“Kenapa Mami sama Papi tega sekali sama Queen?” suaranya rendah tapi tajam. Queen duduk di ujung ranjang, jemarinya mencengkram ujung gaun putih yang terlalu longgar di bahu. Nafasnya berat, matanya menatap lantai.
Vanda, yang berdiri di dekat meja rias, berhenti mengangkat bedak. Tatapannya lembut, meski ada kegugupan yang sulit ia sembunyikan. “Sayang, Mami hanya ingin kamu mengerti. Ini.” Queen mengangkat wajah, sorot matanya bergetar. “Aku tidak mengerti, Mami. Aku anak kalian. Sejak kapan aku jadi barang yang bisa diserahkan begitu saja?” Vanda melangkah mendekat, duduk di sisi ranjang. Tangannya terulur, tapi berhenti sebelum menyentuh lengan Queen. “Tidak seperti itu. Mami cuma mau kamu selamat. Kita semua selamat.” Queen menggeleng pelan, menahan panas di matanya. “Selamat? Dengan menikah pada orang yang bahkan aku belum pernah bicara? Bagaimana itu bisa disebut selamat?” Vanda menunduk. Bahunya merosot perlahan. Suaranya hampir berbisik saat berkata, “Mami tahu kamu marah. Mami pun ingin punya pilihan lain.” Pintu kamar terbuka pelan. Gala berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak, rahang mengeras. “Ada apa ini?” suaranya datar tapi penuh tekanan. Vanda buru-buru menghapus sudut matanya yang mulai basah. Queen menoleh cepat, tatapannya menusuk. “Papi, jawab aku.” Gala masuk dengan langkah berat, berdiri di depan ranjang. “Apa yang mau kamu tahu?” tanyanya, menatap putrinya lurus-lurus. Queen mendongak, jarinya masih meremas kain gaun. “Kenapa harus aku? Kenapa Papi sama Mami tidak cari cara lain?” Gala menarik napas panjang, lalu berkata tegas, “Karena kita tidak punya pilihan lain, Queen. Semua jalan sudah buntu. Perusahaan di ujung jurang, dan di belakang kita ada puluhan karyawan, keluarga mereka, anak-anak mereka. Mereka akan kehilangan semuanya kalau kita tidak bertindak.” Suara Queen serak, tapi nada sinisnya tetap terdengar. “Jadi aku ini jaminannya?” “Tidak,” jawab Gala cepat, matanya tetap terkunci pada Queen. “Kamu adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkan ini semua. Kalau ada cara lain, Papi yang akan ambil. Tapi tidak ada.” Vanda memejamkan mata, kedua tangannya bertaut di pangkuan, seolah kata-kata suaminya juga menusuknya. Queen menunduk, nafasnya terasa berat di dada. Kamar itu seperti mengerut, udara makin padat, dan tak ada satupun kata yang sanggup memecahnya. Queen berdiri dari ranjang, tatapannya tak lepas dari Papi-nya. “Kalau memang tidak ada pilihan, kenapa Papi tidak pernah tanya apa aku mau? Apa aku setuju?” Gala menahan napas, rahangnya mengeras. “Karena ini bukan soal mau atau tidak mau. Ini soal menyelamatkan semua orang yang bergantung pada kita.” “‘Kita’? Atau Papi sendiri?” nada Queen meninggi. Vanda hanya duduk di tepi ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat. Matanya mulai basah, dan kali ini air itu benar-benar jatuh membasahi pipinya. Pintu kamar terbuka lebih lebar. Kai berdiri di sana, bahunya naik-turun, menatap ke arah ayahnya. “Aku dengar semua dari bawah. Aku nggak setuju, Papi.” Gala menoleh tajam. “Anak kecil jangan ikut campur urusan orang dewasa.” Kai melangkah masuk, suaranya meninggi. “Kenapa setiap kali aku bicara, Papi selalu bilang aku anak kecil? Aku juga bagian dari keluarga ini!” “Cukup, Kai!” suara Gala membentak, keras dan penuh tekanan. Vanda tiba-tiba berdiri, suaranya bergetar tapi nyaring. “Berhenti kalian berdua! Tidak ada yang mendengarkan siapa pun di sini. Semua hanya saling menyalahkan.” Ruangan seketika hening, hanya terdengar napas berat masing-masing. Queen menatap Mami-nya yang berdiri di tengah, tubuhnya gemetar menahan emosi. Ada rasa iba yang menggerogoti dadanya. Ia melangkah pelan mendekati Vanda. “Mami… aku pergi sekarang.” Vanda mengangguk, tidak berkata apa-apa. Kai masih menatap Queen, matanya memohon. Gala memalingkan wajah, seakan menutup semua emosi di baliknya. Queen berjalan keluar kamar, melewati lorong sempit, menuruni tangga. Di luar, udara sore terasa berat. Di ujung gang, sebuah mobil hitam panjang menunggu dengan mesin menyala. Sopir berseragam hitam membuka pintu belakang tanpa bicara. Queen menoleh sekali ke rumahnya, ke jendela yang tirainya sedikit terbuka, lalu masuk ke dalam mobil. Pintu menutup rapat di belakangnya, dan suara mesin menjadi satu-satunya yang ia dengar ketika mobil mulai bergerak menjauh.Nala duduk perlahan di kursi seberang Queen, menunggu dengan sikap tenang. Ruangan terasa hening beberapa saat, hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas.Queen menatap cangkir kopinya, jemarinya mengetuk pelan permukaan meja. Diamnya panjang, sampai akhirnya Nala membuka suara. “Boleh saya bertanya, Nyonya?”Queen mengangkat wajahnya perlahan. “Apa yang ingin kamu tanyakan, Nala?”“Apa yang sedang Nyonya pikirkan?” tanya Nala hati-hati, sorot matanya tulus penuh rasa ingin tahu.Queen menimbang sejenak sebelum membalas dengan pertanyaan lain. “Apa yang dilakukan Sultan hari ini?”Nala mengangguk kecil, seperti sudah menduga arah pertanyaan itu. “Sejak pagi, beberapa direksi dan pimpinan anak perusahaan bergantian masuk ke ruang kerja Tuan Sultan. Mereka membawa laporan terkait masing-masing divisi.”Queen terdiam, matanya menggelap sesaat. Lalu ia bersandar, suara lebih pelan namun tajam. “Seberapa banyak kebocoran data yang sudah terjadi, Nala?”Pertanyaan itu membuat Nala
Queen mengatur napas, mencoba menahan amarah yang sudah hampir meledak. “Kalau benar anda tahu soal kebocoran data itu,” suaranya rendah tapi tajam, “berarti ada orang dalam yang bicara padamu. Siapa?”Rivando terkekeh pelan, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. “Pertanyaan yang bagus, tapi anda tidak benar-benar mengira aku akan memberitahumu, bukan?”“Kalau anda tidak mau bilang, berarti kabar itu hanya setengah benar. Atau malah anda sendiri yang membuatnya terlihat seolah ada kebocoran.” Queen menatapnya lurus, tidak goyah.Rivando mengangkat alis, matanya berbinar seakan menikmati ketegasan Queen. “Saya tidak perlu memalsukan apa pun, Nyonya Queen. Kalatama sendiri yang sudah membuka celahnya. Saya hanya berdiri di tepi, menunggu air masuk lebih banyak.”Queen mengepalkan tangan di samping tubuhnya. “Berhenti bermain teka-teki. Kau tidak akan menjebakku dengan kalimat manismu. Kalau benar ada kebocoran, cepat atau lambat kami akan tahu siapa dalangnya. Dan waktu itu, jangan
Queen menoleh sekali lagi ke lukisan pria paruh baya itu. “Tatapannya memang berat,” ucapnya pelan. “Tapi bukankah itu justru yang membuat orang tak bisa berpaling?”Rivando tersenyum tipis. “anda melihat sisi itu.” Ia melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya selembar kanvas besar. “Kebanyakan orang justru merasa tertekan. Seperti dia bisa membaca kesalahan yang mereka sembunyikan.”Queen mengangkat alis sedikit. “Mungkin itu karena mereka punya terlalu banyak yang disembunyikan.”Senyum Rivando melebar, kali ini bercampur heran. “anda tidak takut? Bahkan setelah… segala yang terjadi?”“Aku tidak datang untuk takut,” jawab Queen, suaranya stabil meski dadanya masih berdebar. Ia melangkah ke arah lukisan berikutnya, sebuah kanvas abstrak dengan dominasi merah pekat. “Aku datang untuk melihat sendiri apa yang sebenarnya ingin anda sampaikan.”Rivando menatapnya beberapa saat, lalu ikut memandang lukisan abstrak itu. “Lukisan ini disebut Api yang Terkekang. Katanya, seniman membuatnya
