Aluna duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan tangan gemetar. Hasil pemeriksaan yang baru saja diberikan dokter seperti mimpi buruk yang datang di siang bolong. Enam minggu. Itu artinya… dia hamil anak dari pria yang bahkan tidak menyentuhnya lagi sejak malam itu.
Napasnya memburu. Ia merasa ruangan mulai berputar. “Tenang, Bu. Minum air putih dulu, ya,” suster mencoba menenangkan sambil menyodorkan segelas air. Aluna menerimanya dengan tangan gemetar, lalu meneguk perlahan. Dalam benaknya, pikirannya tak henti menari ke malam itu—malam saat ia dan Arsenio pulang dari acara gala yang penuh kemewahan dan champagne. Malam saat mereka berdua mabuk dan terjebak dalam satu kamar hotel, karena sopir tak bisa dihubungi. Ia menyesali keputusan untuk minum malam itu. Awalnya hanya satu gelas. Tapi tekanan, kemarahan, dan emosi yang dipendam membuatnya melampaui batas. Dan Arsenio? Entah karena apa, pria itu tiba-tiba juga membiarkan dirinya larut dalam alkohol. Dan malam itu terjadi. Tanpa sadar, air mata mengalir di pipi Aluna. --- Apartemen Arsenio Sore itu, suara pintu terbuka cepat. Arsenio baru pulang dari kantor. Setelan jasnya masih rapi, tapi wajahnya menyimpan kejengkelan. “Ada apa kamu memanggilku pulang mendadak?” tanyanya, nada suaranya seperti biasa: datar dan dingin. Aluna berdiri dari sofa, memeluk lengan sendiri. “Aku… perlu bicara.” “Cepat. Aku ada meeting Zoom jam tujuh.” Aluna menunduk, lalu mengangkat selembar kertas hasil USG dan menunjukkannya tanpa kata. Arsenio menatapnya. Lama. Mata pria itu turun menatap kertas itu, membaca nama, usia kandungan, dan… semuanya terasa seolah waktu berhenti. “Apa ini?” tanyanya akhirnya. “Bayi…” jawab Aluna, nyaris seperti bisikan. “Aku hamil. Enam minggu.” Arsenio mencengkeram kertas itu. Ia berjalan ke jendela, membelakangi Aluna. Bahunya naik turun, entah karena syok, marah, atau perasaan lain yang tak bisa dijelaskan. “Kamu yakin itu milikku?” Pertanyaan itu menghantam dada Aluna seperti palu. “Kamu pikir aku tidur dengan pria lain saat aku bahkan hampir tidak keluar dari apartemen ini?” suaranya bergetar menahan sakit. Arsenio memejamkan mata, mencoba berpikir jernih. “Maaf. Itu… bukan maksudku.” “Tapi kamu memang mengatakannya.” Suasana membeku. Hening seperti mayat hidup. Hanya suara jam dinding yang berdetak keras. “Jadi apa yang akan kamu lakukan?” tanya Aluna akhirnya. “Aku tidak tahu,” jawab Arsenio jujur. “Ini… di luar rencana.” Aluna menatap pria itu dalam-dalam. “Kamu pikir aku menginginkan ini? Aku bahkan belum siap menjadi istri, apalagi ibu.” Arsenio akhirnya menoleh. Untuk pertama kalinya, ada sedikit kelembutan di matanya. “Aku butuh waktu untuk berpikir.” “Waktu? Kamu tahu apa yang tidak bisa kutunda? Detak jantung kecil dalam tubuhku ini.” Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Arsenio kehilangan kata-kata. --- Malam Hari Aluna duduk di tempat tidur, memeluk perutnya sendiri yang masih datar. “Kamu mungkin tidak direncanakan, tapi kamu nyata,” bisiknya sambil menahan air mata. Di ruangan lain, Arsenio berdiri di balkon, menatap langit malam Jakarta yang penuh cahaya tapi terasa kosong. Ia menyalakan rokok—sesuatu yang jarang ia lakukan—dan mengisap dalam-dalam. Dalam pikirannya, berbagai skenario berputar. Apa yang akan