"Aku bisa menghabisi siapa pun yang menghalangi jalanku. Namun, mengapa tidak terhadapmu? Aku pasti sudah gila." -Mike-
*** “Mike! Apa yang terjadi? Ah!” Suara tembakan bersahutan membuat Angie seketika tak kuasa menahan kepanikan. Mike segera menghambur ke arahnya, melindunginya agar merunduk dan bersembunyi di balik pagar balkon. “Tetap seperti ini dan jangan bergerak, oke!?” Mike bangkit, melepaskan tembakan yang telak mengenai beberapa orang di bawah. Dia kembali merunduk dan melihat Angie menutup telinga sembari meracau. Tubuh gadis itu bergetar hebat, wajahnya seputih kapur—dengan segera, Mike melepaskan jas untuk dia gunakan menutupi kepala sang istri. “Bergeraklah perlahan dan masuk ke kamar! Kunci pintu dan jangan membukanya apa pun yang terjadi. Kau mengerti?” titah Mike, sembari tetap menjaga kontak mata dengan gadis yang, bisa dia baca, ketakutan terpancar dari sepasang manik cemerlang itu. “Angie, jawab aku! Apakah kau mengerti apa yang baru saja kukatakan?” Angie menggeleng keras. Dia enggan melakukan seperti yang Mike katakan. Entah apa yang membuatnya begitu nekat, tetapi dia ingin tetap berada di situ untuk memastikan sang suami baik-baik saja. Memangnya siapa Mike? Mengapa dia begitu peduli? “Tidak, Mike! Kau akan ikut denganku untuk bersembunyi atau aku akan tetap di sini,” jawab Angie dengan tatapan yang masih kosong. Dia tak sadar telah mengucapkan kalimat itu. “Kau tidak punya hak memerintahku, Angie, kau dengar!?” “Aku tidak mau menjadi janda secepat itu, Mike, apa kau mengerti?!” Angie balas membentak, tetapi wajahnya sudah pucat pasi dengan sepasang bola mata gelap yang tampak berkaca-kaca. “Persetan iblis macam apa kau ini, tapi aku akan tetap di sini jika kau tidak mau pergi denganku.” Mike merasa diremehkan oleh ucapan Angie. Namun, lelah rasanya memelototi gadis yang tak sedikit pun terusik dengan tampang mengerikan yang dia ulas di wajahnya sejak tadi. Setelah semua selesai, sepertinya dia membutuhkan waktu seumur hidup untuk berhibernasi, lelah berurusan dengan gadis aneh seperti Angie. “Mike, kau dan Angie masuk sekarang! Biar kami yang akan menghadapi mereka!” ujar sang ibu, keluar dari kamar setelah mendengar kegaduhan, menyibak gaun, dan mengambil sebuah pistol dari holster yang terpasang pada pahanya. Melihat itu, mulut Angie ternganga. Dia mengerjap kagum untuk beberapa saat sebelum suara letusan lain membuatnya terhenyak. “Angie, masuklah bersama Mike!” Sang ayah mertua turut memberi titah. Namun, Mike tak ingin pergi ke mana pun. Dia bukan anak kemarin sore, yang tak bisa menghadapi pasukan lawan yang, baginya, tak ada apa-apa dibanding kemampuannya. “Apa yang terjadi, Pa?” tanya Mike, sembari sesekali mengintip ke bawah. Suara tembakan bersahutan membuat percakapan mereka terasa tenggelam dengan kebisingan. “Kurasa transaksi antara kita dan mereka telah gagal.” “Apa maksudnya? Bukankah semua berjalan lancar karena aku sendiri yang mengurus semua.” “Entahlah. Beberapa hari lalu mereka menghubungi dan mengancam akan datang dengan pasukan. Rupanya mereka punya nyali.” Suara erangan lain terdengar dan hal itu membuat Zack, sang ayah, bangkit dan melepaskan tembakan, begitu pula dengan Vivian, sang ibu. “Mike, bawa Angie masuk sekarang juga!” titah Vivian, kembali membidik pasukan lawan. Tak bisa membantah, Mike dengan terpaksa patuh dan membawa Angie masuk ke dalam kamar dengan cara merunduk. Baku tembak terus terjadi saat Mike dan Angie telah tiba di kamar. Dia kembali keluar dan membantu kedua orang tuanya menghadapi musuh yang seolah tak ada habisnya. “Sialan! Berapa orang yang dia berangkatkan ke tempat ini dan bagaimana dia bisa tahu keberadaan kita?” gerutu Mike. “Tak penting masalah itu sekarang. Yang pasti, kau harus masuk dan menjaga Angie di dalam!” “Tidak, Ma. Aku akan berada di sini membantu kalian.” “Mike, ini perintah!” Vivian