Alia berdiri kaku di depan Menara Saphir, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi menembus langit Tokyo. Cuaca yang dingin membuat tangannya semakin menggigil. Napasnya tersengal, bukan karena lelah berjalan, tetapi karena kecemasan yang menghantuinya.
Lantai 58 Menara Saphir, ruangan pertemuan yang tampak megah namun terasa begitu menyeramkan. Alia berdiri di hadapan Darren yang sedari tadi tampak duduk menunggu di ruang kerjanya. Jarak mereka yang semakin dekat membuat jantung Alia terasa ingin meledak.
Tanpa basa-basi, Darren menyodorkan map berwarna hitam dengan logo perusahaan di pojoknya."Ini kontraknya. Bacalah. Pastikan kau mengerti semua pasalnya."
"Tapi Tuan, kenapa aku yang terpilih? Apakah Anda yakin?" Alia bertanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam ketegangan ruang itu.
Darren hanya menatapnya datar. "Saya tidak akan repot-repot memanggil seseorang ke sini kalau saya belum yakin."
Alia merasa sangat kaget dan tanpa bertanya membuka map itu dengan tangan sedikit gemetar. Ia tak menyangka semuanya akan terasa nyata secepat ini. Tiap lembar yang ia baca terasa seperti mencabut helai demi helai harga dirinya.
"Saya sudah minta tim kuasa hukum untuk menyederhanakan bahasa dokumennya," Darren berkata santai. "Supaya tidak terlalu sulit dipahami oleh orang sepertimu."
Alia menahan napas. Ia memilih diam. Fokus pada kalimat-kalimat yang membuat dadanya sesak.
Pasal-pasal itu mencakup:
(1) Pernikahan legal berlangsung selama satu tahun. (2) Tidak ada ikatan emosi atau keterlibatan pribadi. (3) Hubungan intim adalah bagian dari kewajiban pernikahan. (4) Tidak boleh hamil; penggunaan kontrasepsi adalah syarat mutlak.Alia terdiam lama pada bagian itu.
"Kau tampak ragu," Darren bersandar, satu kakinya terangkat ke atas lutut satunya. Tatapannya tajam, penuh penilaian.
"Apa menurutmu terlalu sulit melayani suami di tempat tidur?"Alia langsung menatapnya, pipinya memanas. "Bukan begitu. Aku hanya... tidak menyangka harus sejauh itu."
"Oh, saya lupa," Darren tersenyum miring.
"Mungkin kau membayangkan pernikahan kontrak ini hanya sebatas saling sapa dan pura-pura mencintai di depan publik? Tentu saja tidak, good girl, itu sangat merugikan saya. Saya sudah begitu banyak mengeluarkan uang untuk membeli barang murahan sepertimu. Dan satu lagi, saya harus mengingatkan kamu. Dalam pernikahan, melayani suami adalah bagian dari kewajiban. Tapi tenang saja..."Ia membungkuk sedikit ke arah Alia.
"Sayangnya, saya bukan pria yang suka drama. Jika kita menikah, saya akan menyentuhmu. Saya akan tidur bersamamu. Tapi jangan khawatir, saya tidak akan membiarkanmu hamil. Saya tidak ingin punya keturunan dengan budak."
Alia mengerjap. Ada luka di kata-kata itu yang tidak bisa ia jelaskan. Entah untuk siapa luka itu sebenarnya.
"Kenapa Anda menyebutku budak, Tuan?" tanyanya pelan.
"Karena hanya orang putus asa yang menjual dirinya untuk menikah dengan pria asing demi uang."
Darren berdiri, berjalan ke jendela besar yang memperlihatkan kota Tokyo dari ketinggian.
"Tapi saya juga bukan pahlawan. Saya membeli kebohongan ini demi reputasi. Jadi, kau tidak perlu merasa tersinggung. Kita berdua sedang saling memanfaatkan, bukan?"
Alia menunduk. Ia merasa seperti tenggelam dalam lubang gelap. Tapi... ia tak bisa mundur.
"Aku akan menandatanganinya," katanya.
Darren membalikkan badan, sedikit mengangkat alis. "Cepat sekali. Saya mengira kau akan melarikan diri."
"Aku nggak punya pilihan apa pun."
Darren menghampirinya. Terlalu dekat. Ia meraih dagu Alia, mengangkatnya dengan sentuhan yang lembut namun penuh dominasi. "Keberanianmu sangat menghibur."
