Makan siang akhirnya usai. Don berdiri lebih dulu, dibantu pelayan untuk menyingkirkan kursinya. Semua orang ikut bangkit, memberi hormat singkat sebelum Don melangkah pergi dengan tongkatnya.Sultan masih berbincang sebentar dengan Patra di ujung meja, sementara Danu mengoceh kecil soal menu penutup yang menurutnya terlalu manis.Queen memilih keluar lebih dulu. Ia butuh udara. Langkahnya pelan melewati lorong panjang yang mengarah ke taman samping.Suara langkah lain terdengar tak lama kemudian. Queen berhenti, menoleh, dan mendapati Dira berdiri di belakangnya dengan senyum tipis.“Tidak menyangka kamu begitu cepat beradaptasi,” ujar Dira pelan, nada suaranya setengah sinis. “Bahkan berani menatapku balik di meja makan.”Queen menegakkan tubuhnya, wajahnya tenang. “Aku hanya menjawab sesuai yang perlu.”Dira melangkah lebih dekat, tumit sepatunya berdetak pelan di lantai marmer. “kamu pikir sikap tenangmu cukup membuatmu diterima di keluarga ini?”Queen menahan napas sejenak, lalu
Suasana rumah besar keluarga Kalatama malam itu lebih riuh dari biasanya. Forum keluarga memang bukan hal asing, tapi setiap kali diadakan, aura tegang seakan ikut hadir di udara.Queen berjalan di samping Sultan, langkahnya mantap meski ada rasa gelisah yang tak bisa ia abaikan. Dari kejauhan, ia sudah bisa mendengar tawa ringan Danu dan suara pelayan yang sibuk menata minuman.Begitu masuk ke ruang utama, Queen langsung merasakan tatapan. Dira sudah duduk manis di kursi sebelah kanan Don, bibirnya mengulas senyum tipis. Senyum yang tidak pernah terasa tulus.“Akhirnya datang juga,” ucap Dira, suaranya manis tapi menusuk. “Aku dengar belakangan ini kamu sibuk ikut rapat direksi?”Queen menegakkan tubuh, menatapnya dengan sopan. “Ya. Itu bagian dari tugas yang diberikan Sultan.”Dira tertawa kecil, melirik ke arah Don. “Luar biasa, Kakek. Baru beberapa bulan menikah, Abang Sultan sudah membawa istrinya duduk di kursi rapat. Tidak semua orang bisa seistimewa itu, bukan?”Beberapa anggo
Ketegangan di ruangan masih terasa ketika ketukan pintu terdengar.“Masuk,” ujar Sultan, suaranya kembali datar.Pintu terbuka. Dania melangkah masuk dengan map tebal di tangannya, senyumnya tipis tapi matanya tajam, seakan sengaja menilai suasana. “Tuan, ini dokumen kontrak revisi dari divisi pemasaran. Mereka minta tanda tangan.”Sultan menerima map tanpa menoleh. “Taruh di meja.”Dania melangkah mendekat, menaruh map dengan perlahan, lalu melirik sekilas ke arah Queen. “Selamat siang, Nyonya.” Suaranya sopan, tapi ada nada samar di baliknya, seakan menyimpan sesuatu.Queen membalas dengan singkat, “Siang.”Sultan menandatangani satu halaman, lalu menutup map itu. “Sudah?”“Ya, Tuan.” Dania menunduk, tapi senyum tipisnya masih tertinggal saat ia berdiri.Sultan menatapnya tajam. “Dania.”“Ya, Tuan?”“Urusanmu hanya dokumen dan jadwal. Tidak lebih. Mengerti?”Dania menelan ludah, cepat-cepat menunduk. “Mengerti, Tuan.”“Keluar.”Dania berbalik, langkahnya sedikit lebih kaku dari bias
Pagi itu, Queen melangkah keluar dari ruang kerjanya dengan map tebal di tangan. Tumit sepatunya mengetuk marmer, langkahnya mantap. Beberapa staf yang lewat buru-buru menunduk, tapi ada sesuatu di sorot mata mereka yang membuat Queen mengerutkan kening.Bisik-bisik. Suara rendah yang terdengar terputus-putus, seperti gelombang kecil yang segera menghilang ketika ia lewat.Queen berhenti sejenak, menoleh. Dua karyawan wanita yang tadi berbisik langsung berpura-pura merapikan berkas. Seorang pria muda menunduk dalam-dalam, hampir menjatuhkan ponselnya.Ia menarik nafas, melanjutkan langkah. Tapi telinganya masih menangkap suara samar ketika jaraknya menjauh.“…istri bos, tapi kok bisa masuk rapat direksi…”“…katanya semua kebijakan baru lewat dia dulu, benar nggak sih?”“…kalau bukan karena pernikahan, mana mungkin.”Queen menutup mata sebentar, lalu membuka kembali. Langkahnya tak goyah, tapi dadanya terasa berat.Begitu ia kembali ke ruangannya, Nala sudah menunggu dengan segelas air
Queen menatapnya lama, tisu masih menempel di kulit tangan Sultan. “Kalimatmu barusan, apa maksudnya?”Sultan tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, lalu mengangkat tangannya, mengambil tisu itu dari genggaman Queen dan meletakkannya ke meja. “Tidak semua pertanyaan perlu jawaban.”Queen mengerutkan kening. “Jadi kamu sengaja menggantungnya?”Sultan berdiri, berjalan ke arah jendela tinggi. Cahaya sore menyorot separuh wajahnya, membuat garis rahangnya terlihat lebih tegas. “Ada hal-hal yang sebaiknya tidak kamu ketahui sekarang.”Queen berdiri juga, melangkah mendekat. “Tapi aku istrimu. Kalau aku tidak tahu, siapa lagi?”Sultan menoleh setengah, tatapannya tajam tapi ada keretakan samar. “Justru karena kamu istriku. Semakin sedikit kamu tahu, semakin aman posisimu.”Queen terdiam. Kata-kata itu menusuk, tapi ia tidak ingin mundur. “Aman? kamu pikir aku menikah untuk bersembunyi di balik tembok? Aku sudah masuk ke dunia ini, aku berhak tahu apa yang sebenarnya kamu hadapi.”
Suara ketukan halus terdengar di pintu ruang kerja Sultan. Queen yang masih duduk di kursinya menoleh cepat, lalu berdiri. Ia sudah selesai rapat, tapi belum beranjak karena menunggu Sultan yang masih memeriksa dokumen.“Masuk,” suara Sultan rendah, tetap fokus pada kertas di tangannya.Seorang staf membawa nampan berisi dua cangkir kopi, meletakkannya di meja. Setelah memberi salam singkat, ia segera keluar lagi.Queen mendekat, menatap kopi yang mengepulkan uap tipis. “kamu minum kopi lagi? Itu cangkir ketiga mu hari ini.”Sultan menutup berkas, menoleh sekilas padanya. “Dan aku masih bisa berpikir jernih. Jadi apa masalahnya?”Queen menghela nafas, lalu menarik kursi di seberangnya. “Masalahnya, kalau jantungmu berhenti mendadak, siapa yang akan menjalankan semua ini?”Alis Sultan terangkat, sorot matanya tajam tapi ada seulas senyum tipis yang nyaris tak terlihat. “kamu mulai terdengar seperti dirimu benar-benar peduli.”Queen diam sebentar, lalu menegakkan duduk. “Aku peduli pada