Home / Romansa / Istri Kontrak Sang Hafidz / Jarak yang Pelan-Pelan Mendekat

Share

Jarak yang Pelan-Pelan Mendekat

Author: Zie - SONURA
last update Last Updated: 2025-11-15 21:06:18

Sejak Rayyan kembali dari ceramah luar kota, suasana rumah terasa sedikit berbeda. Tidak ada perubahan besar, tapi ada yang perlahan menghangat. Ia mulai sedikit lebih terbuka, meski tetap menjaga jarak. Aku pun berusaha menjaga diriku agar tidak larut dalam harapan yang belum pasti.

Namun, sore itu menghadirkan suasana yang belum pernah ada sebelumnya.

Aku sedang menyiapkan gorengan dan sayur bening di dapur saat Rayyan masuk dan duduk di kursi makan. Biasanya, ia makan sendiri di ruang tamu. Kali ini, ia diam memperhatikan sambil menunggu makanan selesai.

“Kamu yang masak semua ini?” tanyanya lembut.

Aku menoleh dan tersenyum. “Iya, Kak. Cuma makanan sederhana.”

“Kelihatannya enak. Harumnya bikin lapar.”

Aku mengangguk dan mulai menyajikan makanan ke meja. Kami makan bersama, untuk pertama kalinya. Tak banyak bicara, hanya suara sendok dan piring yang saling bersentuhan. Tapi suasana itu... menenangkan.

Setelah beberapa saat, Rayyan bertanya, “Kamu dulu sering masak?”

“Dulu iya, bantu ibu. Tapi pas kuliah, hampir gak pernah masak lagi.”

Ia tersenyum. “Masakan rumah itu bukan soal rasa. Tapi soal niat. Kalau niatnya tulus, insya Allah berkah.”

Aku menunduk. Kata-katanya sederhana, tapi menenangkan. Entah kenapa, hatiku terasa lebih ringan.

---

Malam itu, aku duduk sendirian di teras, membawa secangkir teh dan sebuah buku tafsir. Udara malam dingin tapi menenangkan. Beberapa menit kemudian, Rayyan datang. Ia mengenakan sweater dan sarung, tampak lebih santai dari biasanya.

“Boleh duduk di sini?” tanyanya sopan.

Aku mengangguk. “Tentu saja.”

Kami duduk berdampingan. Jarak masih terjaga, tapi diam di antara kami tak lagi terasa kaku.

“Kamu masih sering nulis di jurnalmu?” tanyanya tiba-tiba.

Aku melirik cepat. “Kok tahu?”

“Lihat waktu kamu lupa taruh di meja. Aku gak buka, tenang aja.”

Aku tertawa kecil. “Iya, masih. Itu semacam tempat curhat... kalau hati lagi penuh.”

Rayyan mengangguk. “Menulis bisa jadi bentuk doa juga. Kadang Allah jawab tulisan kita, bahkan sebelum kita sadar kita sedang berdoa.”

Aku terdiam. Kalimat itu menampar lembut hatiku.

“Kamu sendiri, Kak? Pernah merasa kesepian?”

Ia menatap ke depan. “Sering. Tapi sepi itu kadang perlu, buat menata ulang hati. Aku lebih takut keramaian yang hampa.”

Aku menarik napas dalam. “Aku juga sedang belajar menerima sepi, Kak. Tapi sekarang... nggak terlalu sunyi lagi.”

Dia tersenyum, tanpa berkata-kata. Dan itu cukup.

---

Hari-hari setelah itu, kami mulai sering sarapan bersama. Kadang ia meninggalkan secarik kertas berisi kutipan ayat atau motivasi. Aku membalasnya dengan gambar senyum atau kata-kata ringan.

Tapi kami tetap menjaga batas. Karena aku tahu, hati mudah goyah kalau terlalu terbiasa.

Sore itu, Rayyan mengajakku jalan ke taman kecil di dekat rumah.

“Kita cari angin, yuk,” ajaknya singkat.

Kami berjalan pelan menyusuri jalan setapak, lalu duduk di bangku taman. Anak-anak kecil berlarian, suara tawa mereka memenuhi udara.

“Kamu betah tinggal di sini?” tanya Rayyan tanpa menoleh.

Aku mengangguk. “Tenang. Jauh dari keramaian yang bikin capek.”

