'Riley Charles?'Tiga puluh menit telah berlalu sejak ia menerima telepon dari Megan. Dan kini, Baron terus mengulang nama yang sama dalam benaknya. Ia membuka kunci layar ponselnya, mengetik sebuah nama di kolom pencarian. Tak lama, ia mendapati laman yang menuliskan biodata orang yang dicarinya.'CEO RC Production?'"Hei, Baron."Zian dan Nesa muncul dari balik pintu masuk cafe. Zian segera duduk dihadapan pemilik cafe sedangkan Nesa mengikuti langkahnya dengan wajah tertunduk menatap lantai."Kata Nesa, kamu tahu apa yang terjadi pada Megan? Dimana dia?"Baron menatap kedua tamunya dengan tatapan linglung. Ia masih sibuk merangkai berbagai informasi acak yang tiba-tiba diterimanya."Kalian mau minum apa?" Baron melambaikan tangannya memanggil barista."Dua Americano," putus Zian tanpa bertanya pada Nesa.Baron melirik Nesa, meminta persetujuannya. Wanita itu hanya mengangguk malu-malu yang membuat Zian hampir tersedak, menahan tawa.Nesa melotot kesal, memperingatkan Zian agar menut
"Megan," desah Riley."Hmm?" Megan membulatkan matanya. Ia bisa melihat dengan jelas hasrat yang coba di tahan oleh pria disampingnya."Mau lagi?"Megan mengangguk ragu. Ia tidak yakin, hatinya mampu bertahan dengan godaan semanis itu. "Ya," desahnya tanpa sadar.Riley mematahkan blok kedua, mengigitnya lalu mendekatkan bibirnya untuk menjangkau bibir lainnya. Rasa manis menjadi candu begitu kedua bibir bertemu. Diawali dengan kecupan ringan dan perlahan berubah menjadi lumatan yang menuntut Megan untuk lebih membuka diri. Seolah mengajaknya untuk saling bertaut."Meg," desah Riley diantara ciumannya yang memanas.Megan tahu, itu sinyal agar Megan merenggangkan bibirnya untuk memberi celah bagi Riley untuk masuk dan menyapa sekaligus mengeksplorasi."Meg." Riley mulai kehilangan kontrol diri. Ia merengkuh pinggang wanitanya. Mengangkatnya ke atas pangkuan. Mengikis jarak diantara keduanya. Kedua tangan Riley mengapai tekuk Megan, mencegahnya untuk lari.Keduanya saling mengikat hing
"Megan?" Seru Nesa. Menunjuk keluar jendela.Serempak Baron dan Zian mengikuti arah yang di maksud."Iya, itu Megan," balas Baron haru. Dia membuka pintu mobil dan berlari menyeberangi jalan. "Meg, hmmp!"Zian bergerak cepat, membekap mulut Baron dan menyeretnya kembali masuk ke dalam mobil. "Lepas! Apa yang kamu lakukan? Aku ingin menolong Megan!" Sentak Baron marah."Tenanglah!" Zian menekan tombol door lock, memastikan untuk kali ini tidak ada seorangpun yang menyelonong keluar."Kamu tidak bisa tiba-tiba menyerang kesana. Liat tuh!" Tunjuknya ke bangunan kecil di samping pagar. Lima orang pria berbadan tegap dengan seragam hijau tentara."Kamu nggak tahu? Bapaknya Riley itu Jenderal bintang lima. Rumahnya sudah pasti di jaga ketat," tandas Zian."Guys, kayaknya ada yang aneh sama Megan," ujar Nesa."Kenapa dia harus di papah? Apa yang terjadi dengan kakinya?" Nesa menatap wanita yang sudah dianggapnya seperti kakak. Hatinya sedih melihat ekspresi Megan yang tampak kesakitan set
"Wah, hebat Meg! Kamu sudah bisa berdiri?!" seru Maria.Senyum bahagia tak pupus di wajahnya begitu melihat Megan bisa berdiri tanpa bantuan. Maria sangat berharap, Megan bisa pulih seperti sedia kala agar penyesalan di hatinya bisa sedikit berkurang."Syukurlah, Nak. Sebentar lagi kamu pasti bisa berjalan lagi," ucap Maria. Ia menarik Megan ke dalam pelukannya. "Mama sangat senang."Megan mengelus pundak Maria. Ia bisa merasakan pundak itu bergetar, menunjukkan wanita itu tengah menangis. "Makasih, Tante.""Ayo kita duduk dulu," ajak Maria. Dia memapah Megan untuk duduk di sofa."Kita harus kasih tahu, Rey. Dia pasti senang mendengar kabar ini," Maria mengobrak-abrik isi tasnya untuk mencari ponsel."Hmm, Tante." Tahan Megan. "Bisakah, Tante tidak memberitahukan Rey dulu, aku ingin memberinya kejutan," ucap Megan malu-malu.Wajah Maria seketika berseri. "Sayang, kamu sangat menggemaskan.""Baiklah, Mama tidak akan memberitahu Rey." Maria menyimpan kembali ponsel ke dalam tasnya. "Dia
