"Maaf, Nona Alia..."
Suara berat petugas bank itu terdengar seperti vonis hukuman mati. "Kami sudah memberi perpanjangan waktu lebih dari tiga bulan. Sesuai prosedur, jika pembayaran terakhir tetap tidak dipenuhi dalam tujuh hari, properti akan kami sita."Alia menunduk, jari-jarinya gemetar mencengkram ujung tas lusuhnya. "T-tapi... ini rumah satu-satunya, Pak. Tidak bisakah ada cara lain? Saya mohon..."
Petugas itu menatapnya dengan raut simpatik, tapi suaranya tetap dingin. "Saya mengerti. Tapi aturannya sudah jelas. Anda bisa mengajukan pinjaman baru, tapi dengan jaminan tambahan. Atau segera melunasi tunggakan."
Tambahan jaminan?
Apa lagi yang bisa ia jaminkan selain rumah yang hampir runtuh itu? Tabungannya sudah terkuras untuk biaya berobat ibu. Sekolah adiknya, Amara, juga masih menunggak."Baik..." Alia berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada petugas bank. Dengan langkah goyah, ia berjalan keluar kantor itu. Hujan gerimis menyambutnya di luar, seakan ikut menertawakan keputusasaan yang membungkus tubuh kurusnya.
Alia duduk terdiam di tepi meja kayu yang sudah usang, surat dari bank itu tergenggam erat di tangan kanannya yang masih gemetar. Matanya kosong menatap kalimat tebal yang terasa seperti hukuman mati : "Rumah ini akan disita dalam tujuh hari."
Jantungnya berdetak keras tidak beraturan. Dunia seolah terasa begitu gelap dalam sekejap.
"Kak, obat ibu sudah habis." Suara Amara, adiknya, memecah keheningan.
Alia menahan napas, menekan rasa ingin menangis yang menyesakkan dadanya. Ia memejamkan mata, berusaha keras menguatkan diri.
Ia membuka mata, memandang sekeliling ruang tamu kecil itu: Sofa reyot, dinding yang mulai terkelupas, dan bingkai foto keluarga yang menggantung miring.
Rumah ini... saksi semua tawa, duka, dan cinta mereka.Dan sekarang... akan hilang begitu saja.
Ponsel di atas meja tiba-tiba bergetar. Ia hampir tak peduli, tapi entah kenapa ia melirik.
Notifikasi itu menarik matanya ;[Selamat! Anda terpilih sebagai kandidat pemenang utama program rahasia Marriage Negotiation, sebuah pernikahan kontrak eksklusif dengan CEO Khalid Group.]
"Hah?" Alia mengerjap, "Pernikahan... kontrak?" Kilasan ingatan menyeruak. Semalam, dalam keputusasaan, ia asal mengisi formulir aneh itu. Janji hadiah uang tunai ratusan juta rupiah menggodanya. Ia tidak membaca detailnya. Ia hanya... butuh uang."Kak! Ibu butuh obat! Nafas ibu sesak!" suara Amara mendesak dari balik pintu.
“Iya, sebentar Dek!” Alia berseru panik.
Matanya kembali ke layar ponsel.
Muhammad Darren Khalid. Usia 30 tahun, CEO muda sukses dari perusahaan teknologi multinasional, blasteran Jepang-Indonesia.
Nama itu sudah tidak asing lagi. Beberapa kali sempat muncul di FYP TikTok, terkenal karena prestasinya, tapi juga diselimuti skandal yang menghancurkan reputasinya. Artikel-artikel yang beredar menyebutkan rumor hubungan gelap dan penurunan saham perusahaannya yang drastis.
Alia menggigit bibir, menahan perasaan yang membuncah di dadanya.
“Nggak, ini gak benar. Sepertinya aku hanya dijadikan tameng saja. Alia, ini dosa, dimana harga diri kamu sebagai perempuan.” Ia menggelengkan kepala, harga dirinya terasa sangat memberontak.
Tapi kenyataan menamparnya lebih keras. Ia melihat kembali bungkus obat ibunya yang sudah habis dan surat dari bank tadi.
Ia mengalihkan pandangan. Hatinya terasa tercabik. Semua kenangan indah masa kecilnya menyeruak. Semuanya akan lenyap dalam tujuh hari jika ia tidak melakukan sesuatu.
