Share

Istri Kontrak Tuan Sultan
Istri Kontrak Tuan Sultan
Автор: Dannisa Idris

BAB 1

Aвтор: Dannisa Idris
last update Последнее обновление: 2025-07-06 18:08:17

Kamar itu hanya seluas kasur dan satu lemari tua. Bau kapur barus dan kayu lembab memenuhi udara. Di depan cermin retak, Queen berdiri dalam gaun putih yang terlalu besar di bagian bahu. Gaun itu bukan miliknya. Ia dipinjamkan dari anak tetangga sebelah yang menikah dua bulan lalu, lalu ditinggal suaminya seminggu kemudian.

Gaun itu masih menyimpan wangi parfum murahan dan sisa bedak dari pemilik sebelumnya.

Queen menyematkan jepit rambut plastik ke sisi kiri, tangan sedikit gemetar. Cermin menunjukkan wajahnya, datar, seperti boneka toko tanpa lampu.

Di balik pintu, ibunya masih menangis pelan. Tangis yang seperti sengaja ditahan, agar terdengar dramatis tapi tidak mengganggu. Bukan tangisan dari kehilangan, tapi dari ketidakberdayaan yang sudah terlalu sering terjadi

"Ayahmu di ruang tamu," suara ibu terdengar parau, "Dia belum bilang apa-apa sejak tadi pagi."

Queen tidak menjawab. Ia menarik sedikit bagian dada gaun yang menggembung, mencubit bagian dalam lengannya. Sakit. Bagus. Itu berarti dia masih bisa merasa.

Ia melangkah pelan ke arah lemari kayu di sudut ruangan, membuka pintunya yang berbunyi nyaring karena engsel berkarat. Dari dalam, ia mengambil sepatu hak rendah warna krem, dan tas kecil warna gading yang sudah mengelupas di ujungnya. Semuanya pinjaman.

Di atas lemari, ada bingkai foto kecil, saat dia lulus SMA. Wajahnya dulu jauh lebih bulat. Senyumnya lebar. Rambut dikuncir kuda. Di sebelahnya, ayahnya mengacungkan dua jari sambil memegang ijazahnya.

Sekarang, dia menikah demi hutang ayah itu.

Queen duduk di ujung kasur, menatap kedua tangannya yang telah dipoles dengan cat kuku tipis. Tangannya cantik hari ini, untuk ditandatangani orang asing.

Pintu kamar terbuka setengah. Ibunya masuk pelan, matanya bengkak, memegang kantong kecil berisi bedak tabur.

“Aku tahu kamu benci ini, Queen,” ucap ibunya sambil mengusapkan bedak ke leher putrinya. “Tapi ini satu-satunya cara. Dia anak orang kaya. Dia tidak akan jahat padamu.”

Queen menoleh pelan. Tatapannya tajam tapi mati. "Apakah dia tahu aku manusia?"

Ibunya terdiam. Bedaknya berhenti di tulang selangka. Lalu ia mundur, membuka pintu penuh, dan berkata, "Mobilnya sudah di depan. Jangan buat dia menunggu."

Queen berdiri. Ia memungut tas kecilnya, lalu melangkah pelan ke luar kamar. Di ruang tamu, ayahnya masih duduk dengan cangkir kosong, memandang ke luar jendela.

Tanpa menoleh, ayahnya berkata, "Jangan pulang malam-malam. Rumah ini udah bukan rumahmu."

Queen tidak membalas. Ia berjalan ke luar, dan pintu tertutup di belakangnya seperti akhir dari sesuatu yang tidak pernah benar-benar dimulai.

Queen melangkah keluar rumah, dan di ujung gang sempit, mobil hitam panjang sudah menunggu. Mercedes. Warnanya pekat, hampir seperti lubang hitam yang siap menelan segalanya.

Pintu belakang dibuka oleh seorang sopir dengan jas hitam dan sarung tangan. Tidak ada senyum. Tidak ada salam. Hanya gerakan tangan yang mempersilakan.

Queen masuk. Di dalam, sejuknya AC seperti kabut yang beku. Kabin besar itu terlalu sunyi, terlalu bersih, dan terlalu mahal untuk diisi dengan napas dari seseorang seperti dirinya. Kursinya empuk, kulitnya halus, dan ketika dia duduk, tubuhnya terasa seperti menyusut di antara segala kemewahan yang tidak menyambut.

