Setelah membuka pintunya, Andini mengernyitkan dahinya. Perlahan mata terpejam tanpa disadari, melihat suaminya sendiri datang ke hotel membawa wanita lain, dalam keadaan mabuk. Yang lebih menyakitkan hati, wanita itu bukan Bunga, istri pertamanya Alyas.
“Maksud kamu apa, Mas?” tanya Andini.
Alyas cuma senyum-senyum aja, kadang dia menoleh ke arah wanita yang ada disampingnya. Kemudian menyingkirkan tubuh Andini dari ambang pintu karena menghalangi jalan. “Minggir…,” katanya.
“Hei, jangan buat aku marah, ya!” teriak Andini merasa tidak dihargai.
Wanita yang bersama dengan Alyas adalah Elisa, sahabatnya sejak kecil. Wanita itu mengenakan pakaian terbuka yang layaknya wanita penghibur. Elisa tahu benar sifat dan rahasia Alyas, maka dari itu ia menganggap Andini hanya orang lain. Tanpa meminta persetujuan Andini, dengan percaya dirinya Elisa membaringkan tubuh Alyas di atas kasur.
Andini yang emosional lalu menarik rambut Elisa, “Hei, kamu siapa? Beraninya kamu menyentuh suamiku.”
Tak mau kalah dari Andini, Elisa menghempaskan tangan Andini dan menunjuk wajahnya, dengan wajah marah dan berapi-api. “Harusnya aku yang nanya, kamu siapa?”
“Aku istrinya Mas Alyas.” Andini mengusap dada merasa tidak percaya.
Elisa tertawa geli, mendengar kepercayaan dirinya dari Andini. “Heh… kamu hanya istri yang dikontrak oleh Al selama 6 bulan, setelah itu kamu akan diceraikan. Jadi jangan pernah menyombongkan diri di depanku.”
Deg
Andini benar-benar merasa kecewa, ia menoleh ke arah ranjang di mana suaminya sedang terlentang dalam keadaan setengah sadar. Alyas pernah mengatakan bahwa tidak ada orang lain yang tahu tentang masalah pernikahan kontraknya, tetapi mengapa sekarang ada orang lain yang mengetahuinya. Gadis berambut panjang itu memegang tangannya, rasanya dia ingin sekali memukul wajahnya dengan keras.
“Sudahlah, jangan menatap kami berdua seperti itu.” Ucap Elisa yang duduk di tepi kasur sambil mengelus wajah Alyas. “Kamu bisa tidur di lantai sambil menyaksikan kemesraan kita berdua.” Elisa kembali tertawa melihat wajah Andini yang berkerut.
Tidak percaya dengan ucapan Elisa, Andini pun berjalan dan membangunkan Alyas.
“Mas, bangun! Jelaskan siapa wanita ini?” tanya Andini menarik tangan Alyas agar berjauhan dengan Elisa.
Alyas yang dalam keadaan setengah sadar tersenyum melihat penampilan Andini yang terlihat begitu berbeda dari biasanya, tubuh Andini yang sedikit terbuka di bagian dada membuat penampilannya seketika terpantik. “Kau terlihat sangat berbeda, ternyata Ibu benar-benar telah berhasil membuatmu menjadi seorang wanita yang sangat cantik dan berbeda.”
Alyas mendekat ke arah Andini sedangkan Andini melangkah mundur dan berhenti di dinding kamar hotel, ia merasa Alyas melakukan hal seperti itu karena kehilangan kesadaran. Wajah keduanya bertatapan begitu dekat, hingga Andini bisa mencium aroma wiski dari mulut yang begitu menyengat.
“Jangan menyentuhku seperti ini, Mas!” Andini emosional.
“Kamu benar-benar terlihat cantik saat sedang marah,” kata Alyas.
“Jaga batasanmu, Mas! Aku tidak mau menyentuhmu dalam keadaan mabuk seperti ini.” Andini mendorong Alyas hingga pria berusia 30 tahun itu mundur beberapa langkah saja hingga hampir terjatuh, beruntung ada Elisa di belakangnya hingga Alyas tidak terjatuh. “Aku hanya butuh jawaban siapa wanita penghibur yang kamu bawa ini?” Teriak Andini merasa frustrasi.
“Elisa…,” lirih Alyas menatap Elisa yang sedang memegang tubuhnya.
Elisa tersenyum simpul melihat wajah Alyas begitu dekat. 'Aku satu-satunya wanita yang selalu ada untukmu, Al. Baik itu dulu sebelum ada Bunga dan sekarang setelah Bunga tiada, kamu akan selamanya bergantung padaku.' Elisa membatin.
“Terima kasih, Sa.” Alyas mencoba berdiri tegak tanpa bantuan dari siapapun, setelah itu menoleh ke arah Andini. “Kamu ingin tahu siapa wanita yang aku bawa ini?”
