Dua minggu telah berlalu. Hari ini adalah hari pernikahan Endara dan Dara. Kebanyakan orang akan menyambut hari pernikahannya dengan rasa bahagia, tetapi berbeda dengan Dara. Andai saja gadis itu tidak memikirkan keluarganya di kampung pastilah Dara tidak mau menikah dengan majikannya sendiri.
Bagi Dara menikah harus sekali seumur hidup, tetapi apa jadinya jika menikah hanya memanfaatkan rahimnya kemudian diceraikan begitu saja?
“Dara, sudah dong jangan menangis terus nanti riasannya luntur,” ujar Afifa, sambil mengusap air mata Dara menggunakan tisu.
“Kamu jangan terus bersedih seperti itu, setelah satu tahun pernikahan ini kamu akan bahagia hidup di kampung,” ucap Vega.
Dara tidak menanggapi, gadis itu masih menangis memikirkan naspnya menjadi istri ketiga majikannya yang sudah berbaik hati kepadanya memberikan pekerjaan selama lima tahun ini.
“Permisi Nyonya, ijab kabulnya sudah selesai dan Dara sudah diperbolehkan untuk keluar,” ucap salah satu asisten rumah tangga yang juga bekerja di sana.
“Ayo Dara.”
Di sisi kanan dan kiri Dara terdapat dua wanita yang menggandengnya pebuh kelembutan siapa lagi kalau bukan Vega dan Afifa. Kedua wanita itu mengautkan batinnya masing-masing untuk melihat suaminya duduk bersanding bersama dengan perempuan lain.
“Angkat wajahmu, Dara. Jangan sampai orang-orang yang hadir berpikiran buruk tentang kita,” bisik Vega, terdengar tegas di telinga Dara.
Dara langsung menghadap ke depan dengan senyum terpaksa. Ketika sudah duduk di dekat Endara, Dara tidak berani menatap mata lelaki itu yang dulunya menjadi majikan dan sekarang menjadi suaminya.
Dara yang telah resmi menjadi istri ketiga dari Endara pun mencium punggung tangan lelaki itu dengan tubuh gemetar. Tidak pernah terlintas di pikiran Dara untuk menikah di usia 23 tahun masih banyak cita-cita yang belum dia capai untuk membahagiakan keluaarganya di kampung.
“Ingat, pernikahan ini hanya bersifat sementara,” bisik Endara, saat Dara mencium punggung tangannya.
Mendengar ucapan Endara membuat Dara hanya bisa menangis di dalam hati. Setelah pengambilan foto selesai Dara langsung melepaskan tagannya dan memberi sedikit jarak agar tidak duduk terlalu dekat dengan suaminya.
Acara pernikahan itu tentu Endara menghadirkan kedua orang tua Dara dari kampung. Ketika Endara melamar Dara pada orang tua gadis itu mereka setuju asalkan ada uang bulanan untuk mereka hidup di sana. Akan tetapi, kedua orang tua Dara tidak lama berada di sana hanya sampai acara selesai Endara langsung meminta mertuanya untuk pulang.
***
Setelah seharian penuh menyambut para tamu undangan yang datang ke acara pernikahan itu akhirnya Dara bisa istirahat dengan tenang sekarang. Gadis itu merasakan tidak hanya tubuhnya saja yang lelah, tetapi batinnya juga.
Untuk malam ini Endara dan kedua istrinya setuju Dara tidur di lantai dua karena nanti Dara akan dibuatkan rumah secara terpisah di halaman belakang.
Saat ini Dara sedang duduk di depan cermin untuk menghapus sebagain riasannya yang masih menempel di tubuhnya. Tiba-tiba saja terdengar suara pintu terbuka yang membuatnya terkejut.
“Jangan lupa menandatangani surat perjanjian ini.” Endara menaruh beberapa lembar kertas di depan Dara.
“Iya, Pak, tapi nanti setelah Dara selesai mandi,” ucap Dara, masih menundukkan kepalanya belum berani menatap suaminya.
“Saya ini suami kamu atau Bapak kamu?” tanya Endara, nadanya terdengar tidak suka.
“Su-suami,” jawab Dara, terbata-bata.
“Lalu kenapa masih memanggil saya seperti itu?” nada Endara sedikit meninggi karena kesabarannya hampir habis menghadapi Dara.
Dara menggelengkan kepalanya tanda gadis itu tidak tahu.
“Panggil aku seperti Vega dan Afifa memanggilku dan kamu harus memanggil mereka Mbak, jangan Ibu lagi. mengerti?”
“I-iya Mas, mengerti,” jawab Dara, terbata-bata dan terdengar lirih.
