Wanita di depan menutup tablet, lalu menyelipkannya ke dalam tas. Dia menatap Queen untuk pertama kali. Mata coklat gelap, dengan eyeliner tajam. "Luruskan punggungmu," katanya, singkat. "Kamu akan di foto."
Queen menegakkan punggungnya. Kepalanya sedikit terangkat. Dia tidak tahu akan difoto di mana, tapi sepertinya bukan untuk album pernikahan. Mobil membelok pelan ke sebuah gerbang besi berornamen emas. Dua penjaga berseragam membuka pagar tanpa pertanyaan. Queen menatap ke depan. Bangunan itu besar, seperti museum, tapi lebih sunyi. Tidak ada tamu. Tidak ada bunga. Tidak ada musik. Hanya pernikahan dan pena yang menunggu menodai namanya. Langkah kaki Queen bergema saat ia melewati lorong marmer panjang dengan lampu gantung besar bergoyang perlahan di atas kepalanya. Gedung itu bukan gedung pengadilan. Tapi juga bukan aula pernikahan. Terlalu steril. Terlalu mewah. Terlalu sunyi. Wanita di sebelahnya tak berkata apa-apa. Hanya mengarahkan langkah seperti sopir jenazah mengantar peti. Sampai mereka tiba di sebuah ruangan berpanel kayu gelap, dengan meja panjang di tengah. Di salah satu ujung meja itu, duduk seorang pria. Sultan. Dia mengenakan kemeja putih dengan jas abu gelap, duduk tegak, satu kaki menyilang, jari-jarinya mengetuk perlahan permukaan meja, seakan suara itu lebih penting daripada kata-kata. Queen berhenti di ambang pintu. Sultan tidak menoleh. Wanita di sebelah Queen mendorong bahunya perlahan. Ia berjalan ke kursi kosong di ujung lain meja, lalu duduk tanpa suara. Gaunnya menyentuh lantai seperti bisikan. Di depan Queen sudah diletakkan setumpuk dokumen dengan pita merah. Sebuah pena tergeletak di atasnya, lurus, seolah telah disiapkan oleh tangan yang terlalu teratur. Sultan mengangkat tangannya, menunjuk ke tumpukan itu. Masih tanpa menoleh. Queen menatapnya. Wajahnya tajam. Hidung tinggi. Rahang kaku. Tak ada senyum. Tak ada kesan bahwa ini adalah hari penting dalam hidupnya. Pria itu bisa saja sedang membeli saham, atau menandatangani pemecatan ratusan karyawan. Queen meraih halaman pertama. Tangannya sedikit basah. Ia membalik pelan-pelan, membaca setiap pasal: Pasal 1: Pernikahan ini berlaku sah di mata hukum, tidak mewakili hubungan afektif. Pasal 2: Tidak diwajibkan tinggal serumah secara permanen. Pasal 3: Kedua pihak setuju untuk tidak mencampuri kehidupan pribadi. Pasal 4: Tidak diwajibkan mengonsumsi pernikahan secara emosional. Pasal 5: Pihak perempuan menyerahkan hak atas tubuh untuk tujuan representatif dan strategis selama kontrak berlaku. Pasal 6: Semua aktivitas fisik atas dasar inisiatif pihak pria. Pasal 7: Pernikahan dapat diperpanjang, determinasi, atau diubah secara sepihak oleh pihak pria dengan pemberitahuan tertulis. Queen menelan ludah. Tidak ada kata "cinta" di dalam seluruh dokumen itu. Tidak ada kata "istri". Tidak ada kata "bahagia". Pena itu terasa berat saat ia genggam. Tangannya ingin menulis sesuatu di margin: Apakah saya masih manusia? Tapi dia hanya menarik napas. Lalu menandatangani halaman terakhir. Lambat. Satu garis. Nama lengkap. Di ujung meja, Sultan mengambil penanya sendiri. Ia menandatangani dokumen dengan gerakan cepat, efisien. Lalu menutup