Share

Ch. 4 Menjadi Seorang Pengantin

Naftalie terbelalak kala menyadari ucapan Ed. “Secepat itu?”

Sayangnya, Ed tampak serius.

Kini keduanya bahkan telah tiba di bridal ternama ibu kota, tanpa kehadiran Jacob, sang mempelai laki-laki. 

Naftalie terdiam. 

Mengenakan gaun pengantin adalah hal yang baru baginya. 

Awalnya, dia berpikir akan didampingi calon suami dan diperbolehkan untuk memilih gaunnya sendiri. 

Akan tetapi, Ed segera menggiring Nat menuju ruang ganti dan menyerahkan gaun pengantinnya. 

“Kenakan!” ucap asisten Jacob itu tegas. “Segera pastikan gaunnya pas dan siap dikenakan besok. Nggak boleh gagal, Anda tau akibatnya kalau—” 

Naftalie tak sempat mendengar kelanjutan dari ancaman Ed karena wanita itu segera masuk ke dalam ruang ganti.

Pegawai bridal pun gegas membuka bajunya dan memakaikan gaun pengantin pilihan itu ke tubuh Naftalie.

Anehnya, gaun itu benar- benar terasa sangat pas di tubuhnya, seakan memang gaun itu dijahit khusus dirinya! 

Pegawai yang membantunya sampai bingung.

Diputarnya tubuh Nat berulang kali memastikan penglihatan. 

“Sepertinya nggak ada yang harus diperbaiki, ini … udah pas banget, ya?” ucapnya kagum dengan betapa cantiknya gaun itu di tubuh Nat. 

Di sisi lain, Naftalie juga terkejut kala melihat bayangan di cermin.

Saat gaun itu diberikan padanya, dia pikir gaun itu sangat buruk.

Gaun itu terlalu tertutup dengan brokat dan renda di bagian kerahnya. Lalu, roknya melekat–mengikuti lekuk tubuh Nat sampai ke ujung mata kakinya. 

Tapi, setelah dikenakan, semua brokat dan renda yang rasanya terlalu norak itu kini jatuh sempurna di lekuk tubuhnya. 

Meski jauh dengan gaun impiannya, ini begitu luar biasa!

Hanya saja, rasa takut seketika melingkupi Naftalie kala melihat bekas memar kebiruan di lehernya. 

“Astaga, Naftalie. Kau akan menikahi pria yang kemungkinan akan membunuhmu,” ucap perempuan itu dalam hati.

Ctas!

Petugas bridal itu mendadak membuat sanggul untuk mencari hiasan di atas kepala Naftalie. 

Wanita tua itu bahkan mau melepas kalung yang melingkar di leher Naftalie.

“Jangan!” pekik Naftalie sambil menepis tangan sang pegawai bridal. 

Selain lebam, kalung itu adalah kalung pemberian Jason saat berjanji akan selalu bersamanya. 

Naftalie segera menggenggam liontin itu.

“Tuan Ed meminta saya menggantinya dengan ini,” ucap petugas itu sambil memberikan kalung lain. 

Naftalie terdiam. Dia menatap kalung berlian yang berbentuk choker itu dan segera menggelengkan kepalanya. 

“Saya nggak mau pakai,” tolak Naftalie. “Gaun anting dan apapun boleh dia pilihkan, tapi untuk kalung ini, tidak.” 

Di sisi lain, petugas bridal itu menatap bingung ke bekas cetakan tangan Jacob. 

Choker berhiaskan berlian ini sangat tepat untuk menyembunyikan bekas cekikan di leher client-nya ini. 

Dia tak mungkin membuat reputasi tempatnya bekerja menjadi buruk.

Wanita tua itu menghela napas. “Umm … sepertinya itu bisa ditutup dengan makeup,” desahnya sembari menatap bola mata hijau milik Naftalie. 

Naftalie sontak tersadar kalau wanita itu membicarakan tentang bekas cekikannya. 

Wanita itu segera mengangguk dengan perasaan jengah. 

“Iya pasti bisa,” ucap Naftalie cepat.

Hanya tinggal liontin itu kenangannya akan Jason. 

Tak ada siapa pun yang boleh mengambil liontin itu. 

Siapapun! 

***

“Arrgh!” geram Jacob–mencoba untuk menghilangkan bayangan Naftalie yang berada di pelukannya tadi pagi.

Gara-gara wanita jelek itu, pekerjaan Jacob dari pagi belum ada yang selesai. Padahal besok sudah hari pernikahannya. 

Pasti, seharian Jacob jadi tak bisa menyentuh pekerjaannya. 

“Tapi, kenapa bibirnya tadi terasa manis?” lirihnya tanpa sadar sambil memegang bibirnya. 

Bayangan wajah cantik Naftalie yang pucat tak bernyawa yang berada di dalam pelukannya tadi kembali muncul. 

Diremasnya kertas yang sedang dia tulis tadi.

“Wanita itu hampir mati di tanganku tadi,” omel Jacob meyakinkan diri, “pasti karena itu aku teringat terus padanya!” 

Setelah itu, Jacob mencoba menghapus bayangan Naftalie di pikirannya.

Tanpa terasa, hari pun berlalu.

Hari ini adalah hari pernikahan keduanya.

Naftalie kini tampak berjalan di antara bangku gereja yang kosong.

Tamu yang ada di sana hanyalah Ed dan wanita yang dari pagi sibuk mengurusi Naftalie. 

Rambut merah perempuan itu sudah digelung naik ke atas dengan beberapa helai anak rambut yang terjuntai cantik di sekitar wajahnya. Semuanya terlihat sempurna, bahkan gereja kosong itu.

Hanya saja, bukan sang kekasih yang menunggu Naftalie di depan sana, melainkan Jacob--mantan calon kakak iparnya.

Ketika Naftalie mendekat ke arahnya, perempuan itu dapat melihat Jacob mendengus jijik saat menarik tangannya kasar.

Tampak sekali, dia terpaksa menggandeng tangan Naftalie saat wanita itu sampai di altar.

“Haruskah aku berlari dan kabur darinya?” dengus Naftalie dalam hati, menahan kesal.

Hanya saja, tanpa disadari, proses pernikahan yang hikmad membuat kegugupan Naftalie kembali.

Terutama kala saat mengulangi janji yang diucapkan pendeta yang mengatakan kalau mereka akan tetap setia sampai mati.

Padahal, Naftalie jelas-jelas sudah menandatangani surat kontrak kalau mereka hanya menikah setahun.

“Aku Naftalie Ambrosia akan setia untuk mencintai, menghargai dan menghormati suami saya Jacob Owen untuk selamanya sampai maut memisahkan.”

Suaranya bergetar dan seperti tikus yang mencicit ketakutan saat mengulangi ucapan pendeta.

Sementara itu, suara Jacob yang berat seakan mengejek setiap pria itu mengucapkan janji yang sama.

Tak butuh waktu lama, prosesi itu telah selesai dan berlanjut resepsi.

Namun mendadak, Naftalie disuruh mengganti baju pengantinnya yang serba tertutup itu dengan gaun pendek yang kekurangan bahan!

“Baju ini nggak dicoba kemarin, ini kesempitan!” keluh wanita itu yang merasa sangat malu karena merasa bokongnya akan terlihat ketika dia menunduk, "Adakah gaun lain yang bisa kugunakan?"

Ditatapnya asisten Jacob dengan penuh harap, hingga pria itu menghela napas panjang. "Anda...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status