Dia menarik napas, lalu berkata pelan, “Kadang aku mikir... keputusan kita ini, nikah kontrak ini... benar nggak, ya?”

Aku terdiam.

“Apa aku malah menyeretmu dalam hubungan yang membingungkan?” lanjutnya.

Aku menatapnya cepat. “Jangan bilang begitu. Justru Kak Rayyan bantu selamatkan keluargaku.”

“Tapi kamu harus tahu, kalau kamu ingin mundur... atau berubah pikiran, kamu boleh bicara kapan saja.”

Aku menggigit bibir. “Kenapa Kakak bilang begitu?”

“Karena aku tahu perasaan bisa tumbuh tanpa izin. Dan kalau itu terjadi, aku takut... kita jadi saling menyakiti.”

Aku menunduk. Hatiku bergemuruh. Bukankah itu yang sedang terjadi padaku?

Tapi aku menahan diri. Karena cinta tak seharusnya dipaksakan. Terlebih, jika awalnya memang tidak dibangun atas rasa itu.

---

Malamnya, aku kembali membuka jurnal kecilku:

_"Aku mulai takut dengan apa yang kurasakan. Tapi aku juga takut kehilangan ketenangan ini. Kalau ini hanya perasaan sepihak, aku harap Allah cukupkan. Tapi jika memang ini jalan dari-Nya... semoga Dia tuntun hati kami."_

Aku tutup jurnalku, lalu mengambil air wudu. Salat malam ini terasa berbeda. Aku berdoa lebih lama. Bukan untuk meminta Rayyan mencintaiku, tapi agar aku bisa menjaga hati.

---

Esok harinya, kami kembali ke rutinitas masing-masing. Tapi semuanya terasa lebih ringan. Bahkan ketika kami tak bicara banyak, ada kenyamanan dalam diam itu.

Hubungan kami mungkin belum bernama. Tapi kedekatan ini, aku tahu, tidak sia-sia.

Dan mungkin, Allah sedang menyiapkan akhir yang berbeda dari rencana kami.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Masa Depan Yang Terukir

    Senja mulai merona di ufuk barat, menebar keemasan yang hangat menyelimuti kota kecil itu. Damar berdiri di depan jendela, memandangi langit yang mulai gelap. Hari-hari penuh tantangan telah dilalui, namun kini ada rasa tenang yang perlahan mengisi hatinya. Alya, istrinya, duduk di sofa dengan senyum manis menghias wajahnya. “Damar, kau lihat? Semua yang kita lewati, akhirnya membawa kita ke sini.” Damar mengangguk, lalu meraih tangan Alya. “Iya, aku bersyukur kau selalu ada di sampingku. Masa depan ini bukan hanya milikku, tapi milik kita bersama.” Alya tersenyum lebih lebar, matanya berkilat haru. “Aku percaya, apa pun yang terjadi nanti, selama kita bersama, semuanya akan baik-baik saja.” Di sudut ruangan, Damar membuka album foto. Terlihat foto-foto mereka dari awal pernikahan sampai sekarang. Ada tawa, ada air mata, tapi semuanya adalah kisah yang membentuk masa depan mereka.

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Awal Dari Segalanya

    Pagi itu, cahaya mentari perlahan menyusup melalui jendela kamar, mengusir sisa gelap malam yang enggan pergi. Damar membuka matanya, menyadari bahwa semua yang telah terjadi bukan sekadar mimpi—melainkan perjalanan hidup yang nyata dan penuh makna. Segala luka, perjuangan, dan harapan yang terjalin erat di antara dirinya dan Alya kini menjadi fondasi kuat yang tak tergoyahkan. Ia tahu, masa depan bukan sekadar harapan kosong, tapi lukisan indah yang harus mereka ukir bersama dengan kesabaran dan cinta. Alya, di sisi lain, menatap Damar dengan penuh keyakinan. Perempuan yang dulu pernah ragu kini telah berubah menjadi sosok yang tegar dan penuh harapan. Mereka berdua berdiri di ambang babak baru, siap menghadapi segala tantangan yang datang dengan kepala tegak dan hati yang terbuka. “Dari segalanya yang telah kita lalui,” ucap Damar pelan, “aku yakin kita bisa melangkah ke depan tanpa rasa takut.” Alya menggenggam tanga

