Share

Pacar Stella?

Stella hanya duduk diam di depan meja kerja Bian yang tengah mengotak-atik komputer miliknya. Tatapannya santai, seolah tak ada yang mengganggu hatinya dengan jemari lentiknya yang sudah sedang dia perhatikan.

Gayanya dalam duduk itu terlihat anggun. Well, dia adalah wanita pekerja keras yang tidak suka menangisi sesuatu yang tidak pantas di tangisi. Masalah mengandung anak dan perjanjian dengan pria di hadapannya ini, itu bukanlah hal yang harus dipikirkan, apalagi dinegara ini wanita tidak perawan bukanlah suatu hal yang menjadi masalah.

Lagipula dia tercatat sudah pernah menikah. Jadi kalau dia masih perawan itu malah akan menjadi gunjingan orang. Ya, meskipun dia tak ada niatan untuk melepaskan keperawanannya pada pria dihadapannya ini. Karena dia sama sekali tak mencintai Bian, mungkin takkan pernah mencintainya.

"Sudah selesai, kau bisa baca."

Stella menatapnya, lalu mengulurkan tangan dan menerima dua lembar yang baru keluar dari mesin printer. Dibaliknya halaman itu, lalu membacanya dan melihat beberapa poin yang tak boleh di langgar.

"Kita tidak boleh saling jatuh cinta, kita tidak akan dekat setelah melakukan hubungan suami istri, kalau bisa kita hanya akan bicara hal yang seperlunya. Pihak wanita harus menjaga dan mempertanggungjawabkan keadaan bayi yang dikandungnya. Kalau terjadi apa-apa harap langsung katakan pada pihak pria agar dapat dilakukan tindakan yang baik." Stella bergumam membaca pasal pertama hingga dia mendongak menatap Bian yang santai di hadapannya.

"Izin bertanya," ucapnya membuat Bian menaikkan alis tanpa kata. "Apa maksud dari pihak pertama harus bertanggung jawab atas keadaan bayi yang dikandungnya? Jadi kalau misalnya tanpa sengaja bayi yang kukandung itu tidak sempurna atau aku keguguran karena dia lemah bagaimana? Apa aku akan bertanggung jawab juga?" tanyanya tak senang yang membuat Bian menghela napas pelan.

"Bukan tanggung jawab yang itu." Bian berkata membuat Stella yang kini menaikkan alis. "Kalau dia memang tidak sempurna, itu ada sebabnya. Biasanya janin tidak sempurna kalau ibunya merokok, minum minuman keras dan mengkonsumsi obat-obatan berbahaya. Kau mengkonsumsi apa yang kukatakan?"

Stella diam, laku menggeleng pelan. "Kalau pun ada, aku hanya minum anggur yang dosisnya rendah. Itupun tidak tiap hari," gumamnya membuat Bian tersenyum miring.

"Kalau masalah keguguran, itu juga tergantung bayi. Ada bayi yang lemah saat sudah di kandungan walaupun dirawat dengan begitu baik dan di jaga. Aku akan mencoba memahami kalau anakku gugur, selama itu memang karena bawaan dari tenaga bayiku yang tidak kuat sejak ada di dalam kandunganmu. Namun kalau kata dokter bayi itu gugur karena ulahmu yang sengaja tidak menjaganya, baru aku akan membuatmu tahu kalau aku tidak sebaik itu." Bian berkata datar membuat Stella mendengkus pelan.

"Baiklah." Stella menghela napasnya pelan. "Aku akan mencoba menjaganya dengan sebaik mungkin kalau sudah ada di dalam rahimku. Karena kalau aku harus keguguran tanpa aku yang menyebabkannya, itu artinya aku harus mengandung anakmu lagi. Mau berapa lama lagi aku harus tetap bersamamu?"

Bian tak menjawab apa-apa, dia hanya menatap Stella yang tampak santai membuka lembar kedua. Wanita ini memang agak keras, tidak mudah untuk di tundukkan. Bian tahu hal itu dan menyadari, sejak dia mengatakan di malam pernikahan mereka dulu kalau dia tak akan pernah mencintainya, sejak itulah Stella juga tak pernah melakukan apapun padanya.