Matanya kembali ke layar. Notifikasi itu berkedip, seolah mendesaknya. Alia merasa sangat bimbang dengan keputusan ini, tapi dia tidak punya pilihan lain. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukannya.
Layar ponsel berganti:
“Selamat! Anda telah bergabung. Pihak perusahaan akan segera menghubungi Anda.”Alia menatap layar itu lama.
Tiba-tiba, ia merasa seperti seseorang yang melompat ke jurang yang begitu gelap. Yang ia tahu kehidupannya sudah berakhir malam itu. Air matanya jatuh, membasahi layar. Tapi di antara ketakutan, ada satu hal yang ia pegang erat.
Ia melakukan ini untuk keluarganya.
Tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan masuk yang berisi:
Meeting Schedule : 17 Desember 2024, pukul 08.00. Menara Saphir, Jepang.“Kau tidak terbiasa bangun pagi rupanya,” gumam Darren tanpa menoleh dari tablet.Alia yang baru melangkah ke ruang makan terdiam sejenak. Tangannya masih basah setelah mencuci muka. Ia menarik kursi pelan.“Maaf Tuan, saya tidak enak badan” sahutnya, mencoba terdengar tenang, walau ujung telinganya memerah.Darren duduk di sisi meja, mengenakan kemeja hitam yang rapi. Rambutnya masih sedikit basah dan jam digital di tangannya menyala. Ia tampak siap ke kantor.Alia duduk, hendak menuang teh jahe dari termos. Tapi saat itu juga, tangannya goyah. Teh panas menyiprat ke punggung tangannya dan ke lengan kemeja Darren.“Astaga, maaf!” serunya.Darren menoleh cepat, tapi ekspresinya tetap dingin. Ia melihat noda basah di lengannya lalu beralih ke tangan Alia yang merah.“Kau tidak bisa fokus,” katanya datar, “Jangan lakukan hal berbahaya seperti ini.”Alia buru-buru berdiri. “Saya bersihkan sekarang baju Anda...” ucapnya panik lalu tanpa berpikir, ia membuka dua kancing atas kemeja Darren
“Kau yang memberikan selimut ini?” suaranya serak dan rendah.Alia yang masih berdiri di sisi sofa, belum beranjak, kaget mendengar suara itu. Ia berbalik dan melihat Darren menggeliat kecil, membuka mata setengah.Alia mengangguk pelan, “Anda tertidur di sofa, Tuan. Saya cuma tidak ingin melihat Anda membeku kedinginan.”Darren menatap ke arah selimut yang kini tak begitu rapi menyelimuti tubuhnya. Matanya masih berat. Ia duduk perlahan, menyentuh pelipisnya sebentar.“Kau kenapa ke sini?” gumamnya.Alia tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajah sedikit lalu berkata pelan, “Saya hanya tidak sengaja lewat.”Darren berdiri. Tubuhnya tinggi, postur tegak seperti biasa, tapi bahunya tampak sedikit menurun. Ia berjalan pelan ke arah kamarnya lalu berhenti di ambang pintu.“Besok malam,” katanya tanpa menoleh, “Kamar rahasia.”Alia menoleh cepat. Matanya membesar sedikit.“Kenapa?”“Hari Jumat,” jawab Darren datar, “Kau pasti tahu apa yang saya maksud. Dan itu bagian dari pernikahan kit
“Kalian tidur nyenyak semalam?” tanya sang nenek.Darren mengangguk pelan, “Ya Nek, terima kasih sudah menerima kami disini.”“Syukurlah. Sebentar lagi sarapan siap. Tapi sebelumnya kami ingin mengucapkan terima kasih pada Alia,” ucap kakek, “Jarang ada menantu yang mampu menyeimbangkan sopan santun dan keyakinan seperti kamu.”Alia tersenyum, menunduk sopan. “Terima kasih, Kek, Nek. Aku merasa sangat diterima di sini.”Setelah sarapan sederhana dengan grilled salmon dan nasi hangat, Darren memberi isyarat ke Alia untuk bersiap-siap.“Kami harus kembali ke Tokyo,” ucap Darren.Kakek mengangguk, “Tentu. Pekerjaan menunggumu. Tapi jangan lupa, kami menunggu kabar baik.”“Doakan saja, Kek,” jawab Darren, nyaris tanpa ekspresi, meski nada suaranya terdengar lembut.“Terima kasih sudah datang sayang. Untukmu” ucap sang nenek, menyodorkan kotak kecil berbungkus kain furoshiki ke Alia. Alia menerimanya dengan dua tangan dan membungkuk hormat.“Itu adalah sisir kayu sakura. Bukan barang mahal.
