Pangeran Frederick Abraham Edmund — pemilik mata biru itu memandang Katherine dengan tatapan datar.
Tetesan air dari rambutnya membuat kelopak mata Katherine enggan untuk berkedip. Bias cahaya mentari yang jatuh ke bawah rambut Pangeran semakin membuat silau pandangan Katherine.Hening melanda.Hanya terdengar deburan ombak di tepi laut, menyapa kembali telinga Katherine.'Pasti aku sedang di surga?'Katherine masih berpikir dirinya berada di surga.Mendadak kilasan balik masa lalu Katherine berputar-putar seperti sebuah kaset. Ia ingat pria malang di depannya ini memiliki kisah cinta yang amat tragis, Victoria, sang tunangan terjun ke lautan tepat di hari pernikahannya berlangsung.Dari kabar burung yang berhembus, sang ratu tidak menyukai Victoria karena status kedudukannya lebih rendah. Hanya itu saja yang Katherine tahu."Nona Brown, berdirilah. Papamu mengkhawatirkanmu."Frederick membuka suara kala Katherine hanya diam saja memandanginya dengan mata tak berkedip-kedip sejak tadi.Katherine melirik ke samping, di mana William Brown, papa Katherine, berdiri dengan raut wajah diterpa kecemasan.Manik Katherine mengerjap-erjap. Matanya membola, melihat sosok yang sangat dirindukannya."Papa!" Katherine bangkit berdiri dengan cepat kemudian mendekati William dan memeluknya dengan sangat erat.Katherine rindu, begitu rindu pada papanya tersebut. Meski hanyalah mimpi, ia tidak akan melewatkan mimpi yang terlalu indah menurutnya ini.William mengerutkan dahi melihat reaksi putrinya. Kendati demikian, dia balas juga pelukan Katherine."Ada apa dengan putriku ini?" tanyanya sambil melonggarkan sedikit pelukan.Katherine mendongak, menatap dalam manik William. "Pa, aku merindukanmu."Lelaki bertubuh gempal itu mengulum senyum sambil memegang kedua pundak Katherine."Putriku ini sepertinya sedang berbicara melantur, bukan kah dua jam yang lalu kita sudah bertemu, lihatlah gara-gara aku tinggalkan sebentar dia terjatuh ke laut," ungkap William sembari melirik Frederick.Sejak tadi Frederick hanya diam saja. Dari kejauhan ia memperhatikan dengan seksama interaksi antara William dan Katherine.Katherine tak menyahut, malah menenggelamkan wajahnya ke dada bidang William, menghirup aroma tubuh papanya dalam-dalam. Ada perasaan senang dan sedih bercampur menjadi satu di relung hatinya saat ini.Seminggu sebelumnya, setelah kematian William, dalam sekejap dunia Katherine jungkir balik menjadi gelap dan suram.Apalagi semalam dia melihat buah hatinya dibunuh oleh suaminya sendiri. Tak cukup sampai di situ, di ambang kematian dia melihat orang-orang yang disayanginya melakukan hal tak senonoh tepat di depan matanya.Tanpa permisi cairan bening pun mengalir perlahan dari sudut mata Katherine, ketika mengingat kembali kejadian tadi malam."Katherine, apa kau sudah mengucapkan terima kasih pada Pangeran?" tanya William tiba-tiba.Katherine balas dengan menggeleng cepat. Ada kerutan samar yang terlihat di keningnya juga. Dia heran mengapa ucapan William sangat persis dengan kejadian tempo lalu.Wiliam mengulum senyum. Kemudian mendorong pelan pundak Katherine. "Ayo kita menghadap Pangeran dan mengucapkan terima kasih padanya."Katherine mengangguk samar. Setelah itu William tuntun ia mendekati Frederick.Wiliam membungkuk dengan hormat sejenak sembari berkata,"Aku minta maaf, karena telah merepotkan Anda, Pangeran."Sebelum membalas, Frederick lirik sekilas Katherine."Tidak apa-apa, kebetulan aku juga sedang bersantai di sini."Katherine tak menyadari jika tengah diperhatikan. Wanita itu tengah tercenung, memikirkan nasibnya sekarang."Iya Pangeran, meskipun begitu putriku ini telah membuat pakaian Anda