Suara ketukan halus terdengar di pintu ruang kerja Sultan. Queen yang masih duduk di kursinya menoleh cepat, lalu berdiri. Ia sudah selesai rapat, tapi belum beranjak karena menunggu Sultan yang masih memeriksa dokumen.“Masuk,” suara Sultan rendah, tetap fokus pada kertas di tangannya.Seorang staf membawa nampan berisi dua cangkir kopi, meletakkannya di meja. Setelah memberi salam singkat, ia segera keluar lagi.Queen mendekat, menatap kopi yang mengepulkan uap tipis. “kamu minum kopi lagi? Itu cangkir ketiga mu hari ini.”Sultan menutup berkas, menoleh sekilas padanya. “Dan aku masih bisa berpikir jernih. Jadi apa masalahnya?”Queen menghela nafas, lalu menarik kursi di seberangnya. “Masalahnya, kalau jantungmu berhenti mendadak, siapa yang akan menjalankan semua ini?”Alis Sultan terangkat, sorot matanya tajam tapi ada seulas senyum tipis yang nyaris tak terlihat. “kamu mulai terdengar seperti dirimu benar-benar peduli.”Queen diam sebentar, lalu menegakkan duduk. “Aku peduli pada
Mobil berhenti di depan Kalatama Grup. Begitu pintu dibuka, Sultan turun lebih dulu, langkahnya mantap. Queen menyusul, mengatur napas, karena ini sudah rapat ketiganya sejak resmi diperkenalkan sebagai istri Sultan. Meski sudah mulai terbiasa dengan tatapan orang, tetap saja ada rasa berat setiap kali ia melangkah masuk ke gedung ini.Lobi kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Beberapa staf berhenti sebentar, menunduk memberi salam. Sultan tidak menoleh, hanya berjalan lurus ke arah lift pribadi. Queen mengikutinya, menjaga jarak sepasang langkah di belakang.Di lantai atas, ruang rapat sudah penuh. Tidak sebanyak rapat besar, tapi para kepala divisi inti duduk di kursi masing-masing. Di ujung meja, kursi Sultan sudah menunggu.Begitu pintu dibuka, semua orang berdiri.“Duduk,” ujar Sultan singkat, duduk di kursinya. Queen melangkah ke samping dan duduk di kursi yang sudah disiapkan di sebelahnya.Rapat dimulai dengan giliran bagian keuangan. Seorang pria berkacamata, tubuh agak g
Queen menatap mata Sultan yang hanya berjarak sejengkal. Kata-katanya masih berputar di kepala, “Aku yang akan menyiapkanmu.”“Apa maksudmu menyiapkan?” tanya Queen pelan, meski nadanya masih tertekan.Sultan tidak langsung menjawab. Ia menarik kursi, duduk di hadapan Queen. Pandangannya tajam, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Coba kita mulai sederhana. Kalau ada yang menanyakan bagaimana rasanya menikah denganku, apa jawabanmu?”Queen terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku akan bilang menikah denganmu tidak mudah.”Sultan menaikkan alis. “Tidak mudah? Itu jawaban jujur. Tapi tidak bijak.”Queen mendengus kecil. “Lalu aku harus bilang apa? Bahwa aku bahagia? kamu sendiri yang menetapkan aturan, pernikahan ini tanpa cinta.”Sultan menatapnya beberapa detik, lalu bersandar. “kamu tidak perlu mengatakan cinta. Cukup katakan, aku suami yang mendukungmu.”Queen menautkan jari-jarinya. “Kalau aku tidak merasa begitu?”Sultan mencondongkan tubuh lagi, kali ini lebih dekat. Tangannya t
Pintu menutup pelan, meninggalkan Queen sendiri. Hening kamar hanya diisi detak jam dan desiran AC. Ia masih duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan napas yang belum juga teratur. Suara ketukan kembali terdengar. Queen menoleh cepat, mengira Sultan kembali. Tapi begitu pintu dibuka, yang muncul adalah seorang pria paruh baya dengan seragam hitam rapi. Rambutnya beruban di pelipis, wajahnya tegas, tapi tatapannya sopan. “Izinkan saya masuk sebentar, Nyonya,” ucapnya sambil menunduk hormat. Queen mengangguk singkat. “Silakan.” Pria itu masuk, membawa nampan perak dengan segelas air putih dan sebuah tablet tipis di atasnya. Gerakannya tenang, terukur, penuh wibawa. “Saya Arman, kepala pelayan rumah ini,” katanya memperkenalkan diri. “Mulai malam ini, saya akan memastikan semua kebutuhan Anda terpenuhi dengan baik. Termasuk menjaga privasi Anda.” Queen sedikit terkejut, tidak menyangka ada sosok seperti ini. “Kenapa baru sekarang saya bertemu dengan Anda?” Arman meletakkan
Begitu tiba di lantai atas, Sultan langsung masuk ke ruang kerjanya tanpa sepatah kata. Pintu tertutup rapat, meninggalkan Queen berdiri sendiri di koridor.Ia menghela nafas panjang, lalu membuka pintu kamarnya.Di dalam, Nala sudah berdiri dengan map di tangan. “Selamat malam, Nyonya,” ucapnya lembut. “Ini beberapa dokumen tambahan dari Pak Patra. Beliau menitipkan untuk Anda pelajari sebelum rapat kecil besok pagi.”Queen menaruh clutch kecilnya di meja rias. “Terima kasih, Nala. Taruh saja di meja.”Nala meletakkan map di meja kerja kecil di sudut ruangan. “Apakah perlu saya siapkan teh hangat?”Queen menatapnya sebentar, lalu menggeleng. “Tidak usah. Aku hanya ingin sendiri sebentar.”Nala menunduk. “Baik, Nyonya.” Ia melangkah keluar dengan tenang, menutup pintu perlahan.Queen berjalan ke meja, membuka map, menatap berkas yang penuh angka dan catatan. Tapi matanya tidak fokus. Yang terbayang justru tatapan Rivando di ruang rapat tadi, dan kalimat dingin Sultan di mobil barusan.
Suasana dalam mobil masih dipenuhi hening. Hanya suara mesin dan gesekan ban dengan aspal yang terdengar. Queen menatap Sultan dari samping, matanya penuh pertanyaan. “Aku tidak mengerti,” katanya akhirnya. Suaranya tenang, tapi ada nada penasaran yang sulit ia sembunyikan. “Kenapa keluarga Samdani begitu penting bagimu sampai kamu menyebut mereka musuh? Apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian?” Sultan menggerakkan rahangnya, matanya tetap lurus menatap ke depan. Butuh beberapa detik sebelum ia menjawab. “Itu bukan hal yang perlu kamu cemaskan.” Queen menghela napas, mengalihkan pandangan ke luar jendela. “kamu selalu bilang begitu. ‘Bukan urusanmu, jangan cemaskan, aku yang urus.’ Tapi aku ini istrimu, Sultan. Aku tidak bisa berpura-pura buta terhadap apa pun yang menyangkutmu dan keluargaku juga.” Sultan akhirnya menoleh, tatapannya menusuk. “Dan justru karena kamu istriku, aku tidak ingin kamu terlibat lebih jauh. Dunia bisnis tidak sama dengan dunia keluargamu. Di sini