Pagi datang, Clara lumayan bisa tidur dengan nyenyak untuk pertama kali di rumah ini. Meski terdengar keterlaluan, karena Lily harus meninggalkan Jou bersama Clara, tapi sebenarnya ada maksud tertentu. Toh Clara sepertinya tidak keberatan dengan keberadaan Jou di sini. Tidur bersama Baby Jou juga terasa nyaman.
"Apa Nona butuh bantuan?" tanya Mela yang baru saja datang ke kamar Clara.
"Bantu siapkan air hangat untuk mandi dan pakaian ganti," sahut Clara.
Di atas ranjang, Clara mulai melucuti pakaian Jou bergantian. Selesai dari itu dan Mela juga sudah mempersiapkan semua yang tadi Clara katakan, Jou ia fendong dan mengarahkan pada Mela.
"Kau mandikan dia. Aku bangunkan tuan rumah dulu," kata Clara setelah Jou ada dalam gendongan Mela.
"Baik, Nona."
Clara berjalan keluar sambil menggulung rambutnya yang tadi masih tergerai. Masih sambil terus melangkah dan memaiki tangga, Clara juga merapikan piamanya yang telihat tersingkap karena tali di pinggang terlalu kencang.
"Aku malas jika harus membangunkannya!" celoteh Clara. "Aku hanya betugas layaknya seorang istri, tidak ada maksud lain tentunya."
Clara terus saja ngedumel sampai tidak terasa sudah sampai di depan pintu kamar Noah. Sebelum memgetuk pintu, Clara menarik napas dalam-dalam. Begitu udara berembus keluar, tangan Clara mulai terangkat dan mengepal.
Tok! Tok! Tok!
Clara hanya mengetuk pintu tanpa memanggil penghuni kamar tersebut. Satu kali tidak ada jawaban, Clara kembali mengetuk pintu.
"Apa dia mati?" celetuk Clara begitu saja.
Di saat tangannya hendak mengetuk kembali, tiba-tiba pintu terbuka membuat Clara membelalak dan spontan mundur.
"Ada apa?" tanya Noah ketus. "Pagi-pagi sudah mengganggu!"
"Ini sudah pukul tuju, sudah tugasku membangunkanmu," jawab Clara tak kalah ketus.
"Memang kau siapa!"
"Kau juga siapa?"
Noah sudah melotot mendengar jawaban Clara. "Kau!"
"Apa!" Clara ikut melotot membuat Noah mendesis dengan rahang mengeras.
"Katakan saja ada apa!" salak Noah kemudian.
"Biar bagaimanapun juga aku istrimu, sudah tugasku melayanimu," jelas Clara. "Mandilah dan makan. Sarapan sudah siap."
Setelah berkata demikian, Clara berlalu pergi.
"Jangan pikir aku sedang peduli denganmu, aku hanya sekedar bersikap sebagai istri." Clara kembali mengoceh sepanjang menuruni tangga. "Aku tentu masih ingat bagaimana pesan Nenek, tentang menghormati suami."
"Hai, Jou!" Wajah merengut Clara berubah sumringah tatkala di lantai dasar disambut Baby Jou yang sudah wangi. "Kau tampan sekali!"
Clara mengulurkan kedua tangan hingga Jou berpindah tangan dari Mela kepadanya dirinya. "Uh, kau begitu lucu."
Masih berubur satu bulan, tapi Clara sudah begitu gemas melihat Jou. Kedua pipi yang tembem dan wajahnya yang putih bersih, belum lagi bulu mata lentik, sungguh bayi yang sempurna.
"Apa dia sudah kau beri susu?" tanya Clara.
"Sudah, Nona," jawab Mela.
Tidak lama setelah itu, Noah muncul sudah memakai setelan jas hitam. Dia sepertinya akan pergi ke kantor, padahal harusnya dia tahu hari ini dia berhak cuti karena baru sehari menikah.
"Apa dia tidak punya otak?" Batin Clara sembari melirik tampilan Noah dari atas hingga bawah. "Pasti dia akan dicibir nanti," imbuhnya.