"Ya," jawab Andini.
Kemudian Alyas menoleh ke arah Elisa, ia menatap wajah manisnya itu kemudian mendekat dan mengecup bibir Elisa tepat di hadapan Andini.
“Kamu benar-benar gila, Mas! Kamu adalah laki-laki brengsek yang pernah aku kenal sepanjang hidup. Dasar bajingan, dasar binatang kau, Mas! A …." Andini berteriak sambil mengacak-acak rambutnya sendiri kemudian melemparkan benda-benda yang ada di atas anak-anak ke arah Alyas dan Elisa. Setelah itu Andini meninggalkan hotel dengan amarah yang membuncah.
Melihat Andini yang marah dan bersedih membuat Alyas merasa bersalah, ia ingin mengejar. Namun, Elisa menahannya.
“Jangan kejar dia,” ucap Elisa.
“Tapi aku harus mengejarnya.”
“Kenapa Al? Sebaiknya kamu tidak usah peduli padanya.”
“Di luar sedang turun hujan, aku tidak bisa membiarkan dia pergi sendirian, dia orang baru di Jakarta, aku takut dia kesasar dan hilang, jika terjadi sesuatu padanya, aku yang akan di salahkan sama ibu.”
“Kamu bahkan membiarkanku sendirian di sini?” Elisa benar-benar tidak rela jika pria yang ia sukai sejak kecil mengejar wanita lain meskipun itu istrinya.
“Kamu berada di tempat yang aman, Sa.” jawab Alyas sambil bersiap-siap untuk berangkat.
“Baiklah, aku akan membiarkanmu pergi asal kamu mau menjawab pertanyaanku dulu.”
Alyas mendekat ke arah Elisa dan menatapnya, “Pertanyaan apa?”
“Kenapa baru sekarang kamu menciumku?”
Alyas tersenyum simpul, “Oh itu, maaf kalau aku udah bikin kamu baper, aki cium bibir kamu agar Andini nggak terlalu berharap aku jadi suaminya. Sehingga saat perceraian nanti tiba dia tidak akan pernah baper seperti keadaan kamu sekarang. Ayolah Sa, aku minta maaf ya! Kamu pasti mengerti.” jelas Alyas, setelah itu meninggalkan Elisa sendiri.
Elisa memegang tangan, mata berkaca-kaca dan emosional. Dirinya sangat berharap sekali Alyas mempunyai perasaan lebih dari seorang sahabat terhadapnya. Namun, lagi-lagi ia harus menelan pil pahit karena punya perasaan mencintai tanpa dicintai.
***
Duar…
Mendengar suara petir menyambar di cakrawala, Andini berjalan di bahu jalan dalam keadaan hujan deras, mengenakan gaun yang bagian depannya terbuka. Ia melipat tangannya erat-erat di perutnya karena badannya menggigil kedinginan. Gadis itu benar-benar dibuat hancur oleh seorang pria yang tidak memiliki perasaan seperti Alyas, yang sudah mempermainkan pernikahan anaknya.
'Ayah, Ibu, bolehkah aku pulang? 'aku merasa sudah tidak mampu lagi menyembunyikan perasaan sakit ini.' Batin Andini menurunkan air mata di bawah derasnya air hujan.
Sejak kecil ia sudah mendapatkan banyak kasih sayang dari ayah dan ibunya, baru kali ini Andini mendapatkan ketidakadilan dalam hidupnya. Andini melihat ada halte bis, ia pun duduk dan mengambil ponsel dari tasnya. Gadis berambut panjang itu berniat akan menghubungi kedua orangtuanya untuk menjemputnya dari rumah Alyas. Namun, pada saat ia hendak menelepon, ponselnya berdering ada panggilan masuk dari sang ayah.
Andini menarik napas dalam-dalam, mencoba tersenyum dalam tangisannya.
“Halo assalamualaikum, Nak?” tanya sang ayah.
“Waalaikumsalam, Ayah. Ada apa? "Tumben malam-malam belum tidur."
“Ayah cuma mau ngasih tahu sama kamu, sekarang rumah udah balik lagi atas nama Ayah. Ibu kamu sudah bisa tidur nyenyak karena tidak memikirkan hutang ke bank lagi, semua ini berkat kamu, Nak! Terima kasih karena sudah menerima jodohnya.” Jelas sang ayah dengan suara yang bergetar.
Andini kembali berderai air mata, satu sisi ia sangat senang mendengar kebahagiaan orang tuanya. Di sisi lain, ada sesuatu dalam hati yang menggairahkan yang ingin Ia ungkapkan.
