Glory Club menjadi saksi kesialan Angie. Ketika terbangun di pagi hari, dia menemukan dirinya berada di tempat asing, bersama seorang lelaki di sampingnya, dan tanpa mengenakan busana sehelai pun. Baginya memang sebuah kesialan ketika Mike, lelaki yang konon menghabiskan malam dengannya—putra tunggal dari pimpinan sebuah organisasi hitam "The Black Venom"—mendatanginya lagi dan menyodorkan sebuah berkas kontrak yang menjadi awal jungkir balik kehidupannya. "Tanda tangani, lalu menikah denganku, atau mati." Selanjutnya, seperti mengendarai roller coaster, Angie berusaha bertahan dalam pernikahan palsu. Hanya dua tahun, tetapi sebuah rahasia besar terbongkar menjadikan waktu yang tersisa, terasa bagai neraka. Tak hanya bagi Angie, tetapi juga Mike.
Lihat lebih banyak“Kata orang, kesan pertama haruslah memukau, selanjutnya, terserah. Aku tak percaya itu, karena kesan pertamaku denganmu adalah mimpi buruk dan selamanya akan begitu.” –Angelica Reviera (Angie/Jiji)–
*** Seorang pria muda dengan penampilan perlente berada di sebuah ruangan dikelilingi pria berpakaian serba hitam yang berdiri di sekitarnya. Di depannya, duduk seorang berpenampilan nyaris sama dengannya, elegan dan mahal, juga para pengawal yang berjaga tak jauh dari tempat mereka. Tak berselang lama, lima wanita berpakaian minim masuk, berdiri di ruangan, dan berpose memamerkan lekuk tubuh masing-masing. Harapan mereka, malam ini akan jadi malam yang menguntungkan. Menjadi budak pria muda perlente, jauh lebih baik bagi wanita-wanita itu dibanding harus mengarungi ribuan mil di tengah samudra hanya demi bertahan hidup. Pasrah berpindah dari tangan ke tangan, atau melawan—tetapi bersiap untuk tinggal nama. “Apa ini?” tanya pria perlente saat lima wanita kini mengerubuti layaknya lebah menghampiri bunga. “Kompensasi, Mike. Tidakkah mereka menggiurkan bagimu?” jawab pria dengan bekas sayatan luka di mata sebelah kanan—menyeringai, menampakkan deretan gigi yang tampak kusam akibat efek alkohol. Dari penampilannya jelas terlihat kalau dia adalah seorang pecandu. Tepatnya, pecandu dan seorang yang bergelut di bidang human trafficking. “Aku tidak butuh wanita.” “Oh, ayolah, Mike Genosie. Aku tahu seperti apa dirimu. Kau tak pernah bisa lepas dari kehidupan semacam itu. Aku hanya memudahkan agar kau tak perlu keluar masuk kelab hanya demi sebuah kenikmatan. Mereka adalah barang bagus. Salah satunya bahkan masih perawan.” BRAKK! “Uang atau kepalamu?” Mike mengarahkan moncong benda di tangan ke arah pria itu, sementara yang lain di belakang mereka, mulai saling menodongkan senjata. Pria bertubuh tambun di hadapan Mike tergelak, lalu berdiri dan bertepuk tangan. Baru kali ini, transaksi jual beli yang mereka lakukan terasa begitu alot. “Kau masih sama seperti sebelumnya. Ambisius, pemarah, dan ceroboh.” Dia mengeluarkan cerutu, mengisapnya dengan nikmat, lalu meniupkan asap ke wajah Mike. “Wanita-wanita itu, atau tidak sama sekali.” Mike menyeringai, memasukkan pistol ke balik jas yang dia kenakan, lalu kembali duduk di tempat semula. Tak ada respon dia berikan. Namun, saat pria di hadapannya lengah, dia keluarkan kembali benda kesayangan dan menembaki satu per satu anak buah pria tambun dan menyisakan hanya dirinya seorang. Pistol Mike kini tepat di kening pria tambun yang menatapnya dengan sorot mengiba. “Mike, ki-kita bisa bicarakan baik-baik. Tak apa kalau kau tidak menginginkan wanita-wanita itu–” “Berikan ceknya, atau kau akan kehilangan nyawa sekarang.” Pria itu mengangguk—gemetaran, meraih sesuatu dari balik