tak main-main dengan ucapannya, mendelik pada sang putra yang dengan segera pergi sembari mengetatkan rahang. Dadanya bergemuruh penuh amarah. Angie-lah yang menyebabkan dia diperlakukan seperti anak kecil. Biasanya, sang ayah dan ibu tak akan keberatan jikalau dia ingin membantu menyelesaikan masalah hingga tuntas, karena sang mereka percaya kalau dirinya memiliki kemampuan yang mumpuni. Kali ini, jauh berbeda dan Mike tidak bisa menerima perubahan begitu saja. Di kamar, dia menatap sinis ke arah Angie yang meringkuk di ranjang sembari memeluk lutut dan menutup telinga. “Bisakah kau berhenti membuatku repot?” ujar Mike, kemudian bangkit dan mengintip ke luar jendela. Dia melihat sang ibu melompat turun dari balkon seperti seorang jagoan di film action favoritnya. Itulah yang membuat Mike begitu mengagumi sang ibu hingga berharap pendampingnya nanti akan memiliki karakter seperti wanita itu. Sayang sekali, yang dia dapatkan justru gadis beban. Mendengar perkataan Mike, Angie yang semula menunduk, mengangkat wajah dan membalas tatapan sinis Mike. “Kau bertanya padaku? Bagaimana denganku? Kapan kau akan berhenti membuatku berada dalam bahaya?” Pertanyaan itu menohok Mike. Namun, dia tak lakukan sesuatu, karena sadar bahwa mengancam dengan kematian lama-kelamaan akan terasa kuno dan membosankan. Dia ingin permainan baru dengan tawanan satu ini—tawanan berkedok istri—sepertinya dia suka julukan itu. *** Mike mondar-mandir di kamar, menantikan kabar mengenai kedua orang tuanya. Dia tak henti menyalahkan diri, juga Angie, karena dengan ketidak hadirannya dalam baku tembak beberapa jam lalu, sang ayah harus menerima terjangan timah panas yang mengenai beberapa bagian tubuh. Napas Mike terengah, dadanya berkobar oleh amarah. Namun, tak ada yang bisa dia lakukan selain merutuki diri, menatap Angie dengan tatapan tajam, dan menyumpah serapahi musuh mereka. “Bedebah! Aku tidak akan biarkan kalian berkeliaran dengan tenang!” gumamnya, yang seketika terhenti saat pintu terbuka dan sang ibu masuk, lalu duduk di sofa. Wajahnya tampak lelah, tetapi tak menutupi kelegaan yang tergambar di sana. “Bagaimana, Ma? Apakah Papa baik-baik saja?” “Apakah pernah papamu tidak baik-baik saja, Mike? Aku justru sekarang cemas kalau bajingan-bajingan itu yang akan hancur. Anak lelakiku ini pasti akan memburu mereka sampai ke ujung dunia karena telah menyakiti orang yang dia cintai. Iya, kan?” Vivian menyunggingkan senyum hangat. “Beristirahatlah. Kami juga akan beristirahat dan besok, kita segera kembali ke rumah. Di mana pun sedang tidak aman, kecuali rumah kita.” Vivian mengalihkan tatapan pada sang menantu, membelai lengannya, sebelum kemudian bangkit dan pergi. Sepeninggal sang ibu mertua, Angie menggeser duduk agar lebih dekat dengan Mike. Ada banyak hal yang tidak dia ketahui mengenai keluarga yang merupakan anggota organisasi hitam paling berbahaya sekaligus pemilik bisnis terbesar di Eastonville. Dia penasaran, bisnis apa sebenarnya yang mereka kerjakan? “Mike, apa yang terjadi? Apakah Papa akan baik-baik saja?” tanya Angie dengan raut wajah cemas tanpa kepura-puraan. Bagaimana jika apa yang ayah mertuanya alami lantas dialami oleh Mike? Tentu saja dia akan panik meski Mike bukan lelaki yang dia cintai. Mike mengusap kasar wajah dan menyugar rambut cepaknya yang mulai berantakan. Dia hanya mengangguk menjawab pertanyaan sang istri. “Tidurlah. Kau pasti sangat lelah.” “Bagaimana denganmu?” “Aku akan berjaga.” Mike meraih selimut dan membentangkan di tubuh Angie yang masih dalam posisi duduk. “Tidur. Kau akan sangat cerewet dan merepotkan kalau masih terjaga. Biarkan aku tenang sebentar saja, oke?” Angie mencebik. Cerewet, katanya? “Kau bahkan belum mengenalku, tetapi sudah berani mengataiku cerewet.” “Persetan. Aku tidak butuh mengenal karaktermu. Kita hanya berpura-pura, ingat. Jadi