Share

Bulan Madu

Penulis: Chokolate_21
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-28 20:37:54

Seorang wanita paruh baya keluar dari mobil mewah yang berhenti di pekarangan rumah milik Endara. Meskipun usianya sudah terbilang tua, tetapi wanita itu masih tetap memperhatikan penampilannya yang mentereng, mulai dari baju, tas, sampai aksesoris yang semuanya asli dengan harga ratusan juta. Wanita paruh baya itu masuk begitu saja ke dalam rumah Endara tanpa perlu permisi.

“Mama.” Vega langsung mencium punggung tangan wanita paruh baya itu dengan penuh rasa hormat. Tidak hanya Vega, Afifa dan Dara juga melakukan hal yang serupa.

“Endara kemana?” wanita paruh baya itu bertanya seraya duduk di kursi meja makan. Sorot matanya yang dingin tidak pernah berubah. Membuat Vega dan Afifa terbiasa dengan tatapan tersebut.

“Mas Endara sedang bersiap di kamar Dara, Mah,” jawab Vega, dengan nada lembut.

Wanita paruh baya itu bernama Julian, berusia 70 tahun. Meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad, tetapi wanita itu masih terlihat segar dan lincah saat melakukan aktivitas.

“Kok di meja makan nggak ada sarapan sama sekali? Sudah jam berapa ini? Apa gunanya ada tiga istri di rumah ini jika satupun tidak ada yang becus menjadi istri.” Setiap kali Julian datang ke rumah pasti wanita itu selalu mengomel.

“Sedang disiapkan, Mah. Vega dan Afifa juga baru bangun karena kelelahan karena acara kemarin. Biasanya pagi-pagi sekali sarapan sudah siap kok.” Lagi-lagi hanya Vega yang berani menjawab pertanyaan Julian.

“Halah, alasan. Pantas saja sampai detik ini kalian tidak bisa memberikan Endara keturunan, memberi pelayanan terbaik untuk anak saya saja kalian tidak bisa.” Julian memang sering kali berpendapat seenaknya tanpa memikirkan perasaan kedua menantunya.

“Kapan aku bisa menimang cucu? Punya dua menantu saja tidak becus.” Julian melirik Vega dan Afifa sinis.

“Putraku memang keras kepala, seharusnya aku tidak mengizinkan dia menikahi kamu, Vega. Karena sejak awal aku sudah mempunyai firasat buruk tentang kamu dan ternyata benar saja sampai detik ini anakku belum juga dikasih keturunan.” Lagi dan lagi, Julian berkata pedas sampai tidak mempedulikan perasaan Vega.

Vega yang mendapatkan kata-kata menyakitkan dari mertuanya itu hanya bisa menunduk diam dan menahan air matanya agar tidak tumpah. Afifa yang setia di samping Vega mencoba menguatkan.

“Percuma anakku menikah dengan kalian berdua, jika ujung-ujungnya anakku menikah lagi hanya untuk mendapatkan keturunan. Apa sih sebenarnya yang kalian sembunyikan dari anakku? Jika mandul bilang saja, jangan membuat anakku  terbebani dengan keberadaan kalian berdua disini.” Julian berucap pedas sampai membuat Vega dan Afifa sakit hati.

“Kamu, kalau dalam waktu satu tahun ini belum juga hamil, saya kembalikan kamu ke kampung.” Julian beralih menatap Dara tidak kalah sinis.

“Biasa-bisanya anak saya menikah dengan gadis kampung seperti kamu. Tidak menarik sama sekali,” ucap Julian, tatapannya merendahkan Dara.

Tidak berselang lama Endara datang dalam keadaan sudah rapi dan wangi. Baju kemeja yang Dara pilih sangat cocok di tubuh Endara yang tinggi dan kekar.

“Kenapa Mama tidak bilang kalau mau ke sini?” tanya Endara, sambil mencium punggung tangan Julian.

“Endara, kamu harus segera membuat gadis kampungan ini hamil. Di usia Mama yang sudah tua ini ingin segera menimang cucu,” ujar Julian, kepada Endara.

“Mama itu iri melihat wanita seusia Mama sudah menimang banyak cucu, sedangkan Mama sama sekali belum pernah.” Julian semakin mendramatisir keadaan, seolah hanya dia satu-satunya orang yang paling kecewa.