“Bagus. Sekarang kamu bersih-bersih, lalu kita akan membicarakan tentang perjanjian ini. Jika kamu keberatan dengan salah satu point perjanjian itu kamu boleh menolaknya, tapi dengan cacatan alasannya harus masuk ke dalam logika saya.” Lalu Endara keluar dari kamar Dara membiarkan gadis itu membersihkan diri terlebih dahulu.
Dara menghela napasnya kasar ketika dirinya ditinggal sendirian di kamar itu. Dara masih tidak percaya dengan statusnya sekarang yang sudah menjadi istri, tetapi sayang menjadi istri ketiga majikannya. Gadis itu menghela napasnya kasar mencoba menerima takdir yang sekarang ia jalani. Setidaknya setelah perceraian nanti Dara bisa kembali ke kampung dan sudah tidak pusing lagi memikirkan soal keuangan.
***
Sepuluh menit telah berlalu, akhirnya Dara keluar dari kamar mandi dalam keadaan segaar dan sudah lengkap memakai baju tidur yang kebesaran.
Dara berhenti ketika melihat Endara sudah duduk di atas kasur. Tiba-tiba saja kegugupan melanda dirinya membuat Dara tidak bisa mengontrol detak jantungnya.
“Kenapa kamu masih ada di sana?” tanya Endara, menatap Dara tajam.
“Cepat ke sini, surat perjanjian ini harus segera ditandatangani,” sambung lelaki itu.
Dara mengangguk lalu kembali melangkah menuju kasur. Gadis itu duduk di sana jaraknya cukup jauh dari tempat Endara duduk. Lelaki itu mengeluarkan kertas yang berisi perjanjian meminta Dara untuk membacanya ulang.
Perjanjian poin pertama
Pihak pertama yaitu Endara, mencukupi seluruh kebutuhan pihak kedua yang bernama Dara tanpa terkecuali.
Poin kedua
Pihak kedua harus setuju melakukan kewajibannya sebagai seorang istri untuk melayani suami. Termasuk sentuhan fisik dan lain-lain.
Ketiga
Selama pernikahan terikat perjanjian, pihak kedua tidak boleh keluar atau berkencan bersama laki-laki lain, berlaku juga untuk pihak pertama. Akan tetapi, kedua belah pihak berhak atas privasi masing-masing. Pihak kedua boleh mencintai laki-laki lain, asal tidak menjalin hubungan selama pernikahan kontrak berlangsung.
Keempat
Setelah pihak kedua dinyatakan positif hamil, maka pihak kedua bebas meminta apapun kepada pihak pertama.
Kelima
Setelah pihak kedua melahirkan, pihak pertama berhak mengambil penuh hak asuh dan pihak kedua tidak boleh ikut campur tangan. Setelah perjanjian selesai, maka semua imbalan akan diberikan sepenuhnya. Setelah perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, tidak bisa dibatalkan dengan alasan apapun.
“Apa ada poin yang harus diubah?” tanya Endara, setelah Dara selesai membaca isi perjanjian itu.
Dara menggeleng, lalu berkata dengan suara pelan, “Tidak ada Mas.
“Bagus,” ucap Endara.
Endara memberikan pena hitam agar Dara bisa langsung menandatangani surat perjanjian itu di atas materai. Dara telah selesai menandatangani surat perjanjian itu dan ia pun mengembalikan pena itu kepada sang pemilik.
“Saya dan kamu masing-masing membawa surat ini dan simpan baik-baik jangan sampai hilang,” kata Endara.
Dara mengangguk patuh dan menerima surat perjanjian itu tanpa ada rasa ragu di dalam hatinya. Setelah membahas perjanjian itu Endara meminta Dara langsung istirahat sementara lelaki tu menyibukkan diri seperti biasanya ketika lelaki itu sedang tidak ingin tidur.
Dari lima poin yang dijabarkan, ada satu poin yang begitu berat untuk Dara tandatangani. Poin kelima.
[Setelah pihak kedua melahirkan, pihak pertama berhak mengambil penuh hak asuh dan pihak kedua tidak boleh ikut campur tangan. Setelah perjanjian selesai, maka semua imbalan akan diberikan sepenuhnya, mulai dari rumah mewah dan seisinya, biaya kuliah sampai sarjana, dan 100 hektar sawah. Setelah perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, tidak bisa dibatalkan dengan alasan apapun.]