jangan berharap banyak.” Angie tahu itu. Tak perlu diingatkan, dia sudah tahu kalau pernikahan mereka hanyalah kepura-puraan. Yang jadi masalah, jika nanti sang mertua meminta apa yang tak bisa mereka berikan—seorang keturunan, apa yang harus mereka lakukan—jika hubungan mereka masih sekaku ini? “Mike, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Angie yang semula sudah berbaring, duduk kembali. Mike tak menjawab. Hanya menoleh ke arahnya, sebagai isyarat kalau dia siap menjawab pertanyaan apa pun. “Apa sebenarnya bisnis yang kalian kerjakan? Mengapa berurusan dengan bahaya seperti itu?” “Untuk apa bertanya? Kalau kau pikir dengan menjadi istriku lantas kau punya hak untuk tahu, maka salah besar.” Angie mendengkus keras mendengar jawaban ketus dari suaminya. “Aku hanya memastikan. Kita baru saja menikah, bagaimana kalau kau tewas karena bisnis berbahaya itu?” Mike tak menjawab, melainkan hanya melirik sinis sebagai respons atas ucapan Angie. Dia menoleh, bangkit dari duduk dan berjalan menuju ke ranjang. Lagi, hal itu menimbulkan rasa waswas di hati Angie, takut kalau Mike akan melakukan sesuatu terhadapnya, sehingga dia merapatkan selimut di dada. Gadis itu masih mengenakan gaun pengantin dan enggan untuk berganti pakaian. Kejadian hari ini cukup menguras tenaga dan kewarasannya sehingga setelah mendapat jawaban dari Mike, dia akan tidur dengan lelap dan bangun siang hari. “Kau ingin tahu bisnis apa yang kami kerjakan? Kami menjual obat-obatan terlarang dan narkotika, juga senjata api. Jadi, persiapkan mentalmu selama menjadi istriku. Kalau kau bertanya apakah aku akan menyentuhmu malam ini, jawabannya tidak. Aku tidak tertarik padamu. Jadi, jangan cemas apalagi berharap.”"Aku bisa menghabisi siapa pun yang menghalangi jalanku. Namun, mengapa tidak terhadapmu? Aku pasti sudah gila." -Mike-***“Mike! Apa yang terjadi? Ah!” Suara tembakan bersahutan membuat Angie seketika tak kuasa menahan kepanikan. Mike segera menghambur ke arahnya, melindunginya agar merunduk dan bersembunyi di balik pagar balkon.“Tetap seperti ini dan jangan bergerak, oke!?” Mike bangkit, melepaskan tembakan yang telak mengenai beberapa orang di bawah. Dia kembali merunduk dan melihat Angie menutup telinga sembari meracau.Tubuh gadis itu bergetar hebat, wajahnya seputih kapur—dengan segera, Mike melepaskan jas untuk dia gunakan menutupi kepala sang istri.“Bergeraklah perlahan dan masuk ke kamar! Kunci pintu dan jangan membukanya apa pun yang terjadi. Kau mengerti?” titah Mike, sembari tetap menjaga kontak mata dengan gadis yang, bisa dia baca, ketakutan terpancar dari sepasang manik cemerlang itu. “Angie, jawab aku! Apakah kau mengerti apa yang baru saja kukatakan?”Angie menggel
“Apakah ini mimpi? Setelah ini kita akan bersama di bawah satu atap. Lalu, apa yang harus kulakukan padamu?” –Mike–***Mike dan Angie tak membutuhkan waktu lama untuk mempertegas rencana pernikahan palsu mereka. Kedua keluarga sudah bertemu dan mudah pula bagi mereka untuk setuju karena tak butuh waktu penjajakan atau sejenisnya, mengingat tenggat waktu yang Mike berikan pada Angie adalah hanya terkait pernikahan.Lelaki itu tak memberinya waktu berpikir bahkan untuk menolak, sehingga semua terjadi dengan mudah dan di sinilah dia berada—di sebuah ruang terpisah, dengan beberapa orang tengah menata busana dan riasan yang akan membuat keduanya menjadi pengantin paling cantik dan gagah seantero jagat.“Dalam tradisi kami, pengantin harus tampak lebih dibanding tamu, bahkan pengiring. Pulaslah pemerah bibir yang berwarna tajam.” Melly, ibu Angie, meraih salah satu lipstick berwarna merah terang dan menyodorkan pada perias. “Ini. Warna ini pasti akan membuat Jiji-ku makin bersinar.”“Maaf