basah," tutur William dengan mengulum senyum."Tidak masalah, Marquis William, lagipula cuaca pagi ini cukup panas." Sekali lagi Frederick melirik Katherine.Gelagat Frederick lantas dibaca oleh William. Pria berkepala putih itu pun menoleh ke samping."Katherine, berilah hormat dan ucapkan terima kasih pada Pangeran," ucap William kemudian.Tak ada tanggapan, Katherine masih melamun. Sejak tadi memandang pasir di bawah sana. Hal itu membuat William melempar senyum hambar pada Frederick. Dengan cepat lelaki bermata abu-abu tersebut menyenggol lengan Katherine."Katherine ucapkan terima kasih pada Pangeran." William mengulangi perkataannya kembali.Katherine menggeleng dan segera tersadar. Dia tampak gelagapan, secepat kilat menatap ke depan lalu membungkuk sedikit."Maaf Pangeran, um maksudku terima kasih karena telah menyelamatkan aku tadi," katanya sambil menyengir kuda hingga memperlihatkan gigi-gigi putihnya sedikit.Frederick tak langsung membalas, malah melangkah perlahan, mendekati Katherine.Katherine amat terkejut, iris mata kelabunya melebar sedikit saat Frederick mendekatkan bibir ke telinganya sekarang.Frederick menyeringai tipis."Sama-sama, tapi lain kali jangan melakukan hal bodoh untuk menarik perhatianku, kau lihat di belakang sana, tepatnya di balik pohon, ada seorang wanita menahan cemburu melihat aku menolongmu tadi."Katherine terperangah. Bukan karena ucapan Frederick, melainkan karena kalimat yang dilontarkan begitu persis dengan kejadian kala itu. Sebulan sebelum menikah dengan Karl, di saat sedang berdiri di tepi kapal. Ia terjatuh ke lautan karena tak mampu menahan rasa panas yang membuat kepalanya pusing.Katherine hendak membalas. Namun, Frederick tiba-tiba memutar badan kemudian melambaikan tangan sambil berkata-kata."Aku pulang dulu Marquis William!" seru Frederick tanpa menatap lawan bicara."Ya Pangeran berhati-hatilah," balas William sambil memandangi punggung Frederick."Apa-apan dia percaya diri sekali!" celetuk Katherine tiba-tiba dengan muka menahan sebal, "lagipula orang gila mana yang mau terjun ke lautan. Dia pikir aku sama dengan wanita yang selalu mengejar dia."Membuat William reflek menoleh ke samping dengan kening berkerut kuat."Nak, kau kenapa?" Untuk pertama kalinya, William mendengar Katherine mengumpat kesal.Netra Katherine membola, terkejut akan perkataannya barusan. Yang seharusnya dia ucapkan di dalam hati. Sebab tempo lalu kalimat yang diutarakan dia barusan adalah suara hatinya.'Astaga, ada apa denganku?' batin Katherine, matanya bergerak liar ke segala arah, heran sekaligus merasa aneh dengan sikapnya barusan.Katherine mendadak ling-lung."Katherine, sepertinya kepalamu terbentur sesuatu, ayo kita naik ke kapal, pasti mama dan adikmu mencarimu sekarang." Tanpa mendengarkan perkataan Katherine, William menarik tangannya dan menuntunnya menuju kapal pesiar yang saat ini terlihat di tengah lautan.Selang beberapa menit, Katherine dan William sudah tiba di atas kapal. Langsung disambut suara teriakan Grace."Astaga, pakaian Anda basah, maafkan saya Nona!" pekik Grace, panik.Maid yang ditugaskan menemani Katherine selama ini. Wanita berambut pendek itu pun mendekat, memindai tubuh Katherine dari atas hingga bawah, tengah memastikan sang majikan dalam keadaan baik-baik saja.Katherine diam, tenggelam dalam dunianya sendiri. Semakin merasa aneh dia sebab semuanya tampak sama. Hanya perkataannya tadi kepada Frederick yang berbeda. Sementara William mengulum senyum, melihat kepanikan Grace."Dia baik-baik saja, panggilkan dokter untuk memeriksanya nanti," ujar William.Grace menundukkan kepala sejenak dan sesekali melirik Katherine."Maafkan