Home / Romansa / Istri Kontrak Sang Hafidz / Batasan yang Mengikat

Share

Batasan yang Mengikat

Author: Zie - SONURA
last update Last Updated: 2025-11-15 20:33:50

Sudah tiga hari sejak akad itu berlangsung. Rumah ini sunyi, nyaris tanpa suara selain lantunan ayat-ayat suci yang menjadi rutinitas pagi Rayyan.

Aku belum terbiasa. Hidup bersama seorang pria asing yang sah secara agama, tapi tetap terasa begitu jauh secara emosional, bukan hal yang mudah. Kami tinggal di rumah kontrakan kecil dekat pesantren tempat Rayyan mengajar. Rumah itu hanya memiliki dua kamar, satu dapur kecil, dan ruang tamu yang juga difungsikan sebagai ruang kerja Rayyan.

Aku dan Rayyan tidur di kamar yang berbeda, seperti yang sudah disepakati. Setiap pagi, aku bangun lebih awal dan memastikan penampilanku rapi dan sopan. Meskipun kami tidak memiliki hubungan seperti suami-istri pada umumnya, aku tetap ingin menjaga kehormatanku di hadapannya.

Pagi itu, aku mendapati Rayyan sudah duduk di ruang tamu, membuka mushaf Qur’an dengan khusyuk. Ia tampak tenang, damai, dan sangat jauh dari dunia yang selama ini aku kenal.

"Selamat pagi," kataku pelan sambil menuang teh ke dalam gelas.

"Selamat pagi. Terima kasih," jawabnya singkat, tetap sopan.

Kami tidak banyak berbicara. Komunikasi kami sejauh ini hanya seputar hal-hal penting. Tapi aku menyadari satu hal—Rayyan bukan orang yang kejam. Ia bukan pria arogan seperti yang sempat aku takutkan. Ia hanya menjaga jarak karena tahu batas.

---

Hari-hariku mulai terisi dengan kegiatan ringan. Aku membantu membersihkan rumah, menyapu halaman, kadang mencuci pakaian kami. Di waktu luang, aku membaca buku agama yang ada di rak ruang tamu. Aku juga mulai mencatat pertanyaan-pertanyaan kecil tentang Islam, berharap suatu hari aku cukup berani menanyakannya langsung pada Rayyan.

Sore itu, aku melihatnya sedang duduk di teras sambil mengetik sesuatu di laptop. Mungkin persiapan ceramah atau tulisan untuk komunitas dakwahnya.

Aku membawa dua gelas teh ke sana. “Kak Rayyan… boleh aku duduk?”

Ia mengangguk tanpa menoleh. “Silakan.”

Aku duduk di bangku sebelahnya. Suasana canggung sempat membungkus kami, tapi aku memberanikan diri untuk bicara.

"Aku... mulai tertarik belajar agama lebih dalam," ucapku pelan.

Rayyan menghentikan ketikannya dan menoleh. "Alhamdulillah. Itu kabar baik. Kamu bisa ikut kajian akhwat di pesantren tiap Sabtu pagi. Aku bisa daftarkan kamu."

Aku tersenyum tipis. "Boleh. Aku juga... ingin tanya-tanya hal dasar. Boleh?"

"Insya Allah, selama aku bisa jawab, aku akan bantu."

Itu adalah percakapan terpanjang kami sejak menikah. Ada kelegaan dalam hatiku. Mungkin, batas yang kami sepakati tidak berarti tembok tinggi. Mungkin, pelan-pelan kami bisa saling mengenal, meski tanpa cinta.

---

Malamnya, aku membuka kembali jurnal kecil yang biasa kugunakan sejak dulu. Aku mulai menulis:

_"Hari ini aku berbicara lebih banyak dengan Rayyan. Rasanya tenang. Tidak seperti dulu saat bersama laki-laki yang hanya ingin memanfaatkan. Dia berbeda. Tapi aku tidak boleh berharap lebih. Ini hanya pernikahan kontrak. Jangan lupa, Alya."_

Aku menutup buku itu dan menatap langit malam dari jendela. Di luar, suara jangkrik bersahut-sahutan, mengisi kesunyian.

