Sera tidak menyadari bahwa ada orang lain yang berada di kamar inapnya. Dia juga tidak mengenal sosok pria itu.
"Anda siapa?" tanya Sera dengan suara serak. Pria itu tersenyum tipis. "Aku Lucas. Aku yang menabrakmu beberapa hari lalu." Sera tertegun. Kenangan tentang kecelakaan itu samar-samar muncul. "Menabrak? Lalu apa yang Anda lakukan di sini?" "Aku merasa bertanggung jawab." Lucas berbicara dengan tenang. "Aku di sini hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja." Lucas melanjutkan dengan nada hati-hati. "Boleh aku tahu siapa namamu? Dari mana asalmu?" Sera menunduk, memainkan ujung selimut dengan gelisah. "Saya tidak tahu." Lucas mengerutkan kening. "Tidak tahu?" ulangnya, suaranya terdengar heran. Sera mengangguk pelan. "Apa mungkin dia hilang ingatan karena benturan akibat kecelakaan?" Lucas bergumam pelan, tapi cukup keras untuk didengar Sera. Ucapan Lucas membangkitkan pikiran liar dalam benak Sera. 'Apa aku pura-pura amnesia saja? Mungkin, dengan aku berpura-pura hilang ingatan, aku bisa terbebas dari Ibu. Tapi ....' Sera memandang Lucas dengan tatapan yang sulit diartikan. Sera menatap Lucas dalam-dalam, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Jika dia benar-benar berpura-pura kehilangan ingatan, mungkinkah ini menjadi jalan keluar dari hidupnya yang penuh penderitaan? Namun, sebelum dia bisa memutuskan, suara Lucas memecah lamunannya. "Kamu benar-benar tidak tahu siapa namamu dan dari mana asalmu?" tanya Lucas lagi. Sera mengangkat pandangannya dengan gugup. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, tetapi dia mencoba menenangkan diri. “Iya,” jawabnya pelan. Lucas menganggukkan kepala, tatapannya berubah menjadi penuh pertimbangan. “Baiklah,” gumamnya. Lucas berdiri dari kursinya dan berjalan keluar kamar. Sera menghela napas panjang, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sesaat karena Lucas kembali tidak lama kemudian, kali ini bersama seorang dokter. Dokter itu tersenyum ramah pada Sera. “Selamat siang, Nona. Saya dokter yang menangani Anda. Saya dengar Anda mengalami kesulitan mengingat sesuatu?” Sera menggigit bibirnya, mencoba terlihat bingung. "Iya, saya tidak ingat apa-apa. Rasanya seperti semuanya hilang begitu saja." Suaranya berusaha meyakinkan, meski ada nada gugup yang sulit disembunyikan. Dokter mengangguk, kemudian mulai memeriksa kondisi Sera. “Bagaimana perasaan Anda sekarang? Apakah ada sakit kepala, pusing, atau nyeri lainnya?” tanyanya sambil mengecek tekanan darah dan memeriksa pupil mata Sera. “Sedikit pusing, Dok,” jawab Sera, mencoba terdengar meyakinkan. Tangannya mengepal di bawah selimut, berharap kebohongannya tidak terungkap. Setelah selesai memeriksa, dokter berdiri tegak dan menatap Lucas. “Kondisi fisiknya cukup baik. Tidak ada luka serius. Mengenai kehilangan ingatannya, mungkin ini disebabkan oleh trauma. Biasanya, ini bersifat sementara. Kita perlu memantau kondisinya beberapa hari ke depan.” Lucas mengangguk, ekspresinya serius. "Berarti, ada kemungkinan ingatannya bisa kembali?" tanyanya. “Sulit untuk mengatakan dengan pasti. Amnesia akibat trauma umumnya bisa pulih seiring waktu. Tapi untuk sekarang, yang terpenting adalah memastikan dia merasa aman dan tidak mengalami stres.” Setelah memberikan beberapa instruksi tambahan, dokter meninggalkan ruangan. Lucas kembali duduk di kursinya, diam sejenak sebelum mengeluarkan ponselnya. Dia tampak sibuk mengetik sesuatu, dan Sera yang masih terbaring mulai merasa gelisah. Sera mencuri pandang ke arah Lucas beberapa kali, mencoba menebak apa yang sedang dilakukan pria itu. Namun, Lucas tiba-tiba berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya. “Kenapa terus melirikku? Ada yang ingin kamu katakan?” Sera terkejut, wajahnya memerah. “S-saya …,” dia tergagap, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Saya .... " Lucas akhirnya mengalihkan pandangannya