Share

4. Menerima Dia

***

“Al-Quran? Apa itu?”

Kinan tersenyum dan ia lalu menjelaskan, “Al-quran adalah kitab suci untuk umat Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhamammad SAW.”

Ludwig tersenyum sinis, mendengarkan penjelasan Kinan dengan ketidakpercayaan yang jelas terlihat di wajahnya.

"Jadi, sama saja dengan semua agama lainnya. Menjual ayat dan surga, dan mengklaim bahwa kitab suci itu  adalah wahyu, padahal kitab suci itu hanya buatan manusia yang menipu manusia bodoh dan menganggap mereka itu adalah nabi atau utusan dari Tuhan." Ludwig mengatakannya dengan sinis.

"Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT dan bukan buatan manusia. Islam bukan agama buatan manusia, ayat-ayat Al-Quran itu diturunkan tidak sekaligus,” balas Kinan dengan tegas.

Namun, Ludwig hanya menggelengkan kepala dengan tidak peduli, “Semua agama sama saja. Hanya untuk kepentingan dan ambisi para penmuka agama dan yang aku tahu agamamu itu identik dengan teroris dan kekerasan. Selalu membuat aturan yang rumit. Misalnya, mewajibkan wanita untuk menutup pakaiannya dengan kain dan membatasi kebebasan mereka. Seperti kamu, Kinan. Kamu menutup rambutmu dengan kain, itu terlalu mengekang kebebasan manusia!”

Kinan memandang Ludwig dengan tatapan tajam, tetapi tetap tenang dalam menjawab.

"Menutup aurat adalah aturan dalam Islam yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ini adalah bentuk penjagaan diri kami. Bagi kami, menutup aurat adalah bentuk taat kepada Allah. Ini adalah cara kami menunjukkan kepatuhan dan kehormatan terhadap-Nya. Dan juga tidak semua muslimah memakai jilbab saat ini."

Ludwig mendengarkan dengan ketidaksetujuan yang jelas, namun Kinan tidak berhenti.

"Kami wanita muslimah menutup aurat karena malu. Kami tidak ingin apa yang kami sembunyikan dinikmati oleh pria lain secara bebas. Kami menyimpannya untuk pria yang halal bag kami, suami kami. Dan aku melakukannya saat ini, aku hanya menunjukkannya padamu, Ludwig. Sebab kamu yang berhak karena kamu adalah suamiku."

Suasana diam mengisi ruangan, namun di dalam keheningan itu terasa pertarungan antara cahaya dan kegelapan. Kinan, dengan keyakinan yang teguh pada agamanya, berusaha menembus kegelapan yang menyelimuti hati Ludwig.

Suasana di dalam kamar menjadi semakin tegang ketika Ludwig menolak untuk melanjutkan diskusi tentang agama Islam. Meskipun lantunan ayat-ayat suci Al-Quran telah menyentuh hatinya dengan cara yang tidak bisa dijelaskan, ia tetap bersikeras untuk menolaknya dengan keras.

"Aku tidak ingin membahas ini lagi. Agama Islam bukan untukku, atau agama manapun tak akan membuatku terjatuh dan menjadi budak agama, hanya di kartu identitasku saja tertulis agama agar aku bisa menikahimu dengan sah,” ucap Ludwig.

Kinan mencoba menahan rasa kecewa yang melanda hatinya. Dia tahu bahwa kebimbangan Ludwig masih kuat, dan tidak mudah untuk mengubahnya. Ia tidak mau memaksanya karena hanya Allah yang bisa menggerakan hati manusia.

"Aku mengerti, Ludwig." Kinan tersenyum lembut.

Ludwig bangkit dari kursinya dengan sikap angkuh, menatap Kinan dengan tajam.

"Baiklah. Aku mendatangi kamarmu pada jam segini karena ingin memberitahukanmu kalau aku akan pergi ke luar negeri dalam waktu yang tak ditentukan. Kamu bisa melanjutkan aktifitasmu seperti biasa. Tapi ingat, Kinan, jaga batas dirimu. Jika kamu membuat kesalahan, kamu akan mendapatkan hukuman."

