Sera menggigit bibir, lalu menatapnya dengan keberanian yang dipaksakan. “Kalau begitu, saya akan lapor polisi.”
Lucas menyipitkan mata. “Kamu mengancamku?” Sera tersenyum tipis, meskipun hatinya mulai ciut. “Ini bukan ancaman, Tuan. Saya hanya memberi tahu Anda konsekuensinya. Kalau itu masih belum cukup, mungkin media sosial akan lebih heboh. Netizen suka hal-hal seperti ini, apalagi kalau menyangkut pria kaya yang tidak mau bertanggung jawab. Saya yakin reputasi Anda akan hancur.” Lucas bangkit dari kursinya, menatap Sera dengan sorot mata dingin. “Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berhadapan, Nona.” Sera mencoba tetap tenang meski intimidasi Lucas mulai terasa. “Benar, saya mungkin tidak tahu siapa Anda, Tuan. Tapi itu tidak penting bagi saya. Yang jelas, Anda telah menabrak saya, dan Anda harus bertanggung jawab. Apa sulitnya bagi orang seperti Anda mengeluarkan satu miliar untuk menyelesaikan ini?” Lucas berjalan mendekati Sera. “Kamu pikir aku takut hanya karena ancaman seperti itu? Polisi, media, atau bahkan netizen? Silakan saja. Tapi jangan lupa, aku punya tim hukum yang jauh lebih pintar daripada drama yang kamu buat ini.” Sera menelan ludah, tetapi dia tidak ingin kalah. “Tim hukum Anda mungkin pintar, tapi netizen lebih kejam. Sekali nama Anda viral dengan cerita seperti ini, semua akan berubah. Bayangkan saja, pria kaya yang menabrak orang hingga hampir kehilangan nyawa, bahkan menyebabkan korban kehilangan ingatannya, tapi tidak mau bertanggung jawab. Reputasi Anda pasti hancur. Dan saya yakin, itu akan berdampak besar pada bisnis atau kehidupan Anda.” Pernyataan Sera membuat Lucas terdiam. Matanya yang dingin perlahan berubah, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Media sosial adalah pedang bermata dua, dan netizen tidak pernah segan menghancurkan siapa pun. Media sosial memang tidak bisa diremehkan, dan reputasinya bisa hancur seketika jika cerita ini tersebar. Apalagi netizen selalu haus akan drama seperti ini. Belum lagi, tuntutan kakeknya yang mengharuskan dia menikah untuk mendapatkan perusahaan keluarga. Skandal ini akan merusak segalanya, bahkan sebelum dia sempat memenuhi syarat itu. Lucas menatap Sera lekat-lekat, mencoba memahami keberanian wanita di depannya. Ruangan itu terasa sunyi, hanya terdengar detak jam yang menggema. Akhirnya, Lucas menghela napas panjang. “Baiklah,” ucapnya dingin. “Kalau begitu, kita menikah saja.” Sera terperangah, wajahnya memucat. “Apa?” Lucas memandang Sera tanpa ekspresi. “Aku bilang, kita menikah saja,” ulangnya dengan nada datar, seakan itu solusi paling logis. Sera membeku. Otaknya berusaha mencerna ucapan Lucas, tapi semakin dipikirkan, semakin tidak masuk akal. "Anda tidak waras, ya? Saya cuma minta uang kompensasi, bukan minta jadi istri Anda!" seru Sera, matanya membelalak. Lucas tidak terpengaruh. Dia bersandar di kursinya dengan santai, tatapannya dingin meneliti Sera. “Kalau kamu mau uang itu, satu-satunya cara adalah dengan menjadi istriku. Kalau tidak, lupakan saja.” Sera kehilangan kata-kata. Mulutnya terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Dia menggelengkan kepala pelan, mencoba mencerna ucapan Lucas. “Anda serius? Ini tidak masuk akal.” Lucas mengangkat alisnya, tatapannya tetap tenang. “Aku serius. Kalau kamu setuju, aku bahkan akan menambah jumlah uang itu jadi tiga kali lipat. Tiga miliar. Bagaimana?” Sera terdiam. Kata-kata Lucas menghantam pikirannya seperti badai. Tiga miliar? Jumlah yang bahkan tidak pernah Sera bayangkan sebelumnya. Dia bisa hidup nyaman selamanya dengan uang sebesar itu. Dia bisa membuka usaha, memulai hidup baru, meninggalkan semua kesulitan yang selama ini membebaninya. Tapi … menikah? Dengan orang asing seperti Lucas? Sera menatap pria itu dengan bingung. “Kenapa harus menikah? Bukankah lebih mudah Anda kasih uang itu saja?” tanyanya dengan