Share

Membutuhkan Penjelasan

Zara memandangi dua bayi kembar yang baru saja lahir ke dunia, begitu cantik dan sangat beruntung karena lahir ditengah-tengah dua keluarga yang kaya raya.

Ia mengesah mengingat dulu pernah menjadi orang kaya dan menikmati segala kemewahan.

Tuhan begitu mudah merubah nasib seseorang seperti membolak-balikan telapak tangan.

Sekarang kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat tapi Zara patut bersyukur karena telah terbebas dari Jordi.

Ia dan keluarganya bisa kembali ke Negaranya dan memulai hidup baru.

Sebuah sentuhan di pundak membuat Zara menoleh. Arkana, pria itu masih saja mengikutinya.

Sebetulnya apa yang dia mau?

“Arsha udah masuk ruang rawat, kita ketemu dia dulu trus pamit ... nanti gue anter lo pulang,” ujar Arkana mengatur sesuka hati.

Zara menghadapkan tubuhnya secara sempurna ke depan Arkana, dagunya terangkat menatap lekat mata pria yang tidak bisa ia pungkiri jika Arkana yang sekarang jauh lebih tampan dengan tubuh kekar berisi sedikit berbeda dari Arkana yang dulu ia kenal.

“Kenapa?” tanya Zara selanjutnya.

“Kenapa apanya?” Arkana balik bertanya menghasilkan kerutan di keningnya.

“Kenapa Kak Arkana peduli? Aku tuh trauma ... dulu Kakak sering jailin aku ... mulai sekarang jauh-jauh dari aku, Kakak enggak boleh deket-deket sama aku minimal dua ratus meter.” Zara mundur beberapa langkah tapi tangan Arkasa dengan cepat mencekal tangannya.

Arkana bukanlah pria penyabar, ia menarik Zara hingga dada sang gadis membentur dadanya.

“Ikutin keinginan gue atau gue akan mengulang apa yang gue lakuin semasa SMA sama, lo!” bisik Arkana serak dengan tatapan mata tajam.

Mata cantik Zara membulat, ia menelan saliva merasakan aura kelam yang saat ini menyelimuti Arkana.

Pria itu mencengkram lengan atas Zara. “Lo denger ‘kan apa yang gue bilang?” tanyanya dengan intonasi tinggi sambil mengguncang tubuh Zara.

“De ... denger,” jawab Zara cepat sebelum pria itu mengamuk.

Tiba-tiba saja Zara menjadi penurut, ia benar-benar merasa ketakutan melebihi rasa takutnya pada Jordi melihat ekspresi Arkana tadi.

Bukan karena ancamannya melainkan raut wajah Arkana yang sangat menyeramkan, pria tampan itu seperti sedang kerasukan dan Zara tidak ingin mengambil resiko dengan membantahnya.

Arkana merangkul pundak Zara setelah tadi mengancamnya.

“Gini donk, kalau lo kooperatif kaya gini ... hidup lo bakal aman sama gue,” ujar pria itu dengan nada bicara santai, jauh berbeda dengan nada yang ia keluarkan tadi ketika mengancam Zara.

“Iiisshh ... dasar nyebelin!” gumam Zara mendengus, wajah cantiknya memberengut begitu menggemaskan bagi Arkana.

Arkana mengulum senyum, mencuri-curi pandang ke arah Zara yang sedang berada dalam rangkulannya.

“Menang banyak,” soraknya dalam hati.

Tidak lama kemudian keduanya sampai di depan kamar rawat Arsha.

“Ca ... aku pamit ya, besok pulang kerja ... aku ke sini lagi.” 

“Makasih, Ra.” Arsha menyentuh tangan Zara dengan sorot mata teduh.

“Bang ... gue anter Zara dulu, nanti gue balik lagi.” Arkana ikut pamit.

Keduanya pergi setelah mendapat anggukan sepasang suami istri yang sedang berbahagia karena kelahiran kedua putri kembar mereka.

“Siapa cewek yang tadi?” Kama bertanya kepada istrinya.

“Dia Zara ... temen kuliah Caca dulu, Bang.” 

“Trus hubungannya sama Arkana?” sang suami bertanya kembali. 

Arsha menggelengkan kepala, ia juga ingin tau sebetulnya ada hubungan apa antara Zara dan Arkana karena saat di Caffe tadi Zara seolah enggan bertemu Arkana sementara Arkana justru menginginkan penjelasan atas menghilangnya Zara.

Di lorong rumah sakit, Zara menghentak kakinya melangkah cepat ingin segera menjauh dari Arkana.

Zara kesal sekesal kesalnya karena Arkana berhasil membuatnya jadi gadis penurut.

Bagaimana tidak, tadi Arkana begitu menyeramkan dan detik berikutnya kembali menyebalkan.

“Ra ... tunggu, pelan-pelan ... nanti kamu kepeleset ... lantai rumah sakit ini licin.” 

“Enggak usah sok perhatian,” gumam Zara kesal.

Arkana menarik lengan Zara untuk ia lingkarkan di pinggang belakangnya lalu merangkul pundak sang gadis.

