Home / Romansa / Istri Kontrak Sang Hafidz / Sepi yang Mengajarkan Arti

Share

Sepi yang Mengajarkan Arti

Author: Zie - SONURA
last update Last Updated: 2025-11-15 20:39:24

Kepergian Rayyan untuk ceramah ke luar kota ternyata meninggalkan ruang kosong yang tak biasa dalam rumah ini. Biasanya, suara lantunan Qur’an-nya menjadi pembuka hari, kini digantikan oleh kesunyian yang menelusup ke dinding-dinding rumah. Tak ada aroma teh yang biasa ia buat sendiri sebelum subuh, tak ada ketukan ringan di pintu kamarku hanya untuk mengingatkan salat dhuha.

Aku tahu, ini hanya sementara. Tapi entah mengapa, sepi ini terasa lebih dari sekadar tidak adanya sosok.

Hari-hariku menjadi lebih tenang tapi juga lebih lambat. Aku menyibukkan diri dengan membersihkan rumah, menata ulang rak buku Rayyan, dan membaca buku tafsir ringan yang sudah mulai bisa kumengerti maknanya. Kadang-kadang aku mencatat ayat-ayat yang menyentuh hati.

_"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."_

Kalimat itu terpatri dalam pikiranku. Ayat yang sering aku dengar, tapi baru kali ini aku benar-benar meresapinya.

---

"Hmm… kamu baik-baik saja di rumah?" tanyanya, nada suaranya sedikit melunak.

Aku tersenyum kecil. "Insya Allah. Rumahnya tetap rapi, tenang saja."

Ia tertawa pelan. "Baik. Kalau ada apa-apa malam ini, hubungi saja nomor santri yang aku kasih kemarin, ya?"

"Iya, Kak. Terima kasih."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Percakapan singkat itu menghangatkan malamku. Mungkin memang hanya sebatas perhatian formal, tapi di tengah sunyi seperti ini, suaranya terasa lebih berarti dari yang seharusnya.

---

Setelah salat isya, aku mengambil jurnal kecil yang sudah mulai terisi sejak awal pernikahan ini. Aku menulis perlahan:

_"Hari ini aku membersihkan kamar Rayyan. Aku membaca sepotong catatannya, dan entah mengapa, hatiku terasa hangat. Dia seperti menyimpan sesuatu. Tapi aku tidak boleh menerka. Pernikahan ini bukan tentang cinta, bukan tentang harapan. Tapi… aku tidak bisa bohong. Aku merindukan suara Qur’annya, dan… kehadirannya."_

Aku menutup buku itu pelan, lalu memeluknya erat. Hening malam kini terasa berbeda. Sepi ini tak lagi hanya tentang kesendirian, tapi juga tentang perasaan yang diam-diam tumbuh… dan itu yang membuatnya jadi rumit.

---

Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dari biasanya. Entah kenapa aku merasa gugup. Aku mengenakan gamis sederhana berwarna hijau tua dan kerudung senada. Tak ada make up, hanya bedak dan pelembap. Tapi aku memperhatikan penampilanku lebih dari biasanya.

Pukul sembilan, suara motor berhenti di depan rumah. Aku mengintip dari jendela—Rayyan. Ia turun dari motor dengan tas selempang dan satu kantong plastik berisi oleh-oleh.

Aku buru-buru membukakan pintu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Kak, capek?"

Ia tersenyum tipis. "Lumayan. Tapi senang juga bisa pulang."

Aku membantunya membawa tas ke dalam. Ia duduk di ruang tamu, dan aku langsung menyuguhkan teh hangat.

"Aku bawa oleh-oleh kue dari sana. Buat kamu juga," katanya sambil menyerahkan plastik kecil.

Aku menerima dengan hati berdebar. Perhatian kecil seperti itu tak pernah kudapat dari laki-laki mana pun sebelumnya.

"Terima kasih. Kak Rayyan… rumahnya rapi, insya Allah nggak ada yang rusak."

Rayyan mengangguk. "Alhamdulillah. Terima kasih sudah menjaga rumah."

Suasana hening sejenak. Aku ingin bertanya soal catatan di kamarnya… tapi kurasa belum saatnya.

---

Sore itu, aku memutuskan untuk membersihkan kamar Rayyan. Bukan niat mengganggu privasinya, tapi aku hanya ingin semuanya rapi saat dia pulang besok. Aku menyapu lantai, membersihkan meja, lalu menata ulang buku-buku di rak sesuai abjad.