Rasa sepi dan hampa selalu tercipta di dalam rumah yang terlihat megah dan mewah itu. Raut kesedihan terlihat jelas dari wajah seorang laki-laki berusia 48 tahun itu karena di usianya yang hampir menginjak kepala lima, ia belum juga dikaruniai seorang anak. Padahal, berbagai cara lelaki itu lakukan sampai rela membagi cintanya untuk perempuan lain, selain istri tercintanya, Vega. “Bapak, sarapannya sudah siap.” Suara itu membuat lamunan Endara Respati buyar. Lelaki itu menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang sudah berani mengusik ketenangannya. “Eh, Dara.” Endara langsung tersenyum ketika melihat Dara berdiri tepat di belakangnya. Dara Arum Puspita, berusia 23 tahun yang berasal dari desa. Sejak usia 18 tahun, Dara sudah bekerja di keluarga Endara. Dara adalah gadis yang sopan, tidak pernah melanggar peraturan yang sudah dibuat, sosok yang lugu, dan penyayang. “Maaf, Pak, sudah beberapa hari ini Dara melihat Bapak sering melamun.” Dara sangat khawatir dengan kondisi majika
Seorang wanita paruh baya keluar dari mobil mewah yang berhenti di pekarangan rumah milik Endara. Meskipun usianya sudah terbilang tua, tetapi wanita itu masih tetap memperhatikan penampilannya yang mentereng, mulai dari baju, tas, sampai aksesoris yang semuanya asli dengan harga ratusan juta. Wanita paruh baya itu masuk begitu saja ke dalam rumah Endara tanpa perlu permisi.“Mama.” Vega langsung mencium punggung tangan wanita paruh baya itu dengan penuh rasa hormat. Tidak hanya Vega, Afifa dan Dara juga melakukan hal yang serupa.“Endara kemana?” wanita paruh baya itu bertanya seraya duduk di kursi meja makan. Sorot matanya yang dingin tidak pernah berubah. Membuat Vega dan Afifa terbiasa dengan tatapan tersebut.“Mas Endara sedang bersiap di kamar Dara, Mah,” jawab Vega, dengan nada lembut.Wanita paruh baya itu bernama Julian, berusia 70 tahun. Meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad, tetapi wanita itu masih terlihat segar dan lincah saat melakukan aktivitas.“Kok di meja m
Sesuai ucapan Endara kemarin, hari ini mereka berdua berangkat bulan madu ke luar negeri. Alasan Endara tidak hanya bulan madu saja, melainkan sedang menjalankan bisnis juga. Dara tidak mempermasalahkan hal itu, jika suaminya ingin bekerja maka Dara mempersilahkan, dan jika ingin berdua Dara juga selalu siap.Enam belas jam lamanya Endara dan Dara berada di udara, akhirnya mereka berdua tiba di Amerika dengan selamat. Tidak ada kendala saat penerbangan, hanya saja Dara sedikit mual karena terbang di atas udara adalah pengalaman Dara untuk pertama kalinya. Sekarang mereka berdua sudah tiba di hotel yang akan menjadi tempat menginap mereka selama beberapa hari berada di Amerika.“Masih pusing?” Endara menghampiri Dara yang sedang meringkuk di atas kasur.Dara hanya bisa menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, karena di saat Dara banyak berbicara maka perut dan kepalanya seperti di putar-putar.“Oleskan minyak ini, siapa tahu bisa mengurangi mual dan pusing.” Endara memberikan botol min
Pagi harinya ….Endara bangun lebih awal dari pada Dara, lelaki itu langsung menuju ke kamar mandi hanya sekedar sikat gigi dan cuci muka untuk sarapan pagi. Endara terlihat tidak peduli dengan Dara yang sedang tidur pulas di atas kasur dengan posisi meringkuk dan seluruh tubuh ditutup oleh selimut. Setelah menyelesaikan kegiatan di kamar mandi, Endara langsung berganti baju. “Dara, bangun” Endara mengguncang pelan tubuh mungil Dara yang ditutup oleh selimut. Dara mulai mengerjapkan matanya saat kedua telinganya mendengar suara Endara yang cukup dekat dengan dirinya. “Mas Endara.” Dara mencoba untuk bangun, tetapi tubuh gadis itu lemas seakan tidak bertulang, wajahnya juga terlihat sangat pucat. “Jika tidak bisa jangan dipaksakan,” ujar Endara, kembali membantu Dara untuk berbaring. Melihat kondisi gadis itu membuat Endara tidak tega, pasti penyebab utama Dara lemas seperti ini karena sedang datang bulan. “Saya bawakan ini, siapa tahu nyerinya sedikit reda.” Endara memberikan bot