jas, menulis dan menanda tangani, lalu menyerahkan pada Mike yang dengan segera memasukkan benda itu ke dalam saku. “Terima kasih untuk transaksi hari ini,” ucap Mike, kemudian menarik pelatuk dan seketika itu, cipratan darah mengenai wajahnya dan dengan tenang dia usap menggunakan punggung tangan. “Urus wanita-wanita itu. Kalian tahu caranya.” Mike berbalik setelah memberi titah dan pergi meninggalkan ruangan disusul suara pekik ketakutan berbarengan dengan suara tembakan bertubi-tubi. Transaksi telah selesai. *** Suara musik berdentum memekakkan telinga seorang gadis yang tengah berada di sana. Tampak tak terbiasa dengan kebisingan kelab malam dan segala hingar bingar, dia hanya duduk kaku sembari terus celingukan. Dia tak datang seorang diri, melainkan dengan seorang gadis lain yang terlihat tengah mengedar pandangan ke tiap sudut ruangan yang dipenuhi sorot lampu berkelap-kelip. Gadis dengan rok cekak itu tampak sudah tak asing dengan dunia malam. Dia bahkan dengan santai memesan beberapa gelas minuman dan menawari kawannya yang terlihat berulang kali mengetukkan hak sepatu. “Mengapa kau tampak begitu tegang, Angie? Relax. Dia pasti datang,” ujar gadis dengan warna kulit kuning langsat, mencoba menenangkan kawan yang sejak tadi tampak tak nyaman dan berulang kali membenarkan rok yang memperlihatkan paha mulusnya. Dia sudah memilih pakaian terbaik, tetapi sang sahabat justru memberikan gaun kurang bahan itu dengan alasan untuk lebih menarik perhatian lelaki yang berjanji temu dengannya. “Tapi mengapa dia begitu lama? Aku tidak bisa pulang larut. Ibu dan kakakku pasti akan cemas. Kau tahu bagaimana reaksi mereka setiap kali aku pulang terlambat, ‘kan?” jawab gadis bernama Angie, tampak memberengut. Sudah hampir satu jam mereka di sana, tapi tak ada tanda-tanda kedatangan lelaki yang mereka tunggu. Angie mulai gelisah. Dia yang tak biasa menenggak minuman beralkohol, mau saja kala sang sahabat menyodorinya gelas berisi cairan pekat. “Ini adalah Bourbon. Tidak akan membuatmu mabuk, aku janji. Hanya membuatmu merasa lebih tenang,” ujarnya. Angie ragu, tetapi menerima gelas tersebut dan menyesap isinya perlahan. Dia meringis. Sepat, pahit, dan berbagai rasa aneh mulai bercampur di lidah, membuatnya bergidik sebentar dan membatin, “Jeez! Rasanya aneh. Mengapa mereka menyukai minuman semacam ini? Apple cider buatan Ibu bahkan jauh lebih baik.” “Nikmati minumannya, Angie. Nikmati malam ini dan goyangkan badanmu. Woo-hoo!” Gadis itu berdiri, mengangkat kedua tangan, dan menggoyangkan tubuh mengikuti alunan musik berdentum. Dia mengajak Angie untuk berdansa dengannya, tetapi Angie menolak, sehingga dia mencari cara lain agar sang sahabat bisa menikmati waktu mereka. Tentu saja dengan memaksanya menenggak minuman hingga tandas. Rasa panas terbakar memenuhi kerongkongan Angie. Nyaris saja dia muntahkan cairan itu di tempat, tetapi dengan cepat dia telan dan berjanji tidak akan membuka mulut andai kawannya kembali menyodorkan minuman-minuman aneh. Dia takut kalau seseorang memasukkan racun atau semacamnya ke dalam sana. Bagaimana kalau dia teler? Bagaimana kalau setelah itu dia ditiduri? Atau diperkosa? Bagaimana kalau kemudian dia dibunuh dan dimutilasi? Meski negara yang dia tinggali bukanlah kawasan berbahaya seantero jagat, berhati-hati adalah hal nomor satu dalam kamusnya. Sayangnya, kini seluruh pusat saraf berkata lain. Cairan yang baru beberapa menit lalu dia tenggak, sukses membuatnya merasa seolah berada di atas komidi putar. Dada sesak dan kepala yang terasa berat