Bab 3
“Anin, bangun sebentar, Nduk.” Suara itu samar, bagai gema dalam mimpi buruk. Anin meringkuk di atas kasur tipisnya, masih terlilit sisa kantuk. Namun tangan ibu mengguncang pelan pundaknya. “Ibu ada pengajian. Rantang ini tolong diantar ke sawah, ya. Bapak belum makan.” Dengan setengah sadar dan berat sebelah mata terbuka, Anin duduk. “Kenapa Ibu nggak bilang dari awal sih…” gerutunya sambil mengucek mata. Tapi tangannya tetap menyambut rantang putih dua susun yang diberi ibu. “Ibu titip ya. Pulangnya bawa rantangnya juga. Jangan ditinggal. Nanti ilang.” Ibu pergi meninggalkan kamar. Anin mematung sebentar, menghela napas panjang, lalu bergerak seperti zombie. Pertama, ia oleskan sunscreen dan sun block ke leher dan lengan—ritual wajib untuk kulit putih mulusnya. Lalu dipakainya cardigan tipis, karena di baliknya ia hanya pakai daster tidur. Rambut dijedai asal, dan tak lupa, sandal jepit. Langkahnya berat saat menuju teras. Scoopy putih susu yang dibelinya dengan hasil kerja di Jakarta terparkir manis di sana. Ia naik dan melaju di jalan kampung yang panasnya seperti neraka kecil. Sepuluh menit kemudian, Anin memarkir motornya di pinggir ladang. Angin kering bertiup membawa debu dan bau tanah. Ia menuruni pematang mencari sosok bapaknya. Beberapa pria muda yang bekerja di sawah melempar siulan dan senyum miring. “Kiww, Mbaknya cantik banget. Udah ada yang punya belum, nih?” “Cewek! bagi Wa nya dong!” Sialan, batin Anin. Ia menahan emosi dan tetap melangkah. “Mas, lihat Bapak saya nggak? Pak Minan?” tanyanya pada salah satu pekerja yang lebih tua. “Oh, Pak Minan lagi garap sawah yang di pojok sana, Mbak,” jawabnya ramah. Anin mengangguk dan berjalan ke arah yang ditunjuk. Di bawah matahari yang makin terik, ia melihat bapaknya menyabit dengan posisi membungkuk. Begitu melihat Anin, Pak Minan langsung naik ke pinggiran dan duduk di cakru—gubuk kecil dari kayu dan seng yang mulai berkarat. “Lho, kok kamu yang nganter, Nduk?” tanya Bapak sambil tersenyum lelah. “Ibu ke pengajian,” jawab Anin pendek. Ia duduk di sebelahnya, menyodorkan rantang. Pak Minan membuka rantang, mengucap bismillah, dan mulai makan dengan tenang. Anin menatap sawah yang luas, lalu beralih menatap sosok tua di sebelahnya. Ada perasaan getir. Bapaknya, yang dulu gagah, kini semakin tua, kurus, dan kulitnya menghitam karena matahari. “Motornya nggak mogok, toh?” tanya Pak Minan sambil mengunyah. “Nggak,” jawab Anin. “Emangnya kenapa pak?” “Dulu, sering mogok di tanjakan. Udah Bapak bawa ke bengkel. Tapi tetap hati-hati, ya nduk.” Anin mengangguk kecil. Beberapa pekerja di sawah tampak memandangi mereka, lalu terdengar bisik-bisik. “Serius itu anak Pak Minan? sekarang jadi cantik banget…” Sambil menunggu Bapaknya selesai makan, Anin mengalihkan pandangannya ke sawah di seberang. Seorang pria sedang menggarap tanah di bawah teriknya matahari. Kausnya basah oleh keringat, menempel di tubuh yang kekar. Wajahnya… duh, ganteng pula. “Istighfar Anin,” gumam Anin dalam hati. Tapi matanya enggan berpaling. “Nanti Bapak pulang sendiri, Nduk. Nggak usah ditunggu.” “Ya udah. Hati-hati