Sultan sudah rapi dengan jas gelapnya, berdiri di dekat pintu sambil menunggu Queen yang masih menata scarf tipis di lehernya. Suasana rumah pagi itu tenang, hanya terdengar suara langkah pelayan yang sesekali melintas.Queen melirik ke meja, ponselnya bergetar. Ia meraihnya sekilas. Sebuah pesan baru muncul di layar, nama pengirim membuatnya refleks menahan napas.Rivando Samdani. Galeri Citra Aruna. Pukul sepuluh. Datang sendiri.Dada Queen berdegup keras. Ia buru-buru menekan layar agar pesan itu hilang dari pandangan sebelum Sultan sempat melihat.“Sudah siap?” suara Sultan terdengar datar, tapi penuh penekanan.Queen tersenyum tipis, mencoba menutupi kegelisahannya. “Ya, hanya aku mungkin tidak bisa langsung ke kantor bersamamu.”Sultan berhenti merapikan jam tangannya, menoleh dengan tatapan tajam. “Kenapa?”Queen menghela nafas pelan, pura-pura sibuk memasukkan ponsel ke tas. “Ada urusan yang harus aku selesaikan dulu. Tidak lama, hanya sebentar. Setelah itu aku akan menyusul k
Sinar matahari perlahan merembes masuk melalui celah tirai. Queen membuka mata perlahan, butuh beberapa detik untuk menyadari di mana ia berada. Hangatnya selimut, aroma samar kayu dari perabotan kamar, dan, napas teratur di sampingnya.Ia menoleh, mendapati Sultan masih tertidur. Posisi tubuhnya sedikit miring menghadap Queen, wajahnya tenang, jauh berbeda dari kesan keras yang biasanya. Ada sisi manusiawi yang jarang terlihat.Queen menahan diri agar tidak membuat suara. Tangannya tanpa sadar bergerak, hampir menyentuh lengan Sultan, tapi ia segera menariknya kembali. Jantungnya berdetak terlalu cepat hanya karena jarak sedekat itu.Suara pintu diketuk pelan memecah keheningan. Queen buru-buru duduk, menoleh. Seorang pelayan baru, Rendra, kepala pelayan yang menggantikan tugas Nala untuk pagi itu, masuk setelah mendapat izin. Ia menunduk hormat.“Selamat pagi, Tuan, Nyonya. Sarapan sudah disiapkan di ruang makan.”Queen menoleh sekilas pada Sultan, yang ternyata sudah membuka mata.
Mobil berhenti di halaman rumah besar itu. Udara malam terasa lebih tenang, tapi suasana di dalam hati Queen belum benar-benar reda. Ia turun setelah sopir membukakan pintu, sementara Sultan berjalan di sampingnya tanpa banyak kata.Mereka melangkah masuk. Lorong rumah senyap, hanya lampu dinding yang temaram. Queen sedikit tertinggal, pandangannya menyapu sekitar, sampai langkahnya terhenti di depan sebuah pintu kayu gelap yang setengah terbuka.Ia ragu sejenak, lalu mendorongnya pelan. Pintu berderit ringan, memperlihatkan sebuah ruangan kecil yang berbeda dari bagian rumah lain. Dindingnya penuh rak buku, meja kayu tua di sudut, dan di atasnya beberapa bingkai foto hitam putih.Queen masuk setengah langkah, matanya tertumbuk pada satu foto besar di dinding, seorang pria dan wanita dengan wajah yang mirip Sultan, berdiri berdekatan. Senyuman mereka sederhana, tapi hangat.“Jangan sentuh,” suara berat Sultan terdengar dari belakang.Queen tersentak, berbalik. Sultan berdiri di ambang