segera dia tumpukan di atas meja. “Ta … dia benar-benar akan datang, ‘kan? Aku mengantuk sekali. Mata ini rasanya sulit untuk kukondisikan,” ucap Angie yang beberapa menit berikutnya tak lagi sadar dan mengingat di mana dia berada dan apa yang terjadi. Sementara itu, sang kawan hanya menyunggingkan senyum miring sebelum akhirnya berbalik dan mendekat ke salah satu meja di mana seorang lelaki, mengenakan kemeja dengan lengan tergulung hingga siku, tengah duduk dan menikmati minuman seorang diri. Beberapa orang yang sudah terbiasa melihat lelaki berpenampilan perlente itu di Glory Club, tak asing akan kehadirannya. Sendiri hanyalah kedok, karena kenyataannya, di setiap sudut ruangan penuh musik berdentum, beberapa pria dengan tubuh tegap dan berwajah sangar, tengah berdiri mengawasi. Kesemuanya menjalankan tugas menjaga sang tuan muda, putra tunggal orang terpenting, yang apabila dia tergores sedikit saja, maka mereka harus siap kehilangan satu anggota tubuh. Itulah salah satu alasan mengapa tak ada satu pun wanita menemani. Tak akan pernah ada yang berani mendekat tanpa diminta dan setiap wanita penghibur yang datang, akan dia usir begitu saja. “Butuh teman?” tanya gadis yang sejak semula sudah mengawasi. Dia segera mengambil tempat di samping si tuan muda yang tengah duduk sendiri dengan rokok menyala terapit di antara telunjuk dan jari tengah. Sesekali lelaki itu menyesap minuman di gelas yang akan selalu terisi ulang setiap kali kosong. Dia bukan lelaki sembarangan, si gadis tahu itu. Seluruh yang ada di kelab tak berani menatap mata elangnya. Tampangnya tak sangar, melainkan menawan—meski tatapannya seolah menghunjam ke relung hati terdalam—hanya saja, tato lambang sebuah organisasi yang tergambar di sisi leher, membuat tak ada seorang pun yang mau berurusan dengannya. Melirik sebentar pada gadis yang sejak tadi dia abaikan, lelaki itu tak bereaksi selain hanya melepas benda yang dia apit di jemari. Dia padamkan serampangan sebelum menoleh pada gadis dengan busana ketat di sampingnya. Lelaki itu mengangkat sebelah alis, memandangi gadis itu dari ujung kaki hingga rambut. Sudah beberapa wanita datang menawarkan hal sama, tetapi dia tidak tertarik. Fix! Dia tak bernafsu terhadapnya. Dia kibaskan tangan, mengusir gadis itu pergi, lalu memalingkan wajah. “Aku tidak tertarik padamu.” “Oh, tidak, tidak. Kau salah sangka, Tuan. Bukan aku, tapi dia.” Gadis itu menunjuk Angie yang teler di atas meja bar, masih meracau memanggil nama lelaki yang dia nanti sejak satu jam lalu. “Bagaimana?” Lelaki itu menyipitkan mata menilik Angie yang berada tak jauh dari mejanya, tanpa ada ketertarikan. Akan tetapi, batinnya mengatakan hal lain. Jika hanya untuk bermain-main, tak masalah baginya. Dia segera menoleh pada gadis yang sejak tadi sudah menyunggingkan senyum lebar di bibir berpoles lipstik merah terang. “Siapa kau? Apa aku mengenalmu?” “Apa pentingnya bertanya aku siapa? Yang pasti, tak ada yang tidak mengenal Mike Genosie, putra dari petinggi organisasi hitam terkenal di Eastonville, bahkan mungkin di seantero jagat. Tanyakan dirimu, apakah kau yakin tidak membutuhkan barang bagus seperti dia, hm? Ingat, ayahmu memiliki syarat cukup sulit. Gadis ini mungkin bisa jadi solusi untuk meyakinkannya memberikan takhta padamu.” Gadis itu mengangkat sebelah alis dengan ujung bibir tertarik ke atas. Dia yakin, transaksi hari ini akan berjalan baik. “Kenapa kau lakukan ini? Kalian kelihatan berteman.” “Apakah menurutmu teman lebih penting dari uang?” jawab gadis itu tanpa segan. “OK. Berapa