dikatakan keluarganya? Bagaimana dengan reputasinya sebagai CEO muda yang dingin, rasional, dan tak tersentuh? Dan yang paling penting—apa arti kehadiran bayi ini untuk kontrak mereka yang hanya tiga bulan? Ponselnya berdering. Nama “Madam Liana” tertera di layar. “Ya, Ma?” “Kamu dan istrimu akan hadir di acara keluarga minggu ini, kan? Kakekmu ingin melihat kalian.” “Ya. Kami akan datang.” “Bagus. Dan satu lagi… aku dengar kabar dari media sosial kalau ada yang menyebar rumor kamu akan punya anak. Apa itu benar?” Arsenio terdiam. “Belum pasti, Ma. Jangan percaya gosip.” Setelah telepon ditutup, Arsenio menatap langit lagi. “Belum pasti…” gumamnya lirih. Tapi dalam hatinya, ia tahu: semua sudah pasti. Dia akan jadi ayah—entah dia siap atau tidak. --- Esoknya Arsenio memutuskan untuk mengantar Aluna ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan. Sepanjang perjalanan, mereka tidak banyak bicara. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari Arsenio—dia terlihat lebih… tenang. Saat dokter melakukan USG dan memperlihatkan titik kecil di layar, Aluna nyaris tak bisa menahan air mata. “Itu… detak jantungnya?” bisiknya. “Ya,” jawab dokter sambil tersenyum. “Bayinya sehat.” Aluna menoleh pada Arsenio. Pria itu menatap layar dengan ekspresi tak terbaca, lalu mengangguk pelan. Saat mereka keluar dari ruangan, Arsenio tiba-tiba berkata, “Kita akan membesarkan anak ini.” Aluna menoleh dengan mata membesar. “Apa?” “Aku tidak akan membiarkan anakku tumbuh tanpa ayah. Kita akan menjalani ini… sebaik mungkin.” Aluna terdiam. Di balik kata-katanya yang dingin, ada sesuatu yang jujur di sana. “Jadi… kontrak kita?” tanyanya hati-hati. “Kita ubah. Bukan tiga bulan. Kita jalani sampai… kita tahu ke mana ini semua akan berakhir.” Dan untuk pertama kalinya, Aluna merasa sesuatu dalam dirinya sedikit… tenang. Satu Minggu Kemudian Aluna menatap cermin besar di kamar apartemen mewah itu. Ia mengenakan gaun putih tulang dengan potongan elegan, rambut disanggul rapi oleh stylist profesional yang dipesan Arsenio khusus untuk acara keluarga besar sang suami. “Kalau kamu terus grogi begini, orang-orang akan mengira kamu gadis SMA yang mau menikah diam-diam,” ledek Arsenio dari balik pintu. Aluna mendengus pelan. “Wajar kalau aku grogi. Ini pertama kalinya aku ketemu keluarga besarmu, dan… kita datang dengan kabar ‘kejutan’.” Arsenio berjalan mendekat, kini juga sudah rapi dengan setelan jas hitam dan dasi abu muda. Wajahnya tetap datar, tapi ada kilatan ketegasan yang tak bisa disembunyikan. “Kita akan menghadapinya bersama. Aku yang akan bicara soal bayi ini,” ucapnya. “Tugasmu hanya senyum dan jangan muntah di karpet nenekku.” Aluna melirik kesal, tapi senyumnya tak tertahankan. --- Rumah Keluarga Besar Li – Jakarta Selatan Begitu mobil mereka berhenti di pelataran rumah besar bergaya kolonial itu, beberapa pelayan langsung membuka pintu. Seorang wanita paruh baya dengan riasan elegan menyambut mereka: Madam Liana, ibu kandung Arsenio. “Aluna, sayang. Akhirnya bertemu juga,” katanya, mencium pipi menantunya. “Kamu cantik sekali malam ini.” “Terima kasih, Tante—eh, Ibu.” Madam Liana tertawa kecil. “Panggil Ibu saja, biar makin akrab.” Di dalam, pesta kecil berlangsung dengan musik jazz lembut dan tawa ramah para anggota keluarga