Mau berniat dirahasiakan seperti apa, pernikahan tersebut pastilah banyak yang tahu. Meski mereka-mereka hanya menebak-nebak dan tidak seratus persen yakin, tapi gunjingan atau omongan orang-orang tetap ada. Ada yang membicarakan sisi baik, ada juga yang memihak sisi buruknya.
Setelah ditinggal pergi oleh Noah ke kantor, Clara diam di rumah bersama suster dan Baby Jou. Awal pernikahan yang buka keinginannya tetaplah harus ia buat seolah tidak menjadi beban.
"Mela," panggil Clara saat suster Jou itu tengah membuatkan susu untuk Jou.
"Iya, kenapa Nona?"
"Apa kau bekerja bersama keluarga Noah baru saat Jou ada?"
"Tidak, Nona. Saya sudah ikut keluarga Tuan Josh sekitar enam tahun yang lalu."
Clara manggut-manggut. "Ternyata sudah cukup lama ya?"
Sambil menyodorkan ujung dot pada Jou, Mela tersenyum dan mengangguk.
"Ngomong-ngomong, apa keluarga Tuan Josh baik? Aku hanya takut karena … em, kau tahulah, pernikahan ini bukan karena kemauan Noah dan aku."
"Saya mengerti, Nona, tapi tenang saja, Nyonya Lily orangnya sangat baik. Hanya saja …."
"Apa?" Clara mengerutkan dahi.
"Nyonya Lily nampak tidak suka dengan Nona Chloe. Dulu, saat Nona Chloe datang, Nyonya Lily enggan untuk menemuinya. Kalau ditanya kenapa, maaf, saya sendiri kurang tahu alasannya."
Kalimat panjang Mela, membuat Clara termenung. Clara merasa ibu mertuanya itu bersikap baik padanya. Jika berbalik pada Chloe yang justru kekasih Noah, itu memang membuat hati merasa penasaran.
Tidak lama setelah mereka berdua ngobrol, Baby Jou terlihat sudah tidur pulas. Mela segera mengangkat Jou dan memindahkan ke dalam kamar.
Tok! Tok! Tok!
Belum sempat Mela melangkah dan Clara berdiri, terdengar suara ketukan pintu dari arah ruang tamu.
"Biar aku saja," kata Clara saat salah satu pelayan berjalan cepat hendak membukakan pintu.
Pelayan tersebut mengangguk dan kembali ke dalam. Sementara Mela pergi menidurkan Jou ke kamar.
"Ibu," celetuk Clara saat pintu ruang tamu sudah terbuka.
"Hai, Sayang," sahut Lily.
Clara yang nampak terkejut segera tersenyum dan mencium punggung telapak tangan ibu mertuanya. "Ibu datang?"
Lily mengangguk. Ia tersenyum ramah karena merasa senang dengan sikap Clara yang sopan padanya.
"Ayo masuk, Bu!" ajak Clara antusias.
Lily pun masuk ke dalam. Terlihat di tangan kirinya ia menenteng sebuah paper bag berwarna hitam.
"Duduk dulu, Bu. Aku akan buatkan minuman," kata Clara sambil mempersilahkan ibu mertuanya untuk duduk.
Clara sudah sampai di dapur. Ia meminta bantuan salah satu pelayan untuk membuatkan minuman dan cemilan yang Lily suka. Clara hanya belum tahu selera ibu mertuanya itu seperti apa.
Lima menit kemudian, Clara pun kembali sambil membawa segelas jus mangga dan kue kering.
"Maaf menunggu lama," kata Clara sambil meletakkan nampan berisi jus dan kue kering di atas meja.
Lily hanya tersenyum. Begitu Clara sudah ikut duduk, pandangan Lily mengarah, memantau ruangan lain.
"Di mana Noah?" tanya Lily.
"Pergi ke kantor, Bu."
"Apa?" Lily membelalak membuat Clara kaget. "Kenapa pergi ke kantor?"
"A-aku tidak tahu, Bu," jawab Clara gugup. "Mungkin sedang banyak pekerjaan."
"Keterlaluan!" hardik Lily sambil mengepalkan tangan. "Kenapa kau ijinkan dia pergi?" Lily menatap Clara lagi.