nada setengah putus asa. Lucas mendesah, seperti menjelaskan sesuatu yang sederhana pada anak kecil. "Aku punya alasanku sendiri. Lagipula, ini bukan pernikahan sungguhan. Hanya kontrak. Satu tahun. Kamu dapat uang, aku dapat apa yang kubutuhkan. Setelah itu, kita berpisah.” “Kontrak?” ulang Sera, suaranya nyaris berbisik. Lucas mengangguk. "Benar. Hanya satu tahun. Setelah itu, kita berpisah, dan kamu bisa mengambil uangmu. Tidak ada ikatan, tidak ada emosi, hanya kesepakatan bisnis. Tidak akan ada cinta, tidak ada kontak fisik, atau perasaan yang terlibat dalam bentuk apapun." Sera merasa dunia di sekitarnya berputar. Semakin mendengar penjelasan Lucas, semakin terasa seperti jebakan. Tapi di sisi lain, tawaran itu menggiurkan. Tiga miliar. Dia tidak perlu lagi bekerja mati-matian, tidak perlu khawatir tentang masa depannya. Tapi tawaran itu terlalu gila. Dia tidak bisa percaya apa yang baru saja didengarnya. "Tunggu," katanya dengan nada yang lebih tegas. "Kenapa harus saya? Anda pasti bisa memilih orang lain." Lucas tersenyum tipis, hampir tidak terlihat. “Karena kamu muncul di waktu yang tepat. Dan kamu sangat putus asa." Darah Sera mendidih mendengar kata-kata itu. “Jadi, Anda pikir saya tidak punya pilihan lain?” “Bukankah itu kenyataannya?” jawab Lucas tajam. “Kamu yang memulai ini dengan meminta satu miliar. Kalau aku tawarkan tiga miliar, kenapa harus menolak?” Sera terdiam, kata-kata Lucas terasa seperti pukulan telak yang mengguncang pikirannya. Dia tahu, di sudut hatinya, Lucas benar—dia putus asa, dan tiga miliar adalah angka yang terlalu besar untuk diabaikan. Namun, tawaran ini terasa seperti menjual dirinya sendiri. Dia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Kalau saya setuju,” tanyanya akhirnya, dengan nada hati-hati, “apa yang harus saya lakukan sebagai istri Anda?”Di kamar Satria.Satria duduk di balkom kamarnya, menatap taman yang menghampar di hadapannya. Dulu, dia dan Annora suka duduk di balkon sambil melihat pemandangan taman yang bunga-bunganya ditanam sendiri oleh Annora.Satria menatap hamparan bunga yang masih menguncup dengan pandangan sayu.Liburan kali ini, adalah liburan yang paling terburuk. Tujuan Satria mengajak anak, menantu, dan cucunya liburan, bukan hanya sekadar bersenang-senang semata, tapi Satria ingin mempererat hubungannya dengan anak-anaknya. Sayang, semua itu hanya angan Satria semata.Setiap hari, hubungan keluarga mereka semakin memburuk, apalagi hubungannya dengan Indira. Satria ingin sekali mengakhiri perselisihannya dengan sang putri, tapi Satria merasa sekarang belum waktunya."Annora, aku harap kamu tidak semakin membenciku," gumam Satria lemah.Tok tok tok"Tuan!" suara Devin terdengar setelah ketukan di pintu."Masuk!" perintah Satria tanpa menoleh ke arah pintu ataupun bangk
Usai belanja, mereka pun langsung menuju bandara. Tidak seperti sebelumnya yang terlihat kampungan, Sera sudah bisa menguasai diri. Lucas yang awalnya khawatir, menjadi lega. Ternyata Sera tipe wanita yang cepat belajar. Dan itu membuat Lucas puas. Waktu menunjukkan pukul 8 malam saat mereka tiba di rumah. Sebelumnya mereka sudah mampir di restoran untuk makan malam, sehingga mereka langsung istirahat sesampainya mereka di rumah. Akibat kecelakaan yang menimpa Lucas, membuat liburan mereka terpaksa diperpanjang selama 4 hari, sehingga Emily dan Alvin langsung kembali ke rumah mereka pada keesokan paginya usai sarapan. Begitu pun dengan Lucas yang bersiap untuk berangkat kerja. "Lebih baik kamu istirahat saja di rumah," tegur Indira saat melihat Lucas hendak pergi ke kantor. "Kamu masih luka. Bagaimana kalau nanti badanmu drop?" "Tidak bisa, Ma. Aku harus pergi ke kantor hari ini. Aku sudah tidak kerja selama tiga hari. Banyak pekerja