Baron melangkahkan kakinya, cepat dan besar, memasuki BEB management. Perusahaan talent yang di bangun Megan bersama Zian. Dua teman dengan sifat bertolak belakang itu sukses membangun agensi yang bergerak di bidang manager talent dan produksi film dan drama. Meski masih dalam skala kecil, perusahaan yang menginjak tahun kelima ini telah masuk ke tahap cukup diperhitungkan di dunia entertainment."Ini yang terjadi pada, Megan," sentak Baron begitu memasuki ruang CEO.Dia meletakkan file yang di bawanya ke atas meja, tepat di depan pemilik ruangan.Zian mengangkat alisnya, bingung. Meninggalkan pekerjaannya dan beralih pada map transparan berisi file yang dibawa Baron."Kecelakaan?!" Ucapnya. Matanya melebar melihat foto kondisi terakhir SUV biru metalik pasca kecelakaan. 'Hancur? Terbakar?!'"Kita harus segera mengeluarkan Megan dari rumah itu. Meski aku belum tahu apa peran Riley dalam kecelakaan Megan, tapi aku yakin, pria itu terlibat.""Kamu benar, Baron. Kita harus segera mengelu
"Sayang," Riley menghampiri istrinya. "Nanti siang aku nggak bisa pulang karena ada pertemuan dengan klien, tapi aku akan mengusahakan tiba di rumah sebelum makan malam."Megan mengangguk pelan. "Ya, hati-hati," ucapnya lemah.Dia hanya bisa pasrah saat Riley mengecup lembut pucuk kepalanya, mengelusnya lembut."Kamu nggak perlu melakukan apapun. Aku sudah meminta Bibi untuk membereskan barang untuk kita bawa ke apartemen.""Be-berapa hari kita di sana?" Tanya Megan terbata."Hmm, aku belum tahu. Mungkin sampai kondisi mu lebih baik," gantung Riley. Ia mengangkat jas dan tas kerjanya dari sandaran sofa."Tunggu," tahan Megan. "Apa yang membuatmu tiba-tiba pindah ke apartemen?" Tanyanya penasaran.Riley menatap Megan sejenak sebelum menjawabnya. "Setiap hari kamu mengeluh bosan. Aku pikir, ini waktu yang tepat untuk ganti suasana.""Paling tidak, katakan padaku. Dimana lokasi apartemennya?" Tuntut Megan. Dia tidak bisa begitu saja menerima keputusan Riley yang tiba-tiba. Paling tidak,
Zian memarkirkan Crossover Silver kesayangannya di depan rumah megah CEO RC Production. Di dalam mobil, ia bersama Baron dan Nesa meneliti keadaan di sekitar rumah. Memperhatikan gerak-gerik tentara yang berjaga di balik pos."Sepertinya, nggak ada pergerakan apapun," ujar Nesa."Hmm, darimana datangnya itu teropong?" Zian mengerutkan keningnya begitu melihat Nesa mengarahkan teropong kecil untuk melihat lebih jelas ke seberang jalan."Ini?" Nesa mengacungkan benda yang dipegangnya. "Properti syuting drama bulan lalu. Megan minta aku menyiapkan beberapa barang penunjang syuting. Salah satunya teropong ini.""Wah, kamu emang pantas jadi asisten Megan," seru Baron takjub."Aku harus siap sedia karena Megan selalu minta barang dadakan," keluh Nesa. "Tapi, lucunya apapun yang dia minta disiapkan selalu berguna saat syuting," lanjutnya sambil tersenyum geli mengingat kejadian di lokasi syuting.[Tok ... Tok ...]Ketiga penghuni dalam mobil terlonjak kaget begitu mendengar suara ketukan, men
"Bos, target udah keluar dari jalan utama."Ekspresi di wajah Baron mengeras begitu mendengar laporan dari salah satu tim yang ia kirim untuk mengawasi rumah Riley Charles."Terus ikuti," pesannya sebelum mematikan sambungan ponsel lalu beralih pada dua orang yang tengah menunggu kabar darinya."Riley dan Megan sudah keluar dari rumah," jelasnya pada Zian dan Nesa."Ok, kalau gitu, kita juga bergerak," ujar Zian sambil menghidupkan mesin dan menginjak pedal gas."Terus apa rencana kita?""Udah, nggak usah pake rencana Nesa. Kalau ada kesempatan, kita langsung rebut paksa Megan dari tangan Riley."Baron mengangguk setuju dengan rencana Zian. "Kita tidak bisa lagi menunda-nunda, semakin lama masalah ini menjadi semakin rumit. Megan harus segera di selamatkan."***"Riley! Kamu gila, hentikan semua ini. Aku muak!" Sentak Megan marah. Kali ini dia tidak lagi menahan emosinya. Apapun yang terjadi, Megan akan memastikan pria itu tidak akan bisa memaksakan kehendak lagi padanya."Megan, kita