Share

Bulan Madu

Seorang wanita paruh baya keluar dari mobil mewah yang berhenti di pekarangan rumah milik Endara. Meskipun usianya sudah terbilang tua, tetapi wanita itu masih tetap memperhatikan penampilannya yang mentereng, mulai dari baju, tas, sampai aksesoris yang semuanya asli dengan harga ratusan juta. Wanita paruh baya itu masuk begitu saja ke dalam rumah Endara tanpa perlu permisi.

“Mama.” Vega langsung mencium punggung tangan wanita paruh baya itu dengan penuh rasa hormat. Tidak hanya Vega, Afifa dan Dara juga melakukan hal yang serupa.

“Endara kemana?” wanita paruh baya itu bertanya seraya duduk di kursi meja makan. Sorot matanya yang dingin tidak pernah berubah. Membuat Vega dan Afifa terbiasa dengan tatapan tersebut.

“Mas Endara sedang bersiap di kamar Dara, Mah,” jawab Vega, dengan nada lembut.

Wanita paruh baya itu bernama Julian, berusia 70 tahun. Meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad, tetapi wanita itu masih terlihat segar dan lincah saat melakukan aktivitas.

“Kok di meja makan nggak ada sarapan sama sekali? Sudah jam berapa ini? Apa gunanya ada tiga istri di rumah ini jika satupun tidak ada yang becus menjadi istri.” Setiap kali Julian datang ke rumah pasti wanita itu selalu mengomel.

“Sedang disiapkan, Mah. Vega dan Afifa juga baru bangun karena kelelahan karena acara kemarin. Biasanya pagi-pagi sekali sarapan sudah siap kok.” Lagi-lagi hanya Vega yang berani menjawab pertanyaan Julian.

“Halah, alasan. Pantas saja sampai detik ini kalian tidak bisa memberikan Endara keturunan, memberi pelayanan terbaik untuk anak saya saja kalian tidak bisa.” Julian memang sering kali berpendapat seenaknya tanpa memikirkan perasaan kedua menantunya.

“Kapan aku bisa menimang cucu? Punya dua menantu saja tidak becus.” Julian melirik Vega dan Afifa sinis.

“Putraku memang keras kepala, seharusnya aku tidak mengizinkan dia menikahi kamu, Vega. Karena sejak awal aku sudah mempunyai firasat buruk tentang kamu dan ternyata benar saja sampai detik ini anakku belum juga dikasih keturunan.” Lagi dan lagi, Julian berkata pedas sampai tidak mempedulikan perasaan Vega.

Vega yang mendapatkan kata-kata menyakitkan dari mertuanya itu hanya bisa menunduk diam dan menahan air matanya agar tidak tumpah. Afifa yang setia di samping Vega mencoba menguatkan.

“Percuma anakku menikah dengan kalian berdua, jika ujung-ujungnya anakku menikah lagi hanya untuk mendapatkan keturunan. Apa sih sebenarnya yang kalian sembunyikan dari anakku? Jika mandul bilang saja, jangan membuat anakku  terbebani dengan keberadaan kalian berdua disini.” Julian berucap pedas sampai membuat Vega dan Afifa sakit hati.

“Kamu, kalau dalam waktu satu tahun ini belum juga hamil, saya kembalikan kamu ke kampung.” Julian beralih menatap Dara tidak kalah sinis.

“Biasa-bisanya anak saya menikah dengan gadis kampung seperti kamu. Tidak menarik sama sekali,” ucap Julian, tatapannya merendahkan Dara.

Tidak berselang lama Endara datang dalam keadaan sudah rapi dan wangi. Baju kemeja yang Dara pilih sangat cocok di tubuh Endara yang tinggi dan kekar.

“Kenapa Mama tidak bilang kalau mau ke sini?” tanya Endara, sambil mencium punggung tangan Julian.

“Endara, kamu harus segera membuat gadis kampungan ini hamil. Di usia Mama yang sudah tua ini ingin segera menimang cucu,” ujar Julian, kepada Endara.

“Mama itu iri melihat wanita seusia Mama sudah menimang banyak cucu, sedangkan Mama sama sekali belum pernah.” Julian semakin mendramatisir keadaan, seolah hanya dia satu-satunya orang yang paling kecewa.