saya Tuan William, karena telah lalai menjalankan tugas.""Tidak apa-apa, lain kali ikuti Katherine kemana pun dia pergi, aku tidak mau dia kenapa-kenapa.""Baik Tuan.""Oh my God! Katherine!" jerit seseorang di ujung sana.Perhatian Katherine, William dan Grace tiba-tiba teralihkan. Mereka serempak menoleh ke sumber suara.Dada Katherine mendadak bergemuruh. Melihat Zara tengah berjalan cepat, mendekatinya sekarang.Bayangan Zara membunuh anaknya langsung berputar-putar di benaknya seketika. Tanpa sadar dengan raut wajah merah padam, dia pun melangkah maju ke depan."Nak, mengapa bajumu basah?" tanya Zara, panik.Plak!"Katherine! Nona!"Benda berbahan kaca itu langsung pecah, mengenai punggung Victor. Victor tak peduli malah makin mempercepat langkah kaki sambil tersenyum puas. Meninggalkan Larisa menjerit-jerit histeris. ...Keesokan harinya, pagi-pagi sekali istana gempar dengan kabar gembira dari Grace. Grace ternyata tengah mengandung. Bukan hanya Grace, Katherine pun juga, mengandung anak kedua. Keduanya sama-sama muntah tadi pagi. Sukacita menyelimuti hati Xavier, Frederick dan Victor. Saat ini mereka tengah sarapan bersama di ruang makan, ada Logan dan Robert juga terlihat duduk bersama. Sementara Larisa memilih sarapan di kamar karena hatinya dalam keadaan buruk sekarang. "Aku tidak sabar dengan kedatangan anakku, Grace. Semoga saja anakku perempuan dan anakmu laki-laki, jadi kalau sudah besar kita bisa menjodohkan mereka," celetuk Katherine setelah selesai menyantap roti. "Iya, amin, semoga saja anakku laki-laki, pasti lucu jika mereka sudah besar nanti," balas Grace tak kalah senang. "Aku setuju, maka
"Apa kau lupa aku menikahimu karena terpaksa, sampai kapan pun nama Clara tidak akan hilang, kaulah yang membuat aku dan Clara tidak bisa bersama, aku muak dengan sikapmu Larisa!" seru Victor dengan mata berkobar-kobar. Larisa mendekat. "Oh ya? Tapi wanita itu sudah mati sekarang dan kau tidak bisa memilikinya! Akulah yang memilikimu sekarang Victor!" Victor menyeringai tipis. "Kau hanya memiliki ragaku tapi tidak dengan jiwaku!"serunya dengan lantang. Membuat Larisa mengepalkan kedua tangan. Meski Clara sudah meninggal tapi di hati Victor nama Clara masih terus terukir dan tak pernah memudar sekali pun. Dulu, sebelum menikah dengan Larisa. Victor dan Clara sudah terlebih dahulu menjalin hubungan. Kala itu status Victor masih menjadi pangeran, belum menjadi raja. Sementara Clara baru bekerja di istana dan menjadi pelayan pribadi Victor. Karena sering bertatap muka Victor mulai jatuh cinta dengan Clara. Keduanya pun menjalin hubungan tanpa sepengetahuan anggota kerajaan. Akan
"Diam kau! Kau juga sama seperti mamaku! Bedanya mamaku pelayan istana! Sementara kau jadi anak angkat bangsawan baik hati! Asal-usulmu juga tidak jelas. Jadi jangan menghina mamaku, wanita jalang!" seru Xavier dengan muka Xavier semakin memerah. Dia sudah tidak memikirkan lagi adab dan sopan santunnya di istana. Larisa masih saja menghina mendiang mamanya. Padahal mamanya sudah tidak ada lagi di dunia, Larisa berhati ular dan tidak pantas disebut manusia!"Xavier, cukup! Kau tidak boleh menghina Mamamu!" teriak Victor menggelegar tiba-tiba. Membuat kumpulan manusia di ruangan tertegun. Mereka tak berani membuka suara di antara ayah dan anak itu, memilih diam dan mendengarkan dengan seksama pertikaian yang terjadi di depan mata.Pemegang tinggi di istana, saat ini wajahnya sangat tak bersahabat. Kemarahannya membuat sebagian orang ketakutan, termasuk Grace yang saat ini meneguk ludah berkali-kali. Berbeda dengan Xavier tak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari bola matanya.
