“Kakak yakin ini bukan penipuan ?” suara Amira nyaris tenggelam oleh suara kendaraan di jalan. Seragam SMAnya yang lusuh, tapi rapi. Matanya sembab.
Alia mengangguk pelan menatap adiknya yang masih berdiri di depan pintu. “Kamu nggak perlu khawatir adek, kalau iya, aku bakal segera pulang. Tapi kalau nggak aku coba sekarang, kesempatan ini mungkin nggak bakal datang lagi. Mungkin aku bakal menyesal seumur hidup.”
Ibunya memeluk Alia erat, mencoba menyimpan semua kecemasannya dalam dada. “Jaga diri Nak, jangan gampang percaya orang apalagi jauh di negara orang… Sholat jangan tinggal, ya, Nak.”
Alia hanya bisa mengangguk. Dalam pelukan ibunya, aroma sabun cuci dan masakan rumah membuat dadanya sesak dan penuh rasa bersalah. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak akan bekerja di perusahaan biasa. Ia telah menandatangani kontrak untuk sesuatu yang jauh lebih misterius , sesuatu yang tentu akan melukai hati Ibu dan Adiknya.
Darren Khalid, nama itu terus bergema tanpa henti di kepalanya.
Perjalanan ke bandara penuh diam. Bahkan saat taksi online tiba, hanya pelukan yang bicara. Tak ada tangis. Hanya sunyi.
Lima belas jam kemudian, Tokyo menyambutnya dengan langit kelabu dan udara menggigit. Seorang wanita berjas hitam berdiri di terminal kedatangan, membawa papan bertuliskan “Miss Alia”.
“Hallo, Miss Alia. Saya Naomi, asisten pribadi Tuan Darren,” ucapnya dengan bahasa Indonesia yang kaku tapi jelas. Senyum tipis, sopan tapi tegas.
Alia mengangguk berusaha memaksakan senyum yang ramah. "Halo..."
Mobil hitam membawa mereka menuju Shibuya. Alia menatap kota yang asing tapi memesona, sambil mencoba menenangkan pikirannya yang terus melompat-lompat: Apa yang sedang aku lakukan? Apa aku sudah gila?
Di dalam mobil, Alia akhirnya memberanikan diri bertanya.
“Maaf, Miss Naomi... aku masih nggak ngerti. Kenapa aku? Maksudku, kenapa aku bisa menjadi pemenang padahal latar belakang dan penampilanku sangat biasa.”
Naomi tersenyum tipis tanpa menoleh. “Tuan Darren yang memilih Anda sendiri. Saya tidak pernah tahu alasannya apa. Mungkin kamu terlihat unik”
“Unik?” Alia mengernyit. “Apa itu artinya bagus... atau aneh?”
Naomi tak menjawab. Hanya menatap jalan dengan mata lurus dan senyum tipis.
“Dan soal kontrak itu apakah aku boleh tahu lebih rinci? Aku tidak benar-benar mengerti isinya.”
“Maaf Miss Alia, kebijakan perusahaan kami sangat ketat dan terkait isi kontrak itu hanya Tuan Darren dan pengacara yang tahu. Tenang saja, Anda akan segera tahu semua etelah bertemu langsung dengan Tuan Darren besok.”
Jawaban itu membuat perut Alia bergejolak. Bukannya tenang, malah semakin gugup.
Shibuya begitu hidup, namun ia merasa terasing, sendirian. Ada rasa aneh, seperti ada ruang kosong yang tiba-tiba tercipta dalam dirinya. Apartemen kecil yang disiapkan terasa begitu bersih dan rapi. Terlalu nyaman, dan anehnya, terlalu sunyi. Tidak ada tawa adiknya yang selalu mengisi ruang, tidak ada suara ibu yang terdengar dari belakang tirai.
“Hari ini Anda boleh beristirahat dulu. Besok pukul delapan pagi, Anda dijadwalkan bertemu Tuan Darren. Ini nomor saya jika Anda butuh bantuan,” ujar Naomi sebelum pergi meninggalkan Alia sendirian di dalam ruangan yang terasa terlalu asing untuk dirinya.