kaya raya. Semua mengenakan baju terbaik mereka, dan tampak seperti langsung keluar dari majalah elite society. “Cucu saya sudah datang!” suara pria tua terdengar dari ujung ruangan. Kakek Arsenio, Tuan Li Hong Xian, yang sangat disegani dalam keluarga. “Arsenio. Istrimu cantik. Dan... kudengar kabar menarik.” Arsenio meraih tangan kakeknya. “Benar, Kek. Kami… akan punya anak.” Hening sejenak. Semua kepala menoleh. Lalu Tuan Li tertawa lepas. “Akhirnya! Akhirnya kamu juga jadi laki-laki sejati, Arsenio!” Suara tawa dan tepuk tangan pun pecah. Aluna menghela napas lega. Tapi tidak semua orang bahagia. Di sudut ruangan, seorang wanita dengan gaun merah menyala memandangi mereka dengan sorot mata tajam—Clarissa, mantan tunangan Arsenio sekaligus anak dari rekan bisnis ayahnya. Ia mendekat, senyum sinis terlukis di wajahnya. “Selamat ya, Arsenio… Aluna. Wah, cepat sekali kalian ‘berhasil’, padahal katanya cuma pernikahan bisnis, ya?” Aluna menegang. Arsenio berdiri tegak. “Clarissa, jaga ucapanmu.” “Tentu,” jawab Clarissa manis. “Hanya mengucapkan selamat. Tapi semoga saja bayi itu benar-benar milikmu.” Suasana kembali tegang. Aluna menggenggam erat tas kecilnya, berusaha tidak menangis di tempat umum. Tapi sebelum ia sempat bereaksi, Arsenio menarik tangannya. “Mari kita bicara di luar,” katanya tegas. Ia menarik Aluna ke taman belakang, jauh dari semua mata yang memperhatikan. --- Taman Belakang “Maafkan aku,” ucap Arsenio tiba-tiba. Aluna menatapnya kaget. “Untuk apa?” “Untuk semua rumor dan tekanan ini. Untuk pernikahan yang terlalu cepat. Dan... untuk membuatmu terjebak dalam dunia yang tidak pernah kamu pilih.” Aluna menggeleng. “Aku juga memilih, Sen. Mungkin bukan hidup mewah, tapi aku memilih bertahan. Aku memilih kamu... meski semua ini awalnya hanya kontrak.” Arsenio menatapnya lama. “Dan sekarang?” “Sekarang… aku takut.” “Takut akan apa?” “Takut... jatuh cinta sama kamu.” Arsenio terdiam. Ia mendekat perlahan, lalu mengusap pipi Aluna yang dingin. “Aluna…” bisiknya. “Kalau kamu jatuh… aku yang akan menangkapmu.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, tidak ada kontrak, tidak ada kesepakatan bisnis. Hanya dua manusia yang sama-sama takut, tapi mulai percaya. --- Keesokan Harinya Skandal itu tak butuh waktu lama untuk pecah di media sosial. Foto USG Aluna tersebar di sebuah akun gosip selebriti, lengkap dengan caption: "Istri kontrak? Atau istri sungguhan? CEO muda Arsenio Li diduga akan segera menjadi ayah dari pernikahan bisnisnya!" Aluna gemetar saat membaca komentar-komentar pedas netizen. Tuduhan, hinaan, bahkan ejekan terhadap bayi dalam kandungannya membanjiri kolom komentar. Arsenio langsung memanggil tim hukum dan Humas perusahaan. Ia mengadakan konferensi pers darurat dan berdiri di depan wartawan dengan sikap tenang tapi tegas. “Saya ingin mengklarifikasi. Aluna bukan istri kontrak. Dia istri saya yang sah. Dan bayi yang dikandungnya adalah anak saya.” Suara kilatan kamera menggema di ruangan. “Saya mencintai istri saya. Dan saya akan melindungi keluarga saya, apapun yang terjadi.” Sore harinya, berita berbalik arah. Dari ejekan menjadi pujian. Dari hinaan menjadi kekaguman. Dan di balik layar televisi, Aluna meneteskan air mata. Bukan karena tekanan… tapi karena untuk pertama kalinya, hatinya menghangat. --- Malam Hari – Apartemen Arsenio pulang terlambat. Ia membuka pintu kamar dan mendapati Aluna tertidur di sofa, tangan masih memegang buku tentang kehamilan. Ia menghampiri, lalu mengambil selimut, menyelimuti perempuan itu dengan hati-hati. Sebelum kembali berdiri, ia mengecup dahi Aluna pelan. “Terima kasih… karena bertahan.” Aluna membuka mata sedikit. “Kamu pulang?” Arsenio tersenyum kecil. “Iya. Sudah waktunya… aku benar-benar pulang.