"Kenapa kau menatapku begitu?" tegur Noah.
Clara segera bergidik dan buang muka. "Tidak, aku hanya sedang asal lihat."
Noah mendecih lalu berlalu ke ruang makan. Clara bergegas memberikan Jou pada Mela sementara dirinya menyusul Noah ke ruang makan.
"Kita bicara sekarang," kata Noah usai menarik kursi dan duduk.
"Baik. Aku juga perlu bicara denganmu." Clara ikut duduk.
Makanan yang tersaji di atas meja memang menggiurkan, tapi mereka berdua memilih bicara dengan tatapan begitu tajam, mengabaikan sarapan yang ada.
"Katakan!" kata Clara.
Noah berdehem lalu mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kerjanya lalu menjulurkannya ke arah Clara.
"Ini aturan selama kau ada di sini." Begitu kata Noah.
Dengan dahi berkerut, Clara menerima selembar kertas putih itu. "Apa ini?"
"Kau baca saja."
Clara mulai menggerakkan bola mata menyusuri hurup-hurup di kertas itu, sementara Noah sudah mulai menikmati sarapannya.
"Apa-apaan ini!" gumam Clara saat satu baris sudah ia baca.
Lembar perjanjian yang harus dipatuhi!
Jangan masuk kamar tanpa ijin
Dilarang menyentuh apapun milik Noah.
Dilarang menyentuh Noah.
Dilarang membantah.
Bersikaplah sopan.
Apabila dilanggar, sanki akan berlaku!
"Apa maksudmu!" kata Clara ketus. "Kau sedang mempermainkanku ya!"
Noah mendongak dan meletakkan kedua sendok di atas piring. "Apa kau keberatan?"
"Tentu saja aku keberatan!" sahut Clara.
"Oh, jadi kau maunya kita saling bersentuhan? Iya begitu?"
"Najis!" cerca Clara saat itu juga. "Memamg siapa yang mau? Dasar Gila!
"Lalu kenapa kau tidak setuju?"
Clara lantas berdiri kemudian mengibaskan sekali kertas itu lalu menghadapkan ke arah Noah. Berikutnya, Clara menunjuk tulisan di nomor 4.
"Kau pikir ini maksudnya apa?" salak Clara. "Kau mau membudakku?"
Noah menelan ludah lalu diikuti decakan. "Karena disini aku Tuannya. Apapun harus dipatuhi. Bukan hanya para pelayan, tapi kau juga."
Clara spontan mendecih dan terduduk kembali. Lembaran kertas itu sudah terlempar melayang dan berakhir jatuh di atas meja.
"Gila! Kau memang gila!" Clara geleng-geleng kepala.
"Sopanlah sedikit padaku!" hardik Noah.
"Memang kau pikir, kau sopan padaku? Cih!"
Noah berdiri. "Aku tidak mau berdebat. Yang jelas, apa yang ada di kertas itu, kau patuhi saja."
"Hei!" teriak Clara.
Noah tidak menggubris dan terus melangkah keluar meninggalkan rumah sambil menenteng tas kerjanya.
"Aish, sialan!" Clara menggeram lalu menghentak-hentakkan kaki. "Brengsek!"
Dari kejauhan, Mela hanya menelan ludah sambil menimang baby Jou.
"Kasihan Nona Clara," gumam Mela. "Dia harus menderita karena ulah kakak kembarnya sendiri. Semoga di luar sana tidak ada cibiran."
Sampai di kantor, para karyawan mengangguk sopan saat Noah melintas. Beberapa karyawan bahkan ada yang berbisik-bisik dan mungkin sedang menggunjingnya.
"Noah?" pekik Betrand saat berpapasan di belokan masuk lorong utama. "Sedang apa kau di sini?"
Noah melotot. "Apa maksudmu? Kenapa tanya begitu?"
"Em, maksudku kau kan baru sehari menikah. Kau pasti ambil cuti. Kenapa kau malah di sini?"
"Bukan urusanmu. Aku boss di sini, terserah aku mau bagaimana." Noah melengos masuk ke dalam lift yang sudah terbuka.