Di seberangnya, duduk seorang wanita. Sekitar usia empat puluhan, mengenakan kemeja satin abu-abu, rok pensil, dan sepatu hak merah gelap. Rambutnya rapi disanggul rendah, matanya tajam, dan ia sedang memeriksa sesuatu di tablet hitamnya. Tanpa melihat ke arah Queen, dia berkata:

“Nama saya tidak penting. Saya akan mengawasi Anda sampai upacara selesai. Jangan bicara kecuali diminta.”

Queen menoleh pelan. Ia ingin berkata sesuatu. Mungkin “apa aku akan menikah dengan mafia?” atau “apakah ini pernikahan atau pengadilan?” Tapi lidahnya hanya kering.

Ia memalingkan pandangan ke jendela.

Mobil mulai melaju, pelan, seperti prosesi pemakaman pribadi. Tak ada musik. Tak ada suara selain deru roda dan dengungan AC yang konstan.

Di luar, gang-gang berganti menjadi jalan besar. Warung, kios pulsa, dan gerobak soto menghilang satu per satu, digantikan pagar besi, lampu taman, dan gerbang rumah-rumah mewah.

Queen menyentuh jendela. Dingin. Sama seperti tangan wanita di seberangnya.

Dia memejamkan mata sesaat. Menarik napas pelan-pelan. Membiarkan semua rasa takut, malu, marah, dan sedih menyatu menjadi satu rasa baru yang tak punya nama.

Mungkin ini bukan hari pernikahan. Mungkin ini hari penghilangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   bab 8

    Queen duduk di meja kerja kecil di sudut kamar, tangannya memainkan bulu pena hitam yang tergeletak di samping buku agenda kosong.Matanya tertuju pada kalender meja. Kulit sintetis coklat tua. Di dalamnya, halaman-halaman tanggal yang sudah ditandai. Bukan oleh tangannya. Tapi tulisan rapi, hitam, teratur. Tulisan tangan Sultan, ia tahu dari bentuk huruf yang tajam dan miring.Ia membuka halaman minggu ini.Senin, 22.00 – Kewajiban.Kata itu ditulis seperti rapat penting. Tanpa hiasan. Tanpa penjelasan. Tapi berat.Queen menatapnya lama. Ia menelusuri huruf-huruf itu dengan ujung jarinya. “Kewajiban” bisa berarti banyak hal. Tapi dalam konteks pernikahan, apalagi pernikahan yang dikontrak seperti transaksi saham, kata itu hanya punya satu makna.Ia menutup kalender itu pelan. Jam dinding menunjukkan 21.37.Masih ada waktu. Tapi entah kenapa, tubuhnya mulai bersiap seperti seekor rusa yang mencium bau serigala dari kejauhan.Queen berdiri, berjalan ke kamar mandi. Ia menyalakan air, m

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 7

    Queen mencoba menyelinap ke sisi ruangan yang lebih sepi, dekat meja hidangan, di mana musik orkestra terdengar lebih samar. Ia tidak lapar, tapi mengambil satu tusuk buah hanya agar terlihat sibuk.Tangan kirinya memegang gelas. Tangan kanan menggantung bebas, jari-jarinya sedikit gemetar karena udara malam dan tekanan pandangan yang tak kunjung padam.Tiba-tiba, sebuah suara berat dan lambat menyapanya. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajah sang istri baru."Seorang pria tua mendekat. Jasnya mahal, dasinya kontras, dan tongkat kayu gelap di tangan kirinya memberi ilusi kelemahlembutan. Tapi mata pria itu seperti mata seseorang yang tidak pernah diajarkan untuk bertanya sebelum mengambil.Queen tersenyum kecil. Ia sudah terlalu lelah untuk menjawab basa-basi.Pria itu berhenti di depannya. “Boleh?” katanya sambil mengulurkan tangan.Queen berpikir dia ingin berjabat. Ia mengulurkan tangan pelan. Tapi pria itu langsung membungkuk, mengarahkannya ke bibir.Queen menariknya. Tidak kasar.