“Ih ... lepasin!” Zara meronta.

“Enggak!” 

“Kak Ar ... lepasin!” 

“Enggak ... gue pengen meluk lo, suruh siapa lo ngilang gitu aja!” 

“Kak Aaaaarrrr ... aku teriak nih!” Zara mengancam.

“Teriak aja, ini rumah sakit milik Grandpa gue ... lo mau teriak ... mau kayang ampe mau dangdutan di loby juga, gue ijinin.” 

Lihatlah betapa menyebalkannya pria itu, bagaimana Zara tidak membencinya.

“Ceritain dulu sama gue kenapa lo ngilang dan kemana aja lo selama ini ... baru nanti gue lepasin.” 

Arkana hanya membutuhkan penjelasan itu meski ia telah mengetahui alasan Zara dan keluarganya menghilang tapi ia harus tau apa saja yang dialami Zara selama ini.

“Kak Ar, enggak pengen tau kenapa aku kenal sama Caca?” Zara yang masih berada dalam dekapan Arkana malah mengajukan pertanyaan yang sudah tentu bisa Arkana jawab.

“Lo temen kuliah Caca waktu di Singapura,” jawab Arkana enteng.

“Kok Kak Ar tau?” Zara berkerut kening heran.

Tentu saja Arkana tau, sering kali ia melakukan perjalanan Amerika – Singapura semasa kuliah hanya untuk bertemu Zara atau lebih tepatnya melihat Zara dari jauh karena Arkana tidak berani mendatangi gadis itu secara langsung.

Dan mengetahui Zara kenal dengan Arsha yang Arkana ketahui pernah berkuliah di Singapura, sudah dipastikan jika Zara adalah teman kuliah Kakak iparnya.

“Ya tau lah lo pernah kuliah di Singapura dan Caca juga kuliah di sana ... sekarang ceritain kemana aja lo selama ini!” 

“Untuk apa sih Kak? Peduli banget sama aku ... buat jadi bahan bullyan Kak Ar lagi ya?” 

Belum sempat Arkana menjawab, suara manja seorang perempuan membuat langkah mereka yang sudah berada di loby seketika berhenti.

“Arkana!” panggil seorang gadis yang tidak lain adalah Bunga.

“Apaan?” Arkana bertanya ketus.

“Gue ikut lo balik ya! Gue enggak bawa mobil.” 

“Emang gue supir lo!” seru Arkana kesal, lama-lama Bunga ngelunjak karena sering di kasih hati.

“Pulang pake taxi!” sambung Arkana kemudian membawa Zara segera pergi keluar gedung rumah sakit.

Wajah Bunga mengeras dengan kedua tangan terkepal di samping tubuh tapi kemudian otot-ototnya yang tegang karena amarah pun mengendur mengingat bila Arkana pasti mendatangi apartemennya karena malam ini adalah jadwal pria itu mendapat jatah untuk ia puaskan.

Bunga tersenyum miring lantas berbalik menuju ruangannya untuk mengambil tas.

“Masuk!” Arkana membukakan pintu mobil untuk Zara setelah menerima kunci mobil dari security yang memarkirnya mobilnya.

Cucu pemilik rumah sakit ini ternyata mendapat parkir eksclusive tepat di depan pintu loby, sejajar dengan mobil sang Grandpa.

Bibir Zara mencebik, memberikan delikan tajam namun tak ayal ia masuk juga ke mobil mewah milik Arkana.

Arkana memutar setengah bagian mobil dengan cara berlari untuk dapat duduk di balik kemudi dan melajukan kendaraannya keluar dari pelataran parkir rumah sakit.

“Kita makan dulu ya!” Sekali lagi, perintah itu sungguh membuat Zara jengah.

“Enggak, aku mau pulang!” Zara berseru ketus.

Krubuk ... krubuk ...

Suara perut Zara yang cukup kencang terdengar hingga telinga Arkana dan mencetuskan gelak tawa pria itu.

Pipi Zara memerah, perutnya sendiri tidak bisa di ajak bekerja sama, sungguh sangat menyebalkan.

Sebetulnya Zara belum makan dari pagi, ia membantu sang Bunda berjualan kue di pasar kemudian pergi ke caffe untuk interview.

Ia pikir akan makan bersama dengan Arsha di caffe itu karena uang yang ia punya hanya untuk sekali makan.

Tapi kenyataannya ia harus mengantar Arsha melahirkan dan sampai sore ini belum ada apapun yang masuk ke perutnya.

Pantas saja perut Zara protes keras. “Lo tuh lucu ya, makanya dari dulu gue seneng banget isengin lo.” 

“Mana ada cewek lucu diisengin? Yang ada disayang ... dimanja,” tukas Zara sewot.

“Jadi lo pengen gue sayang-sayang trus gue manja-manja gitu?” Arkana bertanya dengan nada menggoda.

“Enggak sudi!” Zara melipat tangan di depan dada dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela di sebelah kirinya, malas menatap wajah tampan pria itu yang sikapnya sangat menyebalkan.

