Share

Chapter 3 - Kenyataan Pahit

Nesa mengigit kuku jempol tangannya. Tiga telah berlalu, tapi dia tak bisa menemukan Megan dimanapun. Wanita itu menghilang bagai di telan Bumi. Satu-satunya harapan hanya Baron, sahabat sekaligus roommate Megan.

Dia meremat jemarinya resah, tiap kali bertemu dengan pemilik café itu, Nesa harus berusaha keras agar jantungnya tidak melompat keluar dan mengatupkan bibirnya serapat mungkin agar tidak meneriakkan kata cinta.

Megan telah memberinya puluhan kali ultimatum agar mengubur perasaannya dalam-dalam, bila tidak ingin berakhir patah hati. Meski Megan tidak menjelaskan lebih jauh penyebabnya tapi Nesa bisa menebak apa alasan wanita itu melarangnya. Megan pasti memiliki perasaan yang sama sepertinya, mencintai Baron.

"Hai, Nesa?"

"Hai, Baron," balas Nesa canggung.

Baron menarik kursi dan duduk dihadapan Nesa. "Ada yang bisa ku bantu?"

"Apa Megan pulang ke Kondo?" Tanya Nesa hati-hati.

Baron mengerutkan keningnya. "Tidak. Bukankah dia di lokasi syuting?"

Nesa menggeleng. "Megan terakhir kali menghubungiku tiga hari yang lalu."

"Apa Megan menghubungimu?" Tanya Nesa. Ia berharap, setidaknya Megan menghubungi sahabatnya.

Baron menggeleng. "Megan melarang ku menghubunginya saat bekerja kecuali keadaan mendesak."

Dia mengeluarkan ponsel dari saku jeans di balik apron yang dikenakannya. Jarinya menekan angka satu di layar, menunggu beberapa saat sebelum akhirnya disambut oleh suara operator.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Gumam Baron cemas.

***

'Ukh, kenapa tidak bergerak?!' desis Megan kesal, ia merintih pelan. 'Aku harus segera keluar dari tempat ini!'

Dua puluh menit sudah berlalu sejak ia berusaha menggerakkan kaki kanannya. Tapi gagal, mulai dari pinggul bawah sampai ujung kakinya mati rasa. Bahkan Megan mencubit pahanya dengan keras hingga meninggalkan bekas kemerahan yang sangat jelas di kulit putihnya.

Megan mengunakan tubuh atasnya untuk menyeret kakinya ke tepi ranjang, menegakkan tubuhnya, mencari pegangan. Perlahan dia menurunkan kaki kirinya sebagai penopang lalu mengangkat kaki kanannya yang kaku, bagai balok kayu.

"Akh."

Begitu kedua kakinya menjejak lantai, tubuh Megan kehilangan tumpuan dan langsung jatuh dengan kasar, terduduk di lantai. Darah merembes keluar dari tangannya, dimana jarum infus tertancap. Jarum itu terlepas dan keluar akibat adanya tarikan secara tiba-tiba.

"Apa yang kamu lakukan?"

Riley yang baru masuk ke ruangan terkejut melihat apa yang terjadi. Ia segera menghampiri Megan.

"A-apa yang terjadi dengan kaki ku? Kenapa kakiku tidak bisa digerakkan?" Tanya Megan dengan suara bergetar.

"A-apa aku lum-lumpuh?" Gumamnya takut.

"Jangan berpikir hal-hal buruk," sergah Riley cepat.

Dia segera mengangkat tubuh Megan kembali ke ranjang dan menekan bel di sudut kepala ranjang. Tangannya menekan bekas luka infus di tangan Megan yang terus mengeluarkan darah.

"Aku lumpuh?" Gumam Megan lagi.

Matanya menatap nanar kaki kanannya, ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Perlahan air mata mengalir turun membasahi pipinya.

"Hei, tenanglah. Semua akan baik-baik saja," ucap Riley mencoba menenangkan Megan.

Megan tak bergeming. Tatapannya kosong, hanya airmata yang terus mengalir deras.