Kinan hanya tersenyum menatap suaminya yang angkuh itu. Di balik senyumnya, ia merasa sedih dan cemas atas keputusan Ludwig yang semakin menjauhkan mereka. Padahal ia sudah berjanji untuk mengenal suaminya lebih dekat karena ia yakin ada sisi lembut di dalam diri Ludwig.

"Aku akan berusaha yang terbaik, Ludwig. Terima kasih karena kamu masih mengizinkanku untuk mengajar di sekolah, aku tidak akan mengecewakanmu dan kembalilah pulang ke rumah dengan selamat, aku selalu mendoakanmu," ucap Kinan dengan tulus.

Ludwig terdiam dengan apa yang Kinan katakan barusan, namun ia langsung sadar kembali dan  Dengan langkah mantap, Ludwig meninggalkan ruangan, meninggalkan Kinan yang terdiam sendiri. Setelah pintu ditutup rapat, Kinan menghela napas dalam-dalam.

"Ya Allah, lembutkanlah hati Ludwig. Bantu dia menemukan cahaya Islam di dalam hatinya. Aku ingin bersama-sama dengannya meraih cinta-Mu,” ucap Kinan tersenyum.

Dalam keheningan yang menyelimuti kamarnya, Kinan membiarkan doanya mengalir begitu saja, berharap agar suaminya bisa terbuka untuk memahami kebenaran yang sejati.

“Ludwig, entah kenapa meski wajahmu tertutup dengan topeng, akhir-akhir ini aku tak merasakan ketakutan yang luar biasa, mungkin ini jawaban dari segala doaku tentangmu. Semoga kamu bisa merasakan kalau aku benar-benar tulus denganmu,” tambah Kinan lagi.

Wanita itu langsung bergegas untuk melanjutkan membaca lantunan ayat suci Al-Quran sebelum adzan subuh tiba.

***

Keesokan harinya di SD Gema Insani….

Langkah Kinan terdengar lembut di lorong sekolah saat dia kembali ke tempat kerjanya setelah masa pernikahannya. Udara cerah menyambutnya di pintu masuk, namun segera saja atmosfer berubah saat rekan-rekan gurunya mulai bergerak mendekatinya.

"Selamat kembali, Bu Kinan! Kami senang melihatmu lagi. Akhirnya Bu Kinan kembali mengajar di sekolah, saya sangat senang," ucap Maya, salah satu guru juga.

"Wah, selamat ya,  Bu Kinan. Sudah menikah, kan? Kenapa Bu Kinan tidak mengundang kami? Kami semua terkejut mendapati kabar kalau Bu Kinan cuti mengajar untuk menikah, semuanya serba mendadak," ucap Tari.

Saat salam dan ucapan selamat itu terdengar, satu suara menusuk langsung ke hati Kinan. Yeni, salah satu rekan guru yang terkenal dengan lidah tajamnya.

"Jadi, Bu Kinan, sudah menikah, ya? Dengan pria tua yang kaya raya itu, bukan? Apa, Bu Kinan menikah hanya karena harta? Berani bertaruh, kalau pria yang Bu Kinan nikahi pasti psikopat. Bahkan,  pria itu mempunyai sikap kasar, wajah buruk dan juga kejam pada kedua mantan istri sebelumnya, Bu Kinan pasti terpaksa karena namanya orang hidup ya butuh uang dan pengakuan"

Kinan menatap Yeni dengan tajam, kesal atas komentar sinis yang dilemparkan kepadanya.

"Maaf,  Bu Yeni, tapi urusan rumah tangga saya bukanlah urusan Anda. Suami saya Insya Allah adalah pria yang baik, dan tidak seburuk yang Ibu katakan.  Saya merasa bersyukur karena suami saya selalu mendukung saya dan saya tidak akan membiarkan Ibu mencampuri urusan pribadi kami. Lebih baik mengurus masalah pribadi masing-masing!" Kinan tersenyum menatap Yeni yang mendadak terdiam.