Saat menarik satu buku tafsir besar, sebuah kertas terjatuh dari sela-selanya. Bukan dokumen penting, hanya secarik kertas lusuh dengan tulisan tangan Rayyan. Tapi kalimat terakhirnya membuat langkahku terhenti.

_"Allah tahu isi hati, bahkan ketika kita sendiri belum memahaminya."_

Aku menatap kalimat itu lama, dada terasa sesak. Apakah itu curahan hati Rayyan? Atau hanya catatan untuk ceramahnya? Entahlah. Tapi kalimat itu… seolah sedang berbicara langsung padaku.

Aku mengembalikan kertas itu ke tempatnya dan segera meninggalkan kamar. Aku tidak ingin melanggar batas. Tidak sekarang, tidak dalam pernikahan seperti ini.

---

Malamnya, aku duduk sendirian di ruang tamu. Suara azan maghrib dari masjid terdengar lembut di kejauhan. Aku menatap jam dinding, lalu ponselku. Tak ada pesan.

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Nomor tak dikenal.

"Halo?" tanyaku hati-hati.

"Alya? Ini Rayyan."

Jantungku sedikit berdegup cepat. "Ya, Kak. Gimana ceramahnya?"

"Alhamdulillah lancar. Insya Allah besok pagi aku pulang."

"Syukurlah. Hati-hati ya di jalan."

Hari itu berjalan biasa. Tapi bagiku, ada yang berubah. Aku mulai menyadari bahwa perasaan bisa tumbuh dari hal-hal paling sederhana: sebuah senyum ringan, percakapan singkat, atau bahkan dari keheningan yang sama-sama kami nikmati.

Tapi aku tahu, aku harus tetap menjaga hati. Karena perjanjian kami jelas: ini hanya pernikahan kontrak.

Namun, semakin hari… rasanya semakin sulit untuk berpura-pura tidak merasa apa-apa.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Masa Depan Yang Terukir

    Senja mulai merona di ufuk barat, menebar keemasan yang hangat menyelimuti kota kecil itu. Damar berdiri di depan jendela, memandangi langit yang mulai gelap. Hari-hari penuh tantangan telah dilalui, namun kini ada rasa tenang yang perlahan mengisi hatinya. Alya, istrinya, duduk di sofa dengan senyum manis menghias wajahnya. “Damar, kau lihat? Semua yang kita lewati, akhirnya membawa kita ke sini.” Damar mengangguk, lalu meraih tangan Alya. “Iya, aku bersyukur kau selalu ada di sampingku. Masa depan ini bukan hanya milikku, tapi milik kita bersama.” Alya tersenyum lebih lebar, matanya berkilat haru. “Aku percaya, apa pun yang terjadi nanti, selama kita bersama, semuanya akan baik-baik saja.” Di sudut ruangan, Damar membuka album foto. Terlihat foto-foto mereka dari awal pernikahan sampai sekarang. Ada tawa, ada air mata, tapi semuanya adalah kisah yang membentuk masa depan mereka.

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Awal Dari Segalanya

    Pagi itu, cahaya mentari perlahan menyusup melalui jendela kamar, mengusir sisa gelap malam yang enggan pergi. Damar membuka matanya, menyadari bahwa semua yang telah terjadi bukan sekadar mimpi—melainkan perjalanan hidup yang nyata dan penuh makna. Segala luka, perjuangan, dan harapan yang terjalin erat di antara dirinya dan Alya kini menjadi fondasi kuat yang tak tergoyahkan. Ia tahu, masa depan bukan sekadar harapan kosong, tapi lukisan indah yang harus mereka ukir bersama dengan kesabaran dan cinta. Alya, di sisi lain, menatap Damar dengan penuh keyakinan. Perempuan yang dulu pernah ragu kini telah berubah menjadi sosok yang tegar dan penuh harapan. Mereka berdua berdiri di ambang babak baru, siap menghadapi segala tantangan yang datang dengan kepala tegak dan hati yang terbuka. “Dari segalanya yang telah kita lalui,” ucap Damar pelan, “aku yakin kita bisa melangkah ke depan tanpa rasa takut.” Alya menggenggam tanga