Arkana mengulum senyum. Ya Tuhan, betapa bahagia hatinya karena dapat bertemu kembali dengan Zara.

Satu jam kemudian mereka sampai di sebuah restoran mewah.

“Turun!” Nada perintah lagi yang Zara dengar meski Arkana memperlakukannya bak seorang ratu dengan membukakan pintu mobil.

Zara sudah malas mendebat, tubuhnya lemas karena seharian ini belum makan.

Ia berjalan lebih dulu namun ketika sampai di pintu, langkah Zara tiba-tiba terhenti.

“Eit, mau kemana?” Arkana menahan tubuh Zara yang hendak pergi menjauhi restoran.

“Ganti restoran aja ... aku pake baju kaya gini, enggak enak diliatin pelayan,” bisik Zara gelisah.

“Enggak apa-apa, ayo!” Arkana memutar tubuh Zara lalu merangkulnya seperti seorang kekasih.

Zara sudah tidak mempunyai tenaga untuk membantah, selain itu Arkana bukan tipe pria yang bisa menghargai keinginannya bahkan pria itu selalu saja memaksa jadi Zara pasrah dalam dekapan Arkana, masuk ke dalam restoran mewah tersebut.

Zara menyembunyikan dirinya di bawah lengan Arkana yang kekar.

Seorang pelayan yang mengantar mereka sesekali mencuri pandang, merasa aneh melihat pakaian Zara yang tidak pantas di pakai ke restoran semewah ini.

Akhirnya mereka sampai di lantai paling atas gedung, terdapat banyak gazebo dengan bantal cantik berwarna-warni dan Arkana memilih gazebo paling ujung agar lebih privat.

Setelah mempersilahkan, sang pelayan pergi untuk membawa pesanan yang baru saja Arkana sebutkan. 

“Jangan deket-deket ah, duduknya sebelah sana.” Zara risih berdekatan dengan Arkana.

Trauma akan pria itu yang selalu menjailinya masih membekas dalam hati dan ingatan Zara.

“Kenapa sih lo kaya yang anti banget sama gue?” 

“Pake nanya lagi, aku ‘kan udah bilang ... aku tuh trauma dijailin Kak Ar.” 

“Ya sekarang udah enggak kali, Ra ... sini duduknya deketan.” Arkana menepuk bantal duduk kosong di sampingnya.

Ia rindu pada gadis itu dan selalu ingin berdekatan dengannya.

“Enggak mau!” seru Zara dengan tegas.

“Ya udah, gue yang ke sana.” Arkana beranjak lalu duduk di samping Zara.

Pria itu sungguh sangat menyebalkan. Zara tidak ingin berinteraksi lagi dengan Arkana karena kesal membutuhkan tenaga sedangkan ia sedang kelaparan saat ini.

Jadi yang dilakukan Zara adalah membenamkan kepalanya di antara kedua tangan yang ia lipat di atas meja.

“Cape ya, Ra?” Arkana bertanya sambil mengelus rambut di kepala Zara dengan lembut.

“Laper!” balas Zara ketus.

“Sabar ya, sebentar lagi makanannya dateng.” 

Arkana terus mengelus kepala Zara dan yang bersangkutan membiarkannya karena lama-lama sentuhan itu membuat Zara nyaman.

Entah sadar atau tidak, Arkana melabuhkan kecupan di puncak kepala Zara.

“Kak Ar, apaan sih?” Zara menegakan tubuhnya.

Wajahnya memberengut karena tidak terima Arkana mengecup kepalanya.

“Kecup kepala kamu,” jawab Arkana padahal itu adalah pertanyaan retoris.

“Iya aku tau, tapi ngapain kecup-kecup kepala aku segala?” 

“Kenapa memang? Dulu waktu SMA aja gue biarin lo kecup bibir gue ... pake ngutuk-ngutuk gue segala biar jatuh cinta sama lo, sekarang gue udah jatuh cinta sama lo ... lo harus tanggung jawab!” 

Zara mengerjap, Arkana masih mengingat apa yang ia lakukan padanya bertahun-tahu yang lalu?

Sungguh sangat Luar biasa, Zara sampai takjub dan apa katanya tadi? 

Pria itu jatuh cinta padanya? 

Zara mendengus geli menanggapi apa yang dikatakan benaknya barusan.

Tidak mungkin Arkana mencintainya, dulu ketika ia masih cantik dan kaya raya saja pria itu membencinya dengan sering melakukan perbuatan yang merugikannya apalagi sekarang ketika wajah dan tubuhnya tidak terurus juga sudah jatuh miskin.

Jadi sangat tidak mungkin Arkana mencintainya, begitulah kira-kira prasangka Zara kepada Arkana.

“Sekarang ceritain ke gue apa yang terjadi sama lo selama ini.” 

Sorot mata beserta nada suara Arkana begitu hangat, pria itu seperti malaikat yang ingin membantunya.

Mata Zara berkaca-kaca, dadanya terasa sesak bila mengingat pelariannya bersama kedua orang tua yang penuh dengan penderitaan. 

Perlahan mengalirlah cerita itu dari bibir Zara sambil menahan laju air mata.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status