Dengan langkah mantap, Kinan meninggalkan Yeni yang terdiam di tempatnya, memandang Kinan dengan tatapan yang penuh kebencian. Yeno memang membenci Kinan, lebih tepatnya ia iri karena Kinan baru setahun mengajar di SD Gema Insani, tapi semua rekan guru menyukainya, bahkan semua murid selalu mengidolakan sosok Kinan yang disebut ‘Bu Guru Bidadari’ oleh semua murid, terlebih lagi ia merasakan bahwa pria yang ia sukai seperti menyimpan rasa kagum pada sosok Kinan. Siapa yang tidak panas melihat orang asing yang mendadak jadi pusat perhatian di sekolah?

Namun, tanpa disadari oleh Kinan, di sudut ruangan, seorang pria bernama Fachry, salah satu rekan guru juga, yang diam-diam mengagumi Kinan, mendengar pertukaran kata-kata itu dengan hati yang patah. Rasa sakit itu terasa seperti pisau yang menusuknya saat ia menyadari bahwa wanita yang ia cintai telah menikah dengan pria lain. Wajahnya tertutup oleh ekspresi kesedihan yang dalam, namun hatinya terus membara dengan rasa penyesalan dan patah hati. Fachry sebenarnya sudah mendatangi kedua orang tua Kinan dan mengatakan niat baiknya untuk melamar Kinan, namun yang ia terima adalah penolakan langsung. Ia sadar diri bahwa ia hanya seorang guru, mungkin saja kedua orang tua Kinan langsung menolaknya. Tapi, siapa sangka Kinan akan secepat itu menikah dengan seseorang?

“Pak Fachry… “

Fachry langsung sadar dari lamunannya dan ia terkejut karena Kinan yang memanggilnya, ia tampak bingung karena bukannya tadi Kinan pergi dari ruangan guru?

“Pak Fachry, apa Bapak sedang sakit?” tanya Kinan.

“Astaghafirullah,” balas Fachry, ia langsung menggelengkan kepalanya, “Ada apa, Bu Kinan?”

“Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih karena selama saya cuti kemarin, Bapak yang menggantikan saya mengajar di kelas tiga. Terima kasih ya, Pak,” kata Kinan dengan tulus.

Fachry menganggukan kepalanya, “Sama-sama, Bu. Sudah kewajiban kita saling membantu.”

Kinan tersenyum dan senyuman wanita itu lagi-lagi membuat pertahanan hatinya hancur lagi.

“Kalau begitu, saya mau bersiap-siap untuk ke kelas ya, Pak. Assalamualaikum… “

“Walaikumussalam,” balas Fachry.

Fachry menghela napas panjang setelah Kinan pergi dari hadapannya. Ia langsung beristighfar dalam hati berkali-kali agar ia tak lagi memikirkan Kinan yang memang tidak akan pernah bisa ia raih lagi.

‘Fachry, sadar! Dia sudah mempunyai suami,’ batin Fachry.

***

Sedangkan di dalam pesawat jet pribadinya, Ludwig tertegun menemukan amplop berwarna merah jambu, ia tidak  merasa memiliki itu, namun karena penasaran ia membuka amplop itu dan membaca lembaran kertas itu.

[Assalamualaikum… ini adalah surat pertama yang kutulis untuk suamiku. Aku hanya ingin menulis bahwa kamu saat ini sudah menjadi prioritas utama dalam doaku. Semoga segala lelah hilang dan ingatlah, matahari selalu menepati janjinya untuk terbit setiap pagi dan langit juga tidak akan selamanya gelap. Tetap bersemangat!]

Ludgwig terdiam dan masih memegang lembaran kertas itu, “Wanita ini,” gumamnya pelan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status