“A-apa yang kau bicarakan, Kek?”
Kakek mendecis, muak dia dengan pertanyaan Alfreed. Padahal sejujurnya cucunya itu kalut bukan main. Bagaimana tidak, perusahaan yang sudah susah payah dia pimpin hingga sebesar ini, harus diserahkan ke panti sosial begitu saja. Hal gila yang sungguh menghancurkan hidupnya. “Aku tidak menjanjikan apapun padanya. Dia sungguh wanita yang ingin kunikahi. Kan sudah aku bilang padamu!” Alfreed berusaha mengelak. “Halah ... kau kira aku sebodoh itu untuk tahu mana yang sepasang kekasih sungguhan dan mana yang tidak.” Kakek Scott melotot. “Kapan aku bilang kami sepasang kekasih?” Tercengang Kakek mendengar pernyataan itu. “Lalu apa hubungan kalian sesungguhnya?” “Dia ...” Alfreed bingung harus mengarang cerita apa sekarang. Tatapan kakeknya membuat dia tak bisa berpikir jernih. “Dia wanita yang sudah lama kukenal. Kami memang tidak pernah punya hubungan. Tapi dia menyukaiku dan aku ..., ya, aku juga menyukainya.” Alfreed tidak berani menatap mata kakeknya di ujung kalimat. Bukan karena dia berbohong, melainkan karena dia harus mengatakan hal yang menurutnya sangat tidak masuk di akal, menyukai wanita yang asalnya pun dia tidak tahu entah dari mana. “Dan kau tahu betul, Kek, bagaimana cerita hubunganku sebelumnya. Jadi sangat sulit bagiku untuk memulai hubungan yang serius kembali.” Maksud Alfreed adalah kisah kandasnya hubungan dia dengan Anne, tunangannya lima tahun yang lalu. Terdiam sebentar, Kakek Scott merasa alasan sang cucu cukup masuk di akal. Dia pernah menjalani hubungan yang begitu serius, tapi terpaksa kandas karena sebuah pengkhianatan yang fatal. 'Ya, mungkin dia masih trauma. Tapi walau begitu, aku tidak bisa langsung percaya ucapannya,' batin kakek. “Oke, aku maklumi kau kali ini, dan aku berharap kau belajar membina hubungan yang hangat dengan Luisa mulai sekarang. Tunjukkan padaku kalau kau sungguh-sungguh dengan pernikahan ini!” Alfreed tersenyum, tentu saja itu senyum yang dipaksa karena sejujurnya dia ingin meledak, memaki pria uzur yang tak henti menuntut pernikahan padanya. ‘Dasar kau Tua bangka, sialan! Tidak cukup dengan pernikahan saja, kau masih memintaku seperti itu?!’ “Oke.” Hanya itu jawaban yang bisa keluar dari mulut Alfreed ditengah emosinya yang berkecamuk. Menikmati sarapan bertiga, Alfreed tak bicara sepatah katapun. Dia ingin segera pergi dari apartemen itu. “Aku sudah selesai.” Alfreed menjadi yang paling pertama selesai makan. Bangkit dia dari kursi dengan mata yang melirik pada Luisa. Perhatiannya jatuh pada pakaian yang wanita itu kenakan. ‘Apa dia tidak punya baju yang lain?’ Ternyata Luisa mengenakan baju yang sama di hari pertama mereka bertemu. Alfreed menghela napas. Sejujurnya dia malas mempedulikan hal itu, tapi lagi-lagi karena kakeknya dia tak mungkin diam saja. Membungkukkan sedikit badan, ditariknya wanita itu mendekat lalu berbisik, “Aku tidak peduli kau mau mengenakan apa, tapi melihat pakaianmu yang itu-itu saja, bisa membuat kakek curiga. Kau harus beli pakaian yang baru.” Luisa bingung harus menjawab apa. Mana mungkin dia bisa membeli pakaian baru sementara dia tidak punya uang sepeserpun. Tapi karena mata sang kakek terus memperhatikan mereka, terpaksa dia tersenyum sembari mengangguk. Kakek jadi curiga. ‘Apa yang dibisikkan bocah ini pada istrinya? Ah, aku tidak percaya, mana mungkin secepat itu mereka jadi harmonis.’ “Ya, sudah, aku berangkat sekarang,” lanjut Alfreed. Tiba di kantor, pria itu langsung memandang tajam asistennya. “A-ada apa, Tuan? Apa terjadi masalah?” tanya Paul gagap. Paham betul dia kalau bosnya sedang tidak baik-baik saja. Tak menjawab, Alfreed mengetuk-ngetuk ujung pena di atas meja. Matanya belum berhenti menatap Paul. “Kau tahu, mau kupergunakan untuk apa pena ini sekarang?” Paul menggeleng. “Untuk melemparmu!” Detik itu juga pena tersebut melayang ke arah Paul. Beruntung dia sigap mengelak. “Ma-maaf, Tuan, saya salah. Tapi ..., kesalahan apa yang sudah saya lakukan?” Paul masih tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. “Si Tua bangka itu memintaku menjalani hubungan yang hangat! Dia curiga aku sudah menipunya!” jawab Alfreed dengan nada tinggi. “Ma-maksudnya dengan Luisa, Tuan?” “Siapa lagi kalau bukan dia!” hardik Alfreed. “Tapi kenapa bisa begitu? Apa yang membuat Tuan Besar curiga?” “Kalau aku tahu, aku tidak akan sepusing ini memikirkannya! Aku sudah muak diancam terus oleh si Tua bangka itu!” Memutar kursi kebesarannya, Alfreed membelakangi Paul. Emosinya semakin menjadi melihat wajah asistennya itu, sebab gara-gara rencananya ‘lah semua jadi seperti ini. “Apa mungkin Tuan Besar ingin melihat anda dan Luisa seperti suami istri sungguhan, Tuan,” tebak Paul. “Bulshit! Suami istri sungguhan katamu?!” Alfreed kembali berbalik. Tatapannya lebih tajam dari sebelumnya. “Kau mau aku melakukan apa padanya di depan si tua bangka itu?!”Jose dan Luisa sudah tiba di rumah sakit Santa Antoinette sekarang. Mereka masuk ke ruang dokter yang biasa menangani sang pemimpin Kartel itu.“Sudah lama aku tidak melihatmu terluka, Tuan Muda,” ucap Dokter Miguel sembari meminta Jose naik ke ranjang periksa. Memang terakhir kali Jose terluka sudah setahun yang lalu saat paha kirinya tertancap belati dengan kedalaman lima belas centi. Dan yang menangani adalah dokter Miguel.Tersenyum tipis, pria bertato itu menurut. Begitu dia sudah duduk di ranjang , ditariknya dokter Miguel mendekat.“Tolong kau lebih-lebih ‘kan saja sakitku ini. Bisa ‘kan?” bisiknya.Ternyata Jose ingin mengajak dokter itu bekerja sama menipu Luisa dan jawaban sang dokter sudah pasti setuju. Mana mungkin dia berani melawan perintah pemimpin El Salvador.Dokter Miguel langsung membuka perban yang membalut luka Jose. Diperiksanya luka awal menyeluruh , kemudian baru mengecek luka yang satunya.“Sudah berapa lama luka ini, Tuan Muda?” tanya sang dokter dengan raut
Scott Ferdinand, pria yang sudah memasuki usia lebih dari setengah abad itu berjalan keluar dari kantor Alfreed dengan langkah tegas. Paul yang melihat ekspresi Tuan besarnya merinding seketika. Tak pernah dia melihat wajah semenakutkan itu dari Kakek Scott sebelumnya. "Booking dua pesawat airline. Aku akan berangkat malam ini juga.”Menganga Paul di tempatnya. Menyewa satu pesawat saja sudah membuatnya heran plus bertanya-tanya, tapi ini dua sekaligus yang tentu bisa memuat ratusan orang di dalamnya."B-baik, Tuan." Membungkukkan badan, Paul menyanggupi. Kendati dalam hati dia sangat menyayangkan betapa bodoh perbuatan tuan besarnya itu. 'Bukankah memakai jet pribadi saja sudah cukup untuk mengunjungi Tuan Alfred?!' begitu pikiran Paul yang polos.Tidak tahu saja dia bahwa sore itu Kakek Scott menghubungi orang-orang yang sampai detik ini masih menyimpan kesetiaan penuh terhadapnya. Scott Ferdinand sesungguhnya adalah mantan pemimpin kelompok yang sama besarnya dengan Kartel El S