Mendengar suara teriakan Xavier, seluruh anggota kerajaan Norwegia datang menuju sumber suara, tepatnya di ruang tamu. Sesampainya di ruangan, Larisa dan Sisilia membelalakan mata dengan kedatangan anggota kerajaan Denmark berada di sini. "Apa-apaan ini Xavier?" Victor, raja yang masih menjabat menjadi pemegang kekuasaan di Norwegia langsung bertanya. Kerutan di keningnya mendadak muncul dengan kedatangan tamu yang tak diundang pada malam-malam begini. Xavier tak langsung menjawab, ada secuil kerinduan menjalar di hatinya. Dia sudah lama tidak bertatap muka dengan ayahnya. Terlebih, umur ayahnya sudah tak lagi muda sekarang, ada banyak keriput di wajah dan rambut hitamnya pun sebagian sudah memutih. Akan tetapi, Xavier menghapus cepat kerinduannya tersebut kala mengingat perlakuan Victor selama ini. "Atas nama kerajaan Denmark, aku minta maaf karena datang malam-malam begini ke istana bersama istriku dan Pangeran Xavier." Saat melihat Xavier terdiam, Frederick langsung angkat bica
"Ayolah Pangeran, keluarlah kami tidak akan mengigit!" Lagi pria itu berseru sambil mengeluarkan tawa keras hingga teman-temannya pun ikut tertawa. Xavier menahan geram. Dadanya bergemuruh kuat seakan-akan meledak juga saat ini. Sampai-sampai Grace menggerakkan sedikit kepalanya ke samping dan membuat salah satu rumput bergerak. Alhasil salah seorang pria yang tak sengaja melihat adanya pergerakkan dari salah satu rumput yang memanjang, mengalihkan pandangan. Dalam sepersekian detik dia pun langsung meloncat tepat di hadapan Grace dan Xavier. "Bah! Dapat kalian!" pekiknya sambil menodongkan pistol ke kepala Grace. Grace langsung memekik histeris,"Tolong!!!" Xavier tak diam, ikut juga menodongkan pistol ke arah kepala si pelaku. Kelima pria lainnya serempak mengarahkan mata ke arah pasangan suami istri itu sambil mengangkat pistol masing-masing. Suasana mendadak tegang. Baik Xavier maupun keenam pria lainnya tak ada yang mau mengalah. "Jangan bunuh kami!" pekik Grace,
Grace terbelalak ketika melihat enam orang pria keluar dari mobil sambil menodongkan pistol ke arah mereka sekarang. Pria-pria asing itu tampangnya sangat menyeramkan, seperti preman pasar, ada tato-tato di tangan dan muka, bahkan terlihat tindik pula di hidung. "Keluar kalian!" teriak salah seorang pria dari luar lalu melempar senyum smirk. Grace makin panik. Dengan cepat menoleh ke samping kembali. "Xavier, bagaimana ini?" Dia sedikit heran mengapa Xavier sama sekali tak panik. Suaminya itu hanya menampilkan ekspresi datar namun tanpa sepengetahuan Grace, mata elang Xavier memandang ke arah kumpulan pria tersebut dengan sorot mata tajam. Tanpa menoleh ke samping, Xavier pun berkata,"Jangan lepas sabuk pengamanmu."Grace hendak bertanya namun belum juga lidahnya bergerak, Xavier melajukan mobil dalam kecepatan di atas rata-rata. Alhasil enam orang pria tersebut melesatkan timah ke arah mereka. Akan tetapi, Xavier berhasil mengelak dan menabrak pula kedua mobil yang menjadi pengha