Malam harinya, setelah meyakinkan diri sendiri akhirnya Endara memutuskan untuk mengajak Dara pergi jalan-jalan. Tidak terlalu jauh seperti kemarin, hanya di sekitaran hotel tempat mereka berdua menginap. Endara tidak akan membiarkan Dara lepas, ia selalu menggenggam tangan Dara setelah mereka berdua benar-benar berada di luar.
“Mas, sebentar, tangan Dara kesemutan,” ujar Dara, mencoba melepaskan tautan tangan mereka. Akibat genggaman Endara terlalu kuat membuat tangan mungil Dara kesemutan.
“Tidak. Saya tidak mau kamu hilang lagi.” bukannya memberi ruang agar tangan Dara bisa bernapas, justru Endara semakin mengeratkan genggamannya sampai membuat Dara meringis kesakitan.
“Iya Mas, Dara tahu, tapi tangan Dara benar-benar kesemutan. Apa Mas Endara tidak bisa melonggarkan sedikit genggaman tangannya?” gadis itu menatap Endara memelas.
“Baiklah, hanya melonggarkan sedikit saja.” akhirnya Endara melonggarkan sedikit genggaman tangannya.
“Terima kasih, Mas.” Dara pun tersenyum lega karena akhirnya peredaran darahnya kembali berjalan dengan lancar.
“Ingat ya, jangan ceroboh seperti kemarin lagi.” kalimat itu sudah berkali-kali Endara ucapkan, bahkan sampai membuat Dara hafal dengan susunan kalimatnya.
Dara menghela napasnya kasar sebelum akhirnya gadis itu berucap, “Iya, Mas, iya.”
“Pintar.” Endara mengusap puncak kepala Dara sedikit merusak tatanan rambut gadis itu. Mendapat perlakuan dari Endara membuat Dara hanya bisa melirik sekilas, toh percuma saja Dara protes karena pada akhirnya Endara tidak akan pernah mendengarkannya.
Endara membawa Dara ke salah satu toko kue. Kemarin, Endara tidak sengaja melihat toko itu menjual berbagai jenis kue yang lucu berharap Dara akan senang melihatnya.
“Mas, kenapa bawa Dara ke sini?” gadis itu mendongak, menatap Endara bingung.
“Sudahlah, jangan banyak bertanya.” Endara pun membawa Dara masuk. Gadis itu hanya bisa menurut saja tidak ada penolakan sedikit pun.
Sesuai yang Endara pikirkan, gadis yang ia bawa masuk ke dalam toko kue itu sangat menyukai isi di dalamnya. Terlihat dari bibir Dara yang tersenyum lebar saat melihat jajaran kue dengan bentuk karakter yang lucu.
“Pilih sesuka hati kamu,” bisik Endara, tepat di belakang Dara.
“Serius Mas?” Dara bertanya seolah gadis itu tidak yakin dengan ucapan Endara. Sebelum menikah dengan Endara, Dara akan selalu berpikir ulang jika ingin membeli sesuatu meskipun dirinya sudah menerima gaji. Akan tetapi, sekarang nasibnya sudah berbeda.
“Iya, saya serius, memangnya wajah saya ada tanda-tanda kebohongan?” Endara menunjuk wajahnya sendiri agar Dara lebih percaya dengan ucapannya.
Dara menggeleng polos, matanya kembali menatap kue-kue yang berjajar rapi di dalam etalase kaca penuh minat.
“Kalau begitu Dara mau yang ini.” Pilihan Dara jatuh pada sebuah biscuit dengan berbagai bentuk yang lucu.
“Sudah, hanya itu saja?” Endara menatap Dara tidak percaya. Endara berpikir Dara akan mengambil kue sebanyak-banyaknya, karena lelaki itu tahu Dara tidak pernah membeli kue-kue seperti itu.
“Iya, Dara rasa empat biscuit ini cukup,” jawab Dara, sambil menunjukkan empat bungkus biskuit yang ia ambil dari etalase kaca.