'Apa jadinya kalau Ayah dan Ibu tahu, apa yang terjadi pada diriku ini?' Batin Andini menggigit bibir bawahnya agar tak terdengar sedang menangis.
“Nak, kamu baik-baik saja, kan? Kamu bahagia menikah dengan Pak Alyas, kan?”
“Mas Alyas memperlakukan aku seperti ratu, Ayah tenang saja! yang penting sekarang menjaga Ibu dengan baik, jangan sampai sakitnya kambuh lagi. Maaf aku tidak bisa mengurus Ibu lagi.”
“Insyaallah, Nak.”
“Ya udah kalau gitu, Andini dulu yang tutup telponnya, Mas Alyas udah manggil aku.”
“Iya Nak, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Andini menutup ponselnya kemudian tangisannya pecah di tengah hujan yang semakin deras. Ia kemudian mengelus-elus dada, agar sedikit lebih tenang.
Menit kemudian..
Tid ...
Suara klakson mobil mengejutkan Andini, berharap itu adalah Alyas yang datang dan ingin meminta maaf. Andini terus menundukkan wajahnya, menunggu balasan baik dari pria tersebut.
Seorang pria turun dari mobil dan membuka payung berwarna kuning, pria itu datang langsung memasang jas di tubuh Andini juga memayunginya. “Apa yang kamu lakukan di sini, Andini?” katanya.
Sontak wajah Andini terhenyak karena suara pria itu bukanlah suara suami, melainkan suara pria lain. Ia pun mendongakkan wajahnya sambil menganga.
“Haidar….”
Haidar tersenyum menatap Andini, “iya ini aku, Haidar,” imbuhnya.
Sementara itu di tempat lain yang tidak begitu jauh dari posisi Andini, tampak ada mobil Mercedes Benz berwarna hitam berhenti di bahu jalan. Di dalamnya ada seorang pria yang tak lain adalah Alyas, pria itu duduk di depan stir mobil dengan tangan kiri memegang botol minuman keras. Melihat Andini dan pria lain tampak begitu akrab membuat Alyas merasa kesal hingga botol yang dipegangnya hancur, seketikad hingga darah menetes dari telapak tangan tanpa jeda.
'Apa yang terjadi pada diriku, kenapa aku merasa kesal melihat Andini bersama pria lain?' batinnya.
Bersambung
Malam yang panjang berganti dengan hari yang begitu cerah, Andini dan Alyas kini berada di dalam mobil dengan ekspresi wajah yang sangat gelisah. Sesekali Andini mengusap air mata, yang jatuh tidak tertahankan. Mereka berdua sedang bersedih karena mendapatkan kabar dari ibunya Alyas bahwa Alif sedang sakit, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Setibanya di rumah sakit, Andini dan Alyas berlari ke ruang Nicu. Setibanya disana, mereka melihat wanita paruh baya, yaitu Bu Sarah yang sedang duduk termenung sendirian. “Bu,” sapa Alyas. Sang ibu menoleh, bibirnya tersenyum melihat kedatangan anak dan menantunya. “Akhirnya kalian datang juga,” ucapnya pelan. “Maaf kami datang terlambat,” sambung Andini, lalu merah tangan sang ibu mertua dan menciumnya. “Masuklah! semoga dengan kedatangan kalian Alif bisa merasakan kehadiran ayah dan ibunya.” Alyas dan Andini mengangguk, keduanya berjalan bersama menuju pintu ruangan Nicu tersebut. Namun, di saat hendak membuka pintu, Al kemb
“A …,” Andini berteriak dengan sangat keras.Kaki gadis itu menginjak batu kecil hingga tergelincir dan terjatuh di tebing, beruntung tangannya dengan sigap memegang batu. Ia menjerit kesakitan karena tangan yang di buat pegangan ada luka akibat tertusuk duri hingga rasa sakitnya berkali-kali lipat. Apalagi saat ia melihat ke bawah terdapat lautan yang disekitarnya terdapat batu-batuan yang sangat tajam. ‘Apa bisa aku selamat dari kejadian ini, tanganku semakin mati rasa, aku nggak kuat lagi.’ Batin Andini yang sudah kelelahan. “Tolong …!” teriak gadis itu dengan suara yang bergetar. Gadis itu, pun, meneteskan air mata. Mengingat harapannya untuk selamat itu hal yang sangat mustahil. ‘Ya mungkin ini adalah waktu sebelum aku tiada dari dunia ini.” Hufs …Andini menghela napas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan, gadis berambut panjang itu mengedarkan pandangan ke sekeliling area yang sebenarnya sangat terlihat indah. Ada lautan berwarna biru yang luas membentang, suara deb