“Siapa? Kenapa tidak kau angkat?”Melihat Paul yang hampir menjatuhkan ponselnya lalu menatap layar dengan raut khawatir, membuat Selena jadi ingin tahu.“Maaf, Selena, aku harus pergi sekarang.” Baru selangkah Paul berjalan, wanita itu memanggil.“Tunggu, Paul. Kau mau meninggalkan aku lagi?” Menoleh Paul padanya. “Lagi?”‘Apa-apaan dia ini? Memangnya kami kembali bersama?’ Heran Paul dengan pertanyaan Selena.“Iya ... Ini kedua kalinya kau meninggalkan aku.” Kembali berkaca-kaca mata Selena. Kalau urusan menangis, dia memang jagonya.“Aku harus buru-buru, Selena. Tidak ada waktu lagi. Sudah, ya.” Dibandingkan dengan air mata Selena, bayangan wajah kakek Scott jauh lebih membuat Paul khawatir.Bergegas dia meninggalkan wanita itu bersama tiga orang pengawal lainnya. Mereka langsung menuju pesawat yang saat itu juga membawa keempatnya pulang ke Washington DC.Dan disini ‘lah Paul sekarang, berkutat di kantor dengan pengurusan kompensasi yang akan dia transfer ‘kan langsung ke keluarg
Paul menoleh kanan dan kiri, wajahnya panik. Tapi setelah memastikan kekhawatirannya tidak terbukti, dia baru kembali menatap wanita yang memanggilnya tadi.“Mau apa kau datang ke sini?”Wajar Paul panik sebab dia mengira wanita itu datang bersama komplotannya.“Paul ... Kasar sekali kau ini. Baru juga kita bertemu setelah sekian lama.” Ternyata wanita itu adalah Selena, adik tiri Luisa.“Tidak usah banyak basa-basi Selena, aku yakin kau pasti sudah tahu semuanya.” Mengingat bahwa mantan pacarnya itulah yang dulu hendak menjual Luisa, Paul tak mungkin bersikap baik terhadapnya.Tersenyum wanita licik itu. “Ya, aku tahu. Dan aku tak menyangka kalau gadis sialan itu sangat beruntung bisa menjadi pacar bosmu.”‘Pacar? Oh, jadi dia pikir Nona Luisa pacaran dengan Tuan Alfreed,’ batin Paul.“Tapi jangan harap kalian bisa mengambil dia dari Tuan Muda Jose. Itu tidak mungkin,” lanjut Selena.“Bukan urusanmu.” Malas melanjutkan obrolan dengan Selena, Paul melanjutkan langkahnya meninggalkan
Keadaan sudah berbalik sekarang. Yang semula benci, menjadi khawatir. Begitu lah Luisa, terlalu mudah percaya dengan apa yang dilihat oleh matanya. Namun hal itu pula yang menjadi kunci Jose untuk kembali menarik simpati wanita itu.“Asal kau janji tidak meninggalkanku. Aku baru mau.”Tak kunjung mendapat jawaban, Jose melempar senyuman getir pada Luisa.“Aku sudah tahu jawabanmu, Lu. Kau memang tidak peduli padaku.” Berbalik dia membelakangi Luisa.Sesungguhnya memainkan peran bodoh seperti ini, bukan tipe Jose sama sekali. Tapi setelah dia pikir-pikir, patut dicoba juga agar dia bisa kembali merebut hati Luisa.Teramat pahamnya Jose dengan kelembutan hati Lulu kecilnya itu, membuatnya sanggup melakukan hal konyol. Jose ingin Luisa menyerahkan dirinya secara ikhlas tanpa tekanan. “Aku sudah janji akan merawatmu hingga sembuh. Apa lagi yang kau mau? Katakan, aku akan melakukannya. Tapi kita harus ke rumah sakit lebih dulu.” Luisa tak mau menambah janjinya lagi. “Aku tahu kau menjanj
Melangkah keluar dari rumah sakit menuju mobil, air mata Luisa tak henti menetes. Dia kuatkan dirinya untuk tegar menghadapi kenyataan ini, padahal sesungguhnya dia sangat sedih. Bagaimana mungkin ada seorang istri yang tega meninggalkan suaminya yg sedang dalam keadaan kritis?Tapi ini ‘lah kenyataannya. Demi mendapatkan kesempatan hidup untuk Alfreed yang hanya fifty-fifty, Luisa nekat menggadaikan dirinya sebagai pertukaran.‘Kumohon, cepat ‘lah sadar ... Kau harus sembuh! Kau benar-benar harus sembuh! Jangan sia-siakan pengorbananku.’ Masih menetes air mata Luisa sekalipun dia sudah berada di dalam mobil yang langsung dikemudikan oleh Andres.“Jangan sampai Tuan Muda melihat wajahmu yang basah.” Andres menyodorkan tissue yang ada di mobil pada Luisa.Tak menjawab tapi wanita itu menariknya beberapa. Dia keringkan pipinya yang terasa dingin karena air mata.“Tuan Muda tidak pernah punya kekasih dan dia juga tidak pernah menuruti perkataan siapapun kecuali Tuan Besar. Kau satu sat