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Harapan di Ujung Senja

    Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, seolah memberi harapan baru di ujung hari. Alya duduk di teras rumah, memandang jauh ke arah cakrawala yang mulai gelap. Hatinya campur aduk, antara harap dan ragu. Damar datang menghampiri, wajahnya penuh kelelahan tapi mata itu tetap lembut melihat Alya. "Alya, aku tahu semua ini berat buat kita. Tapi aku janji, aku akan berusaha jadi suami yang lebih baik." Alya menatapnya, ada getir yang mencoba disembunyikan, "Damar, aku nggak mau terus-terusan jadi istri kontrak yang cuma numpang lewat di hidupmu. Aku ingin ada masa depan." Damar menghela napas panjang, "Aku paham. Kita harus bicarakan semuanya dengan jujur, tanpa ada rahasia." Mata Alya mulai berkaca-kaca. "Aku ingin percaya, Damar. Tapi hati ini juga pernah terluka." Damar meraih tangan Alya, menggenggamnya erat, "Percayalah, aku ingin kita bisa mulai ulang. Aku mau kamu jadi istriku yang sah, bukan cuma kont

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Gelombang Perubahan (Part 2)

    Seiring pagi menyapa, Arif menatap langit dari jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, antara harap dan ragu. Semua yang terjadi belakangan ini seolah memaksanya untuk berubah, untuk mengambil langkah yang selama ini ia tunda. Pintu kamar diketuk pelan. Zila masuk dengan senyum tipis, membawa secangkir teh hangat. “Arif, kamu sudah sarapan? Aku buat teh hangat, biar kamu kuat menjalani hari,” ucap Zila lembut. Arif mengangguk, menerima teh itu. “Terima kasih, Zila. Aku cuma bingung… tentang semua ini.” Zila duduk di sampingnya, menggenggam tangan Arif. “Kita tidak sendiri, Arif. Kita hadapi bersama. Perubahan memang sulit, tapi aku yakin kamu bisa.” Senyum tipis kembali muncul di wajah Arif. “Kalau kamu selalu di sini, aku yakin bisa.” Tiba-tiba ponsel Arif bergetar. Pesan dari Alya masuk: *“Ada kabar penting. Kita perlu bertemu malam ini.”* Arif dan Zila saling pandang. Ada sesuat

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Janji Yang Tak Diucap

    Pagi itu, suasana toko tenang. Alya duduk di kasir sambil menata beberapa struk. Damar datang membawa dua gelas kopi. Damar: "Tumben nggak sibuk?" Alya: "Lagi sepi… dan aku jadi kepikiran sesuatu." Damar duduk di sampingnya, menatap lekat. Damar: "Apa?" Alya ragu sejenak. "Tentang kamu." Damar tertawa kecil. "Tentang aku? Serius amat." Alya menunduk. "Kamu selalu ada dari awal. Tapi… aku belum pernah benar-benar bilang makasih." Damar menatap Alya. Tak ada kata, hanya tatapan yang tenang dan hangat. Alya melanjutkan, pelan. "Aku nggak tahu apa arti semua ini buatmu. Tapi untukku… kehadiranmu itu lebih dari cukup." Damar tersenyum. "Aku nggak nunggu kamu bilang makasih, Alya. Aku ada di sini bukan karena kamu minta… tapi karena aku mau." Alya terdiam. Ada banyak kata dalam hatinya, tapi ia memilih menyimpannya.

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Awal Baru

    Pagi itu, suasana di rumah Alya berbeda. Cahaya matahari masuk hangat lewat jendela, menandai permulaan baru. Damar masuk membawa dua gelas teh. Damar: "Selamat pagi, calon pengusaha besar." Alya tertawa kecil. "Aamiin. Tapi pelan-pelan dulu, ya. Satu langkah satu waktu." Mereka duduk bersama, membuka laptop yang berisi rencana ekspansi: toko offline pertama di kota sebelah. Zila masuk sambil membawa map tebal. Zila: "Ini proposal kerja sama dari investor lokal. Katanya tertarik karena branding kita makin kuat." Alya membaca pelan-pelan, lalu menatap keduanya. Alya: "Aku gak nyangka… semua ini mulai dari nol. Sekarang kita mulai babak baru." Damar: "Dan kita mulai bukan karena keberuntungan, tapi karena keberanian kamu buat bangkit." Alya tersenyum. "Mari kita buka lembar baru. Semoga jalan ini berkah." ---

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status