Lucas menatap Sera sejenak, lalu berkata. “Kamu hanya perlu berperan sebagai istriku di depan orang lain. Saat kita sedang berdua, kita bisa menjadi diri kita masing-masing. Aku tidak akan mencampuri urusanmu, dan kamu juga tidak akan mencampuri urusanku.”
Sera mengerutkan kening. “Berperan? Maksudnya, saya harus berakting?” “Ya,” jawab Lucas dengan tenang. “Anggap saja seperti pekerjaan. Kamu harus terlihat seperti istriku, bersikap seperti itu ketika ada orang lain. Tapi begitu kita tidak bersama orang lain, kamu bebas menjalani hidupmu sendiri.” Sera mengangkat alisnya, rasa tidak percaya masih memenuhi benaknya. “Jadi, saya hanya boneka? Pajangan?” tanyanya sinis. Lucas tersenyum tipis, tatapan matanya tetap dingin. “Kalau kamu ingin menyebutnya begitu, terserah. Tapi ingat, boneka ini dibayar tiga miliar.” Sera merasakan panas di pipinya. Emosi bercampur dengan kebingungan membuatnya hampir kehilangan kontrol. “Ini gila. Tidak ada orang yang waras melakukan ini.” Lucas mengangkat bahu, acuh. “Kalau kamu tidak mau, pintu keluar ada di sana.” Dia menunjuk ke arah pintu dengan santai. “Tapi jangan menyesal kalau kesempatan ini lewat begitu saja.” Sera mendesah keras, frustasi. “Kenapa saya? Kenapa tidak orang lain? Anda bisa saja menemukan seseorang yang lebih cocok untuk … untuk sandiwara ini!” Lucas menatapnya dengan tajam, senyumnya menghilang. “Karena aku tidak punya waktu untuk mencari orang lain. Kamu ada di sini, dan kamu membutuhkan uang. Kesepakatan ini menguntungkan kita berdua.” “Tapi ini terlalu cepat!” protes Sera. “Anda bahkan tidak mengenal saya!” “Aku tidak perlu mengenalmu,” jawab Lucas datar. “Ini hanya bisnis. Kita tidak butuh perasaan atau kepercayaan. Kamu hanya perlu menjalankan peranmu, dan aku akan memenuhi janjiku.” Sera menggigit bibirnya. “Bagaimana kalau ada yang curiga? Bagaimana kalau kita ketahuan ini semua bohong?” Lucas tersenyum kecil, kali ini dengan nada penuh percaya diri. “Aku yang akan mengurusnya. Kamu tinggal ikuti rencanaku. Aku sudah melakukan ini sebelumnya.” Sera tertegun, rasa kaget jelas terlihat di wajahnya. “Melakukan apa? Menikah pura-pura?” Lucas tertawa kecil. “Tidak. Maksudku, aku tahu cara menghadapi orang-orang. Aku sudah terbiasa.” Sera merasa dipojokkan. Setiap argumen yang dia coba ajukan dipatahkan Lucas dengan mudah. Tapi dia tetap merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Bagaimana kalau saya berubah pikiran di tengah jalan?” tantangnya. Lucas menatapnya dingin. “Kalau kamu melanggar kontrak, kamu tidak akan mendapatkan sepeser pun. Dan aku pastikan, hidupmu akan jauh lebih sulit.” Ancaman itu membuat Sera merinding. Tapi di sisi lain, dia tahu Lucas tidak main-main. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha berpikir jernih. “Saya tidak tahu … ini semua terlalu gila.” Lucas berdiri, merapikan jasnya. “Pikirkan tawaranku,” katanya, suaranya tegas. “Besok pagi, aku akan datang lagi membawa surat perjanjian dan semua dokumen yang diperlukan. Kalau kamu setuju, kita tandatangani. Tapi jika kamu menolak, jangan harap aku akan mengeluarkan uang sepeser pun untukmu. Pilihan ada di tanganmu.” Sera diam, bibirnya rapat. Otaknya sibuk memproses setiap kata yang baru saja didengarnya. Lucas bergerak menuju pintu, tangannya hampir menyentuh gagang pintu ketika Sera berbicara. “Tunggu.” Lucas berhenti, menoleh sedikit tanpa benar-benar berbalik. “Kapan … kapan kita akan menikah?” Suara Sera terdengar ragu, namun penuh keingintahuan. Lucas tersenyum kecil, tipis, nyaris tidak terlihat. “Minggu depan,” katanya dengan nada tenang namun penuh keyakinan. Mata Sera melebar. “Apa? Minggu depan?” Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan, Lucas kembali. Kali ini, dia tidak sendirian. Seorang pria muda dengan penampilan rapi berdiri di belakangnya, membawa map tebal di tangannya. Tanpa basa-basi, Andra, asistennya, meletakkan map itu di atas meja kecil di samping ranjang. “Baca,” ujar Lucas sambil melipat tangan di dadanya, dia berdiri di sisi ranjang, tatapannya dingin menelusuri wajah Sera yang tampak lelah. Sera melirik map itu, lalu kembali menatap Lucas. “Apa ini?” “Perjanjian kita.” Dengan ragu, Sera membuka map tersebut. Matanya menelusuri halaman pertama. Tulisan hitam di atas kertas putih terasa begitu berat, seperti menekan pikirannya. “Banyak sekali poinnya. Ini terlalu banyak aturan,” gumamnya setelah membaca beberapa bagian. "Semua aturan itu untuk melindungi kita," ujar Lucas tenang. Sera mengernyit. Halaman berikutnya membuat alisnya bertaut lebih dalam. “Saya harus tinggal di rumah Anda?” “Tentu.” “Kenapa? Bukankah ini hanya kontrak?” Lucas menatap Sera tajam. “Bagaimana kita meyakinkan orang kalau kita tinggal terpisah?” Sera menggigit bibir bawahnya. Matanya kembali menyisir dokumen itu, namun kali ini dengan perasaan yang lebih berat. “Tidak ada yang memaksamu. Kalau tidak nyaman, mundur saja,” ucap Lucas dengan nada dingin. Sera mendesah panjang, menatap map itu seolah-olah sedang mencari jawaban dari kertas tidak bernyawa tersebut. Setiap kalimat di sana terasa seperti jebakan yang tidak bisa dihindari. Lucas melangkah mendekat, menatap map di tangan Sera. “Kalau kamu butuh waktu lebih lama, aku anggap kamu tidak tertarik,” ucapnya dingin, tangannya terulur, siap mengambil dokumen itu.Di kamar Satria.Satria duduk di balkom kamarnya, menatap taman yang menghampar di hadapannya. Dulu, dia dan Annora suka duduk di balkon sambil melihat pemandangan taman yang bunga-bunganya ditanam sendiri oleh Annora.Satria menatap hamparan bunga yang masih menguncup dengan pandangan sayu.Liburan kali ini, adalah liburan yang paling terburuk. Tujuan Satria mengajak anak, menantu, dan cucunya liburan, bukan hanya sekadar bersenang-senang semata, tapi Satria ingin mempererat hubungannya dengan anak-anaknya. Sayang, semua itu hanya angan Satria semata.Setiap hari, hubungan keluarga mereka semakin memburuk, apalagi hubungannya dengan Indira. Satria ingin sekali mengakhiri perselisihannya dengan sang putri, tapi Satria merasa sekarang belum waktunya."Annora, aku harap kamu tidak semakin membenciku," gumam Satria lemah.Tok tok tok"Tuan!" suara Devin terdengar setelah ketukan di pintu."Masuk!" perintah Satria tanpa menoleh ke arah pintu ataupun bangk
Usai belanja, mereka pun langsung menuju bandara. Tidak seperti sebelumnya yang terlihat kampungan, Sera sudah bisa menguasai diri. Lucas yang awalnya khawatir, menjadi lega. Ternyata Sera tipe wanita yang cepat belajar. Dan itu membuat Lucas puas. Waktu menunjukkan pukul 8 malam saat mereka tiba di rumah. Sebelumnya mereka sudah mampir di restoran untuk makan malam, sehingga mereka langsung istirahat sesampainya mereka di rumah. Akibat kecelakaan yang menimpa Lucas, membuat liburan mereka terpaksa diperpanjang selama 4 hari, sehingga Emily dan Alvin langsung kembali ke rumah mereka pada keesokan paginya usai sarapan. Begitu pun dengan Lucas yang bersiap untuk berangkat kerja. "Lebih baik kamu istirahat saja di rumah," tegur Indira saat melihat Lucas hendak pergi ke kantor. "Kamu masih luka. Bagaimana kalau nanti badanmu drop?" "Tidak bisa, Ma. Aku harus pergi ke kantor hari ini. Aku sudah tidak kerja selama tiga hari. Banyak pekerja