map itu, menumpuknya, dan akhirnya, baru kali ini, mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Matanya dingin. Tapi tak kosong. Ada sesuatu di sana. Seperti seseorang yang sedang menghitung, menimbang, memutuskan apakah akan memakan mangsanya sekarang atau nanti. Lalu dia berkata. Kalimat pertama darinya, sejak semuanya dimulai. “Selamat datang di hidup saya. Jangan bicara terlalu banyak.” Queen menandatangani. Tangannya gemetar. Sultan menandatangani seperti menandatangani dokumen akuisisi. Dia berkata satu kalimat pertama pada Queen: "Selamat datang di hidup saya. Jangan bicara terlalu banyak." Queen menatapnya selama dua detik, tidak lebih, tidak kurang. Seolah tubuhnya tahu bahwa lebih dari itu bisa dianggap pembangkangan, kurang dari itu dianggap ketakutan. Sultan mengembalikan pandangannya ke dokumen, lalu menyerahkannya kepada wanita di ujung meja yang langsung membungkus map itu ke dalam folder hitam berlogo perusahaan. Queen masih memegang pena, seakan belum tahu harus diletakkan di mana. Tangannya seperti tidak mendapat perintah baru setelah tanda tangan. Seperti tubuhnya bingung: apakah sekarang ia sah jadi milik orang lain?Queen duduk di meja kerja kecil di sudut kamar, tangannya memainkan bulu pena hitam yang tergeletak di samping buku agenda kosong.Matanya tertuju pada kalender meja. Kulit sintetis coklat tua. Di dalamnya, halaman-halaman tanggal yang sudah ditandai. Bukan oleh tangannya. Tapi tulisan rapi, hitam, teratur. Tulisan tangan Sultan, ia tahu dari bentuk huruf yang tajam dan miring.Ia membuka halaman minggu ini.Senin, 22.00 – Kewajiban.Kata itu ditulis seperti rapat penting. Tanpa hiasan. Tanpa penjelasan. Tapi berat.Queen menatapnya lama. Ia menelusuri huruf-huruf itu dengan ujung jarinya. “Kewajiban” bisa berarti banyak hal. Tapi dalam konteks pernikahan, apalagi pernikahan yang dikontrak seperti transaksi saham, kata itu hanya punya satu makna.Ia menutup kalender itu pelan. Jam dinding menunjukkan 21.37.Masih ada waktu. Tapi entah kenapa, tubuhnya mulai bersiap seperti seekor rusa yang mencium bau serigala dari kejauhan.Queen berdiri, berjalan ke kamar mandi. Ia menyalakan air, m
Queen mencoba menyelinap ke sisi ruangan yang lebih sepi, dekat meja hidangan, di mana musik orkestra terdengar lebih samar. Ia tidak lapar, tapi mengambil satu tusuk buah hanya agar terlihat sibuk.Tangan kirinya memegang gelas. Tangan kanan menggantung bebas, jari-jarinya sedikit gemetar karena udara malam dan tekanan pandangan yang tak kunjung padam.Tiba-tiba, sebuah suara berat dan lambat menyapanya. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajah sang istri baru."Seorang pria tua mendekat. Jasnya mahal, dasinya kontras, dan tongkat kayu gelap di tangan kirinya memberi ilusi kelemahlembutan. Tapi mata pria itu seperti mata seseorang yang tidak pernah diajarkan untuk bertanya sebelum mengambil.Queen tersenyum kecil. Ia sudah terlalu lelah untuk menjawab basa-basi.Pria itu berhenti di depannya. “Boleh?” katanya sambil mengulurkan tangan.Queen berpikir dia ingin berjabat. Ia mengulurkan tangan pelan. Tapi pria itu langsung membungkuk, mengarahkannya ke bibir.Queen menariknya. Tidak kasar.