ya, Pak.” Anin berdiri, mengangkat rantang. Sebelum berbalik, bapaknya berkata sambil menengok ke langit. “Hati-hati juga, ya. Udah mulai mendung.” Anin baru menyadari, langit kini kelabu. Padahal tadi panas menyengat. “Iya, Pak.” Anin tersenyum lalu bergegas kembali ke sepeda motornya. Belum jauh ia mengendarai motornya, hujan tiba-tiba turun deras. Seperti ember tumpah dari langit. Anin mengumpat pelan. “Sial…” Lalu, bruk. Motornya mati mendadak. "Mampus…” Ia menepi, berusaha menghidupkan Scoopy itu berkali-kali. Tidak berhasil. Badannya mulai basah kuyup, rantang sudah ia selipkan di dek motor. Ia mengangkat ponsel, mencoba menelepon ibunya. Tidak diangkat. Sekali, dua kali, sampai lima. “Duh, Ibu… angkat dong…” Tiba-tiba, suara motor mendekat dari arah belakang. Anin panik. Sepeda motor itu berhenti tepat di depannya. . “Eh, motornya kenapa, Mbak?” tanya pria itu sambil turun dari motornya. Anin menoleh. “Mogok, Mas. Dari tadi nggak bisa distarter.” “Oh, yaudah. Naik aja, saya antar,” ucap pria itu sambil menepuk jok belakang motornya. Anin tampak ragu. Matanya melirik ke arah motornya. “Tapi… itu motor saya, Mas. Nggak bisa ditinggal begitu aja,” ucapnya pelan. Pria itu hanya tersenyum. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu menelpon seseorang. “Halo, Lek. Bisa ke grosir pakan? Ada motor mogok, tolong diamankan, ya. Iya, motor cewek. tak titip yo.” Setelah menutup telepon, ia kembali menatap Anin. “Sudah, tenang aja. Motornya aman. Teman saya orang sawah juga. Sering bantu Bapak sampean,” ujarnya, meyakinkan. Anin masih ragu, lalu bertanya, “Mas temen kerja Bapak, ya?” Pria itu mengangguk. “Iya, sering bantu di sawah juga. Yuk, nanti keburu hujan.” Anin diam. Tubuhnya sudah menggigil, rambutnya basah, dan dingin mulai meresap ke tulang. Dengan ragu, ia naik ke jok belakang. Sambil setengah sadar ia menyandarkan diri karena kedinginan. Tubuhnya tanpa sengaja bersentuhan dengan punggung pemuda itu. Anin langsung kaget dan menjauh sedikit, tapi pemuda itu hanya berkata pelan, “Nggak apa-apa, saya ngerti. Pegang aja kalau takut jatuh.” Anin tidak menjawab. Selama di perjalanan, hati Arjuna tak bisa tenang. Suara pikirannya terus saja berisik. Apa benar ini anaknya Pak Minan dan Bu Lastri? Jangan-jangan ini yang dimaksud Ibu tempo hari… Tapi bisa aja kakaknya. Atau adiknya. Tapi… anak Bu Lastri kan cuma satu. Perjalanan ke rumah terasa jauh lebih singkat. Saat mereka sampai, Anin turun terburu-buru. “Makasih ya, Mas…” Sebelum lelaki itu sempat menjawab, suara dari dalam rumah terdengar lantang. “Lho, Nak Arjuna, ayo masuk dulu! Udah kehujanan gitu.” “Ndak usah, Bu. Saya pamit dulu ya, sudah terlanjur basah.” Sahut juragan Arjuna sopan. Ibu menahan tangan Anin yang hendak masuk ke dalam rumah. “Kamu kok bisa pulang bareng Nak Arjuna, Nduk? Motor kamu ke mana?” Anin menyerahkan rantang ke tangan ibunya sambil menghela napas. “Motor Anin mogok, Bu. Sudah ratusan kali Anin telponin Ibu, tapi nggak ada yang diangkat. Pas banget Mas... siapa ya namanya... Arjuna, ya Mas Arjuna lewat. Anin ditawari tumpangan, ya udah Anin ikut. Anin sempat tanya, ‘Mas temen kerja Bapak ya?’ Dia cuma he he aja.” Ibu langsung melotot. “Lambemu!” katanya spontan. “Dia itu juragan, Nduk. Bos-nya bapakmu! Juragan Arjuna!” Nada suaranya meninggi, dengan penekanan kuat di kata juragan.Bab 25.Pagi itu langit mendung, tapi suasana kampung tetap hidup. Anak-anak bermain sepeda di jalanan kecil, ibu-ibu sibuk menjemur pakaian, dan suara ayam bersahutan dari kandang belakang rumah warga. Bu Minah, dengan daster batik dan kerudung tipis yang dililit asal, baru saja memberikan uang kebersihan kepada pemuda desa yang datang menagih iuran rutin.“Makasih ya, Buk,” ucap pemuda itu, tersenyum ramah.“Sami-sami, Le. Sing semangat bersih-bersih desane,” balas Bu Minah, senyum tipis menghiasi wajahnya yang mulai berkeriput.Pemuda itu melanjutkan langkahnya menuju rumah tetangga sebelah, dan Bu Minah pun kembali memperhatikan pot bunga kesayangannya yang baru saja ia siram tadi pagi—pot besar berisi anggrek bulan, ditaruh rapi di tepi halaman rumahnya.Tiba-tiba…Brakkk!Sebuah sepeda kecil melaju kencang dan menabrak pot bunga itu. Potnya pecah, tanah berhamburan, dan si anak laki-laki jatuh terguling di tanah sambil menangis kencang.“Hehh! Astaghfirullah!” teriak Bu Minah pa
Bab 24.Anin melirik jam di handphone-nya. Sudah hampir pukul dua siang. Uap dari nasi yang tadi mengepul hangat perlahan menghilang, menyisakan dingin di meja makan. Ayam goreng yang digorengnya sebelum dzuhur sudah tak lagi renyah. Sambal tomat buatan sendiri pun mulai mengering di pinggir piring kecil.Ia duduk di kursi, diam. Tidak ada suara selain denting jam dinding dan bunyi kipas angin yang menderu pelan. Tangannya menahan dagu, matanya sayu. Arjuna belum juga pulang.Anin menghela napas berat. Ia tahu suaminya sibuk. Tapi tetap saja, ada rasa kesal. Tak ada kabar, tak ada pesan, hanya menunggu dan menunggu sampai rasa lapar berubah menjadi malas.Tak lama kemudian, suara berat memecah kesunyian.“Assalamualaikum…” suara Arjuna terdengar dari luar.Anin menjawab pelan, “Waalaikumsalam.”Arjuna masuk dengan langkah santai. Tanpa banyak bicara, ia langsung menuju kamar mandi. Seperti kebiasaannya, walaupun hanya duduk di ruang kerja atau keliling kandang, Arjuna tetap mencuci ta
Bab 23.Pagi itu, matahari baru saja naik malu-malu di balik bukit. Anin sudah bangun sejak Subuh, menyiapkan sarapan untuk Arjuna: nasi hangat, tempe goreng, dan sambal tomat kesukaan suaminya. Setelah Arjuna berangkat ke sawah, Anin membereskan dapur sebentar, lalu mengisi alat penyiram tanaman dari keran di samping rumah.Sambil bersenandung kecil, ia menyiram koleksi bunga yang ia tanam di luar pagar: mawar merah, kenanga, dan beberapa pot bunga krisan yang baru ia beli dari pasar minggu lalu. Tanah masih basah, aroma embun bercampur wangi bunga menyeruak pelan.Di seberang jalan, seorang ibu-ibu dengan daster batik berjalan sambil menenteng belanjaan di tangan kiri. Wajahnya terlihat lelah tapi semangat. Ia melambai ketika melihat Anin.“Eh Anin, lagi nyiram bunga ya?” sapa Bu Sri, tetangga depan rumah yang terkenal cerewet tapi juga cepat akrab.“Iya Bu, biar nggak layu,” jawab Anin ramah.Bu Sri melangkah pelan mendekat, meletakkan kantong belanjaan di pinggir jalan, lalu memic