"Hei, tunggu!" Betrand melompat ikut masuk ke dalam lift.
"Kau baik-baik saja kan?" tanya Betrand penasaran.
"Menurutmu?"
"Harusnya kau ambil cuti. Em, bulan madu misalnya."
"Sembarangan!" sembur Noah. "Untuk apa aku bulan madu? Buang-buang waktu."
Pintu lift terbuka dan Noah keluar lebih dulu lalu disusul Betrand lagi.
"Tunggu dulu!" Betran meraih lengan Noah. "Apa benar?"
"Apanya?" Noah mengibaskan tangan.
"Tentang pernikahanmu," kata Betrand. "Wanita yang kau nikahi bukan Chloe?"
"Bukankah kau dengar saat pendeta menyebutkan nama dia?"
Betran nampak terdiam dan mengingat-ingat. Karena pada saat itu Betrand juga ikut menghadiri pernikahan Noah.
Mau berniat dirahasiakan seperti apa, pernikahan tersebut pastilah banyak yang tahu. Meski mereka-mereka hanya menebak-nebak dan tidak seratus persen yakin, tapi gunjingan atau omongan orang-orang tetap ada. Ada yang membicarakan sisi baik, ada juga yang memihak sisi buruknya. Setelah ditinggal pergi oleh Noah ke kantor, Clara diam di rumah bersama suster dan Baby Jou. Awal pernikahan yang buka keinginannya tetaplah harus ia buat seolah tidak menjadi beban. "Mela," panggil Clara saat suster Jou itu tengah membuatkan susu untuk Jou. "Iya, kenapa Nona?" "Apa kau bekerja bersama keluarga Noah baru saat Jou ada?" "Tidak, Nona. Saya sudah ikut keluarga Tuan Josh sekitar enam tahun yang lalu." Clara manggut-mangg
"Ibu tahu aku menikah bahkan karena terpaksa. Bisa-bisa menyuruhku seranjang dengan wanita itu," cerocos Noah sambil melangkah masuk. Melangkah sampai ke ruang dalam, beberapa pelayan menunduk sopan. Noah terus saja berjalan angkuh seperti biasanya. Ia berjalan menaiki anak tangga. Ceklek! Bunyi pintu terbuka, membuat Clara yang sedang berada di ruang ganti mendadak gelagapan sendiri. Ia baru saja selesai memakai piama yang ibu mertuanya belikan. Piama tersebut terbuat dari bahan satin silk. Tidak terlalu terbuka karena dilengkapi jubah, hanya bagian roknya yang sedikit tinggi di atas lutut. "Haruskah aku seperti ini?" batin Clara. "Aku bahkan terlihat seperti wanita aneh." Ketika terdengar pintu sudah tertutup, kini Clara bisa mendengar suara tapak s
Pagi datang lagi, seperti biasanya Clara sudah terbangun sekitar pukul lima pagi. Ia belum sempat mandi apalagi berganti pakaian karena pakaian ganti semua ada di kamar atas. Clara hanua merapikan diri dengan menyisir rambut lalu menjapitnya. Semalam Clara hanya tidur sendiri. Kata Mela, dia yang akan tidur bersama Jou beberapa hari ini. Ternyata semua itu atas perintah Nyonya Lily. "Pagi semuanya!" sapa Clara pada para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan. Mereka nampak antusias menjawab sapaan dari Clara. "Pagi, Nona." Begitu jawab mereka bersamaan. "Ada yang bisa aku bantu?" Clara berjalan mendekati meja konter dapur yang terlijat ada beberapa sayuran mentah. Ke tiga pelayan itu saling pandang sejenak.