“Oke, baiklah, kita ke kasir terlebih dahulu untuk membayar.” Endara kembali menggengam tangan Dara. Endara tidak akan membiarkan Dara jauh darinya walau hanya satu jengkal saja.
Setelah beberapa menit melakukan transaksi pembayaran akhirnya Dara dan Endara keluar dari toko kue tersebut. ke duanya memutuskan untuk kembali ke hotel karena cuaca yang sedang tidak menentu takut hujan lebat akan turun seperti kemarin.
Ketika sedang di pertengahan jalan, Endara tidak sengaja memergoki Dara sedang menatap bule laki-laki penuh kekaguman.
“Sedang memperhatikan apa?” tanya Enda, hanya pura-pura memastikan.
“Itu, Dara sedang lihat laki-laki bule tinggi. Kok bisa ya dia putih dan tampan seperti itu?” Dara menjawab pertanyaan Endara seakan tidak ada rasa bersalah.
“Jadi dia tampan?” lagi-lagi Endara mencoba memancing reaksi Dara.
Dara mengangguk polos tanpa menatap Endara. Gadis kecil itu masih memperhatikan sosok laki-laki bule yang sedang berdiri di seberang sana. Di mata Dara lelaki itu sangat terlihat gagah dan tampan.
“Sudah sana datangi dia saja.” Endara langsung melepaskan genggaman tangannya bahkan lelaki itu berjalan mendahului Dara.
“Mas, kok Dara ditinggal sih?” Dara berlari mencoba mengejar langkah Endara yang sangat cepat.
“Jangan kejar saya, bukankah kamu lebih tertarik dengan lelaki bule sialan itu?” Endara tidak menoleh sedikit pun, bahkan langkah kakinya semakin cepat.
“Dara hanya mengatakan yang sesungguhnya, Mas. Kenapa Mas Endara marah?”
Di dalam hati Endara benar-benar merutuki gadis itu. Bisa-bisanya mempertanyakan hal polos yang semua orang sudah tahu jawabannya.
“Mas, ihhh, tungguin.” Dara mencoba meraih pergelangan tangan Endara, tetapi begitu pandai menghindar.
Meskipun selalu mendapat penolakan dari Endara, tetapi Dara tetap berusaha untuk membujuk dan mencari tahu letak kesalahannya.
Bruk!
“Aw!”
Langkah Endara berhenti ketika mendengar jeritan dari belakang tubuhnya. Lelaki itu menoleh dan sudah mendapati Dara dengan posisi tubuh menelungkup. Mau tidak mau Endara harus menolong Dara.
“Makanya kalau jalan itu lihat sekitar,” ujar Endara, sambil membantu Dara untuk bangun.
“Mas Endara jalannya cepat sekali.” Gadis itu mengadu dengan suara serak, tangisnya sebentar lagi akan pecah, tetapi Dara masih mencoba untuk menahan karena jika menangis di tempat umum akan membuatnya diperhatikan banyak orang.
Endara mengambil posisi berjongkok membelakangi Dara, lelaki itu menepuk-nepuk punggungnya sendiri sebagai isyarat.
“Naik!” perintah Endara.
“Badan Dara berat, Mas.” Memang pada dasarnya Dara adalah gadis keras kepala yang berkedok polos.
“Naik atau saya tinggal.” Terpaksa Endara mengeluarkan ancaman agar istrinya yang bandel itu mau menuruti perintahnya.
“Iya, iya.” Akhirnya Dara menuruti perintah suaminya.
Sekilas, Endara dan Dara terlihat seperti anak dan ayah yang sedang berusaha untuk saling dekat. Bagaimana tidak, posisi Endara yang menggendong Dara sudah seperti seorang ayah yang sedang menggendong anaknya.
“Badan kamu kecil sekali, rasanya hanya seperti menggendong angin. Mulai hari ini kamu harus makan yang banyak agar tubuh kamu terlihat berisi tidak seperti anak cacingan seperti ini,” ujar Endara, terdengar tidak mau dibantah.
