Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu. Langit gelap seakan bersatu dengan suasana hati Aluna yang muram. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu berdiri mematung di depan gedung pencakar langit milik Hartanto Group, tempat segala perubahan hidupnya akan dimulai.
Tangannya gemetar saat ia mengepalkan undangan pertemuan yang dikirimkan oleh sekretaris pribadi Arsenio Hartanto—CEO muda paling berpengaruh dan dibicarakan di media. Semua orang tahu pria itu bagaikan es berjalan. Tampan, karismatik, namun kejam dalam bisnis. "Apa yang aku lakukan di sini?" gumam Aluna, menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam lobi mewah. Tubuhnya yang basah kuyup segera disambut oleh udara dingin dari AC sentral. Resepsionis mengenalinya dari foto yang dikirimkan sebelumnya, dan langsung membawanya menuju lift pribadi yang akan membawanya ke lantai 58—kantor pribadi Arsenio. Setibanya di sana, pintu lift terbuka dengan bunyi lembut. Aluna melangkah keluar dan menemukan ruangan luas, minimalis, dengan pemandangan gemerlap kota di balik dinding kaca. Seorang pria berdiri di dekat jendela, punggungnya tegak, tubuhnya dibalut setelan jas hitam yang terlihat dibuat khusus. Rambutnya disisir rapi, dan dari kejauhan saja Aluna bisa merasakan aura dominan pria itu. “Aluna Putri,” ucapnya tanpa menoleh. Suaranya berat dan berwibawa. “Ya, saya…” jawab Aluna gugup. “Saya datang karena—” “Saya tahu kenapa kamu datang,” potongnya sambil berbalik. Matanya tajam menatap langsung ke arah Aluna. “Duduk.” Dengan kaku, Aluna menurut. Ia duduk di sofa kulit hitam, sementara Arsenio duduk berseberangan sambil menyilangkan kaki. Tangannya melempar sebuah map tipis ke atas meja. “Di dalamnya, ada perjanjian pernikahan selama tiga bulan. Kamu akan menjadi istri saya, secara hukum. Setelah tiga bulan, kita bercerai. Kamu akan mendapatkan kompensasi sebesar dua miliar rupiah dan perusahaan ayahmu akan saya selamatkan dari kebangkrutan.” Aluna membelalak. Ia sudah diberi tahu secara garis besar, tapi mendengar langsung dari pria itu seperti tamparan keras di wajah. “Kenapa saya?” tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Arsenio menatapnya, lalu menyandarkan tubuh ke sofa. “Saya butuh istri, cepat. Untuk urusan bisnis. Ayah saya hanya akan menyerahkan saham keluarga kalau saya menikah. Dan kamu… tidak cukup penting untuk jadi ancaman. Tidak akan jatuh cinta, tidak akan menyulitkan saya. Sempurna.” Ucapan itu menusuk harga diri Aluna. “Dan kamu juga sedang putus asa,” tambahnya dingin. “Ayahmu terlilit utang. Bank hampir menyita rumahmu. Kamu butuh uang. Jadi kita sama-sama saling diuntungkan.” Aluna mengepalkan tangan di atas pahanya. Ia ingin menolak, ingin berteriak bahwa ia bukan barang dagangan. Tapi wajah ibunya yang sakit, adiknya yang masih sekolah, dan ayahnya yang hampir gila karena tekanan… semua itu menghantam logikanya. “Kenapa tidak cari wanita lain yang lebih… cocok?” tanya Aluna pelan. “Karena wanita lain selalu berharap lebih,” jawab Arsenio cepat. “Mereka pikir bisa mengubah saya. Kamu tidak. Kamu tahu tempatmu.” Aluna terdiam. Pria ini benar-benar menghina tanpa ragu. Tapi… dia juga benar. Arsenio lalu berdiri dan mengambil map di meja, menyerahkannya langsung ke tangan Aluna. “Baca, pikirkan. Tanda tangan besok pagi jam sembilan. Kalau kamu tidak datang, anggap kesepakatan batal. Dan ayahmu... biarlah perusahaan keluargamu tenggelam.” Tanpa kata lain, pria itu pergi meninggalkan ruangan, menyisakan Aluna yang masih gemetar memegang map itu. --- Keesokan Paginya Aluna berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya dikuncir rapi. Wajahnya pucat, tapi tekad sudah