Alia duduk diam di tepi ranjang. Ia menatap map di tangannya lalu membuka galeri ponsel. Foto dia bersama Ibu, Ayah, dan Amara muncul di layar. Wajah-wajah penuh cinta itu seolah menatapnya, memberinya semangat, meskipun jarak begitu jauh dan kehidupan yang penuh kebohongan.
“Aku kuat... aku harus kuat. Aku nggak boleh menyerah,” bisiknya sambil menghapus air mata.
Namun malam itu, ia sama sekali tidak bisa tidur. Pikirannya berkecamuk, membayangkan seribu kemungkinan. Tapi semua hening pecah saat ponselnya tiba-tiba bergetar.
Satu pesan masuk, tanpa nama pengirim.
“Tidurlah yang nyenyak malam ini, Good girl. Karena besok, hidupmu bukan lagi milikmu.”
Pagi hingga sore berlalu tanpa banyak kata. Alia memilih diam dan sibuk bersih-bersih sekadarnya, menahan gelisah yang terus menggerogoti dadanya tentang hari ini. Darren yang sedang cuti pun tidak muncul dari ruang kerjanya. Tapi ketika malam datang, hawa di rumah itu terasa berubah. Langkah kaki Darren terdengar berat menuruni tangga dari ruang kerjanya.“Naik,” ucapnya singkat, tanpa ekspresi.Alia, yang sedang merapikan buku di rak ruang tamu, spontan menoleh. Jantungnya memompa lebih cepat saat mendengar perintah pria itu. Ia mengikutinya menaiki tangga tanpa bertanya. Tapi ketika Darren membuka sebuah pintu di sisi kanan lorong, Alia merasa aneh. Ini bukan kamar Darren, bukan juga kamarnya. Ia tidak pernah tahu ada ruangan ini di apartemen itu.Pintu itu terbuka. Lampu dinyalakan. Alia menahan napas. Kamar itu terasa asing dan mencekam. Tampak sangat bersih dan steril dengan sprei putih, dinding abu-abu, dan tirai tebal tanpa motif. Tidak ada aroma tubuh, tidak ada sentuhan manus
Tangannya meremas ujung bantal sebelum membantingnya ke tengah tempat tidur. Tak puas, ia bangkit, meremas kontrak iitu dan melemparnya ke sudut kamar."Apa-apaan hidupku sekarang..." gumamnya lirih.Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan perasaan sesak yang tiba-tiba menyerauk. Marah, kesal, kecawa, dan putus asa melebur menjadi satu. Bahkan tangis pun sudah malas mampir. Ia akhirnya memilih bangkit, membuka laptop, dan mulai mengerjakan pesanan design dari para pelanggan.Setidaknya pekerjaan bisa mengalihkan sedikit pikirannya.Baru beberapa saat kursor mengotak-ngatik design itu, gelap menyergap.Suara petir menyambar dari luar, diikuti suara hujan badai. Semua lampu padam."Bisa-bisanya apartemen semegah ini mati listrik? Oh No, dan hanya aku dan dia di rumah ini sekarang,” keluhnya panik.Ia meraba-raba kasur, mencari ponsel, tapi tak juga menemukannya. Sejak kecil, Alia sangat takut dalam gelap.Dengan langkah gugup, ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar
Ketukan pintu terdengar samar di antara keheningan pagi.“Miss, ayo bangun. Pernikahan akan diadakan pagi ini. Gaun dan riasan sudah siap. Kita harus sampai di hotel 1 jam lagi.”Naomi sibuk menyibak tirai jendela besar kamar itu, membiarkan cahaya pagi Tokyo masuk. Suaranya tegas, penuh tekanan, namun tetap terdengar profesional. Ia sambil menunjuk pada dua staf yang membawa beberapa kotak berisi makeup dan gaun berlapis-lapis.“Menikah pagi ini?” Alia membelalak.Ia segera duduk dan melangkah keluar kamar, melewati lorong hotel yang kini penuh dengan lalu-lalang orang-orang berpakaian formal.“Apa yang pria itu inginkan dariku? Bukannya tadi malam dia tak ingin adanya pernikahan secara resmi?”Alia menarik napas panjang, menghampiri Naomi yang tampak sibuk mengurus gaun yang akan Alia pakai.“ Naomi, aku ingin bicara dengan Tuan Darren. Please, hanya sebentar saja.”Naomi melirik jam tangannya, “Maaf, Miss. Saat ini tidak mungkin, Tuan Darren sedang bersiap dan tidak bisa diganggu se