Pesta keluarga Sultan bukan pesta biasa. Ini adalah pertemuan orang-orang penting, pengusaha, politisi, duta besar, wanita-wanita tua yang mengenakan berlian seperti pelindung diri. Di tangan mereka ada gelas sampanye. Di mata mereka ada perhitungan. Queen tidak disapa. Tapi dia dilihat. Dilihat dengan penuh kalkulasi. Mereka menilai tinggi badannya. Lengkung gaunnya. Senyumnya yang tidak muncul. Tumitnya yang tidak terlalu tinggi. Caranya berjalan yang terlalu pelan atau terlalu ragu. Sultan melangkah lurus ke tengah kerumunan, lalu berpisah tanpa satu kata pun. Queen berdiri sendiri, di samping patung angsa kristal yang terlalu mewah untuk sebuah dekorasi. Seorang wanita tua mendekatinya. Bergaun ungu gelap, rambut keperakan, dan bibir tipis yang digigit sebelum bicara. “Kamu istri barunya?” katanya, seperti bertanya cuaca. Queen mengangguk kecil. “Ya, Bu.” Wanita itu tertawa pelan. “Dulu dia bawa aktris. Sebelumnya pelukis. Lalu model dari London. Sekarang kamu. Menarik
Ruang itu terlalu terang untuk pagi hari. Dinding putih bersih, kaca besar dari lantai ke langit-langit, dan meja rias penuh kuas, palet warna, dan parfum mahal. Tapi tak ada cermin besar. Lagi-lagi, tidak ada bayangan diri. Hanya pantulan-pantulan kecil di permukaan logam dan botol kaca. Queen duduk di kursi rias, tangannya saling menggenggam di pangkuan, tubuhnya dililit jubah mandi satin yang terlalu longgar. Kulit bahunya terasa dingin di bawah AC. Dania berdiri di belakangnya. Hari ini, rambutnya digelung tinggi dan bibirnya merah marun. Wajahnya seperti selalu berada di ambang senyum atau penghinaan, dan keduanya bisa keluar tanpa peringatan. “Kita hanya punya waktu dua jam,” katanya, sambil memutar hanger yang tergantung di tangannya. Tiga gaun. Semua putih atau gading. Semua tipis. Semua terlalu terbuka. Queen menatapnya diam. Dania mengangkat satu gaun dengan tangan kiri. Bahannya seperti kabut, ringan, berkilau samar, tanpa tali bahu. Belahan punggungnya menjulur h
Pintu kamar itu tidak terkunci, tapi terasa seperti tidak akan pernah benar-benar terbuka untuknya. Queen berdiri di ambang ruangan yang luas dan sunyi. Lantainya dari marmer pucat, dingin meski tidak disentuh langsung. Dindingnya kelabu muda, dengan satu lukisan abstrak besar di atas ranjang. Tak ada jendela. Hanya pintu kaca tinggi mengarah ke balkon kecil, tertutup tirai tebal. Di tengah ruangan, ranjang king. Sprei putih. Dua bantal. Tidak ada lipatan. Seperti tempat ini belum pernah dihuni. Queen melangkah masuk. Langkahnya nyaris tak berbunyi, tapi tubuhnya terasa seperti berisik hanya dengan bernapas. Ia menaruh tas kecil di atas kursi, lalu menatap sekeliling. Tak ada koper. Tak ada pakaian. Tak ada foto. Bahkan tak ada cermin. Ia berjalan ke pojok, membuka lemari tinggi. Di dalam tergantung pakaian wanita, semuanya pas ukurannya. Semuanya baru. Tak satu pun miliknya. Queen membuka laci. Pakaian dalam baru, masih berlabel. Lalu ia berdiri, mematung. Kamar mandi menyala
Sultan berdiri. Tinggi badannya seperti mendominasi seluruh ruang. Ia mengenakan jam tangan hitam dengan jarum emas, dan menyisir rambutnya ke belakang dengan telapak tangan. Rapi. Seperti arsitek dari segala hal yang terjadi hari ini. Ia melangkah mendekat. Pelan. Tapak sepatunya berbunyi pelan di atas karpet tebal, tapi setiap langkah terasa seperti detak jam mundur ke sesuatu yang tak bisa dibatalkan. Queen tetap duduk. Tak bergerak. Sultan berhenti di belakang kursinya. Napas Queen menahan diri. Tangannya masih di atas paha, kaku. Lalu pria itu menunduk, dan tanpa menyentuhnya, membisikkan satu kalimat ke telinganya, begitu dekat hingga Queen bisa mencium aroma parfum kayu dan tembakau ringan dari napasnya. “Mulai sekarang, jangan buat aku mengulang perintah dua kali. Paham.” Hanya itu. Lalu ia berdiri kembali. Dan berjalan keluar dari ruangan, pintu dibuka oleh seseorang yang Queen tidak sempat liha wajahnya. Queen masih duduk di kursi itu. Tangannya perlahan mengepal di a