Andini bangun dari tidurnya dan kaget melihat keadaan sekitar sudah gelap, ia pun terbangun sambil meringis kesakitan akibat luka duri yang melukai telapak tangannya. Beruntung saat itu bulan sedang memancarkan cahaya purnama nya, sehingga ia bisa sedikit melihat area sekitar yang menyeramkan. Gadis berambut panjang itu, mencoba melangkahkan kaki sambil menggenggam pistol yang ia bawa dari gedung kosong tadi. ‘Semoga saja aku bisa menemukan jalan pulang, semoga saja ada kapal yang lewat. Aku harus ke tepi pantai, bukan berdiam diri di bawah pohon begini. Udah kayak Kunti aja.’ Batinnya sambil mendongakkan wajahnya untuk melihat pohon besar yang ada di atasnya. Seketika bulu kuduknya berdiri, di iringi munculnya suara burung hantu. Andini mengusap punduk nya perlahan agar rasa takutnya berkurang kemudian berjalan, tetapi baru saja hendak melangkahkan kaki, ia mendengar suara seorang pria sambil menyorotkan lampu senternya. Tidak mau ambil resiko, Andini pun bersembunyi dibalik pohon
Andini berjalan dengan sangat cepat, berharap setelah membuka pintu ia akan menemukan jalan untuk kembali pulang. Namun, setelah membuka pintu, matanya terbelalak melihat sesuatu yang sama sekali tidak terbayangkan oleh dirinya. Bukan jalan raya ataupun rumah warga, yang Andini lihat hanya ada lautan yang sangat luas.‘Ya Allah …, ada apa lagi ini?’ tanya Andini dalam hati, sambil mengelus dada. “Ha …” Terdengar suara pria tertawa dari lantai atas, seketika Andini menoleh ke arah itu sambil mengepalkan tangan. “Percuma saja kamu kabur, di luar nggak ada angkot, nggak ada bis ataupun angkot. Kecuali kamu punya teman putri duyung dan bisa bawa kamu keluar dari pulau ini. Ha …” Ucap pria bertopeng sambil tertawa bersama dengan kelima pria lainnya. “Kamu juga harus tahu, di sekitar gedung ini ada mangrove, di sana ada banyak binatang buas yang mungkin akan menyukaimu. Sudahlah jangan keluar, kamu lebih aman di tempat ini, bersama kami.” “Aku lebih baik tinggal di luar sana sendirian,
Alyas yang sedang mengendarai mobil, lantas memasang headset bluetooth di telinganya, kemudian ia menghubungi seseorang dengan sangat serius. “Halo,” sapa Alyas.“Iya hallo, ada apa Pak?” “Ada hal yang sangat penting, harus kita bicarakan.” “Oke, Pak saya on the way ke tempat Bapak.”“Tidak perlu, saya akan ke tempat kamu.” Kemudian Alyas menutup ponsel dan menginjak pedal gas dengan cepat. ‘Tunggu aku Andini,’ batinnya benar-benar merasa khawatir. *Sementara itu, Andini berada di tempat yang sangat menyeramkan. Suasananya tampak sepi dan jauh dari keramaian.Sebelum sampai di tempat itu, Andini sudah menjadi target seseorang sejak keluar dari rumah besar Alyas. Dari mulai naik grab hingga sampai ke kampus, menunggunya keluar sampai berjam-jam. Semuanya ada lima orang pria bertubuh tegap tinggi dengan satu orang yang memakai topeng. Saat itu, Andini keluar dari kampus sambil menatap layar ponselnya. Dan memang selama di kampus, ia sengaja tidak mengaktifkan ponselnya supaya tid
Melihat keakraban antara Alyas dan Andini membuat Elisa tersenyum, tapi tidak dengan hatinya. Dadanya terasa sesak ingin sekali ia memaki dan juga meneriaki Andini, demi Citra baiknya di depan Alyas dan Bu Sarah ia memendam perasaan kesalnya itu diam-diam. ‘Si Andini sekarang tingkahnya makin nyebelin aja, belum tau aja dia, kalau aku orang yang nggak suka ngeliat cewek senyum sama Al.’ Elisa membatin. “Kalau kalian memang mau pergi, kenapa nggak bareng aja?” tanya Bu Sarah. Alyas spontan menoleh ke arah Andini yang sedang mengunyah sarapannya, ‘Aku sih mau-mau aja nganterin dia, Bu. Tapi aku takut salah ngomong, salah tingkah, makin hari aku takut tidak bisa mengendalikan perasaanku dan keceplosan.’ Batinnya. Andini melirik Alyas, yang ternyata sedang menatapnya. Ia pun tersenyum simpul merasa kisah kasih cintanya didukung oleh sang mertua. ‘Aku sih nunggu banget Mas Alyas nawarin berangkat bareng, tapi apa iya dia mau?’ hatinya terus berbicara. “Maaf Bu, Alyas tidak bisa mengan