Alia menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Suara ibunya segera terdengar begitu telepon diangkat.“Alia? Pesan tadi, apakah benar kamu yang kirim, Nak? Apakah kamu baik-baik saja?” suara ibunya terdengar sangat khawatir.Alia menghela napas panjang lalu mencoba berbicara sekuat tenaga. “Iya, Bu. Alia minta maaf udah bohongin Ibu. Tapi, Alia mohon izin dan restu Ibu pernikahan ini.”Suara hening sesaat. Lalu suara ibunya kembali terdengar dengan nada lebih tajam dan kecewa.“ Kenapa mendadak begini? Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?.”“ Alia nggak bisa cerita semuanya, Bu. Tapi Alia janji akan baik-baik saja.““ Kalau kamu tetap ingin menikah. Lakukanlah dengan cara yang benar. Jangan buang martabatmu hanya karena putus asa,” sambung Ibu dengan suara pelan namun tegas.“Baik Bu..” Suaranya tercekat, dan hanya terdengar isak yang tertahan. Alia terpaksa untuk tidak jujur tentang kontrak ini, ia tak bisa menyakiti ibunya lebih jauh.Tak lama setelah itu, Alia mengetik dengan jari
Alia berdiri kaku di depan Menara Saphir, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi menembus langit Tokyo. Cuaca yang dingin membuat tangannya semakin menggigil. Napasnya tersengal, bukan karena lelah berjalan, tetapi karena kecemasan yang menghantuinya.Lantai 58 Menara Saphir, ruangan pertemuan yang tampak megah namun terasa begitu menyeramkan. Alia berdiri di hadapan Darren yang sedari tadi tampak duduk menunggu di ruang kerjanya. Jarak mereka yang semakin dekat membuat jantung Alia terasa ingin meledak. Tanpa basa-basi, Darren menyodorkan map berwarna hitam dengan logo perusahaan di pojoknya."Ini kontraknya. Bacalah. Pastikan kau mengerti semua pasalnya.""Tapi Tuan, kenapa aku yang terpilih? Apakah Anda yakin?" Alia bertanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam ketegangan ruang itu.Darren hanya menatapnya datar. "Saya tidak akan repot-repot memanggil seseorang ke sini kalau saya belum yakin."Alia merasa sangat kaget dan tanpa bertanya membuka map itu dengan tangan sediki
“Kakak yakin ini bukan penipuan ?” suara Amira nyaris tenggelam oleh suara kendaraan di jalan. Seragam SMAnya yang lusuh, tapi rapi. Matanya sembab.Alia mengangguk pelan menatap adiknya yang masih berdiri di depan pintu. “Kamu nggak perlu khawatir adek, kalau iya, aku bakal segera pulang. Tapi kalau nggak aku coba sekarang, kesempatan ini mungkin nggak bakal datang lagi. Mungkin aku bakal menyesal seumur hidup.”Ibunya memeluk Alia erat, mencoba menyimpan semua kecemasannya dalam dada. “Jaga diri Nak, jangan gampang percaya orang apalagi jauh di negara orang… Sholat jangan tinggal, ya, Nak.”Alia hanya bisa mengangguk. Dalam pelukan ibunya, aroma sabun cuci dan masakan rumah membuat dadanya sesak dan penuh rasa bersalah. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak akan bekerja di perusahaan biasa. Ia telah menandatangani kontrak untuk sesuatu yang jauh lebih misterius , sesuatu yang tentu akan melukai hati Ibu dan Adiknya.Darren Khalid, nama itu terus bergema tanpa henti di ke