“Mau makan sebanyak apa pun Dara tidak bisa gendut Mas. Jadi, percuma saja hanya menyiksa diri Dara sendiri,” ujar Dara.
“Tidak mungkin. Selama kamu hamil nanti pasti berat badan kamu akan naik,” celetuk Endara, begitu saja tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
“M-maksudnya?” Dara bertanya dengan suara gugup. Sejujurnya otak manisnya belum sampai pada hal-hal yang berbau dewasa, tetapi keadaan membuat Dara harus segera memahami semuanya.
“Lain kali jangan memperhatikan laki-laki asing seperti tadi. Kamu tidak tahu bagaimana kerasnya di negara orang,” ujar Endara, mengabaikan pertanyaan Dara.
“Dara kan hanya mengagumi Mas. Seperti Dara mengagumi Oppa-Oppa Korea.” Dengan polosnya gadis itu menjawab, tanpa memikirkan perasaan Endara.
“Terserah kamu, jika besok kamu diculik saya tidak tanggung jawab. Nanti semua organ dalammu akan diambil, sebelum itu kamu disiksa terlebih dahulu, setelah itu kamu dieksekusi, dan kemudian dibuang begitu saja. Mau kamu seperti itu?” Endara sengaja menakut-nakuti Dara dan mengarang cerita yang sangat tidak penting agar Dara tidak ceroboh seperti tadi.
“Jangan menakuti Dara seperti itu.” Gadis itu semakin mengeratkan pegangannya. Mendengar cerita Endara membuatnya takut berada di luar sendirian.
“Makanya kalau sedang berada di negara orang matanya jangan sembarangan memperhatikan orang. Bisa saja orang tampan seperti dia tadi adalah seorang penculik. Pasti mereka melihat kamu seperti anak SMP karena badan kamu yang kecil dan kurus seperti ini.”
“Iya, iya, Dara nggak sembarangan lagi.”
Endara tersenyum puas, akhirnya cerita bohongnya dipercaya sampai membuat Dara tidak lagi berani memperhatikan orang sembarangan.
Sesampainya di hotel, Endara langsung mengobati luka gores di kaki Dara menggunakan betadine. Meskipun Dara memohon agar tidak mengoleskan cairan itu, tetapi Endara tetap melanjutkan aksinya.“Tahan, Dara, sakitnya tidak akan lama,” ujar Endara, yang sudah lelah mendengar rintihan Dara yang menurutnya sangat berlebihan.Dara langsung diam, membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan suara lagi. akhirnya Dara membiarkan Endara mengobati lukanya yang tidak seberapa itu, tetapi saat dibersihkan rasa sakitnya tidak bisa ditahan.“Sudah. Makanya kalau jalan itu hati-hati, matanya jangan dipakai untuk melihat laki-laki tampan saja,” ujar Endara, sambil membereskan peralatan yang ia keluarkan dari P3K.Bibir Dara maju beberapa senti, mendengar ucapan Endara membuat Dara merasa tersindir. Padahal akibat Dara jatuh adalah ulah Endara sendiri yang tidak bisa memelankan sedikit jalannya. Akan tetapi, lelaki itu tidak mau mengakuinya.“Dengar tidak apa yang saya ucapkan?” tanya Endara, kesal karena
Keesokan harinya, tepatnya jam dua belas siang, Endara sudah tiba di rumah sakit yang sebelumnya alamatnya sudah dikirim oleh Afifa. Tanpa pulang dan membersihkan tubuh terlebih dahulu Endara langsung ke rumah sakit dan Dara juga ikut serta bersamanya. Kedatangan Endara disambut oleh Vega penuh rasa bahagia, akhirnya rindunya bisa terlepas setelah melihat sang suami tercinta tiba dengan selamat di pelukannya.“Kamu sudah bikin Mas khawtair sayang,” bisik Endara, pada saat lelaki itu masih memeluk tubuh Vega yang terlihat sedikit kurus.“Aku rindu sama kamu Mas, makanya sakit kaya gini,” ujar Vega, dengan suara serak karena wanita itu sedang menahan tangisnya.Endara melepaskan pelukannya, menangkup pipi Vega menggunakan kedua tangannya. Tatapan yang diberikan Endara penuh cinta yang tidak pernah berubah sejak dulu sampai sekarang.“Maafkan Mas yang sudah mengabaikan kamu,” bisik Endara, kening keduanya saling menyatu. Tanpa mereka sadari ada dua perempuan yang sedang menyaksikan kero
