Share

Nestapa Yang Belum Usai

Rasa sepi dan hampa selalu tercipta di dalam rumah yang terlihat megah dan mewah itu. Raut kesedihan terlihat jelas dari wajah seorang laki-laki berusia 48 tahun itu karena di usianya yang hampir menginjak kepala lima, ia belum juga dikaruniai seorang anak. Padahal, berbagai cara lelaki itu lakukan sampai rela membagi cintanya untuk perempuan lain, selain istri tercintanya, Vega.

“Bapak, sarapannya sudah siap.”

Suara itu membuat lamunan Endara Respati buyar. Lelaki itu menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang sudah berani mengusik ketenangannya.

“Eh, Dara.” Endara langsung tersenyum ketika melihat Dara berdiri tepat di belakangnya.

Dara Arum Puspita, berusia 23 tahun yang berasal dari desa. Sejak usia 18 tahun, Dara sudah bekerja di keluarga Endara. Dara adalah gadis yang sopan, tidak pernah melanggar peraturan yang sudah dibuat, sosok yang lugu, dan penyayang.

“Maaf, Pak, sudah beberapa hari ini Dara melihat Bapak sering melamun.” Dara sangat khawatir dengan kondisi majikannya beberapa hari terakhir yang sering menyendiri dan melamun. Bahkan tidak jarang Dara melihat majikannya menangis sendirian.

Mendengar ucapan Dara membuat Endara tersenyum. Sekilas senyum itu terlihat baik-baik saja, tetapi nyatanya di dalam hati banyak sekali tangis yang sengaja Endara pendam seorang diri.

“Duduk dulu.” Endara menarik kursi yang ada di sebelahnya, meminta Dara untuk duduk di sana.

“Ada apa, Pak?” tanya Dara, setelah gadis itu duduk di kursi tepat di samping Endara.

“Saya hanya ingin sedikit bercerita kepadamu, apa kamu keberatan?” kedua mata Endara menatap Dara tanpa ragu, karena memang Dara bukan lagi Endara anggap sebagai orang lain di rumah itu.

“Boleh, Pak. Memangnya Bapak ingin bercerita apa?” Tidak lagi menjadi hal baru bagi Dara karena sering kali Endara bercerita kepadanya meskipun Dara hanya menjadi pendengar saja.

Endara menghela napasnya kasar sebelum akhirnya lelaki itu bercerita, “Beberapa hari ini pikiran saya sedang kacau. Banyak sekali masalah yang sedang saya hadapi, termasuk masalah keturunan.”

“Apa Bapak sudah bercerita kepada Ibu?” tanya Dara, yang dimaksud gadis itu adalah kedua istri Endara.

Endara menggeleng lemah terlihat jelas kedua matanya terdapat genangan air mata yang siap meluncur deras membasahi pipinya, tetapi Endara mencoba untuk tegar.

“Saya tidak mau membebani mereka dengan kegelisahan saya ini.” Endara berucap lirih dan terlihat sangat rapuh.

“Saya tahu mereka pasti akan ikut sedih mendengar keluh kesah saya,” sambung Endara, semakin jelas raut kesedihan di wajahnya.

Sementara itu di tempat Vega dan Afifa, istri-istri Endara Respati yang sama-sama berjuang untuk mendapatkan garis dua di pernikahan itu juga mengerti kegelisahan yang dialami suaminya. Melihat Endara kian hari kian murung, membuat kedua istrinya didera perasaan bersalah.

***

Saat dirasa Dara sudah membaca seluruh isi kontrak, Endara kembali menegaskan jawaban istri ketiganya.

“Apa ada poin yang harus diubah?” tanya Endara, mengagetkan Dara yang masih teringat momen saat Endara terlihat murung.

Saat itu, Endara yang masih menjadi majikannya berkeluh kesah mengenai keturunan yang tak kunjung didapatkan. Seingat Dara, ia meminta Endara untuk berbicara pada kedua istrinya. Namun, yang Dara dapatkan justru kejutan lain, yakni Endara yang berakhir menjadikannya istri ketiga.

Dara menggeleng, lalu berkata dengan suara pelan, “Tidak ada Mas.”

Dara tidak mungkin mengutarakan kegundahannya saat membaca poin perjanjian kelima. Bagaimana pun, sejak awal Dara tahu kalau dirinya hanya bertugas sebagai istri yang melahirkan keturunan untuk Endara dan dua istrinya. Dara tidak berhak keberatan, sebab Endara pun sudah membayarkan sebagian kompensasinya di awal, untuk biaya pengobatan orang tuanya.

“Bagus,” ucap Endara.

Endara memberikan pena hitam agar Dara bisa langsung menandatangani surat perjanjian itu di atas materai.

“Saya dan kamu masing-masing membawa surat ini dan simpan baik-baik, jangan sampai hilang,” kata Endara.

Dara mengangguk patuh dan menerima surat perjanjian itu tanpa ada rasa ragu di dalam hatinya. Setelah membahas perjanjian itu, Endara meminta Dara langsung istirahat sementara lelaki tu menyibukkan diri seperti biasanya ketika lelaki itu sedang tidak ingin tidur.

‘Hanya setahun, Dara. Setelahnya kamu bisa kembali hidup tenang di kampung!’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status