Tatapan tajam Lily membuat Clara nampak menciut. "A-aku, aku merasa tidak ada hak untuk melarangnya."
Lily membuang napas lalu bergeser duduk di samping Clara. Satu tangan Lily kini menjulur meraih tangan Clara yang ada di atas pangkuan.
"Kau itu istrinya, tidak apa kau melarangnya beberapa hari untuk cuti. Kalian kan pengantin baru, harusnya saat ini menyisakan waktu untuk berdua."
Clara nyengir kaku sambil garuk-garuk tengkuk. Sebenarnya Clara bersyukur kalau Noah tidak ada di sini, jadi ia tidak perlu melihat wajah Noah yang menyebalkan.
"Noah tidak menyakitimu kan?" selidik Lily tiba-tiba.
"Ah, tidak kok, Bu." Clara menggeleng cepat. "Dia hanya sedikit cuek."
Lily kembali membuang napas. Ia sedikit bergeser lalu menatap ke arah lain.
"Ibu tahu kau juga mungkin tidak suka dengan pernikahan ini." Lily menatap Clara lagi. "Ibu hanya berharap kau bisa menerima Noah dan merubah sifat aroganya."
Clara memberanikan diri membalas tatapan ibu mertuanya tang terlihat sendu.
"Kenapa harus aku, Bu?"
Sial!
Kenapa aku harus tanya begitu?
Clara ingin menarik kembali ucapannya tersebut yang tiba-tiba nyelonong begitu saja.
"Em, maaf, aku salah bicara," kata Clara kemudian saat melihat wajah Lily berubah datar.
Lily meraih tangan Clara. "Kau jangan berpikir ibu menikahkan kalian karena kepergian Chloe. Mulanya memang begitu, tapi ibu percaya kau berbeda dengan Chloe."
Aku? Berbeda?
Apa yang dimaksud beliau?
Clara termenung mencoba menebak maksud kalimat Lily.
"Bukankah Chloe baik. Kupikir mereka saling mencintai," kata Clara.
"Kalau Chloe memang sungguh-sungguh mencintai Noah, dia tidak akan meninggalkan Noah."
Clara ingin bertanya ada apa sebenarnya di balik hubungan Noah dan Chloe. Selain karena Chloe harus mengejar cita-citanya, Clara yakin masalah utamanya bukan hanya itu. Terlihat dari ekspresi wajah Lily yang sepertinya begitu membenci Chloe.
"Ibu harap kau mau ya?"
"Mau apa, Bu?"
"Menerima Noah bagaimanapun keadaan dan sikap dia padamu," kata Lily. "Ibu yakin kau bisa membuatnya lupa dengan Chloe."
Maksud hati bukan seperti itu. Bukan soal melupakan Chloe yang Lily inginkan, tapi hati Noah yang ingin diluluhkan. Semenjak Chloe pergi, Noah menjadi dingin dan enggan bersentuhan dengan makhluk bernama wanita.
"Kau tidak keberatan kan?" Lily memastikan.
Clara tentu ragu dan juga bingung. Namun, bagaimana raut wajah ibu mertuanya saat ini, membuat Clara tidak tega.
"Akan aku usahakan," kata Clara kemudian.
Kata singkat itu pun menjadi pancing senyum untuk Lily.
Petang datang, Lily berniat pamitan setelah tadi sempat bermain dengan Baby Jou lebih dulu.
"Ibu pamit pulang," kata Lily.
Clara mengagguk. "Ibu hati-hati di jalan."
"Oh iya." Lily menatap Clara. "Tidurlah di kamar Noah."
"A-apa?" Clara melompong tanpa suara. "Ti-tidur bersama Noah?" suara itu keluar dengan suara terbata-bata.
"Kau pakailah baju yang ada di paper bag. Buat Noah luluh padamu."
Gila! Ini sungguh Gila!
Clara ingin berteriak mendengar permintaan ibu mertuanya.
Ini sama sekali bukan lelucon. Oh, astaga!
Belum sempat Clara menjawab, terlihat sebuah mobil memasuki pekarangan rumah. Itu Noah yang baru pulang dari kantor.