tertanam. Ia datang. Ia memilih menandatangani perjanjian itu. Di ruang yang sama seperti semalam, ia menyerahkan map yang telah ia tanda tangani. Arsenio duduk di mejanya, tampak tenang seperti biasa. “Bagus. Kita akan menikah di KUA sore ini. Tim hukum saya akan urus sisanya,” katanya datar. “Tidak ada keluarga yang hadir?” tanya Aluna, agak terkejut. “Semakin sedikit yang tahu, semakin baik.” --- Sore itu Pernikahan mereka berlangsung dalam waktu kurang dari lima belas menit. Di kantor KUA yang sunyi, tanpa gaun, tanpa cincin, tanpa ciuman. Hanya dua tanda tangan. Dan status mereka berubah: suami-istri. Usai prosesi, Arsenio menyerahkan sebuah kunci apartemen mewah. “Kamu tinggal di sini. Jangan ganggu saya kecuali penting. Kita hanya akan tampil bersama saat dibutuhkan. Jangan membuat skandal. Jangan jatuh cinta.” Kata terakhir itu diucapkan dengan tatapan tajam seolah memperingatkan. Aluna hanya mengangguk. Bibirnya kering. Jantungnya kosong. Ia tahu ini hanya awal dari drama besar yang akan mengubah hidupnya. --- Tiga Hari Pertama Tinggal di apartemen mewah bukan berarti bahagia. Aluna merasa seperti terjebak dalam sangkar emas. Semua sudah tersedia—makanan, pakaian, bahkan asisten pribadi. Tapi Arsenio nyaris tidak pernah datang. Mereka belum tinggal bersama. Ia hanya mendapat pesan singkat dari sang suami, berisi jadwal kemunculan publik pertama mereka: gala dinner perayaan ulang tahun perusahaan. Aluna menatap gaun panjang berwarna merah tua yang dikirim khusus. Elegan, tapi bagai seragam perang. Karena malam itu, ia akan tampil sebagai "istri sang miliarder". --- Malam Gala Lampu kristal menyinari aula besar. Musik klasik mengalun. Para tamu mengenakan busana mewah. Saat Aluna melangkah masuk bersama Arsenio yang menggenggam lengannya, semua mata tertuju pada mereka. Bisikan dan tatapan sinis menyambutnya. “Siapa dia?” “Istrinya? Dari mana?” “Bukan sosialita, pasti gadis rendahan…” Aluna menahan napas. Tapi ia tetap tersenyum. Arsenio berbisik di telinganya. “Berpura-puralah mencintaiku.” Aluna membalas tanpa menoleh, “Aku sudah melakukannya sejak tadi.” --- Malam itu ditutup dengan berita utama di media: > “Arsenio Hartanto Tampil Perdana Bersama Sang Istri Misterius! Siapa Wanita Ini?” Sementara publik mulai bertanya-tanya, Aluna mulai menyadari bahwa pernikahan ini tidak akan sesederhana kontrak dan tanda tangan. Karena… perasaan manusia tak bisa dikendalikan sesempurna hitungan bisnis. Dan rahasia—baik dari pihaknya maupun Arsenio—segera akan terbongkar satu per satu. Apartemen mewah itu terlalu sunyi. Aluna duduk di ruang tengah dengan secangkir teh yang sudah dingin. Ia memandangi jam dinding yang terus berdetak tanpa rasa bersalah. Sudah dua hari sejak pernikahan mereka, tapi Arsenio belum muncul satu kali pun. Ponsel di tangannya tak pernah berdering, kecuali dari asisten pribadi Arsenio yang hanya mengabarkan jadwal, makanan, dan hal-hal teknis lainnya. Semua terasa… mekanis. "Apa begini rasanya menikah dengan pria yang bahkan tidak menganggapmu sebagai manusia?" gumamnya pelan. Di seberang ruangan, layar televisi besar menyala menampilkan berita bisnis. Wajah Arsenio terpampang di layar, sedang memimpin rapat dewan direksi. > “Arsenio Hartanto semakin menunjukkan kekuatannya sebagai pewaris tunggal Hartanto Group. Kini, setelah menikah secara resmi, banyak yang memprediksi ia akan segera naik jabatan sebagai Direktur Utama menggantikan sang ayah.” Aluna mengalihkan pandangan. Ia merasa seperti pion kecil dalam permainan besar keluarga ini. Ketika malam semakin larut, ia duduk di balkon, membungkus tubuhnya dengan selimut. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa kenangan masa lalu. Ia ingat betul saat ayahnya dulu berjaya. Restoran keluarga mereka terkenal di kota. Tapi ketika pandemi melanda dan ekonomi terpuruk, semuanya berubah drastis. Ayahnya terlilit utang besar, dan ibunya jatuh sakit karena stres. Aluna berhenti kuliah dan bekerja serabutan untuk membantu keuangan. Semua usaha itu runtuh dalam hitungan bulan. “Sekarang aku malah jadi istri kontrak pria asing demi uang…” bisiknya getir. --- Keesokan Harinya Jam sembilan pagi, pintu apartemen terbuka. Arsenio masuk tanpa salam, mengenakan kemeja putih yang dilipat hingga siku. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan karisma. Aluna buru-buru berdiri. “Kamu datang…” “Kenapa kaget? Ini apartemen saya juga,” katanya sambil berjalan ke dapur. Ia membuka lemari, mengambil segelas air, lalu meneguknya. “Kita punya jadwal pemotretan siang ini. Kamu harus ikut,” katanya tanpa basa-basi. “Pemotretan?” “Untuk majalah bisnis. Mereka ingin menampilkan pasangan muda sukses. Anggap saja bagian dari peranmu.” Aluna mengangguk pelan. “Baik.” Arsenio menatapnya sekilas, lalu melangkah pergi ke kamar utama. Aluna berdiri mematung. Hubungan mereka terasa seperti atasan dan bawahan. Tidak ada hangat, tidak ada sapaan personal. Hanya tuntutan, jadwal, dan diam. --- Studio Foto Aluna mengenakan gaun putih sederhana dan make-up profesional. Arsenio duduk di sebelahnya, tampil sempurna dalam setelan abu-abu gelap. Fotografer meminta mereka untuk saling menatap, seolah pasangan yang jatuh cinta. “Sedikit lebih mesra, Pak Arsenio,” ujar fotografer. “Mungkin bisa peluk pinggang istrinya?” Arsenio menoleh sebentar, lalu meletakkan tangannya di pinggang Aluna, seolah tanpa perasaan. Aluna tersenyum tipis, tapi matanya tidak membohongi rasa canggungnya. Klik. “Luar biasa. Chemistry kalian… unik sekali,” puji fotografer. Mereka hanya membalas dengan senyum tipis. --- Setelah sesi foto Di dalam mobil mewah yang melaju di jalan protokol, mereka duduk tanpa bicara. Suasana hening mencekam. “Aku ingin bertanya satu hal,” kata Aluna pelan. “Bertanyalah.” “Kenapa kamu tidak pernah benar-benar memandangku? Bahkan saat kita menikah pun, kamu tidak mau menatap mataku.” Arsenio menoleh pelan. “Karena kalau aku menatapmu terlalu lama, aku bisa melihat kelemahan. Dan dalam bisnis, aku tidak boleh punya kelemahan.” “Kamu pikir aku kelemahan?” “Kamu adalah bagian dari kontrak. Aku tidak boleh merasa lebih dari itu.” Jawaban itu membuat dada Aluna sesak. “Tapi aku manusia…” “Kamu tahu dari awal apa yang kamu setujui. Jangan berharap lebih.” Mobil berhenti di depan apartemen. Arsenio keluar tanpa menunggu jawaban. Aluna tertinggal di dalam, menahan air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa bisa dicegah. --- Beberapa Hari Kemudian Aluna mulai menerima kenyataan. Setiap pagi ia bangun sendirian, menghabiskan waktu membaca buku atau menonton TV. Sekali seminggu, ia diminta menemani Arsenio ke acara tertentu. Dan setiap kali itu pula, mereka harus berpura-pura sebagai pasangan bahagia. Salah satu momen yang tak terlupakan adalah saat mereka harus menghadiri makan malam keluarga Hartanto. Ibunda Arsenio, Madam Liana, adalah wanita elegan namun bermata tajam. Sejak awal, tatapannya pada Aluna seperti menilai barang antik palsu. “Kamu… lulusan mana, Aluna?” tanyanya sambil menyeruput sup. “Saya belum sempat menyelesaikan kuliah, Bu,” jawab Aluna jujur. “Oh. Saya pikir Arsenio akan memilih wanita dari lingkungan yang lebih… terdidik.” Arsenio yang duduk di sebelah Aluna tidak menanggapi. “Maafkan saya, Bu. Tapi saya akan berusaha memberikan yang terbaik sebagai istri,” jawab Aluna tenang, meski tangannya berkeringat. Madam Liana