Home / Rumah Tangga / Istri Ketiga Mas Endara / Nestapa Yang Belum Usai

Share

Nestapa Yang Belum Usai

Author: Chokolate_21
last update Last Updated: 2022-10-05 17:03:20

Rasa sepi dan hampa selalu tercipta di dalam rumah yang terlihat megah dan mewah itu. Raut kesedihan terlihat jelas dari wajah seorang laki-laki berusia 48 tahun itu karena di usianya yang hampir menginjak kepala lima, ia belum juga dikaruniai seorang anak. Padahal, berbagai cara lelaki itu lakukan sampai rela membagi cintanya untuk perempuan lain, selain istri tercintanya, Vega.

“Bapak, sarapannya sudah siap.”

Suara itu membuat lamunan Endara Respati buyar. Lelaki itu menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang sudah berani mengusik ketenangannya.

“Eh, Dara.” Endara langsung tersenyum ketika melihat Dara berdiri tepat di belakangnya.

Dara Arum Puspita, berusia 23 tahun yang berasal dari desa. Sejak usia 18 tahun, Dara sudah bekerja di keluarga Endara. Dara adalah gadis yang sopan, tidak pernah melanggar peraturan yang sudah dibuat, sosok yang lugu, dan penyayang.

“Maaf, Pak, sudah beberapa hari ini Dara melihat Bapak sering melamun.” Dara sangat khawatir dengan kondisi majikannya beberapa hari terakhir yang sering menyendiri dan melamun. Bahkan tidak jarang Dara melihat majikannya menangis sendirian.

Mendengar ucapan Dara membuat Endara tersenyum. Sekilas senyum itu terlihat baik-baik saja, tetapi nyatanya di dalam hati banyak sekali tangis yang sengaja Endara pendam seorang diri.

“Duduk dulu.” Endara menarik kursi yang ada di sebelahnya, meminta Dara untuk duduk di sana.

“Ada apa, Pak?” tanya Dara, setelah gadis itu duduk di kursi tepat di samping Endara.

“Saya hanya ingin sedikit bercerita kepadamu, apa kamu keberatan?” kedua mata Endara menatap Dara tanpa ragu, karena memang Dara bukan lagi Endara anggap sebagai orang lain di rumah itu.

“Boleh, Pak. Memangnya Bapak ingin bercerita apa?” Tidak lagi menjadi hal baru bagi Dara karena sering kali Endara bercerita kepadanya meskipun Dara hanya menjadi pendengar saja.

Endara menghela napasnya kasar sebelum akhirnya lelaki itu bercerita, “Beberapa hari ini pikiran saya sedang kacau. Banyak sekali masalah yang sedang saya hadapi, termasuk masalah keturunan.”

“Apa Bapak sudah bercerita kepada Ibu?” tanya Dara, yang dimaksud gadis itu adalah kedua istri Endara.

Endara menggeleng lemah terlihat jelas kedua matanya terdapat genangan air mata yang siap meluncur deras membasahi pipinya, tetapi Endara mencoba untuk tegar.

“Saya tidak mau membebani mereka dengan kegelisahan saya ini.” Endara berucap lirih dan terlihat sangat rapuh.

“Saya tahu mereka pasti akan ikut sedih mendengar keluh kesah saya,” sambung Endara, semakin jelas raut kesedihan di wajahnya.

Sementara itu di tempat Vega dan Afifa, istri-istri Endara Respati yang sama-sama berjuang untuk mendapatkan garis dua di pernikahan itu juga mengerti kegelisahan yang dialami suaminya. Melihat Endara kian hari kian murung, membuat kedua istrinya didera perasaan bersalah.

***

Saat dirasa Dara sudah membaca seluruh isi kontrak, Endara kembali menegaskan jawaban istri ketiganya.

“Apa ada poin yang harus diubah?” tanya Endara, mengagetkan Dara yang masih teringat momen saat Endara terlihat murung.

Saat itu, Endara yang masih menjadi majikannya berkeluh kesah mengenai keturunan yang tak kunjung didapatkan. Seingat Dara, ia meminta Endara untuk berbicara pada kedua istrinya. Namun, yang Dara dapatkan justru kejutan lain, yakni Endara yang berakhir menjadikannya istri ketiga.

Dara menggeleng, lalu berkata dengan suara pelan, “Tidak ada Mas.”

Dara tidak mungkin mengutarakan kegundahannya saat membaca poin perjanjian kelima. Bagaimana pun, sejak awal Dara tahu kalau dirinya hanya bertugas sebagai istri yang melahirkan keturunan untuk Endara dan dua istrinya. Dara tidak berhak keberatan, sebab Endara pun sudah membayarkan sebagian kompensasinya di awal, untuk biaya pengobatan orang tuanya.

“Bagus,” ucap Endara.

Endara memberikan pena hitam agar Dara bisa langsung menandatangani surat perjanjian itu di atas materai.

“Saya dan kamu masing-masing membawa surat ini dan simpan baik-baik, jangan sampai hilang,” kata Endara.

Dara mengangguk patuh dan menerima surat perjanjian itu tanpa ada rasa ragu di dalam hatinya. Setelah membahas perjanjian itu, Endara meminta Dara langsung istirahat sementara lelaki tu menyibukkan diri seperti biasanya ketika lelaki itu sedang tidak ingin tidur.

‘Hanya setahun, Dara. Setelahnya kamu bisa kembali hidup tenang di kampung!’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 116

    Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 115

    Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 114

    Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 113

    Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 112

    Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 111

    Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status