"Kau masuklah, ibu mau bicara sebentar dengan Noah."
Clara mengangguk dan menurut saja.
"Ibu?" kata Noah. "Ibu ada di sini?"
Lily mengangguk. "Ibu rindu dengan Jou."
"Sudah mau pulang?"
"Iya. Ayahmu pasti sudah menunggu di rumah."
Percakapan ibu dan anak itu terdengar kaku. Mungkin keduanya masih teringat perdebatan kemarin.
"Mau kuantar?"
"Tidak usah. Ibu hanya mau berpesan padamu." Lily mengacungkan jari telunjuk ke arah Noah.
"Apa?"
"Tidurlah sekamar dengan Clara. Kalau tidak, jangan harap ibu akan menganggapmu anak lagi."
"A-apa?"
Ingin meminta penjelasan, tapi Lily sudah masuk ke dalam mobilnya bersama sang sopir yang sedari tadi menunggu di pos penjaga bersama penjaga rumah yang lain.
"Ibu tahu aku menikah bahkan karena terpaksa. Bisa-bisa menyuruhku seranjang dengan wanita itu," cerocos Noah sambil melangkah masuk. Melangkah sampai ke ruang dalam, beberapa pelayan menunduk sopan. Noah terus saja berjalan angkuh seperti biasanya. Ia berjalan menaiki anak tangga. Ceklek! Bunyi pintu terbuka, membuat Clara yang sedang berada di ruang ganti mendadak gelagapan sendiri. Ia baru saja selesai memakai piama yang ibu mertuanya belikan. Piama tersebut terbuat dari bahan satin silk. Tidak terlalu terbuka karena dilengkapi jubah, hanya bagian roknya yang sedikit tinggi di atas lutut. "Haruskah aku seperti ini?" batin Clara. "Aku bahkan terlihat seperti wanita aneh." Ketika terdengar pintu sudah tertutup, kini Clara bisa mendengar suara tapak s
Pagi datang lagi, seperti biasanya Clara sudah terbangun sekitar pukul lima pagi. Ia belum sempat mandi apalagi berganti pakaian karena pakaian ganti semua ada di kamar atas. Clara hanua merapikan diri dengan menyisir rambut lalu menjapitnya. Semalam Clara hanya tidur sendiri. Kata Mela, dia yang akan tidur bersama Jou beberapa hari ini. Ternyata semua itu atas perintah Nyonya Lily. "Pagi semuanya!" sapa Clara pada para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan. Mereka nampak antusias menjawab sapaan dari Clara. "Pagi, Nona." Begitu jawab mereka bersamaan. "Ada yang bisa aku bantu?" Clara berjalan mendekati meja konter dapur yang terlijat ada beberapa sayuran mentah. Ke tiga pelayan itu saling pandang sejenak.
Tania pulang sekitar pukul lima sore. Seharian dia di sini, lebih banyak mengagumi keadaan rumah dari pada mengobrol atau sekedar bertanya bagaimana keadan Clara selama tinggal di sini. Yang Tania temui sambil tersenyum-senyum tentunya Baby Jou. Kalau dengan Clara, ya … tidak ada yang istimewa selain obrolan yang tidak terlalu penting. "Ibu bahkan sama sekali tidak menanyai bagaimana kabarku," dengus Clara. Clara menggerutu sambil coret-coret kertas putih. Ia biasanya mengisi kesuntukan dengan menggambar sesuatu. Misalnya gaun atau model baju yang sedang trend. "Apakah ibu tidak peduli bagaimana keadaanki di sini?" lanjut Clara lagi. Ia meletakkan pensilnya di atas kertas lalu bersandar pada kursi. Ia meraup wajahnya dan membuang napas seolah ingin melepas segala penat yang ada.