Tiba-tiba, terdengar ketukan ringan di pintu.

"Alya, besok pagi aku ke luar kota sebentar. Ada undangan ceramah. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi saja nomor ini," ucap Rayyan sambil menyodorkan kertas kecil bertuliskan nomor kontak salah satu santrinya.

"Baik, Kak. Hati-hati di jalan ya."

Rayyan mengangguk dan kembali ke kamarnya. Aku menatap pintu yang baru saja ia tutup. Entah mengapa, ada rasa hampa yang muncul saat tahu rumah ini akan lebih sepi dari biasanya.

---

Besoknya, setelah Rayyan berangkat, aku merasa rumah ini terlalu sunyi. Aku membuka lemari buku, mengambil salah satu tafsir ringan yang pernah kulihat dibaca Rayyan. Pelan-pelan aku mulai tertarik, bukan karena Rayyan, tapi karena ada rasa tenang yang sulit dijelaskan setiap kali aku membaca dan memahami ayat-ayat itu.

Mungkin, ini adalah awal dari perjalanan spiritualku sendiri.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Masa Depan Yang Terukir

    Senja mulai merona di ufuk barat, menebar keemasan yang hangat menyelimuti kota kecil itu. Damar berdiri di depan jendela, memandangi langit yang mulai gelap. Hari-hari penuh tantangan telah dilalui, namun kini ada rasa tenang yang perlahan mengisi hatinya. Alya, istrinya, duduk di sofa dengan senyum manis menghias wajahnya. “Damar, kau lihat? Semua yang kita lewati, akhirnya membawa kita ke sini.” Damar mengangguk, lalu meraih tangan Alya. “Iya, aku bersyukur kau selalu ada di sampingku. Masa depan ini bukan hanya milikku, tapi milik kita bersama.” Alya tersenyum lebih lebar, matanya berkilat haru. “Aku percaya, apa pun yang terjadi nanti, selama kita bersama, semuanya akan baik-baik saja.” Di sudut ruangan, Damar membuka album foto. Terlihat foto-foto mereka dari awal pernikahan sampai sekarang. Ada tawa, ada air mata, tapi semuanya adalah kisah yang membentuk masa depan mereka.

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Awal Dari Segalanya

    Pagi itu, cahaya mentari perlahan menyusup melalui jendela kamar, mengusir sisa gelap malam yang enggan pergi. Damar membuka matanya, menyadari bahwa semua yang telah terjadi bukan sekadar mimpi—melainkan perjalanan hidup yang nyata dan penuh makna. Segala luka, perjuangan, dan harapan yang terjalin erat di antara dirinya dan Alya kini menjadi fondasi kuat yang tak tergoyahkan. Ia tahu, masa depan bukan sekadar harapan kosong, tapi lukisan indah yang harus mereka ukir bersama dengan kesabaran dan cinta. Alya, di sisi lain, menatap Damar dengan penuh keyakinan. Perempuan yang dulu pernah ragu kini telah berubah menjadi sosok yang tegar dan penuh harapan. Mereka berdua berdiri di ambang babak baru, siap menghadapi segala tantangan yang datang dengan kepala tegak dan hati yang terbuka. “Dari segalanya yang telah kita lalui,” ucap Damar pelan, “aku yakin kita bisa melangkah ke depan tanpa rasa takut.” Alya menggenggam tanga