tersenyum miring. “Semoga begitu.” --- Malam Itu Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, Aluna menatap keluar jendela. “Keluargamu tidak suka padaku,” ucapnya lirih. “Mereka tidak perlu suka. Ini hanya tiga bulan. Setelah itu, semuanya selesai.” “Kamu tidak lelah berpura-pura, Arsen?” Untuk pertama kalinya, pria itu menoleh. “Aku sudah berpura-pura seumur hidup. Ini hanya tambahan peran kecil.” Jawaban itu terasa pahit. Tapi ada sedikit… luka dalam nadanya. “Apa kamu pernah benar-benar mencintai seseorang?” tanya Aluna tanpa sadar. Arsenio terdiam cukup lama sebelum menjawab. “Pernah. Tapi itu masa lalu.” Aluna tak bertanya lebih jauh. Tapi sejak malam itu, ia mulai melihat sisi lain Arsenio. Pria itu tidak hanya dingin—ia juga menyimpan luka yang dalam. Luka yang membuatnya membangun tembok tebal pada siapa pun, termasuk dirinya. --- Satu Minggu Kemudian Pagi itu, Aluna bangun dengan perasaan aneh. Ia merasa mual dan pusing. Ia sempat berpikir itu hanya masuk angin, tapi kondisi tubuhnya tidak membaik bahkan setelah minum obat. Asisten Arsenio memaksanya memeriksakan diri ke dokter. Dan hasilnya… “Selamat, Bu Aluna. Anda hamil enam minggu.” Aluna membelalak. “Itu… tidak mungkin…” Tapi ingatannya menelusuri kembali malam saat ia dan Arsenio mabuk berat usai pesta kemenangan merger perusahaan. Malam saat mereka... mengabaikan semua batasan kontrak.Penthouse Li Tower – Detik Penentu“Goodbye, Mrs. Li.”Suara dingin Black Rose bergema di kamar bayi itu, seiring jarinya menekan pelatuk pistol berperedam. Namun di detik yang sama—> BRAKKK!!!Pintu kamar bayi diterjang brutal oleh Yong Xi dan tiga Shadow Guard bersenjata lengkap. Peluru Black Rose meleset, menancap di bingkai kayu lemari. Ia berbalik cepat, menembak ke arah mereka tanpa ragu.> DOR DOR DORShadow Guard berlindung di balik dinding, membalas tembakan dengan senapan assault mereka. Peluru berdesing menembus tembok drywall, membuat serpihan gypsum beterbangan. Aluna menjerit, menutupi kepala bayinya sambil merapat di sudut ruangan.---Black Rose – Pembunuh Tanpa Rasa TakutDengan gerakan lincah bagai panther, Black Rose menendang lemari ke arah Shadow Guard untuk menghalangi pandangan mereka, lalu melompat keluar jendela kamar bayi menuju balkon. Kakinya mendarat tanpa suara di besi balkon sempit lantai 100 itu.Matanya menyipit menatap helikopter Shadow Guard yang be
Li Tower – Pagi yang BerbedaPagi itu, suasana kantor pusat Li Group dipenuhi aura kemenangan. Para direksi dan karyawan senior menatap Arsenio dengan hormat saat ia berjalan melewati lorong utama menuju ruang rapat eksekutif. Mereka tahu, semalam CEO mereka telah menumbangkan organisasi mafia terbesar di Beijing hanya dalam satu malam.Di ruang kerjanya, Arsenio duduk menatap laporan saham Li Group yang meroket 12% sejak pagi. Kevin masuk membawa secangkir kopi hitam.“Bos, semua media memuji langkah cepat Li Group menumpas Red Lotus. Anda kini dijuluki ‘The Untouchable CEO’ di berbagai headline bisnis Asia Timur.”Arsenio menatap layar laptopnya tanpa ekspresi. “Semakin tinggi kita terbang… semakin kuat angin yang akan menjatuhkan kita.”---Shadow Guard – Laporan Ancaman BaruKomandan Shadow Guard, Yong Xi, masuk dengan raut serius. Ia meletakkan map hitam di meja Arsenio.“Bos, tim IT kami melacak sumber dana utama Red Lotus. Ternyata mereka hanya front kecil dari organisasi yang