Noah terus saja memikirkan kalimat sang ibu yang menohok. Meski pernikahan ini sungguh tidak ia sukai, tapi semua ini juga bermula dari kesalahannya sendiri. Sampai pagi menjelang, Lily masih betah menemani Clara tidur. Clara menangis semalaman karena ulah Noah tentunya. Cukup lama Lily menenangkan Clara sampai akhirnya semalam bisa tidur. "Kau bangun, Sayang?" celetuk Lily ketika Clara menggeliatkan badan. Lily sendiri saat ini sebenarnya baru saja terbangun, tapi sudah terduduk di tepi ranjang sambil sesekali menguap. "Maaf, Bu. Aku jadi merepotkanmu," kata Clara sambil meraup wajah. Lily tersenyum sambil mengusap lengan Clara. Meski kedekatan dengan Noah masih begitu jauh dan entah ada harapan dekat atau
Noah sudah turun sambil menjinjing tas kerjanya. Begitu masuk, semua karyawan yang berpapasan segera menunduk sopan dan menyapa. "Kupikir kau tidak hadir," kata Angela begitu sudah menyusul Noah masuk ke dalam ruangan kerja. Sebagai sahabat sekaligus sekertaris Noah, Angela bisa dengan leluasa berbicara tanpa rasa sungkan. "Memang kenapa aku harus tidak hadir?" sungut Noah. "Jangan katakan tentang bulan madu." Noah terlihat mendengus saat terduduk di kursi kerjanya. Angela juga ikut duduk. "Sudahlah, berhenti muram begitu. Semua bisa begibi juga karena ulahmu sendiri kan?" Lagi-lagi Noah merasa disudutkan. Tidak di rumah tidak di kantor, sepertinya selalu disalahkan. Noah yang cukup kesal, menatap Angela de
Sekitar pukul tiga sore, hujan turun dengan begitu derasnya. Jika hari-hari lalu hanya hujan gerimis, kali ini membludak lebih deras diikuti suara petir yang terkadang membuat dada berdegup terkejut. Noah sudah selesai mandi. Di dalam kamarnya, dia mulai merasa khawatir karena Clara tidak kunjung pulang. Sudah satu jam dari waktu Bibi Tere dan Jou pulang tadi. Harusnya Noah tidak peduli. Harusnya masa bodoh saja. Namun, rasa was-was di hatinya membuatnya panik akan keberadaan Clara. Belum lagi di luar sana hujan deras. "Kemana dia?" gumam Noah saat langkah kakinya sampai di pintu kaca menuju balkon. Noah mendorong pintu tersebut dan berjalan keluar sambil memeluk tubuhnya sendiri menahan hawa dingin di luar sini. Cipratan hujan yang tertiup angin, semakin menambah hawa dingin. Kabut tebal juga n
"Lebih cepat, Pak!" teriak Noah yang kini duduk bersama Clara di jok belakang. Melihat darah itu membuat Noah semakin bergidik ngeri. Beberapa kali bahkan Noah mengetutkan wajah dan medesis. "Cepat, Pak!" teriak Noah sekali lagi. "I-iya, Tuan," jawab Pak Rey tergagap. "Aku baik-baik saja. Sungguh." Clara ikut bicara. "Diam kau!" Hardik Noah membuat Clara menciut diam. "Tapi …" "Diamlah!" Noah masih saja membentak. "Cepat dong, Pak. Masa dari tadi tidak ada rumah sakit!" "Eh!" Mendadak Clara menjerit kecil. "Tidak usah. Kenapa jadi rumah sakit." "Sudah kubilang, kau diam saja
Begitu lelahnya dan rasa dingin masij menusuk, Clara sampai terlelap di atas kasur dalam posisi tengkurap melintang di atas ranjang. Noah yang baru saja selesai mandi melangkahkan kaki mendekat. Noah kini hanya mengenakan jubah handuk tanpa apapun di baliknya. Sementara satu tangan, sedang menggosok-gosok rambutnya yang basah menggunakan handuk. Sampai di dekat ranjang, Noah sedikit membungkukkan badan dan memiringkan kepala. Noah kemudian duduk di tepi ranjang sampil mengulurkan satu tangan. Wajah Clara yang tertutup helaian rambut, Noah singkirkan perlahan hingga wajah cantik dengan mata tertutup itu terlihat. "Wajahmu lebih sejuk dipandang," kata Noah. "Apa aku harus menuruti kata ibuku?" Kini, Noah mulai membelai pucuk kepala Clara dengan lembut.