dari ponsel dan menatap Sera dengan tatapan datar. "Saya apa?" Sera menggenggam selimutnya erat-erat, ragu sejenak sebelum akhirnya berani berbicara. “Tuan … apakah saya bisa meminta bantuan Anda?” "Bantuan apa?" tanya Lucas dengan suara dingin. Sera menggigit bibirnya, mencoba mengatur napas sebelum berbicara. “Saya ingin meminta uang.” Lucas terdiam sejenak, tatapannya berubah tajam. “Uang?” ulangnya, memastikan dia tidak salah dengar. Sera mengangguk, meskipun gugup. “Iya, anggap saja sebagai kompensasi. Karena Anda sudah menabrak saya.” Ekspresi Lucas tetap datar, namun matanya mengamati Sera dengan seksama. “Berapa?” tanyanya akhirnya. Sera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Satu miliar.” Lucas mengerutkan alis, tatapannya semakin tajam. “Satu miliar?” ulangnya, seolah memastikan dia tidak salah dengar. Sera mengangguk, mencoba memasang wajah serius meski jantungnya berdebar kencang. “Iya, Tuan. Saya rasa itu jumlah yang pantas, mengingat keadaan saya sekarang. Saya kehilangan ingatan, dan ini semua karena Anda.” Lucas tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti ejekan. “Satu miliar? Kamu pikir uang itu tumbuh di pohon?” Sera merapatkan selimut di tubuhnya, mencoba menutupi kegugupannya dengan tatapan berani. “Anda kan orang kaya? Masa uang segitu saja jadi masalah?” Lucas mendengus sambil bersandar di kursinya. "Kamu lucu juga, ya. Jadi, menurutmu aku ini bank berjalan? Tinggal minta, dan aku langsung kasih?" Sera menarik napas, berusaha tetap tenang. “Saya hanya meminta hak saya. Anda menabrak saya. Kalau bukan tanggung jawab Anda, siapa lagi?” Lucas menggelengkan kepala, tatapannya dingin. “Kamu mungkin lupa ingatan, tapi omong kosongmu ini lancar sekali. Satu miliar? Itu bukan uang kecil. Aku tidak akan menyerahkan jumlah segitu hanya karena alasanmu yang … tidak masuk akal.” Sera mendesah pelan, menahan rasa kesal yang mulai memuncak. “Tuan Lucas, Anda mungkin tidak sadar, tapi saya di posisi yang sulit. Saya kehilangan semuanya. Kalau Anda memang manusia, Anda harusnya mau membantu.” Lucas mendekatkan tubuhnya ke tempat tidur, tatapannya semakin tajam. “Dan kalau aku bilang tidak?”Gelas di tangannya hampir terjatuh saat pikirannya semakin penuh dengan dugaan-dugaan buruk. Namun, dia menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Sera membawa gelas itu kembali ke ruang tamu."Tuan," panggil Sera pelan sambil menyodorkan air.Lucas menoleh, menerima gelas itu dengan anggukan kecil. "Terima kasih," jawabnya singkat, nada suaranya datar.Sera kembali duduk di sofa, matanya mengamati Lucas yang sedang meminum air itu. Dia membuka mulut, ingin bertanya, tetapi lidahnya terasa kelu. Lucas terlihat tertekan, dan Sera tahu ini bukan saatnya menambah beban pria itu dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dia menelan kembali rasa penasaran yang membara di dalam dadanya."Tuan, saya akan ke dapur dulu, kalau ada yang Tuan butuhkan, panggil saya," ucap Sera akhirnya, memilih untuk memberi Lucas ruang.Lucas hanya mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa. Tatapannya kosong, terpaku pada gelas di tangannya.Sera melangkah menuju dapur, tetapi bukanny
Lucas menelan ludah, mencoba tetap tenang. Dia melirik Sera sejenak, pikirannya berputar, mencoba menemukan alasan yang pas. "Aku tidak cerita karena ...,"Lucas Ragu, menarik napas panjang, menatap sang ibu yang duduk dengan ekspresi kecewa. Dia tahu percakapan ini tidak akan mudah."Mama, aku minta maaf," ucap Lucas pelan. "Aku tidak cerita sebelumnya karena ... aku tahu Mama akan banyak bertanya. Hubungan kami sempat putus-nyambung, dan aku belum yakin saat itu. Aku tidak mau memberi harapan palsu."Indira menghela napas panjang, tatapannya berubah menjadi lebih tajam. "Lucas, kenapa kamu tega menyembunyikan hal sebesar ini dari Mama? Apa kamu tidak pernah memikirkan perasaan Mama? Kamu anak satu-satunya, dan tiba-tiba Mama harus mendengar kamu sudah menikah dengan cara seperti ini!" Suaranya bergetar, mencerminkan rasa kecewa yang dalam."Apakah Mama ini tidak cukup penting untuk tahu? Kamu pikir Mama hanya pelengkap dalam hidupmu? Lucas, menikah itu bukan keput