Pagi yang Mencekam – Li MansionPagi itu, Aluna menyiapkan sarapan di dapur saat Arsenio turun mengenakan setelan jas abu-abu gelap. Matanya menatap Aluna tanpa ekspresi, tapi tatapannya tajam dan menusuk.“Besok kita pindah ke penthouse Li Tower,” katanya singkat sambil mengambil cangkir kopi yang baru diseduh Aluna.Aluna menoleh cepat. “Kenapa mendadak sekali?”Arsenio menatapnya lama sebelum menjawab pelan, “Karena rumah ini sudah terlalu banyak dihuni mata-mata.”---Red Lotus – Publikasi VideoSementara itu, di markas Red Lotus, Sienna menekan tombol ‘send’ di laptopnya dengan senyum puas. Video rekaman Adrian dan Aluna di taman belakang mansion langsung terkirim ke puluhan media gosip dan influencer ternama di Beijing.“Dalam dua jam, reputasi mereka akan hancur,” ujar Sienna sambil meneguk kopinya.Hendra berdiri menatap layar, matanya menatap dingin nama-nama portal media yang menayangkan berita itu secara real-time.> “Istri CEO Li Group Ketahuan Berselingkuh dengan Mantan K
Li Mansion – Pagi yang PalsuMatahari pagi menembus tirai putih kamar utama Li Mansion. Di meja rias, Aluna menatap pantulan wajahnya yang semakin pucat. Lingkar hitam di bawah matanya semakin tebal karena malam-malam tanpa tidur. Ia menoleh ke ranjang, mendapati Arsenio masih tertidur dengan wajah lelah. Sejak kemarin, Arsenio pulang larut malam setelah rapat darurat dengan tim Shadow Guard dan dewan direksi Li Group.Aluna berdiri, membetulkan gaun santainya, lalu menatap suaminya lama.> “Aku nggak boleh jadi kelemahanmu, Sen…”---Li Group HQ – Strategi BalasanJam 08.00, Kevin menampilkan laporan investigasi Adrian Wijaya di layar proyektor ruang kerja Arsenio.“Dia anak tunggal pemilik Wijaya Group di Singapura. Kekayaannya lumayan, tapi masih jauh dibanding Li Group. Riwayatnya bersih, kecuali satu kasus pelanggaran etika profesional saat magang di Hong Kong dulu, namun berhasil diselesaikan oleh ayahnya sebelum jadi skandal.”Arsenio menatap layar itu dengan mata tajam.“Tidak
Markas Red Lotus – Rapat DaruratPagi itu, Hendra duduk di meja rapat utama markas Red Lotus. Di sampingnya, Sienna duduk dengan kaki diperban, menatap layar proyektor yang menampilkan foto Zhang Wei dengan tulisan besar:> “Zhang Wei Ditemukan Tewas di Sungai – Dugaan Bunuh Diri”Hendra mengetuk meja pelan, suaranya terdengar serak menahan amarah. “Dia benar-benar membunuh Zhang Wei…”Sienna menatap Hendra tajam. “Arsenio semakin berbahaya. Kita tidak bisa lagi hanya menekannya dari sisi politik atau bisnis.”“Kalau begitu, kita tekan dia dari sisi keluarga,” desis Hendra sambil menatap foto Aluna di layar lain.“Dan… kita akan panggil dia.”Sienna menoleh cepat. “Dia…? Kamu yakin?”Hendra tersenyum kecil. “Kita butuh pion yang bisa membuat Aluna goyah. Arsenio mungkin kebal pada ancaman nyawa, tapi tidak pada ancaman hati istrinya.”---Li Mansion – Pagi yang TenangSementara itu, di Li Mansion, Aluna sedang duduk di ruang makan sambil menyuapi bayi mereka dengan bubur. Tatapannya t
Li Mansion – Pagi yang MembekuUdara pagi ini lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menutupi taman lavender di halaman belakang Li Mansion. Dari balkon kamar utama, Arsenio berdiri mematung dengan mata tajam menatap jauh ke arah kota yang mulai sibuk. Matanya kosong, namun di balik tatapan itu berkecamuk badai dendam yang menunggu dilepaskan.Di dalam kamar, Aluna sibuk memandikan bayi mereka. Sesekali ia melirik suaminya yang berdiri membelakangi mereka. Ada aura gelap yang terpancar dari Arsenio hari ini, lebih pekat dibanding hari-hari sebelumnya.“Sen…” panggilnya pelan.Arsenio tidak menoleh. Suaranya terdengar datar dan berat, “Aku harus pergi pagi ini.”Aluna menatapnya cemas. “Kamu mau ke mana?”Arsenio menghela napas panjang sebelum akhirnya menoleh. Tatapannya tajam namun menyimpan kesedihan yang dalam.“Ke tempat masa lalu yang belum pernah selesai.”---Li Group HQ – Persiapan EksekusiJam 08.00, di ruang kerja lantai 59, Kevin menyerahkan berkas laporan keuangan Zhang W