Rombongan dokter dan suster menerobos masuk. Mereka kaget melihat kondisi Megan.

"Cepat! Lakukan sesuatu." Perintah Riley. Ia mengeser tubuhnya untuk memberi ruang pada dokter dan suster menangani kondisi Megan.

Riley mendesah dalam. Dia sudah bisa memprediksi hal ini dari awal. Akan sulit bagi Megan untuk menerima kenyataan bahwa kakinya tidak akan bisa berfungsi dengan baik dalam waktu dekat.

***

"Tuan Riley," panggil dokter.

Riley bangkit dari kursinya. "Bagaimana kondisinya?"

Dokter berdeham pelan. "Kondisi tubuhnya sudah lebih baik. Tapi, ada yang harus kita khawatirkan," ucapnya ragu.

"Katakan." Perintah Riley tegas.

"Ibu Megan sangat terpukul hingga kondisi mentalnya terganggu. Dia akan lebih sensitif dan emosional sehingga sulit untuk berkomunikasi," lanjut dokter.

Riley menatap jauh melalui celah pintu. Wanita itu masih duduk dengan wajah terpaku menatap kakinya.

"Aku mengerti," ucap Riley lalu melangkah masuk ke dalam ruangan.

Ia menghampiri Megan, berdiri dihadapannya.

"Hei," panggilnya. Mengusik lamunan Megan.

"Apa yang terjadi padaku?" Tanya Megan.

Riley mengelus perban baru di tangan Megan. "Jangan menyakiti tubuhmu lagi."

"Kamu yang melakukan ini 'kan?" Tuntut Megan. Ia mengangkat wajahnya, menatap pria itu marah.

Riley balas menatapnya, menyelami mata kelam terbalut amarah.

"Ya."

Tubuh Megan bergetar, berusaha keras meredam amarah yang bergerak naik menutupi akal sehatnya. Mencegah tangannya untuk menampar wajah tampan itu.

"Kenapa?" Tanya Megan dengan suara berat dan kelam.

"Kenapa?!" Jeritnya histeris. Mencengkram kuat kemeja yang dikenakan Riley.

"Apa yang kamu lakukan?" Lirihnya pilu.

Ekspresi wajah Riley mengeras, hatinya berdenyut nyeri melihat betapa rapuhnya jiwa dan raga wanita yang tiba-tiba muncul dan mengusik hidupnya.

"Tenanglah, kamu tidak perlu takut. Semuanya akan segera berlalu."

Riley menarik tubuh lemah itu ke dalam pelukannya. Mengelus lembut puncak kepalanya.

"Aku berjanji, kamu pasti bisa berjalan lagi," ucapnya yakin.

***

"Megan, bolehkah Mama masuk?" Sapa Maria.

Megan mengangkat wajahnya, mengangguk pelan lalu memaksakan segaris senyum untuk menyambut wanita paruh baya itu.

"Kamu baik-baik saja?"

Maria meraih tangan Megan, menggenggamnya erat. Menyalurkan rasa bersalahnya.

"Maafkan Mama, Nak."

Megan mengernyit bingung. "Kenapa Tante minta maaf?"

"Ini semua salah Mama," lirih Maria.

"Mama lah yang menabrak mu," lanjutnya terbata.

Mata Megan melebar. Ia menarik tangannya dalam genggaman Maria.

"Apa?!"

Maria mengangguk lemah. "Iya, Nak. Ini semua kesalahan Mama. Kecerobohan Mama membuat kamu terluka separah ini."

"Kenapa Tante melakukan ini?" Desis Megan tidak percaya. "Tante membuat kakiku lumpuh!"

"Maaf, maafkan Mama, Nak." Mohon Maria. Ia mengulurkan tangan hendak menyentuh Megan tapi wanita itu menepisnya.

"Jangan menyentuhku. Keluar, keluar dari sini!" Teriak Megan histeris. Ia menarik kasar rambutnya, menutup telinganya rapat-rapat.

"Pergi!"

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status