Vega dan Afifa yang mendengar ucapan sang mama mertua hanya bisa diam dan menundukkan kepala. Selama ini kebaikan Vega dan Afifa tidak pernah terlihat di mata Julian. Wanita paruh baya itu hanya bisa menghina, memojokkan, dan berkata seenaknya kepada mereka.

“Iya, Mah, Endara juga sedang berusaha. Do’akan Dara bisa hamil tahun ini,” kata Endara.

“Mama sudah cukup sabar, Endara. Apa kamu tega sampai Mama meninggal belum juga menimang cucu dari kamu?” tanya Julian, kedua matanya berkaca-kaca agar Endara yang melihatnya iba.

“Dan kamu, Dara, jangan sampai kamu bermalas-masalan minum jamu yang sudah saya racik sendiri. Jangan seperti Vega dan Afifa yang selalu alasan tidak mau minum jamu buatan saya karena tidak suka dengan rasanya.” Lagi-lagi Julian menatap ketiga menantunya sinis.

Wanita paruh baya itu mengeluarkan botol berukuran sedang dari dalam tasnya. Botol yang sudah terisi penuh dengan ramuan jamu yang ia buat sendiri khusus untuk Dara agar gadis itu cepat hamil.

“Diminum setiap hari,” ujar Julian, sambil memberikan botol berisi jamu itu kepada Dara.

“Susah payah aku membuat ramuan itu dengan tanganku sendiri, awas saja kamu membuangnya,” sambung Julian.

Dara mengangguk saat menerima botol jamu pemberian mama mertuanya. Sebenarnya Dara juga tidak bisa meminum jamu, tetapi demi membuat Julian senang Dara ikhlas melakukannya.

“Dara, ikut saya sekarang!” perintah Endara.

Dara mengangguk, lalu gadis itu meminta izin kepada mertua dan kedua kakaknya, barulah Dara berani meninggalkan tepat.

Sesampainya Dara di kamar, gadis itu sudah melihat Endara duduk manis di atas kasur. Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam laci. Dara melihatnya sebuah map coklat berukuran sedang ada di genggaman Endara.

“Apa itu, Mas?” tanya Dara, gadis itu penasaran dengan isi di dalam map berwarna coklat itu.

“Duduk!” perintah Endara, Dara pun mematuhi perintah suaminya.

Dara duduk di sebelah Endara dengan jarak tidak terlalu dekat. Kedua matanya terus menatap map yang dipegang Endara.

“Persiapkan dirimu karena sebentar lagi kita akan bulan madu,” ujar Endara, mengeluarkan tiket yang sudah ia pesan sehari sebelum akad nikah.

“Bulan madu?” Dara bertanya sambil menatap Endara tidak percaya. Jujur saja Dara belum siap untuk menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Endara.

“Tapi kenapa mendadak sekali Mas?” Dara bertanya dengan wajah bingung.

“Tidak ada penolakan, Dara!” Endara berucap tegas. Lelaki itu sudah tahu apa yang ada di dalam pikiran Dara setelah melihat tiket bulan madu yang ada di dalam genggamannya.

“Saya ingin melihat Mama bahagia dan kebahagiaannya hanya satu, yaitu bisa menggendong cucu dari anak semata wayangnya,” ujar Endara. Jujur saja Endara sedih ketika Julian membahas masalah cucu karena Endara merasa belum bisa memberikannya.

“Nanti sore kita ke dokter, saya mau konsultasi hal apa saja yang harus dipersiapkan agar cepat mendapatkan keturunan,” kata Endara.

“Ke dokter?” lagi-lagi gadis itu terkejut dengan rencana Endara yang sebelumnya belum dibicarakan berdua.

“Sudah lah, Dara, jangan banyak bertanya, saya pusing mendengarnya. Sebaiknya kamu persiapkan diri dan tidak usah membawa banyak barang.” Endara berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku secara bersamaan.

“Tidak perlu terlalu banyak berpikir, cukup siapkan diri dan mental.” Lalu Endara keluar dari kamar tanpa persetujuan Dara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status