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 6

    Pesta keluarga Sultan bukan pesta biasa. Ini adalah pertemuan orang-orang penting, pengusaha, politisi, duta besar, wanita-wanita tua yang mengenakan berlian seperti pelindung diri. Di tangan mereka ada gelas sampanye. Di mata mereka ada perhitungan. Queen tidak disapa. Tapi dia dilihat. Dilihat dengan penuh kalkulasi. Mereka menilai tinggi badannya. Lengkung gaunnya. Senyumnya yang tidak muncul. Tumitnya yang tidak terlalu tinggi. Caranya berjalan yang terlalu pelan atau terlalu ragu. Sultan melangkah lurus ke tengah kerumunan, lalu berpisah tanpa satu kata pun. Queen berdiri sendiri, di samping patung angsa kristal yang terlalu mewah untuk sebuah dekorasi. Seorang wanita tua mendekatinya. Bergaun ungu gelap, rambut keperakan, dan bibir tipis yang digigit sebelum bicara. “Kamu istri barunya?” katanya, seperti bertanya cuaca. Queen mengangguk kecil. “Ya, Bu.” Wanita itu tertawa pelan. “Dulu dia bawa aktris. Sebelumnya pelukis. Lalu model dari London. Sekarang kamu. Menarik

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 5

    Ruang itu terlalu terang untuk pagi hari. Dinding putih bersih, kaca besar dari lantai ke langit-langit, dan meja rias penuh kuas, palet warna, dan parfum mahal. Tapi tak ada cermin besar. Lagi-lagi, tidak ada bayangan diri. Hanya pantulan-pantulan kecil di permukaan logam dan botol kaca. Queen duduk di kursi rias, tangannya saling menggenggam di pangkuan, tubuhnya dililit jubah mandi satin yang terlalu longgar. Kulit bahunya terasa dingin di bawah AC. Dania berdiri di belakangnya. Hari ini, rambutnya digelung tinggi dan bibirnya merah marun. Wajahnya seperti selalu berada di ambang senyum atau penghinaan, dan keduanya bisa keluar tanpa peringatan. “Kita hanya punya waktu dua jam,” katanya, sambil memutar hanger yang tergantung di tangannya. Tiga gaun. Semua putih atau gading. Semua tipis. Semua terlalu terbuka. Queen menatapnya diam. Dania mengangkat satu gaun dengan tangan kiri. Bahannya seperti kabut, ringan, berkilau samar, tanpa tali bahu. Belahan punggungnya menjulur h

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 4

    Pintu kamar itu tidak terkunci, tapi terasa seperti tidak akan pernah benar-benar terbuka untuknya. Queen berdiri di ambang ruangan yang luas dan sunyi. Lantainya dari marmer pucat, dingin meski tidak disentuh langsung. Dindingnya kelabu muda, dengan satu lukisan abstrak besar di atas ranjang. Tak ada jendela. Hanya pintu kaca tinggi mengarah ke balkon kecil, tertutup tirai tebal. Di tengah ruangan, ranjang king. Sprei putih. Dua bantal. Tidak ada lipatan. Seperti tempat ini belum pernah dihuni. Queen melangkah masuk. Langkahnya nyaris tak berbunyi, tapi tubuhnya terasa seperti berisik hanya dengan bernapas. Ia menaruh tas kecil di atas kursi, lalu menatap sekeliling. Tak ada koper. Tak ada pakaian. Tak ada foto. Bahkan tak ada cermin. Ia berjalan ke pojok, membuka lemari tinggi. Di dalam tergantung pakaian wanita, semuanya pas ukurannya. Semuanya baru. Tak satu pun miliknya. Queen membuka laci. Pakaian dalam baru, masih berlabel. Lalu ia berdiri, mematung. Kamar mandi menyala

  • Istri Kontrak Tuan Sultan   BAB 3

    Sultan berdiri. Tinggi badannya seperti mendominasi seluruh ruang. Ia mengenakan jam tangan hitam dengan jarum emas, dan menyisir rambutnya ke belakang dengan telapak tangan. Rapi. Seperti arsitek dari segala hal yang terjadi hari ini. Ia melangkah mendekat. Pelan. Tapak sepatunya berbunyi pelan di atas karpet tebal, tapi setiap langkah terasa seperti detak jam mundur ke sesuatu yang tak bisa dibatalkan. Queen tetap duduk. Tak bergerak. Sultan berhenti di belakang kursinya. Napas Queen menahan diri. Tangannya masih di atas paha, kaku. Lalu pria itu menunduk, dan tanpa menyentuhnya, membisikkan satu kalimat ke telinganya, begitu dekat hingga Queen bisa mencium aroma parfum kayu dan tembakau ringan dari napasnya. “Mulai sekarang, jangan buat aku mengulang perintah dua kali. Paham.” Hanya itu. Lalu ia berdiri kembali. Dan berjalan keluar dari ruangan, pintu dibuka oleh seseorang yang Queen tidak sempat liha wajahnya. Queen masih duduk di kursi itu. Tangannya perlahan mengepal di a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status