Alia menatap pantulan dirinya di cermin. Ia baru selesai mengenakan inner berwarna nude dan kerudung polos biru muda berpadu dengan setelan rok floral dan blouse puffy yang sopan dan feminine. Outfitnya sudah cukup bagus untuk bertemu dengan keluarga Darren. Alia menghela napas pelan, berusaha menenangkan dirinya. “Aku merasa seperti akan sidang keluarga kerajaan,” gumamnya gugup.Setelah mematut dirinya lagi di cermin, Alia akhirnya keluar dari kamar. Ia menemukan Darren yang sudah menunggunya di ruang tengah.Pria itu mengenakan coat biru gelap, benar-benar berpadu dengan tubuh atletisnya. Mata Darren, menatap Alia dari ujung kepala sampai kaki, seolah sedang menilai Alia.“Jaga sikapmu, mereka sangat ketat dalam penilaian.”Alia hendak mengangguk, tapi langkahnya terhenti saat Darren menambahkan, “Selama di rumah kakek dan nenek, saya peringatkan lagi jangan menggunakan panggilan formal. Pakai aku dan kamu.”“Paham,” balas Alia cepat. “Ayo, kita harus berangkat sekarang. Mobil su
Darren: Kau boleh tidur di kamar mana pun malam ini. Gunakan senyaman mungkin. Kunci kamarku dan kamar rahasia ada di laci ruang kerja. Naomi tidak menginap malam ini. Jangan buat kekacauan. Saya besok pulang.Alia membaca pesan itu berkali-kali. Ada yang aneh. Biasanya, Naomi yang selalu menemani. Kenapa malam ini tidak? Dan malam ini...“Dia memberiku akses ke kamar itu? Tanpa dia?”Meskipun masih bingung, Alia menuruti ucapan Darren. Alia masuk ke ruang kerja dan membuka laci kecil. Dua kunci tergeletak di sana. Ia mengambil keduanya lalu mengarah ke kamar Darren.Melalui lorong kamar Darren, dengan pelan Alia membuka pintu kamar rahasia itu lagi. Kamar itu… Bersih. Tidak ada jejak kejadian malam itu. Semuanya tampak baru dan tertata.Alia menoleh pada satu kantong laundry di sudut ruangan dan membukanya. Seprai itu sudah bersih. Bahkan diberi pewangi yang lembut. Naomi mungkin yang mengurus semuanya? Alia menggeleng-geleng. Tidak mungkin Naomi, dia tidak bisa masuk ke kamar ini.Di
“ Ya Allah… Jam berapa ini? Aku terlambat!”.Alia terlonjak dari kasur dan mendapati dirinya masih terbungkus selimut di kamar steril. Kepalanya berat, tubuhnya remuk, dan matanya sembap akibat menangis semalaman. Tangannya refleks menarik selimut dan saat itu pandangannya tertumbuk pada seprai putih yang ternoda merah di tengahnya.“Astaga… apa yang sudah aku lakukan?” bisiknya.Dengan gemetar, ia buru-buru melipat seprai, menggulungnya seperti menyembunyikan bukti kejahatan. Namun sebelum ia bisa kabur ke kamar sendiri, ketukan pelan terdengar dari balik pintu.“Alia. Buka.” Itu suara Darren. Datar, tapi terdengar terdesak.Alia panik dan menyambar pakaiannya yang berserakan di lantai. Ia segera lari ke kamar mandi. Tak lama kemudian, Alia keluar dari kamar mandi. Ia berjengit kaget ketika melihat Darren sudah ada di kamarnya. Pria itu menatapnya tidak sabaran kemudian langsung meraih pergelangan tangannya, menariknya dengan cepat.”“Tunggu, Tuan Darren.” Alia menahan nafas, menoleh