Bab 22. Di dalam kamar yang luas dan hangat, Arjuna membungkuk di depan lemari, memutar kombinasi angka di brankas kecil miliknya. Suara klik terdengar saat kunci terbuka, dan pintu besi pelan-pelan terbuka, memperlihatkan beberapa bundel uang yang disusun rapi. Di sofa sudut kamar, Anin duduk bersila, memainkan jari-jarinya sambil memperhatikan suaminya. Hembusan angin dari celah tirai membuat kain itu berkibar pelan. "Tirainya ditutup dulu, Dek," ujar Arjuna tanpa menoleh. "Nanti ada tuyul yang masuk." Anin tertawa kecil. “Iya, Mas. Siap.” Ia berdiri dan menarik tirai tebal itu sampai menutup sempurna. Kamar menjadi sedikit lebih redup, tapi tetap nyaman. Arjuna meletakkan dua bundel uang di atas meja kecil di hadapan Anin. "Ini untuk kebutuhan bulan ini," ucapnya singkat. Anin bergeser, duduk lebih dekat. Ia membagi uang itu dengan telaten. “Yang ini untuk makan,” ujarnya sambil menyisihkan sebagian. “Ini buat kebetulan rumah. Yang ini pakan ternak, dan ini pupuk.” Arj
Bab 21.Matahari sudah tinggi ketika Arjuna terbangun, lalu terkesiap melihat jam di dinding.“Dek... kita kesiangan,” gumamnya seraya bangkit dari tempat tidur.Anin, yang masih malas membuka mata, hanya berguling pelan. “Iya mas. Aku enggak sempat masak.”Arjuna mengenakan kaos dan celana santai. “Mas ke warung depan ya, beli sarapan dulu. Kamu beresin kamar aja.”“Hmm, iya mas... hati-hati,” jawab Anin sambil duduk di pinggir ranjang, menyisir rambut dengan jari.Setelah Arjuna keluar, Anin mulai membereskan tempat tidur. Ia merapikan bantal, menarik sprei, dan menata selimut. Tapi saat ia berjalan ke sisi ranjang tempat Arjuna biasanya tidur, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di meja kecil.Dompet kulit kecokelatan.“Mas pasti lupa bawa dompet,” gumamnya.Ia mengambil dompet itu, niatnya hanya ingin mengantarkan. Tapi jemarinya berhenti di sana. Ada rasa penasaran yang menggelitik, entah datang dari mana. “Cuma lihat sebentar, kok. Kan ini dompet suami sendiri...” bisikny
Bab 20.Angin lembut mengayun dedaunan, membawa suara jangkrik dan aroma tanah yang lembab selepas petang. Di teras rumah, Arjuna dan Anin duduk berdampingan. Lampu mewah menggantung cantik di teras rumah, memantulkan cahaya lembut di wajah pasangan pasutri itu.Arjuna menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mengusap pelan tengkuknya yang terasa pegal setelah seharian beraktivitas. Anin duduk tenang di sebelahnya, tangannya diletakkan di sandaran tangan kursi, sambil sesekali menatap langit yang mulai menghitam sempurna.“Beberapa kambing tadi pagi lahiran, Dek,” ucap Arjuna memecah keheningan. Senyumnya mengembang, suaranya tenang seperti biasa.Anin menoleh, bibirnya tersenyum kecil. “Alhamdulillah... banyak, Mas?”“Empat ekor. Semuanya sehat. Yang dua kembar. Nanti kamu lihat deh, lucu-lucu.”Anin mengangguk, tapi senyumnya tak bertahan lama. Matanya kembali menerawang jauh ke depan, ke arah jalan desa yang kini sepi. Di kepalanya, suara-suara asing bergaung kata-kata yang men
Bab 19.Pagi itu sinar matahari menelusup pelan melalui celah tirai dapur, memantul lembut di atas meja makan rumah keluarga Wicaksana. Anin duduk di samping Arjuna, suaminya, Sepiring nasi hangat dengan telur dadar dan sambal terasi jadi menu pagi ini. Anin menyendokkan nasi ke mulut, lalu membuka percakapan.“Mas,” ucap Anin sambil meniup ujung sendoknya yang masih panas, “Ayu sekarang semester berapa ya?”Arjuna yang sedang menyeruput teh hangatnya menoleh, berpikir sejenak. “Semester tiga, Dek. Kayaknya baru masuk semester ganjil ini.”“Oh iya ya... cepet banget ya. Rasanya baru jadi adik kelas waktu SMA,” Anin mengangguk pelan, membayangkan Ayu yang masih lugu dan suka nyerocos saat ngobrol.Anin ikut tersenyum. “Tapi pinter juga ya, bisa sampai ITB.”“Pinter sih pinter... cuma ya itu, udah besar manjanya engga ilang-ilang,” Arjuna terkekeh.Anin tertawa kecil, lalu terdiam sejenak. Wajahnya seperti mengingat sesuatu.“Eh, Mas... hari ini aku bantu Ibu ya, buat arisan keluarga ya
Bab 18.Anin menata lauk pauk di atas meja makan. Ia menutup setiap hidangan dengan tudung saji, memastikan semuanya rapi dan bersih. Ada ayam goreng ungkep, sambal terasi, sayur bening bayam, dan sepiring kecil tempe goreng kesukaan Arjuna. Ia tersenyum kecil melihat hasil tangannya. Semua siap.Ia naik ke lantai dua, berjalan perlahan ke kamar mandi. Air dingin membasuh tubuhnya, menyegarkan kepala yang sempat penat oleh suara-suara ibu-ibu warung pagi tadi. Usai berganti baju, Anin turun kembali dan duduk di meja makan. Ponselnya digenggam, sesekali matanya menatap layar, lalu berpindah ke arah pintu, menanti Arjuna pulang.Tak lama, suara motor menderu pelan di halaman. Anin tersenyum kecil dan segera bangkit berdiri."Assalamualaikum," suara Arjuna dari depan pintu, membuka helm dan menggantungkan jaketnya."Waalaikumsalam," sahut Anin pelan.Arjuna berjalan mendekat, keringat masih membasahi pelipisnya. Wajahnya terlihat lelah, tapi senyum tak pernah absen dari wajah laki-laki i
Bab 17.“Dek, bangun, dek... ayo sholat,” bisik Arjuna pelan, suara khas orang bangun tidur lalu mendekatkan wajahnya ke leher Anin.Hembusan nafasnya yang hangat membuat Anin menggerutu pelan. “Awas, Mas...” gumamnya, separuh kesal, separuh masih terbuai kantuk. Tubuhnya menggeliat malas, berusaha menjauh dari kehangatan Arjuna yang terlalu nyaman untuk ditinggalkan pagi-pagi begini.Tapi Arjuna tertawa pelan. “Subuh, dek. Nggak baik ditunda-tunda.”Dengan enggan, Anin mengangkat selimut, menyingkir dari pelukan suaminya. Ia duduk di pinggir ranjang, mengucek mata, lalu berdiri dan berjalan pelan ke kamar mandi. Kakinya menyeret, tapi tubuhnya bergerak mantap. Tak lama, terdengar suara kran air dan gemericik dari dalam.Sementara itu, Arjuna sudah duduk bersila di tepi ranjang, mengenakan sarung kotak-kotak dan peci hitam sederhana. Wajahnya tampak segar, bersih dari sisa kantuk. Anin keluar dari kamar mandi, wajahnya basah karena wudhu, rambutnya digelung asal. Ia memandangi Arjuna