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka tidur dalam satu tempat tidur—tanpa batas, tanpa ragu.Malam itu, suasana rumah kontrakan Bima terasa menegangkan. Lampu temaram membuat bayangan di dinding bergerak-gerak, seolah ada sosok yang mengintai.Reyhan, Ayara, dan Ardi duduk di ruang tamu kecil. Bima gelisah, mondar-mandir, wajahnya penuh rasa takut.“Kalau saya buka mulut, saya dan keluarga bisa diburu,” kata Bima lirih. “Saya sudah lihat sendiri bagaimana orang-orang Rasya bekerja. Mereka nggak segan-segan menghilangkan orang.”Reyhan menatapnya dengan sorot mata tegas. “Itulah sebabnya kami datang. Kami akan lindungi Anda, Pak Bima. Tapi tanpa kesaksian Anda, kebenaran nggak akan pernah terungkap.”Ayara menambahkan, suaranya lembut namun penuh keteguhan. “Kami paham risikonya. Tapi kami juga percaya, orang baik selalu punya jalan. Dan Anda bukan sendirian.”Bima terdiam lama, sebelum akhirnya menghela napas. “Baiklah. Saya akan bantu. Tapi kita harus hati-hati. Rasya punya orang di mana-mana.”---Gerakan di Luar RumahTanpa mereka sadari, Reno dan beberapa anak buah Rasya
Pagi itu, layar televisi di hampir semua kafe, kantor, bahkan warung kecil menayangkan breaking news. Nama Reyhan terpampang besar di headline:“Skandal Besar: Pengusaha Muda Diduga Rekayasa Data Korupsi.”Ayara yang baru saja menyalakan TV di apartemen langsung terpaku. Tubuhnya terasa lemas, remote jatuh dari tangannya.“Tidak mungkin…” suaranya bergetar. “Mereka… mereka balikkan semuanya…”Reyhan keluar dari kamar, masih mengenakan kemeja setengah dikancingkan. Ia mendekati layar televisi, menatap dengan rahang mengeras.Di layar, seorang “ahli keuangan” yang sebenarnya adalah boneka bayaran Rasya berbicara lantang.“Bukti yang katanya ditemukan oleh Reyhan itu tidak valid. Ada indikasi manipulasi data. Bahkan, ada jejak digital yang menunjukkan bahwa file itu direkayasa dari laptop milik Reyhan sendiri.”Wajah Reyhan tetap dingin, tapi tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Ayara menoleh padanya. “Rey… ini fitnah. Kamu harus jelasin ke publik. Kamu nggak
Pagi itu, langit Jakarta mendung seakan ikut menahan napas menunggu badai yang akan segera datang. Reyhan, Ayara, dan Ardi duduk di sebuah kafe kecil yang cukup sepi, jauh dari keramaian. Di meja mereka tergeletak sebuah map cokelat yang berisi print out data korupsi Rasya.Ayara sesekali melirik ke luar jendela, waspada kalau-kalau ada orang mencurigakan yang membuntuti mereka. Tangannya tak berhenti menggenggam erat jemari Reyhan.“Aku masih nggak tenang, Rey,” bisiknya. “Tadi malam mereka bisa tahu tempat kita, padahal apartemen kamu itu pakai keamanan berlapis. Bagaimana kalau hari ini mereka sudah pasang mata juga di sekitar sini?”Reyhan menatapnya lembut, meski wajahnya sendiri terlihat tegang. “Aku tahu, Ara. Tapi ini satu-satunya cara. Kita harus serahkan bukti ini sebelum Rasya sempat menghilangkannya.”Ardi mengangguk mantap. “Tenang aja, Ara. Bu Mira itu jurnalis senior, dia bukan orang sembarangan. Dia sudah biasa menghadapi ancaman kayak gini. Kalau data ini sudah di tan