Tidak terasa senja sudah tiba, berhubung cuacanya sangat cerah Endara berniat untuk membawa Dara pergi jalan-jalan, karena Endara yakin Dara bosan satu hari penuh hanya berada di atas kasur.“Mau kemana, Mas?” tanya Dara, gadis itu duduk bersila di atas kasur menatap Endara penasaran.“Perutnya masih sakit tidak?” tanya Endara, tanpa menatap Dara karena kedua matanya fokus menatap pantulan dirinya di cermin.“Sedikit Mas,” jawab Dara, pandangan matanya tidak lepas menatap Endara.“Cepat bersiap, aku mau ajak kamu jalan-jalan,” ujar Endara, sambil merapikan kerah kaos yang ia pakai.“Nggak mau Mas, Dara nggak bisa bahasa Inggris.” Dara menggeleng dengan wajah memohon agar Endaru tidak membawanya keluar. Bertemu banyak orang membuat Dara minder karena gadis itu tidak bisa bahasa Inggris.“Kan ada saya, nanti waktu keluar kamu harus tetap berada di samping saya.” Endara tetap keras kepala ingin membawa Dara keluar. Endara juga ingin Dara tahu bagaimana suasana di luar sana dengan cuaca c
Endara sangat telaten membersihkan tubuh Dara menggunakan selembar kain yang sebelumnya sudah dicelupkan ke air hangat. Ya, semua baju yang ada di tubuh Dara sudah diganti. Pelaku yang menanggalkan seluruh pakaian Dara termasuk pakaian dalam Dara adalah Endara, tidak ada rasa jijik sama sekali pada saat membersihkan area privasi Dara yang sedang berdarah.“Kamu hampir saja membuat saya jantungan, Dara,” ujar Endara, sambil memperhatikan Dara yang sedang tertidur lelap. Tangan kanan Endara menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah gadis itu agar tidak menghalangi Endara memandangi wajah lugu istri kecilnya.“Kamu tahu, Dara, akibat perbuatanmu yang dibawah sana menjadi keras” ujar Endara, lagi-lagi pandangan matanya tidak bisa lepas menatap wajah polos Dara saat tertidur pulas.Endara menghela napasnya kasar, sekarang ia harus berpikir bagaimana caranya membuat yang di bawah sana bisa tidur kembali. Padahal pada saat melihat tubuh Vega dan Afifa tanpa sehelai tidak sampai membuat E
Wajah Dara terlihat cemberut sebab Endara tidak mengizinkannya untuk mandi. Padahal Dara ingin sekali membersihkan tubuhnya yang cukup lengket dan aroma yang tidak sedap akibat minyak angin yang menempel di tubuhnya.“Jangan bandel, kamu tidak mau demamnya semakin parah kan?” dari kejauhan Endara melihat Dara yang sedang berada di atas kasur. Lelaki itu menahan tawanya ketika melihat wajah istri ketiganya itu cemberut.“Tapi Dara pengen mandi, Mas.” Gadis itu tetap keras kepala ingin mandi, padahal kepalanya masih terasa pusing.“Ayo saya mandikan.” Endara berdiri bersiap menghampiri Dara tanpa senyum, padahal di dalam hati Endara tertawa geli melihat wajah Dara terlihat panik. Entah mengapa sejak saat melihat wajah Dara tidur pulas semalam membuat Endara candu untuk terus menatap wajah gadis itu.“Tidak, Dara tidak jadi mandi.” Gadis itu kembali berbaring, membungkus seluruh tubuhnya menggunakan selimut.Dara merasakan kasurnya bergoyang, karena penasaran dia pun membuka selimut, ter
Malam harinya, setelah meyakinkan diri sendiri akhirnya Endara memutuskan untuk mengajak Dara pergi jalan-jalan. Tidak terlalu jauh seperti kemarin, hanya di sekitaran hotel tempat mereka berdua menginap. Endara tidak akan membiarkan Dara lepas, ia selalu menggenggam tangan Dara setelah mereka berdua benar-benar berada di luar.“Mas, sebentar, tangan Dara kesemutan,” ujar Dara, mencoba melepaskan tautan tangan mereka. Akibat genggaman Endara terlalu kuat membuat tangan mungil Dara kesemutan.“Tidak. Saya tidak mau kamu hilang lagi.” bukannya memberi ruang agar tangan Dara bisa bernapas, justru Endara semakin mengeratkan genggamannya sampai membuat Dara meringis kesakitan.“Iya Mas, Dara tahu, tapi tangan Dara benar-benar kesemutan. Apa Mas Endara tidak bisa melonggarkan sedikit genggaman tangannya?” gadis itu menatap Endara memelas.“Baiklah, hanya melonggarkan sedikit saja.” akhirnya Endara melonggarkan sedikit genggaman tangannya.“Terima kasih, Mas.” Dara pun tersenyum lega karena