit belum sepenuhnya terang saat Anindya tiba di stasiun Semarang. Udara pagi masih menggigit, dan tubuhnya terasa lelah setengah mati. Ia memasang kacamatanya—bukan untuk membantu melihat, tapi untuk menyembunyikan matanya yang sembab. Di luar stasiun, mobil pick up tua sudah menunggu. Tetangga sebelah, Pak Raji, duduk di kursi pengemudi. “Anin ya?” sapa Pak Raji, suaranya pelan. "Iya, Pak. Makasih udah jemput.” ucap Anindya pelan. Ia membuka pintu depan dan duduk di samping sopir. Kendaraan mulai melaju. Tapi arah yang mereka tuju… bukan rumah sakit. Anin ingin bertanya, tapi urung. Mungkin, pikirnya, ibu menyuruhnya pulang dulu agar istirahat sebentar sebelum ke ICU. Lagipula matanya berat. Kepalanya berdenyut. Badannya menggigil. Ketegangan semalam belum juga reda. Sesampainya di depan rumah, dia dibangunkan oleh suara pak Raji, “Anin, wis tekan.” Ia membuka mata, mengucek pelan. Dan seketika seluruh tubuhnya membeku. Di teras rumah kecil itu, ayahnya—yang semest

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status