"Maaf, Kek. Tapi saya tidak bermaksud seperti itu," ucap Sera pelan dengan kepala tertunduk.Emily yang melihat dan mendengar mereka pun iku menyahuti, "Sera, kegiatan ini sudah menjadi tradisi di keluarga kita. Dengan kamu menolak traktiran dari Kakek, itu sama saja dengan kamu tidak mematuhi tradisi keluarga Mahendra.""Tapi saya tidak bermaksud seperti itu, Bibi," jawab Sera cepat."Bibi, Kakek, tolong jangan menyudutkan istriku. Apalagi kita saat ini lagi di tempat umum. Akan sangat memalukan jika didengar oleh orang lain dan menjadi gosip," ucap Lucas cepat sebelum mereka semua menggertak Sera lebih lanjut.Lucas mendorong kursi rodanya mendekati Sera. "Ayo, Sayang, temani aku belanja."Sera menurut dan mengambil alih mendorong kursi roda Lucas. Lucas mengajak Sera ke toko sepatu."Supaya Kakek tidak marah lagi, lebih baik kamu belilah sesuatu. Walaupun hanya satu barang," kata Lucas. "Di sebelah ada toko perhiasan. Pergilah dan lihat-lihat, siapa tahu a
Kagaduhan yang dilakukan Indira membuat Satria pun ikut panik. Pria itu menyusul ke rumah sakit saat Indira dan lainnya pergi membawa Lucas dengan buru-buru. Akan tetapi kepanikan dan kekhawatiran semua orang tidak terbukti, dokter mengatakan kalau Lucas baik-baik saja, dan memang dia sebenarnya baik-baik saja. Hanya Indira saja yang terlalu khawatir berlebihan."Kalian ini membuat keributan saja." Satria mengomel setelah kepergian dokter."Keributan apa?" jawab Indira cepat, nadanya sedikit meninggi. "Sebagai seorang ibu, wajar kalau mengkhawatirkan anaknya. Bagaimana kalau lukanya berubah menjadi infeksi? Apa kamu akan bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa dengan Lucas?""Tapi kan ternyata dia baik-baik saja.""Itu karena dia bukan anakmu. Kalau dia anak kesayanganmu, aku yakin kamu juga akan melakukan hal yang sama."Sera, Lucas, dan Chiara hanya bisa menghela napas dalam hati dengan perdebatan Indira dan Satria.Tidak ingin membuat keributan di rumah sakit, Satria pun mengalah.
Karena Lucas terluka, dia hanya bisa menghabiskan waktu di kamar. Sesekali Sera membantunya jalan-jalan di luar untuk menghirup udara segar.Kepulangan mereka pun diundur menjadi beberapa hari, menunggu bekas jahitan di luka Lucas benar-benar kering."Kamu pergilah bersenang-senang bersama Chiara. Tidak perlu menemaniku sepanjang hari," ucap Lucas kepada Sera yang membantunya berjemur di pagi hari usai sarapan. "Lagi pula aku tidak lumpuh sampai harus ditemani sepanjang hari. Aku bisa jalan sendiri.""Ya, kamu memang tidak lumpuh. Tapi aku tidak mau meninggalkanmu dan mendapatkan ucapan pedas dari keluargamu lagi." Sera menjawab dengan nada sedikit ketus.Sera tidak mengerti kenapa keluarga Lucas suka sekalu mengeluarkan kata-kata tajam yang ditujukan untuknya. Setiap apa pun yang dilakukannya, selalu salah di mata mereka.Rheva ingin sekali menyerah, tapi setelah memikirkannya lagi, rasanya dia akan rugi jika mundur sekarang. Apalagi Sera sudah berjanji akan melahirkan anak untuk Luc
Sera membuka pintu kamar dan menuntun Lucas masuk. Tangannya yang kecil menopang pinggang Lucas, sementara bahunya dipakai sebagai sandaran."Pelan-pelan," ucap Sera khawatir. "Aku bisa jalan sendiri," balas Lucas, meski wajahnya jelas menahan sakit.Sera menggeleng cepat. "Jangan keras kepala. Duduk dulu di kasur."Begitu tiba di tepi ranjang, Sera berusaha menurunkan tubuh Lucas. Namun, berat badan pria itu jelas terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Tangan Sera bergetar, kakinya goyah."Eh—!""Sera, awas!" Lucas berusaha menahan, tapi justru tubuhnya kehilangan keseimbangan.Bruk!Mereka jatuh bersama di atas kasur. Lucas terbaring miring, sementara Sera menindih dada kiri Lucas. Nafas mereka beradu, jarak wajah mereka hanya sejengkal.Sera membeku. Wajah Lucas begitu dekat, hingga Sera bisa melihat jelas garis rahang Lucas, bulu mata yang panjang, bahkan hangat napasnya.Sera buru-buru bangkit dari posisi canggungnya. Tangannya mencari tumpuan di atas kasur, tapi empuknya kasur me