Jika seorang istri akan melayani suaminya dalam beberapa kebutuhan, Stella terkadang masih mau melakukannya. Namun kalau hal yang lebih daripada itu, dia gak pernah mau melakukannya. Stella menjaga jarak, tak peduli Bian tak pernah memberikan uang nafkah dan tak peduli Bian mau melakukan apa. Dia hanya asyik dengan hidupnya.

"Ini sudah cukup." Stella mengambil bolpen, lalu menatap Bian yang masih santai di hadapannya. "Mana materainya? Aku akan menandatangani ini sebelum pulang."

Bian membuka laci mejanya, lalu mengeluarkan dua buah materai. Diberikannya beberapa sebuah pada Stella yang langsung membuka kertas penahan lem dan menempelkannya di bagian tandatangan.

"Kita punya masing-masing satu dan isi perjanjiannya hanya beda beberapa hal." Bian berkata, seraya mengulurkan miliknya pada Stella. "Milikku hanya dengan isi aku akan membiayai semua kebutuhanmu mulai dari akan mengandung sampai melahirkan anakku. Dan aku akan bertanggung jawab atas keselamatanmu karena kau sedang mengandung anakku."

Stella membalik lembaran itu, sebelum akhirnya mengangguk-angguk pelan dan menyerahkannya pada Bian. Usai bertandatanagan, Stella bangkit hingga Bian meletakkan bolpennya dengan santai dan menatap wajah Stella yang sedang memegang perjanjiannya.

"Perjanjian ini bisa di batalkan kedua belah pihak kalau ada yang sudah tidak masuk akal. Dan disana aku juga sudah menambahkan, asalkan hal yang salah itu masuk akal, maka bisa untuk dibicarakan."

Stella tak terlalu mendengarnya, dia hanya memakai tas dan memegang dengan erat perjanjian yang sudah di masukkan ke dalam map oleh Bian.

"Aku pulang."

Bian mengangguk samar, tampak acuh. "Besok kau harus datang kemari dan membawa barang-barangmu yang kau perlukan. Aku menunggumu sampai jam delapan pagi."

"Hmm." Stella melangkah pergi, meninggalkan Bian yang diam di meja kerjanya seraya memasukkan perjanjian miliknya ke dalam laci.

Dia menarik napasnya dalam-dalam. Perasaannya tak menentu, dia tak tahu apa yang bisa dia lakukan selain hal konyol ini. Meminta istrinya mengandung anaknya dengan menggunakan perjanjian tertulis, hal yang sangat aneh tapi juga bermanfaat.

Dia membutuhkan seorang pewaris untuk perusahaannya nanti. Dan dengan memiliki anak satu dari istrinya, bukanlah hal yang buruk. Selain itu bisa membuatnya memiliki pewaris, anaknya juga bisa membuat keadaan ibunya baik-baik saja.

Toh Stella juga tak keberatan atas apa yang sudah diberikan. Wanita itu sangat sungguhan ingin melakukannya dan membuatnya tak perlu merasa bersalah. 'Kan Stella yang duluan menawarkan apa yang tadi dia katakan, Bian hanya meluruskannya agar matang.

Bangkit dari duduknya, Bian melangkah ke arah jendela yang langsung menghadap ke jalan raya. Dan entah kebetulan atau tidak, matanya menyipit melihat Stella tengah berpelukan dengan seorang pria di bawah sana.

"Apakah itu pacarmu yang kau katakan, Stella?" tanyanya dalam hati dengan dahi berkerut tapi akhirnya dia tersenyum miring. "Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan kalau tahu kau akan mengandung anakku. Apakah akan ada pekerjaan perasaan antara kalian berdua?"

Ditutupnya tirai jendela, lalu beranjak pergi dari ruangan kerja. Bian melangkah ke kamar, lalu membuka semua pakaiannya di kamar mandi dan langsung memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Tak lama air sudah mengucur di sekujur tubuhnya yang atletis dan putih mulus. Tubuh pria tinggi itu tampak nyaman di bawah saluran air.

"Aku harus membuat jadwal yang tepat, kapan aku dan dia akan bercinta."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status