“Jika menurutmu pernikahan ini hanya main-main dan Tuhan enggan menyaksikan karena tak suka akan caraku memaksamu, maka biar iblis yang jadi saksi. Kau milikku.” –Mike–***Angie tampak gelisah dan mondar mandir di kamar. Dia menggigiti jemari dan menyumpah serapahi tindakannya yang begitu bodoh hari ini. Bahkan mungkin sejak kemarin.Mengapa dia begitu percaya pada sahabatnya dan setuju saja saat gadis itu mengajaknya ke kelab malam, tempat yang tak sekali pun pernah dia masuki dan akhirnya menjadi awal mula kesialan yang dia alami?Apa itu bourbon, margarita, vodka? Dia sama sekali tak tahu nama-nama itu. Meski kemarin sudah menenggaknya sembarangan, tetapi andai bukan sahabatnya yang memaksa, dia tak akan pernah menyentuh minuman itu barang sedikit pun.“Bodoh, bodoh, bodoh! Kau bodoh sekali, Ji!” Angie berulang kali memukul kepala dan kemudian mengempaskan tubuh di ranjang.Ingatannya seketika melayang ke beberapa jam lalu di mana dirinya dan Mike telah membuat perjanjian konyol y
“Cinta? Apa itu cinta? Yang kita butuhkan sekarang hanyalah kestabilan. Kau berdamai dengan ayahmu, sementara aku … sebuah kesempatan hidup—tak ingin mati konyol di tanganmu.” –Jiji–***Mike akhirnya membebaskan Angie tanpa syarat. Baginya, tak ada guna menyekap gadis tak menarik sepertinya. Dia bisa menemukan yang serupa gadis itu di jalanan, bahkan jauh lebih menarik dengan tubuh berisi dan tinggi besar, bukan mungil seperti tak punya daya.Tidak keren bagi dirinya, yang akan menjadi pewaris organisasi, memiliki pendamping seorang perempuan tak berdaya. Pasti nanti akan sangat menyusahkan. Wanita yang akan menjadi istrinya haruslah seperti sang ibu, tinggi semampai dengan otot kokoh dan selalu membawa senjata ke mana pun pergi.Di antara dirinya, sang ayah, dan ibu, hanya sang ibu yang tak membutuhkan pengawalan ke mana pun dia mau. Hal itulah yang membuat Mike begitu mengidolakannya.“Tuan Muda, Tuan dan Nyonya menunggu Anda di ruang makan,” ujar seorang pria muda setelah mengetuk
“Apakah Tuhan ada dan mengatur hidup manusia? Jika iya, mungkin Dia sedang membercandaiku, sekarang, sehingga mempertemukanku dengan gadis aneh sepertimu.” –Michael Genosie (Mike)–***Setengah jam sudah Mike memandangi gadis teler di atas ranjang. Bayangan tentang malam panas yang berkesan rupanya tak akan pernah terjadi.Gadis kelab tadi mengatakan kalau Angie, gadis yang ada bersamanya sekarang, masih ‘tersegel’. Dia yakin tak salah dengar. Seperti jackpot baginya, bukan? Namun, hal itu tetap tak berhasil memunculkan letupan hormon dalam dirinya.Mike memandangi Angie dengan tatapan yang dirinya sendiri pun tak mampu pahami. Tangannya terulur, menyibak helaian rambut panjang yang menutupi wajah gadis itu.Kulitnya seputih susu, dengan wajah tampak bersinar tersorot cahaya rembulan dari celah tirai. Pipinya kemerahan, makin merah karena efek alkohol, dan makin menarik jika dia perhatikan dari jarak sedekat itu.“Bodoh! Apa yang kulakukan?” gumamnya, lantas menarik selimut menutupi w
“Kata orang, kesan pertama haruslah memukau, selanjutnya, terserah. Aku tak percaya itu, karena kesan pertamaku denganmu adalah mimpi buruk dan selamanya akan begitu.” –Angelica Reviera (Angie/Jiji)–***Seorang pria muda dengan penampilan perlente berada di sebuah ruangan dikelilingi pria berpakaian serba hitam yang berdiri di sekitarnya. Di depannya, duduk seorang berpenampilan nyaris sama dengannya, elegan dan mahal, juga para pengawal yang berjaga tak jauh dari tempat mereka.Tak berselang lama, lima wanita berpakaian minim masuk, berdiri di ruangan, dan berpose memamerkan lekuk tubuh masing-masing. Harapan mereka, malam ini akan jadi malam yang menguntungkan.Menjadi budak pria muda perlente, jauh lebih baik bagi wanita-wanita itu dibanding harus mengarungi ribuan mil di tengah samudra hanya demi bertahan hidup. Pasrah berpindah dari tangan ke tangan, atau melawan—tetapi bersiap untuk tinggal nama.“Apa ini?” tanya pria perlente saat lima wanita kini mengerubuti layaknya lebah me