Bab 22. Di dalam kamar yang luas dan hangat, Arjuna membungkuk di depan lemari, memutar kombinasi angka di brankas kecil miliknya. Suara klik terdengar saat kunci terbuka, dan pintu besi pelan-pelan terbuka, memperlihatkan beberapa bundel uang yang disusun rapi. Di sofa sudut kamar, Anin duduk bersila, memainkan jari-jarinya sambil memperhatikan suaminya. Hembusan angin dari celah tirai membuat kain itu berkibar pelan. "Tirainya ditutup dulu, Dek," ujar Arjuna tanpa menoleh. "Nanti ada tuyul yang masuk." Anin tertawa kecil. “Iya, Mas. Siap.” Ia berdiri dan menarik tirai tebal itu sampai menutup sempurna. Kamar menjadi sedikit lebih redup, tapi tetap nyaman. Arjuna meletakkan dua bundel uang di atas meja kecil di hadapan Anin. "Ini untuk kebutuhan bulan ini," ucapnya singkat. Anin bergeser, duduk lebih dekat. Ia membagi uang itu dengan telaten. “Yang ini untuk makan,” ujarnya sambil menyisihkan sebagian. “Ini buat kebetulan rumah. Yang ini pakan ternak, dan ini pupuk.” Arj
Bab 21.Matahari sudah tinggi ketika Arjuna terbangun, lalu terkesiap melihat jam di dinding.“Dek... kita kesiangan,” gumamnya seraya bangkit dari tempat tidur.Anin, yang masih malas membuka mata, hanya berguling pelan. “Iya mas. Aku enggak sempat masak.”Arjuna mengenakan kaos dan celana santai. “Mas ke warung depan ya, beli sarapan dulu. Kamu beresin kamar aja.”“Hmm, iya mas... hati-hati,” jawab Anin sambil duduk di pinggir ranjang, menyisir rambut dengan jari.Setelah Arjuna keluar, Anin mulai membereskan tempat tidur. Ia merapikan bantal, menarik sprei, dan menata selimut. Tapi saat ia berjalan ke sisi ranjang tempat Arjuna biasanya tidur, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di meja kecil.Dompet kulit kecokelatan.“Mas pasti lupa bawa dompet,” gumamnya.Ia mengambil dompet itu, niatnya hanya ingin mengantarkan. Tapi jemarinya berhenti di sana. Ada rasa penasaran yang menggelitik, entah datang dari mana. “Cuma lihat sebentar, kok. Kan ini dompet suami sendiri...” bisikny
Bab 20.Angin lembut mengayun dedaunan, membawa suara jangkrik dan aroma tanah yang lembab selepas petang. Di teras rumah, Arjuna dan Anin duduk berdampingan. Lampu mewah menggantung cantik di teras rumah, memantulkan cahaya lembut di wajah pasangan pasutri itu.Arjuna menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mengusap pelan tengkuknya yang terasa pegal setelah seharian beraktivitas. Anin duduk tenang di sebelahnya, tangannya diletakkan di sandaran tangan kursi, sambil sesekali menatap langit yang mulai menghitam sempurna.“Beberapa kambing tadi pagi lahiran, Dek,” ucap Arjuna memecah keheningan. Senyumnya mengembang, suaranya tenang seperti biasa.Anin menoleh, bibirnya tersenyum kecil. “Alhamdulillah... banyak, Mas?”“Empat ekor. Semuanya sehat. Yang dua kembar. Nanti kamu lihat deh, lucu-lucu.”Anin mengangguk, tapi senyumnya tak bertahan lama. Matanya kembali menerawang jauh ke depan, ke arah jalan desa yang kini sepi. Di kepalanya, suara-suara asing bergaung kata-kata yang men