Vega dan Afifa yang mendengar ucapan sang mama mertua hanya bisa diam dan menundukkan kepala. Selama ini kebaikan Vega dan Afifa tidak pernah terlihat di mata Julian. Wanita paruh baya itu hanya bisa menghina, memojokkan, dan berkata seenaknya kepada mereka.

“Iya, Mah, Endara juga sedang berusaha. Do’akan Dara bisa hamil tahun ini,” kata Endara.

“Mama sudah cukup sabar, Endara. Apa kamu tega sampai Mama meninggal belum juga menimang cucu dari kamu?” tanya Julian, kedua matanya berkaca-kaca agar Endara yang melihatnya iba.

“Dan kamu, Dara, jangan sampai kamu bermalas-masalan minum jamu yang sudah saya racik sendiri. Jangan seperti Vega dan Afifa yang selalu alasan tidak mau minum jamu buatan saya karena tidak suka dengan rasanya.” Lagi-lagi Julian menatap ketiga menantunya sinis.

Wanita paruh baya itu mengeluarkan botol berukuran sedang dari dalam tasnya. Botol yang sudah terisi penuh dengan ramuan jamu yang ia buat sendiri khusus untuk Dara agar gadis itu cepat hamil.

“Diminum setiap hari,” ujar Julian, sambil memberikan botol berisi jamu itu kepada Dara.

“Susah payah aku membuat ramuan itu dengan tanganku sendiri, awas saja kamu membuangnya,” sambung Julian.

Dara mengangguk saat menerima botol jamu pemberian mama mertuanya. Sebenarnya Dara juga tidak bisa meminum jamu, tetapi demi membuat Julian senang Dara ikhlas melakukannya.

“Dara, ikut saya sekarang!” perintah Endara.

Dara mengangguk, lalu gadis itu meminta izin kepada mertua dan kedua kakaknya, barulah Dara berani meninggalkan tepat.

Sesampainya Dara di kamar, gadis itu sudah melihat Endara duduk manis di atas kasur. Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam laci. Dara melihatnya sebuah map coklat berukuran sedang ada di genggaman Endara.

“Apa itu, Mas?” tanya Dara, gadis itu penasaran dengan isi di dalam map berwarna coklat itu.

“Duduk!” perintah Endara, Dara pun mematuhi perintah suaminya.

Dara duduk di sebelah Endara dengan jarak tidak terlalu dekat. Kedua matanya terus menatap map yang dipegang Endara.

“Persiapkan dirimu karena sebentar lagi kita akan bulan madu,” ujar Endara, mengeluarkan tiket yang sudah ia pesan sehari sebelum akad nikah.

“Bulan madu?” Dara bertanya sambil menatap Endara tidak percaya. Jujur saja Dara belum siap untuk menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Endara.

“Tapi kenapa mendadak sekali Mas?” Dara bertanya dengan wajah bingung.

“Tidak ada penolakan, Dara!” Endara berucap tegas. Lelaki itu sudah tahu apa yang ada di dalam pikiran Dara setelah melihat tiket bulan madu yang ada di dalam genggamannya.

“Saya ingin melihat Mama bahagia dan kebahagiaannya hanya satu, yaitu bisa menggendong cucu dari anak semata wayangnya,” ujar Endara. Jujur saja Endara sedih ketika Julian membahas masalah cucu karena Endara merasa belum bisa memberikannya.

“Nanti sore kita ke dokter, saya mau konsultasi hal apa saja yang harus dipersiapkan agar cepat mendapatkan keturunan,” kata Endara.

“Ke dokter?” lagi-lagi gadis itu terkejut dengan rencana Endara yang sebelumnya belum dibicarakan berdua.

“Sudah lah, Dara, jangan banyak bertanya, saya pusing mendengarnya. Sebaiknya kamu persiapkan diri dan tidak usah membawa banyak barang.” Endara berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku secara bersamaan.

“Tidak perlu terlalu banyak berpikir, cukup siapkan diri dan mental.” Lalu Endara keluar dari kamar tanpa persetujuan Dara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 116

    Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 115

    Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 114

    Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 113

    Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 112

    Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam

  • Istri Ketiga Mas Endara    BAB 111

    Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status