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Harapan di Ujung Senja

    Sore itu, langit berwarna jingga keemasan, seolah memberi harapan baru di ujung hari. Alya duduk di teras rumah, memandang jauh ke arah cakrawala yang mulai gelap. Hatinya campur aduk, antara harap dan ragu. Damar datang menghampiri, wajahnya penuh kelelahan tapi mata itu tetap lembut melihat Alya. "Alya, aku tahu semua ini berat buat kita. Tapi aku janji, aku akan berusaha jadi suami yang lebih baik." Alya menatapnya, ada getir yang mencoba disembunyikan, "Damar, aku nggak mau terus-terusan jadi istri kontrak yang cuma numpang lewat di hidupmu. Aku ingin ada masa depan." Damar menghela napas panjang, "Aku paham. Kita harus bicarakan semuanya dengan jujur, tanpa ada rahasia." Mata Alya mulai berkaca-kaca. "Aku ingin percaya, Damar. Tapi hati ini juga pernah terluka." Damar meraih tangan Alya, menggenggamnya erat, "Percayalah, aku ingin kita bisa mulai ulang. Aku mau kamu jadi istriku yang sah, bukan cuma kont

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Gelombang Perubahan (Part 2)

    Seiring pagi menyapa, Arif menatap langit dari jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, antara harap dan ragu. Semua yang terjadi belakangan ini seolah memaksanya untuk berubah, untuk mengambil langkah yang selama ini ia tunda. Pintu kamar diketuk pelan. Zila masuk dengan senyum tipis, membawa secangkir teh hangat. “Arif, kamu sudah sarapan? Aku buat teh hangat, biar kamu kuat menjalani hari,” ucap Zila lembut. Arif mengangguk, menerima teh itu. “Terima kasih, Zila. Aku cuma bingung… tentang semua ini.” Zila duduk di sampingnya, menggenggam tangan Arif. “Kita tidak sendiri, Arif. Kita hadapi bersama. Perubahan memang sulit, tapi aku yakin kamu bisa.” Senyum tipis kembali muncul di wajah Arif. “Kalau kamu selalu di sini, aku yakin bisa.” Tiba-tiba ponsel Arif bergetar. Pesan dari Alya masuk: *“Ada kabar penting. Kita perlu bertemu malam ini.”* Arif dan Zila saling pandang. Ada sesuat

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Janji Yang Tak Diucap

    Pagi itu, suasana toko tenang. Alya duduk di kasir sambil menata beberapa struk. Damar datang membawa dua gelas kopi. Damar: "Tumben nggak sibuk?" Alya: "Lagi sepi… dan aku jadi kepikiran sesuatu." Damar duduk di sampingnya, menatap lekat. Damar: "Apa?" Alya ragu sejenak. "Tentang kamu." Damar tertawa kecil. "Tentang aku? Serius amat." Alya menunduk. "Kamu selalu ada dari awal. Tapi… aku belum pernah benar-benar bilang makasih." Damar menatap Alya. Tak ada kata, hanya tatapan yang tenang dan hangat. Alya melanjutkan, pelan. "Aku nggak tahu apa arti semua ini buatmu. Tapi untukku… kehadiranmu itu lebih dari cukup." Damar tersenyum. "Aku nggak nunggu kamu bilang makasih, Alya. Aku ada di sini bukan karena kamu minta… tapi karena aku mau." Alya terdiam. Ada banyak kata dalam hatinya, tapi ia memilih menyimpannya.

  • Istri Kontrak Sang Hafidz    Awal Baru

    Pagi itu, suasana di rumah Alya berbeda. Cahaya matahari masuk hangat lewat jendela, menandai permulaan baru. Damar masuk membawa dua gelas teh. Damar: "Selamat pagi, calon pengusaha besar." Alya tertawa kecil. "Aamiin. Tapi pelan-pelan dulu, ya. Satu langkah satu waktu." Mereka duduk bersama, membuka laptop yang berisi rencana ekspansi: toko offline pertama di kota sebelah. Zila masuk sambil membawa map tebal. Zila: "Ini proposal kerja sama dari investor lokal. Katanya tertarik karena branding kita makin kuat." Alya membaca pelan-pelan, lalu menatap keduanya. Alya: "Aku gak nyangka… semua ini mulai dari nol. Sekarang kita mulai babak baru." Damar: "Dan kita mulai bukan karena keberuntungan, tapi karena keberanian kamu buat bangkit." Alya tersenyum. "Mari kita buka lembar baru. Semoga jalan ini berkah." ---

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status