Sera hanya bisa diam, tubuhnya terasa kaku, dan kepalanya tertunduk semakin dalam. Napasnya pendek-pendek, berusaha menenangkan diri meskipun situasinya terasa semakin mencekam. "Lucas," panggil Indira begitu panggilan tersambung, tetapi tidak ada jawaban di ujung sana. Dia menurunkan ponselnya, mendengkus pelan, dan kembali mencoba. Kali ini, nada panggilan berlangsung lebih lama, tetapi Lucas tetap tidak menjawab. "Anak ini benar-benar!" geram Indira. Dia kembali menekan nomor Lucas, tatapannya masih tidak lepas dari Sera, seolah memastikan bahwa perempuan muda itu tidak akan kabur. Sera menggigit bibir bawahnya. "Astaga, Lucas! Beraninya kamu mengabaikan ibumu seperti ini?!" Akhirnya, pada panggilan keempat, sambungan terhubung. "Ma, aku sib—" suara Lucas terdengar di ujung sana. “Lucas,” suara ibunya memotong. “Pulang ke apartemenmu sekarang. Kita harus bicara.” Lucas terdiam sesaat, otaknya mencoba
Sera mengernyit bingung, tetapi dia mengesampingkan hal itu. Dengan cepat, dia mulai menyiapkan sarapan menggunakan bahan-bahan seadanya. Saat dia sibuk memasak, aroma masakannya memenuhi ruangan. Sera merasa lega karena setidaknya dia bisa menyajikan sesuatu untuk Lucas, meskipun sederhana. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar. Lucas muncul dengan pakaian rapi untuk bekerja, Sera tengah menyelesaikan memasak telur dadar dan menumis sayur. Dia menoleh sekilas ke arah Lucas. “Sarapan hampir selesai, Tuan." Lucas mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa, dia duduk di meja makan. Sera segera menyajikan piring berisi makanan di hadapannya. Lucas menatap makanan itu sekilas, lalu mengambil garpu dan mulai makan tanpa banyak bicara. Sera berdiri di dekatnya, memperhatikan dengan seksama, berharap makanan sederhana itu bisa diterima. Setelah beberapa suap, Lucas meletakkan garpu dan berkata singkat, “Cukup enak. Setidak
Setelah makan malam, Lucas dan Sera meninggalkan restoran dalam keheningan. Lucas berjalan di depan, sementara Sera mengikuti dengan rasa canggung yang masih mengganggu. Di dalam mobil, mereka terdiam, hanya suara mesin yang terdengar. Ketika akhirnya mobil berhenti di depan gedung apartemen, Sera menatap bangunan tinggi itu dengan takjub. "Kita sudah sampai, Tuan?" tanyanya pelan. Lucas mengangguk singkat. “Ayo turun,” katanya tanpa basa-basi, lalu keluar dari mobil. Setibanya di apartemen Lucas, Sera hampir tidak bisa menutup mulutnya. Tempat itu begitu megah, dengan dinding kaca yang memamerkan pemandangan kota yang penuh lampu berkilauan. Ruang tamu yang luas dihiasi sofa kulit berwarna gelap, meja marmer, dan perabotan modern yang terlihat sangat mahal. Lucas berjalan masuk tanpa banyak bicara, melepas jasnya, dan menggantungnya di dekat pintu. Dia melirik Sera yang masih berdiri
Lucas melirik Sera sekilas, matanya tajam. “Pilih yang kamu butuhkan atau yang kamu suka.” Sera mengerjap, merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Apa maksud Tuan?” Lucas mendesah pelan, nada suaranya mulai terdengar tidak sabar. “Kamu butuh baju, kan? Jadi, cepat pilih yang kamu mau.” Sera terpaku, belum sepenuhnya memahami maksud Lucas. “Tapi, Tuan. Baju saya—” “Kamu pikir kamu bisa tinggal di rumahku tanpa pakaian? Apa yang akan kamu pakai selain baju yang kamu gunakan ini?” potong Lucas dengan nada dingin. “Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Pilih sekarang.” Melihat tatapan Lucas yang tajam, Sera akhirnya mengangguk perlahan dan mulai melihat-lihat barang di sekitarnya. Dia memilih beberapa pakaian sederhana. Sebuah kaus, celana panjang, dan cardigan tipis. Namun, Lucas tamp