"Maaf, Kek. Tapi saya tidak bermaksud seperti itu," ucap Sera pelan dengan kepala tertunduk.Emily yang melihat dan mendengar mereka pun iku menyahuti, "Sera, kegiatan ini sudah menjadi tradisi di keluarga kita. Dengan kamu menolak traktiran dari Kakek, itu sama saja dengan kamu tidak mematuhi tradisi keluarga Mahendra.""Tapi saya tidak bermaksud seperti itu, Bibi," jawab Sera cepat."Bibi, Kakek, tolong jangan menyudutkan istriku. Apalagi kita saat ini lagi di tempat umum. Akan sangat memalukan jika didengar oleh orang lain dan menjadi gosip," ucap Lucas cepat sebelum mereka semua menggertak Sera lebih lanjut.Lucas mendorong kursi rodanya mendekati Sera. "Ayo, Sayang, temani aku belanja."Sera menurut dan mengambil alih mendorong kursi roda Lucas. Lucas mengajak Sera ke toko sepatu."Supaya Kakek tidak marah lagi, lebih baik kamu belilah sesuatu. Walaupun hanya satu barang," kata Lucas. "Di sebelah ada toko perhiasan. Pergilah dan lihat-lihat, siapa tahu a
Kagaduhan yang dilakukan Indira membuat Satria pun ikut panik. Pria itu menyusul ke rumah sakit saat Indira dan lainnya pergi membawa Lucas dengan buru-buru. Akan tetapi kepanikan dan kekhawatiran semua orang tidak terbukti, dokter mengatakan kalau Lucas baik-baik saja, dan memang dia sebenarnya baik-baik saja. Hanya Indira saja yang terlalu khawatir berlebihan."Kalian ini membuat keributan saja." Satria mengomel setelah kepergian dokter."Keributan apa?" jawab Indira cepat, nadanya sedikit meninggi. "Sebagai seorang ibu, wajar kalau mengkhawatirkan anaknya. Bagaimana kalau lukanya berubah menjadi infeksi? Apa kamu akan bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa dengan Lucas?""Tapi kan ternyata dia baik-baik saja.""Itu karena dia bukan anakmu. Kalau dia anak kesayanganmu, aku yakin kamu juga akan melakukan hal yang sama."Sera, Lucas, dan Chiara hanya bisa menghela napas dalam hati dengan perdebatan Indira dan Satria.Tidak ingin membuat keributan di rumah sakit, Satria pun mengalah.
Karena Lucas terluka, dia hanya bisa menghabiskan waktu di kamar. Sesekali Sera membantunya jalan-jalan di luar untuk menghirup udara segar.Kepulangan mereka pun diundur menjadi beberapa hari, menunggu bekas jahitan di luka Lucas benar-benar kering."Kamu pergilah bersenang-senang bersama Chiara. Tidak perlu menemaniku sepanjang hari," ucap Lucas kepada Sera yang membantunya berjemur di pagi hari usai sarapan. "Lagi pula aku tidak lumpuh sampai harus ditemani sepanjang hari. Aku bisa jalan sendiri.""Ya, kamu memang tidak lumpuh. Tapi aku tidak mau meninggalkanmu dan mendapatkan ucapan pedas dari keluargamu lagi." Sera menjawab dengan nada sedikit ketus.Sera tidak mengerti kenapa keluarga Lucas suka sekalu mengeluarkan kata-kata tajam yang ditujukan untuknya. Setiap apa pun yang dilakukannya, selalu salah di mata mereka.Rheva ingin sekali menyerah, tapi setelah memikirkannya lagi, rasanya dia akan rugi jika mundur sekarang. Apalagi Sera sudah berjanji akan melahirkan anak untuk Luc
Sera membuka pintu kamar dan menuntun Lucas masuk. Tangannya yang kecil menopang pinggang Lucas, sementara bahunya dipakai sebagai sandaran."Pelan-pelan," ucap Sera khawatir. "Aku bisa jalan sendiri," balas Lucas, meski wajahnya jelas menahan sakit.Sera menggeleng cepat. "Jangan keras kepala. Duduk dulu di kasur."Begitu tiba di tepi ranjang, Sera berusaha menurunkan tubuh Lucas. Namun, berat badan pria itu jelas terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Tangan Sera bergetar, kakinya goyah."Eh—!""Sera, awas!" Lucas berusaha menahan, tapi justru tubuhnya kehilangan keseimbangan.Bruk!Mereka jatuh bersama di atas kasur. Lucas terbaring miring, sementara Sera menindih dada kiri Lucas. Nafas mereka beradu, jarak wajah mereka hanya sejengkal.Sera membeku. Wajah Lucas begitu dekat, hingga Sera bisa melihat jelas garis rahang Lucas, bulu mata yang panjang, bahkan hangat napasnya.Sera buru-buru bangkit dari posisi canggungnya. Tangannya mencari tumpuan di atas kasur, tapi empuknya kasur me