Tidak membutuhkan waktu seminggu di rumah sakit akhirnya Vega berhasil pulang dengan kondisi yang semakin membaik. Bukan hanya Endara yang bahagia melihat kondisi Vega yang semakin membaik, tetapi Dara dan Afifa juga merasakan hal yang sama.“Dara, Afifa, hari ini kalian yang siapkan makan malam,” ujar Endara, sebelum lelaki itu mengantarkan Vega ke kamar mereka.Dara dan Afifa hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu dua perempuan itu menaruh koper di depan pintu kamar Vega, kemudian baru mereka ke dapur untuk membuat makan malam.“Mbak, malam ini kita mau masak apa?” tanya Dara, saat ke duanya sudah berada di dalam dapur.“Mbak juga bingung. Kamu ada usul tidak mau bikin menu makan malam apa hari ini?” Afifa menopang dagunya sedang berpikir keras menu apa yang harus dia sajikan malam ini.“Mbak Afifa masih memikirkan ….”Senyum Afifa muncul meskipun Dara belum selesai berucap. Wanita itu sudah tahu apa kelanjutan dari ucapan tersebut.“Aku tidak boleh lemah, Dara. Meskipun aku mengaku
Endara menyeret Dara membawa gadis itu ke dalam kamar. Setelah Vega ditangani oleh dokter dan gejala alergi sudah tidak lagi Vega rasakan, Endara ingin memberi pelajaran Dara agar tidak ceroboh lagi.“Tapi Dara benar-benar tidak ada niatan untuk mencelakai Mbak Vega, Mas.” Di saat derai air matanya mengalir, Dara berusaha untuk membuat Endara yakin dengan ucapannya. Namun, sayangnya amarah itu masih menguasai Endara sehingga kebenaran yang nampak di depan mata pun tidak terlihat.“Dengar ya.” Endara mencengkram rahang Dara membuat kepala gadis itu mendongak. Air mata Dara semakin deras mengalir, perlakuan kasar itu membuat Dara sangat sakit hati kepada suaminya sendiri.“Kamu itu hanya istri ketiga yang tidak akan pernah aku nggak di rumah ini. Jadi, jangan berharap kamu bisa menjadi ratu di dalam hati saya.” Endara melepaskan cengraman di rahang Dara sangat kasar membuat semua rambut menutupi wajah gadis itu.“Dara juga tidak ada niatan untuk menggeser posisi Mbak Vega di hati Mas En
Dara langsung ditangani oleh dokter dan mendapatkan beberapa jahitan di kepala akibat benturan yang cukup keras di kepala bagian belakangnya. Saat ini Dara masih berada di dalam ruangan bersama dengan dokter dan tim medis lainnya. Sementara Endara, lelaki itu setia berada di depan pintu menunggu kabar selanjutnya. Jelas sekali terlihat di wajah Endara, lelaki itu sedang menyesali perbuatannya.“Mas.”Suara dari belakang tubuhnya membuat Endara menoleh ke belakang. Dilihatnya Afifa sedang berdiri di sana menatapnya dengan mata sayu.“Baju Mas Endara dipenuhi darah, lebih baik ganti dengan yang baru.” Afifa memberikan Endara kaos pendek. Melihat kondisi suaminya yang berlumuran Darah membuat Afifa tidak tega melihatnya. Apa lagi banyak pasang mata yang menatap Endara heran.“Aku terlalu jahat,” ucap Endara, dengan suara lirih. Lelaki itu seolah lupa dengan sikapnya tadi yang persis seperti manusia tidak punya hati saat sedang menghajar Dara tanpa ampun.“Seharusnya aku tidak menyakitiny