Alia menepis pelan tangannya, meski tubuhnya membeku. "Aku bukan mainan, Tuan Darren."
"Oh, saya tahu. Kau lebih seperti... tantangan kecil. Dan saya suka tantangan ini."
Ia kembali ke kursinya, mengambil pena, dan meletakkannya di hadapan Alia.
"Tandatangani. Mulai sekarang, kau adalah milik saya."
Tangannya gemetar saat menuliskan namanya. Rasanya seperti menandatangani surat pemakaman dirinya sendiri.
Langkahnya terasa berat saat meninggalkan ruangan itu. Udara dingin menyentuh kulitnya, menusuk hingga ke tulang. Tapi hatinya lebih terasa membeku.
Sesampainya di kamar, Alia menatap layar ponsel.
Pesan dari Ibu: Hati-hati ya kerja di Jepang. Ibu percaya kamu bisa. Jangan lupa salat, Nak.
Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tidak bisa terus berbohong. Setidaknya, Ibu tahu dia akan menikah.
"Bu... Maaf. Selama ini aku tidak jujur sepenuhnya. Selain karena pekerjaan, aku di Jepang juga akan menikah dengan seseorang yang aku cintai dan sudah cukup lama aku kenal. Maafin Alia ya, Bu. Aku tahu ini mendadak..."
Ia mengirim pesan itu dengan perasaan yang berkecamuk. Pesan itu juga disertai kebohongan, tapi masih lebih baik daripada kenyataannya.
Ponsel diletakkan di meja. Alia memeluk dirinya sendiri, berharap Tuhan tidak menghukumnya terlalu berat atas dosa yang telah ia lakukan dengan memilih jalan ini.
"Maafin Alia, Bu... Amara... aku terpaksa melakukan semua ini," isaknya, kembali melihat pesan yang telah ia kirim.
Pagi hingga sore berlalu tanpa banyak kata. Alia memilih diam dan sibuk bersih-bersih sekadarnya, menahan gelisah yang terus menggerogoti dadanya tentang hari ini. Darren yang sedang cuti pun tidak muncul dari ruang kerjanya. Tapi ketika malam datang, hawa di rumah itu terasa berubah. Langkah kaki Darren terdengar berat menuruni tangga dari ruang kerjanya.“Naik,” ucapnya singkat, tanpa ekspresi.Alia, yang sedang merapikan buku di rak ruang tamu, spontan menoleh. Jantungnya memompa lebih cepat saat mendengar perintah pria itu. Ia mengikutinya menaiki tangga tanpa bertanya. Tapi ketika Darren membuka sebuah pintu di sisi kanan lorong, Alia merasa aneh. Ini bukan kamar Darren, bukan juga kamarnya. Ia tidak pernah tahu ada ruangan ini di apartemen itu.Pintu itu terbuka. Lampu dinyalakan. Alia menahan napas. Kamar itu terasa asing dan mencekam. Tampak sangat bersih dan steril dengan sprei putih, dinding abu-abu, dan tirai tebal tanpa motif. Tidak ada aroma tubuh, tidak ada sentuhan manus
Tangannya meremas ujung bantal sebelum membantingnya ke tengah tempat tidur. Tak puas, ia bangkit, meremas kontrak iitu dan melemparnya ke sudut kamar."Apa-apaan hidupku sekarang..." gumamnya lirih.Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan perasaan sesak yang tiba-tiba menyerauk. Marah, kesal, kecawa, dan putus asa melebur menjadi satu. Bahkan tangis pun sudah malas mampir. Ia akhirnya memilih bangkit, membuka laptop, dan mulai mengerjakan pesanan design dari para pelanggan.Setidaknya pekerjaan bisa mengalihkan sedikit pikirannya.Baru beberapa saat kursor mengotak-ngatik design itu, gelap menyergap.Suara petir menyambar dari luar, diikuti suara hujan badai. Semua lampu padam."Bisa-bisanya apartemen semegah ini mati listrik? Oh No, dan hanya aku dan dia di rumah ini sekarang,” keluhnya panik.Ia meraba-raba kasur, mencari ponsel, tapi tak juga menemukannya. Sejak kecil, Alia sangat takut dalam gelap.Dengan langkah gugup, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar
Ketukan pintu terdengar samar di antara keheningan pagi.“Miss, ayo bangun. Pernikahan akan diadakan pagi ini. Gaun dan riasan sudah siap. Kita harus sampai di hotel 1 jam lagi.”Naomi sibuk menyibak tirai jendela besar kamar itu, membiarkan cahaya pagi Tokyo masuk. Suaranya tegas, penuh tekanan, namun tetap terdengar profesional. Ia sambil menunjuk pada dua staf yang membawa beberapa kotak berisi makeup dan gaun berlapis-lapis.“Menikah pagi ini?” Alia membelalak.Ia segera duduk dan melangkah keluar kamar, melewati lorong hotel yang kini penuh dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian formal.“Apa yang pria itu inginkan dariku? Bukannya tadi malam dia tak ingin adanya pernikahan secara resmi?”Alia menarik napas panjang, menghampiri Naomi yang tampak sibuk mengurus gaun yang akan Alia pakai.“ Naomi, aku ingin bicara dengan Tuan Darren. Please, hanya sebentar saja.”Naomi melirik jam tangannya, “Maaf, Miss. Saat ini tidak mungkin, Tuan Darren sedang bersiap dan tidak bisa diganggu se
Alia menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Suara ibunya segera terdengar begitu telepon diangkat.“Alia? Pesan tadi, apakah benar kamu yang kirim, Nak? Apakah kamu baik-baik saja?” suara ibunya terdengar sangat khawatir.Alia menghela napas panjang lalu mencoba berbicara sekuat tenaga. “Iya, Bu. Alia minta maaf udah bohongin Ibu. Tapi, Alia mohon izin dan restu Ibu pernikahan ini.”Suara hening sesaat. Lalu suara ibunya kembali terdengar dengan nada lebih tajam dan kecewa.“ Kenapa mendadak begini? Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?.”“ Alia nggak bisa cerita semuanya, Bu. Tapi Alia janji akan baik-baik saja.““ Kalau kamu tetap ingin menikah. Lakukanlah dengan cara yang benar. Jangan buang martabatmu hanya karena putus asa,” sambung Ibu dengan suara pelan namun tegas.“Baik Bu..” Suaranya tercekat, dan hanya terdengar isak yang tertahan. Alia terpaksa untuk tidak jujur tentang kontrak ini, ia tak bisa menyakiti ibunya lebih jauh.Tak lama setelah itu, Alia mengetik dengan jari
Alia berdiri kaku di depan Menara Saphir, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi menembus langit Tokyo. Cuaca yang dingin membuat tangannya semakin menggigil. Napasnya tersengal, bukan karena lelah berjalan, tetapi karena kecemasan yang menghantuinya.Lantai 58 Menara Saphir, ruangan pertemuan yang tampak megah namun terasa begitu menyeramkan. Alia berdiri di hadapan Darren yang sedari tadi tampak duduk menunggu di ruang kerjanya. Jarak mereka yang semakin dekat membuat jantung Alia terasa ingin meledak. Tanpa basa-basi, Darren menyodorkan map berwarna hitam dengan logo perusahaan di pojoknya."Ini kontraknya. Bacalah. Pastikan kau mengerti semua pasalnya.""Tapi Tuan, kenapa aku yang terpilih? Apakah Anda yakin?" Alia bertanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam ketegangan ruang itu.Darren hanya menatapnya datar. "Saya tidak akan repot-repot memanggil seseorang ke sini kalau saya belum yakin."Alia merasa sangat kaget dan tanpa bertanya membuka map itu dengan tangan sediki
“Kakak yakin ini bukan penipuan ?” suara Amira nyaris tenggelam oleh suara kendaraan di jalan. Seragam SMAnya yang lusuh, tapi rapi. Matanya sembab.Alia mengangguk pelan menatap adiknya yang masih berdiri di depan pintu. “Kamu nggak perlu khawatir adek, kalau iya, aku bakal segera pulang. Tapi kalau nggak aku coba sekarang, kesempatan ini mungkin nggak bakal datang lagi. Mungkin aku bakal menyesal seumur hidup.”Ibunya memeluk Alia erat, mencoba menyimpan semua kecemasannya dalam dada. “Jaga diri Nak, jangan gampang percaya orang apalagi jauh di negara orang… Sholat jangan tinggal, ya, Nak.”Alia hanya bisa mengangguk. Dalam pelukan ibunya, aroma sabun cuci dan masakan rumah membuat dadanya sesak dan penuh rasa bersalah. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak akan bekerja di perusahaan biasa. Ia telah menandatangani kontrak untuk sesuatu yang jauh lebih misterius , sesuatu yang tentu akan melukai hati Ibu dan Adiknya.Darren Khalid, nama itu terus bergema tanpa henti di ke