yang kau butuhkan?” Mike, lelaki itu, gegas mengeluarkan beberapa lembar, tetapi ditolak oleh gadis itu. “Apakah kau begitu miskin sampai membayarku hanya dengan lembaran? Ayolah, Tuan Muda Genosie ….” “Katakan berapa.” “Dua puluh ribu dolar semalam. Hanya semalam. Kau harus membayar padaku jika ingin memakainya kembali. Ingat, dia masih perawan.” Lelaki itu terdiam lagi untuk beberapa saat, menoleh ke arah Angie, kemudian beralih menatap gadis di hadapannya. “Dia mabuk?” “Hmm … sedikit. Tapi tidak akan mengurangi performa, percayalah.” Gadis itu menambahkan. “Baiklah. Bawa dia. Aku tunggu di mobil, basement B13. Segera. Jika terlambat sedikit saja, maka transaksi batal.” Lelaki itu bangkit, lalu tergesa pergi. Dia tak sabar menikmati hidangan penutup malam tahun baru yang kelabu. Dalam hitungan menit, dia akan buktikan pada sang ayah kalau dirinya tak seperti apa yang mereka pikirkan dan orang-orang tuduhkan. Dia seorang lelaki sejati dan sebentar lagi akan menggantikan sang ayah memegang kekuasaan organisasi mereka. PASTI."Aku bisa menghabisi siapa pun yang menghalangi jalanku. Namun, mengapa tidak terhadapmu? Aku pasti sudah gila." -Mike-***“Mike! Apa yang terjadi? Ah!” Suara tembakan bersahutan membuat Angie seketika tak kuasa menahan kepanikan. Mike segera menghambur ke arahnya, melindunginya agar merunduk dan bersembunyi di balik pagar balkon.“Tetap seperti ini dan jangan bergerak, oke!?” Mike bangkit, melepaskan tembakan yang telak mengenai beberapa orang di bawah. Dia kembali merunduk dan melihat Angie menutup telinga sembari meracau.Tubuh gadis itu bergetar hebat, wajahnya seputih kapur—dengan segera, Mike melepaskan jas untuk dia gunakan menutupi kepala sang istri.“Bergeraklah perlahan dan masuk ke kamar! Kunci pintu dan jangan membukanya apa pun yang terjadi. Kau mengerti?” titah Mike, sembari tetap menjaga kontak mata dengan gadis yang, bisa dia baca, ketakutan terpancar dari sepasang manik cemerlang itu. “Angie, jawab aku! Apakah kau mengerti apa yang baru saja kukatakan?”Angie menggel
“Apakah ini mimpi? Setelah ini kita akan bersama di bawah satu atap. Lalu, apa yang harus kulakukan padamu?” –Mike–***Mike dan Angie tak membutuhkan waktu lama untuk mempertegas rencana pernikahan palsu mereka. Kedua keluarga sudah bertemu dan mudah pula bagi mereka untuk setuju karena tak butuh waktu penjajakan atau sejenisnya, mengingat tenggat waktu yang Mike berikan pada Angie adalah hanya terkait pernikahan.Lelaki itu tak memberinya waktu berpikir bahkan untuk menolak, sehingga semua terjadi dengan mudah dan di sinilah dia berada—di sebuah ruang terpisah, dengan beberapa orang tengah menata busana dan riasan yang akan membuat keduanya menjadi pengantin paling cantik dan gagah seantero jagat.“Dalam tradisi kami, pengantin harus tampak lebih dibanding tamu, bahkan pengiring. Pulaslah pemerah bibir yang berwarna tajam.” Melly, ibu Angie, meraih salah satu lipstick berwarna merah terang dan menyodorkan pada perias. “Ini. Warna ini pasti akan membuat Jiji-ku makin bersinar.”“Maaf
“Jika menurutmu pernikahan ini hanya main-main dan Tuhan enggan menyaksikan karena tak suka akan caraku memaksamu, maka biar iblis yang jadi saksi. Kau milikku.” –Mike–***Angie tampak gelisah dan mondar mandir di kamar. Dia menggigiti jemari dan menyumpah serapahi tindakannya yang begitu bodoh hari ini. Bahkan mungkin sejak kemarin.Mengapa dia begitu percaya pada sahabatnya dan setuju saja saat gadis itu mengajaknya ke kelab malam, tempat yang tak sekali pun pernah dia masuki dan akhirnya menjadi awal mula kesialan yang dia alami?Apa itu bourbon, margarita, vodka? Dia sama sekali tak tahu nama-nama itu. Meski kemarin sudah menenggaknya sembarangan, tetapi andai bukan sahabatnya yang memaksa, dia tak akan pernah menyentuh minuman itu barang sedikit pun.“Bodoh, bodoh, bodoh! Kau bodoh sekali, Ji!” Angie berulang kali memukul kepala dan kemudian mengempaskan tubuh di ranjang.Ingatannya seketika melayang ke beberapa jam lalu di mana dirinya dan Mike telah membuat perjanjian konyol y