Tiga hari telah berlalu dan kini Dara sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Sejak kejadian waktu itu Dara dan Endara juga belum berbicara empat mata karena Dara terus menjauh dari lelaki itu akibat rasa sakit dan kecewa yang masih melekat erat di pikiran Dara.Dara masuk ke dalam rumah dituntun Afifa yang selalu ada di samping Dara selama berada di rumah sakit. Hanya Afifa, karena Vega tidak diperbolehkan Endara untuk menjenguk Dara. Bukan karena Endara takut Dara akan melakukan hal gila, hanya saja lelaki itu tidak mau Vega kelelahan.“Terima kasih, Mbak.” Dara tersenyum saat Afifa menuntun langkahnya sampai masuk ke dalam kamar. Tidak hanya itu, Afifa juga membantu Dara membereskan barang-barang yang dibawa dari rumah sakit.“Kamu istirahat saja dulu untuk beberapa hari ke depan. Dapur biar Mbak saja yang mengurusnya,” ujar Afifa.“Iya, Mbak, maaf untuk beberapa hari ke depan Dara tidak bisa membantu kegiatan di dapur.” Wajah Dara langsung murung karena tidak bisa membantu Afifa di d
“Mau saya bantu ke kamar mandi?” tanya Endara, pada dini hari ketika lelaki itu merasakan kasur di sebelahnya bergoyang. Ternyata Dara hendak pergi ke kamar mandi.“Dara bisa sendiri kok Mas.” Mencoba untuk terlihat mandiri di depan suaminya sendiri, meskipun nyatanya Dara sangat kesulitan untuk bangun dari posisi tidurnya.“Kamu belum bisa bergerak dengan bebas, Dara. Biarkan saya bantu.” Endara turun dari kasur berjalan ke sisi tempat di mana Dara tidur. Lelaki itu membantu Dara untuk bangun dan menuntun gadis itu sampai ke kamar mandi.“Saya akan tunggu di sini.” Endara keluar dari kamar mandi dan Dara menutup pintu setelah mengucapkan kata terima kasih.Endara melirik jam yang ada di dinding ternyata sudah pukul dua pagi dank e dua mata Endara terasa sangat berat sekali, tetapi lelaki itu tetap menunggu Dara sampai selesai buang air kecil. Tidak berselang lama Dara pun keluar.“Sudah selesai?” tanya Endara, dan dijawab anggukan kepala oleh Dara.Kemudian Endara kembali menuntun Da
Setelah mengelilingi jalanan kota akhirnya Endara memutuskan untuk membawa Dara ke sebuah taman besar di sana. Meskipun hanya berkunjung ke sebuah taman, Endara yakin dara pasti akan suka dengan pemandangan di sana.“Kita mau jalan-jalan di sini, Mas?” tanya Dara, menatap sebuah tulisan besar di pintu masuk utama.“Iya, kamu nggak suka ya?” Endara menatap Dara kecewa, karena ia pikir Dara akan menyukainya. Pada saat di tengah jalan tadi pun Endara tidak mengatakan ingin singgah di mana.“Dara suka kok Mas, sebenarnya udah lama Dara pengen datang ke sini, tapi nggak tahu jalan, jadi Cuma bisa lihat di internet saja,” jelas Dara, dengan mata berbinar.“Benarkah?” tanya Endara, seketika hatinya kembali bahagia mendengar penjelasan Dara. Tidak Endara sangka ternyata membahagiakan Dara semudah ini, tidak perlu membawa gadis itu ke sebuah mall besar untuk membeli barang-barang ternama, hanya dibawa ke sebuah taman saja sudah membuat wajah Dara bersinar bahagia.“Terima kasih, Mas.” Pancaran