Pagi itu, suasana apartemen Reyhan penuh ketegangan. Flashdisk kecil berisi bukti korupsi Rasya terletak di atas meja, seolah menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.Ayara menatapnya dengan wajah gelisah. “Rey… kalau bukti ini sampai salah langkah, Rasya bisa balas dendam lebih gila lagi. Kamu yakin kita siap?”Reyhan menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Ayara penuh keyakinan. “Aku tahu risikonya. Tapi kalau kita diam, dia akan semakin kuat. Kita nggak boleh kasih dia kesempatan lagi.”Ardi, yang sibuk memeriksa data dari laptop, ikut menimpali. “Semua bukti sudah jelas. Transfer dana fiktif, rekening luar negeri, nama-nama perusahaan boneka. Kalau ini sampai keluar ke publik, Rasya habis.”Ayara menggigit bibir. “Tapi kita harus hati-hati. Rasya itu licin. Dia pasti sudah pasang mata di mana-mana.”---Rencana PublikasiReyhan kemudian berdiri, berjalan ke arah papan tulis kecil di ruang tamu. Ia menggambar alur strategi:1. Kirim data ke media besar yang independen.2. S
Malam turun perlahan, menyelimuti kota dengan cahaya lampu yang berkelap-kelip. Di kejauhan, gedung Surya Corp berdiri gagah, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan. Namun bagi Reyhan, gedung itu kini lebih menyerupai benteng musuh yang penuh jebakan.Ayara berdiri di depan jendela apartemen, menatap gedung itu dengan hati gelisah. “Rey, apa kamu yakin harus lakukan ini malam ini?” tanyanya lirih, suaranya bergetar.Reyhan meraih jaket kulitnya, wajahnya penuh tekad. “Justru malam ini saat yang tepat. Keamanan lebih longgar setelah jam kerja, dan sebagian besar karyawan udah pulang. Kalau aku nunggu besok, Rasya bisa makin rapat nutupin jejaknya.”Ardi yang duduk di sofa ikut menimpali, “Aku udah atur seseorang di dalam. Namanya Pak Bima, kepala arsip lama yang masih hormat sama Reyhan. Dia bakal bantu kasih akses. Tapi setelah itu, kita sendiri yang harus cari dokumen.”Ayara menggigit bibir, lalu menghampiri Reyhan dan menggenggam tangannya erat. “Janji sama aku, kamu bali
Hujan baru saja reda sore itu, tapi hawa dingin masih menusuk. Dari jendela apartemen mungilnya, Ayara melihat langit yang kelabu, seakan mencerminkan suasana hatinya.Ponselnya terus berbunyi, notifikasi dari media sosial, portal berita, dan pesan tak dikenal. Semuanya menuding Reyhan sebagai pengkhianat keluarga, bahkan kriminal yang dituduh mencuri data perusahaan.“Rey…” Ayara menoleh ke suaminya yang duduk di kursi, wajahnya lelah menatap laptop. “Fitnah ini makin parah. Mereka bilang kamu kabur bawa dokumen penting.”Reyhan menghela napas panjang, lalu menutup laptop. “Itu jelas permainan Rasya. Dia memang sengaja menjebakku. Aku udah menduga ini bakal terjadi.”Ayara menggenggam tangannya erat. “Terus kita harus gimana? Kalau terus-terusan gini, nama kamu bisa rusak selamanya.”Reyhan menatap Ayara dalam-dalam, sorot matanya tajam. “Justru itu, Ara. Aku nggak boleh diam. Kalau aku lari, Rasya menang. Aku harus buktikan siapa yang sebenarnya bersalah.”---Gerakan RasyaDi gedun