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Harapan di Ujung Senja

    Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, seolah memberi harapan baru di ujung hari. Alya duduk di teras rumah, memandang jauh ke arah cakrawala yang mulai gelap. Hatinya campur aduk, antara harap dan ragu. Damar datang menghampiri, wajahnya penuh kelelahan tapi mata itu tetap lembut melihat Alya. "Alya, aku tahu semua ini berat buat kita. Tapi aku janji, aku akan berusaha jadi suami yang lebih baik." Alya menatapnya, ada getir yang mencoba disembunyikan, "Damar, aku nggak mau terus-terusan jadi istri kontrak yang cuma numpang lewat di hidupmu. Aku ingin ada masa depan." Damar menghela napas panjang, "Aku paham. Kita harus bicarakan semuanya dengan jujur, tanpa ada rahasia." Mata Alya mulai berkaca-kaca. "Aku ingin percaya, Damar. Tapi hati ini juga pernah terluka." Damar meraih tangan Alya, menggenggamnya erat, "Percayalah, aku ingin kita bisa mulai ulang. Aku mau kamu jadi istriku yang sah, bukan cuma kont

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Gelombang Perubahan (Part 2)

    Seiring pagi menyapa, Arif menatap langit dari jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, antara harap dan ragu. Semua yang terjadi belakangan ini seolah memaksanya untuk berubah, untuk mengambil langkah yang selama ini ia tunda. Pintu kamar diketuk pelan. Zila masuk dengan senyum tipis, membawa secangkir teh hangat. “Arif, kamu sudah sarapan? Aku buat teh hangat, biar kamu kuat menjalani hari,” ucap Zila lembut. Arif mengangguk, menerima teh itu. “Terima kasih, Zila. Aku cuma bingung… tentang semua ini.” Zila duduk di sampingnya, menggenggam tangan Arif. “Kita tidak sendiri, Arif. Kita hadapi bersama. Perubahan memang sulit, tapi aku yakin kamu bisa.” Senyum tipis kembali muncul di wajah Arif. “Kalau kamu selalu di sini, aku yakin bisa.” Tiba-tiba ponsel Arif bergetar. Pesan dari Alya masuk: *“Ada kabar penting. Kita perlu bertemu malam ini.”* Arif dan Zila saling pandang. Ada sesuat

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Janji Yang Tak Diucap

    Pagi itu, suasana toko tenang. Alya duduk di kasir sambil menata beberapa struk. Damar datang membawa dua gelas kopi. Damar: "Tumben nggak sibuk?" Alya: "Lagi sepi… dan aku jadi kepikiran sesuatu." Damar duduk di sampingnya, menatap lekat. Damar: "Apa?" Alya ragu sejenak. "Tentang kamu." Damar tertawa kecil. "Tentang aku? Serius amat." Alya menunduk. "Kamu selalu ada dari awal. Tapi… aku belum pernah benar-benar bilang makasih." Damar menatap Alya. Tak ada kata, hanya tatapan yang tenang dan hangat. Alya melanjutkan, pelan. "Aku nggak tahu apa arti semua ini buatmu. Tapi untukku… kehadiranmu itu lebih dari cukup." Damar tersenyum. "Aku nggak nunggu kamu bilang makasih, Alya. Aku ada di sini bukan karena kamu minta… tapi karena aku mau." Alya terdiam. Ada banyak kata dalam hatinya, tapi ia memilih menyimpannya.

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Awal Baru

    Pagi itu, suasana di rumah Alya berbeda. Cahaya matahari masuk hangat lewat jendela, menandai permulaan baru. Damar masuk membawa dua gelas teh. Damar: "Selamat pagi, calon pengusaha besar." Alya tertawa kecil. "Aamiin. Tapi pelan-pelan dulu, ya. Satu langkah satu waktu." Mereka duduk bersama, membuka laptop yang berisi rencana ekspansi: toko offline pertama di kota sebelah. Zila masuk sambil membawa map tebal. Zila: "Ini proposal kerja sama dari investor lokal. Katanya tertarik karena branding kita makin kuat." Alya membaca pelan-pelan, lalu menatap keduanya. Alya: "Aku gak nyangka… semua ini mulai dari nol. Sekarang kita mulai babak baru." Damar: "Dan kita mulai bukan karena keberuntungan, tapi karena keberanian kamu buat bangkit." Alya tersenyum. "Mari kita buka lembar baru. Semoga jalan ini berkah." ---

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status