Tania pulang sekitar pukul lima sore. Seharian dia di sini, lebih banyak mengagumi keadaan rumah dari pada mengobrol atau sekedar bertanya bagaimana keadan Clara selama tinggal di sini. Yang Tania temui sambil tersenyum-senyum tentunya Baby Jou. Kalau dengan Clara, ya … tidak ada yang istimewa selain obrolan yang tidak terlalu penting. "Ibu bahkan sama sekali tidak menanyai bagaimana kabarku," dengus Clara. Clara menggerutu sambil coret-coret kertas putih. Ia biasanya mengisi kesuntukan dengan menggambar sesuatu. Misalnya gaun atau model baju yang sedang trend. "Apakah ibu tidak peduli bagaimana keadaanki di sini?" lanjut Clara lagi. Ia meletakkan pensilnya di atas kertas lalu bersandar pada kursi. Ia meraup wajahnya dan membuang napas seolah ingin melepas segala penat yang ada.
Noah terus saja memikirkan kalimat sang ibu yang menohok. Meski pernikahan ini sungguh tidak ia sukai, tapi semua ini juga bermula dari kesalahannya sendiri. Sampai pagi menjelang, Lily masih betah menemani Clara tidur. Clara menangis semalaman karena ulah Noah tentunya. Cukup lama Lily menenangkan Clara sampai akhirnya semalam bisa tidur. "Kau bangun, Sayang?" celetuk Lily ketika Clara menggeliatkan badan. Lily sendiri saat ini sebenarnya baru saja terbangun, tapi sudah terduduk di tepi ranjang sambil sesekali menguap. "Maaf, Bu. Aku jadi merepotkanmu," kata Clara sambil meraup wajah. Lily tersenyum sambil mengusap lengan Clara. Meski kedekatan dengan Noah masih begitu jauh dan entah ada harapan dekat atau
Noah sudah turun sambil menjinjing tas kerjanya. Begitu masuk, semua karyawan yang berpapasan segera menunduk sopan dan menyapa. "Kupikir kau tidak hadir," kata Angela begitu sudah menyusul Noah masuk ke dalam ruangan kerja. Sebagai sahabat sekaligus sekertaris Noah, Angela bisa dengan leluasa berbicara tanpa rasa sungkan. "Memang kenapa aku harus tidak hadir?" sungut Noah. "Jangan katakan tentang bulan madu." Noah terlihat mendengus saat terduduk di kursi kerjanya. Angela juga ikut duduk. "Sudahlah, berhenti muram begitu. Semua bisa begibi juga karena ulahmu sendiri kan?" Lagi-lagi Noah merasa disudutkan. Tidak di rumah tidak di kantor, sepertinya selalu disalahkan. Noah yang cukup kesal, menatap Angela de
Sekitar pukul tiga sore, hujan turun dengan begitu derasnya. Jika hari-hari lalu hanya hujan gerimis, kali ini membludak lebih deras diikuti suara petir yang terkadang membuat dada berdegup terkejut. Noah sudah selesai mandi. Di dalam kamarnya, dia mulai merasa khawatir karena Clara tidak kunjung pulang. Sudah satu jam dari waktu Bibi Tere dan Jou pulang tadi. Harusnya Noah tidak peduli. Harusnya masa bodoh saja. Namun, rasa was-was di hatinya membuatnya panik akan keberadaan Clara. Belum lagi di luar sana hujan deras. "Kemana dia?" gumam Noah saat langkah kakinya sampai di pintu kaca menuju balkon. Noah mendorong pintu tersebut dan berjalan keluar sambil memeluk tubuhnya sendiri menahan hawa dingin di luar sini. Cipratan hujan yang tertiup angin, semakin menambah hawa dingin. Kabut tebal juga n
"Lebih cepat, Pak!" teriak Noah yang kini duduk bersama Clara di jok belakang. Melihat darah itu membuat Noah semakin bergidik ngeri. Beberapa kali bahkan Noah mengetutkan wajah dan medesis. "Cepat, Pak!" teriak Noah sekali lagi. "I-iya, Tuan," jawab Pak Rey tergagap. "Aku baik-baik saja. Sungguh." Clara ikut bicara. "Diam kau!" Hardik Noah membuat Clara menciut diam. "Tapi …" "Diamlah!" Noah masih saja membentak. "Cepat dong, Pak. Masa dari tadi tidak ada rumah sakit!" "Eh!" Mendadak Clara menjerit kecil. "Tidak usah. Kenapa jadi rumah sakit." "Sudah kubilang, kau diam saja