“Cinta? Apa itu cinta? Yang kita butuhkan sekarang hanyalah kestabilan. Kau berdamai dengan ayahmu, sementara aku … sebuah kesempatan hidup—tak ingin mati konyol di tanganmu.” –Jiji–***Mike akhirnya membebaskan Angie tanpa syarat. Baginya, tak ada guna menyekap gadis tak menarik sepertinya. Dia bisa menemukan yang serupa gadis itu di jalanan, bahkan jauh lebih menarik dengan tubuh berisi dan tinggi besar, bukan mungil seperti tak punya daya.Tidak keren bagi dirinya, yang akan menjadi pewaris organisasi, memiliki pendamping seorang perempuan tak berdaya. Pasti nanti akan sangat menyusahkan. Wanita yang akan menjadi istrinya haruslah seperti sang ibu, tinggi semampai dengan otot kokoh dan selalu membawa senjata ke mana pun pergi.Di antara dirinya, sang ayah, dan ibu, hanya sang ibu yang tak membutuhkan pengawalan ke mana pun dia mau. Hal itulah yang membuat Mike begitu mengidolakannya.“Tuan Muda, Tuan dan Nyonya menunggu Anda di ruang makan,” ujar seorang pria muda setelah mengetuk
“Apakah Tuhan ada dan mengatur hidup manusia? Jika iya, mungkin Dia sedang membercandaiku, sekarang, sehingga mempertemukanku dengan gadis aneh sepertimu.” –Michael Genosie (Mike)–***Setengah jam sudah Mike memandangi gadis teler di atas ranjang. Bayangan tentang malam panas yang berkesan rupanya tak akan pernah terjadi.Gadis kelab tadi mengatakan kalau Angie, gadis yang ada bersamanya sekarang, masih ‘tersegel’. Dia yakin tak salah dengar. Seperti jackpot baginya, bukan? Namun, hal itu tetap tak berhasil memunculkan letupan hormon dalam dirinya.Mike memandangi Angie dengan tatapan yang dirinya sendiri pun tak mampu pahami. Tangannya terulur, menyibak helaian rambut panjang yang menutupi wajah gadis itu.Kulitnya seputih susu, dengan wajah tampak bersinar tersorot cahaya rembulan dari celah tirai. Pipinya kemerahan, makin merah karena efek alkohol, dan makin menarik jika dia perhatikan dari jarak sedekat itu.“Bodoh! Apa yang kulakukan?” gumamnya, lantas menarik selimut menutupi w
“Kata orang, kesan pertama haruslah memukau, selanjutnya, terserah. Aku tak percaya itu, karena kesan pertamaku denganmu adalah mimpi buruk dan selamanya akan begitu.” –Angelica Reviera (Angie/Jiji)–***Seorang pria muda dengan penampilan perlente berada di sebuah ruangan dikelilingi pria berpakaian serba hitam yang berdiri di sekitarnya. Di depannya, duduk seorang berpenampilan nyaris sama dengannya, elegan dan mahal, juga para pengawal yang berjaga tak jauh dari tempat mereka.Tak berselang lama, lima wanita berpakaian minim masuk, berdiri di ruangan, dan berpose memamerkan lekuk tubuh masing-masing. Harapan mereka, malam ini akan jadi malam yang menguntungkan.Menjadi budak pria muda perlente, jauh lebih baik bagi wanita-wanita itu dibanding harus mengarungi ribuan mil di tengah samudra hanya demi bertahan hidup. Pasrah berpindah dari tangan ke tangan, atau melawan—tetapi bersiap untuk tinggal nama.“Apa ini?” tanya pria perlente saat lima wanita kini mengerubuti layaknya lebah me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen